Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

jurit malam dan pengakuannya

Tibalah kami pada inti perkemahan. Yap, jurit malam. Setelah sore hari kami gunakan waktunya untuk menyalakan lentera yang terbuat dari botol kaca dan diisi oleh minyak tanah juga sumbu, para senior menyuruh kami istirahat dan jangan ada yang berkeliaran karena waktu sudah menjelang Maghrib. Rupanya pukul sembilan malam, tenda kami dibuka begitu saja. Kami disuruh berbaris lagi di lapangan sesuai kelompok.

Hari benar-benar sudah gelap, aku tidak bisa melihat apa pun. Senter hanya boleh digunakan satu orang dalam satu kelompok, itu pun senter kecil yang penerangannya tidak seberapa. Sementara itu, senior membacakan perintah yang harus kami lakukan serta kode yang harus kami ingat dan diteriakkan ketika mengalami masalah. Tak lupa ia menyebutkan larangan yang tentunya harus kami patuhi.

Setiap kelompok dipandu oleh seorang senior, dan pemandu kelompokku adalah Kak Angga.

"Saya gak akan nunggu kalian, kalau ada yang tertinggal itu salah kalian. Saya juga tidak akan terus mendampingi kalian, saya hanya akan mengantarkan kalian sampai menemukan rambu yang ditentukan," ujar Kak Angga.

Kelompokku dengan kompak menjawab "paham." Setelah itu, perjalanan dimulai.

Awalnya aku berjalan di tengah, namun entah bagaimana jadinya aku berada di belakang dan di belakangnya ada Bayan. Masa bodoh, aku pura-pura tidak tahu.

Kak Angga menghilang setelah kami menemukan rambu, akhirnya hanya rambu dari kertas yang ditempel di pohon yang menjadi petunjuk kami.

Jalanan cukup terjal, hawa dingin membuat semua orang nyaris menggigil. Ditambah gelap yang benar-benar gulita, membuat kami sangat sulit menempuh jalan.

Suara babi hutan terdengar, membuat anggota kelompokku geming.

"Jangan ada yang teriak," bisik Adriana—salah satu anggota kelompokku yang berada di depan. Langkah kami terhenti beberapa detik, tepat saat itu juga aku dapat mendengar suara detak jantungku sendiri. "Lanjut jalan, tetap hati-hati," katanya. Kami pun mengikuti instruksinya.

Tibalah kami di pos pertama, berisi tim disiplin yang tengah mengelilingi api unggun.

"Ngapain kalian disini?!" sembur salah satu dari mereka. Padahal kami baru lewat.

"Permisi, Kak, kami menumpang lewat," jawab Adriana.

"Gak ada akhlak! Ngeliat orang lagi kesusahan di hutan cuma lewat aja! Goblok!"

Lah!

Akhirnya kami semua geming, berhenti tepat di depan pos mereka.

"Baris kalian! Bikin satu saf!" Kami menuruti perintahnya. "Lo semua gak liat kita kesusahan, kekurangan kayu bakar? Nyelonong aja!"

"Maaf, Kak," ujar salah seorang temanku dan disahuti oleh yang lainnya.

"Berisik!" bentak salah satu senior, kemudian ia kembali bertanya, "Apa yang merah, tetap terbang meskipun sayapnya terluka?"

"Burung," jawab salah seorang temanku.

"Salah!"

"Burung warna merah."

"Jawaban anak TK itu, jangan tolol!"

"Phoenix?"

"Kebanyakan nonton film lo!"

Akhirnya kami semua diam. Tidak ada yang menjawab. "Jawab! Masa gak ada yang tahu?!"

"Merah artinya berani, Kak," jawabku memberanikan diri. "Tetap terbang meskipun kakinya terluka, bisa aja burung yang berusaha mencapai tujuannya."

"Tuh, temen kalian udah bisa nebak. Tinggal dilengkapi jawabannya!" ujar salah satu dari mereka.

"Jawablah, katanya udah jadi mahasiswa!"

"Diem aja, ngandelin satu orang yang mikir?!"

"Saya hitung, yang gak jawab turun ke jurang!"

Kompak kami semua bergidik ngeri mendengarnya, mana kami berbaris tepat di sisi jurang.

"Giliran diancem pada takut! Lemah!"

Tim disiplin bacot! Sampai pusing kepalaku mendengar teriakkan mereka.

"Maksud dari merah dan tetap terbang meskipun sayapnya terluka téh kita harus berani. Berani menghadapi apapun, meskipun kita tau kelemahan kita. Kita harus bisa melampaui rasa takut, Kak." suara Bayan.

"Ck! Lemot. Lemah otak. Cuma dua orang doang yang jawab. Sisanya, turun!"

Kepanikan melanda teman sekelompokku, ada yang sudah menghadap jurang hendak menuruninya, ada juga yang menangis ketakutan.

"Gak bisa gitu, Kak. Di tengah ketakutan gini, wajar kita gak bisa berpikir cepat. Gak manusiawi aja kalau kita disuruh turun ke jurang," ucapku.

"Sepakat. Kami memohon maaf, Kak. Ini hutan, jurang tersebut sangat dalam, resikonya nyawa. Kami juga masih punya kehidupan," sahut Adriana, yang sejak tadi mengamati sekitar hutan.

"Harus begitu! Emang kalian dituntut buat berpikir cepat dan tepat di keadaan apapun. Sekali kalian lambat bertindak, atau salah mengambil jalan keluar kalian bisa terjun kedalam jurang. Lain kali, berpikir kritis! Jangan manja!"

"Sana lanjut perjalanan kalian. Maknai pesan tersirat pertemuan Anda semua dengan kami. Cepat pergi!"

Kami semua bernapas lega, dan segera berjalan menuju pos berikutnya mengikuti rambu. Tak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada tim disiplin. Pencitraan, padahal aku jengkel setengah mati menghadapi mereka yang hobinya sentak-sengor.

Beberapa langkah kemudian kami berjumpa di pos kedua, di pos ini justru suasananya sangat santai. Kami hanya sharing tentang pengalaman kami sebelum masuk kampus, tentang usaha kami menyandang predikat mahasiswa di universitas negeri.

Pada kesempatan ini, Bayan justru mencoba untuk bicara denganku. Sekadar basa-basi, dan kutimpali dengan gumaman.

"Maafin aku," katanya.

"Asal lo gak nyakitin diri lagi. Lo tau? Tiap lo siksa diri lo, sama aja lo nyiksa gue dengan rasa bersalah," jawabku.

Waktu di pos ini sudah habis, kami harus melakukan perjalanan lagi untuk sampai ke pos berikutnya. Bayan tidak menjawab lagi setelah kuucapkan hal tadi.

•••

Aku menginjak tali sepatuku yang terlepas dan nyaris terjerembab, saat ku mengangkat kepala teman-temanku sudah berjalan jauh. Buru-buru aku mengikat tali sepatu, namun karena gelap dan panik aku malah membuatnya menjadi kusut. Akhirnya kupaksakan diri untuk mengejar kawan-kawan yang sudah berjalan di depan, namun aku terjatuh lagi karena tali sepatu masih belum terikat.

Aku takut bukan main, rasa sakit di lututku yang berkali-kali terjatuh tidak seberapa, namun kegelapan di hutan ini membuatku merinding setengah mati.

Aku berteriak, supaya mereka menungguku. Nihil, mereka berjalan semakin jauh.

Dengan tertatih aku berlari, juga kuteriakkan mereka supaya menungguku. Suara serangga menyahuti, tidak kupedulikan.

Lama-lama suara babi hutan kembali terdengar. Suaranya dekat, membuatku berteriak ketakutan. Tidak ada siapapun, tidak ada rambu atau lentera. Aku sendirian dan ketakutan.

Aku mengarahkan senterku ke atas, berharap ada yang datang. Tenggorokanku tercekat, aku tak bisa lagi berteriak. Yang kulakukan hanyalah menangis sambil memeluk lutut.

Tikus hutan melintas di hadapanku, suara babi hutan semakin dekat. Aku tidak berharap banyak, aku yakin sekarang ajal mendekatiku.

Aku memejamkan mata, sambil menangis dan merapal doa. Berharap ada seseorang yang datang, senterku meredup, cahayanya tidak menyorot jauh ke atas. Aku benar-benar pasrah sekarang.

Kini suara mendesis terdengar, aku geming tak bisa berpikir. Nyawaku diujung tanduk sekarang, sendirian di hutan gelap, dikelilingi hewan liar yang mungkin saja kelaparan dan melihatku sebagai santapan.

"Jangan makan gue ... gue kecut," lirihku ketika suara kerosak mendekatiku.

Suara itu semakin dekat, kemudian menghilang berganti hening.

Tidak, tidak hening.

Kurasakan degup jantung yang begitu kencang, juga kembang-kempis dada yang berbarengan dengan deru napas.

Perlahan aku membuka mata, rupanya aku ada dipelukkan seseorang.

"Jangan takut, kamu gak sendirian," lirih sang empunya dekapan.

Aku ingat aroma tubuh ini. Siapa lagi kalau bukan Bayan?

"Bayan ...."

"Aku ada di sini, Neng. Maafin aku, ya."

Dilepaskannya aku dari dekapannya, dalam redup aku melihat matanya memerah dan sedikit basah. Ditangkup olehnya kedua pipiku, mulutnya bergerak mengucap maaf tanpa suara. Kemudian tangan cowok itu bergerak, mengikat tali sepatuku menjadi simpul yang rapi. Senternya yang masih terang diarahkan kepadaku.

Aku geming. Sejenak aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri.

"Masih kuat jalan?"

Aku mengangguk. Bayan bangkit terlebih dulu, lalu mengulurkan tangannya padaku. Setelah kusambut tangannya, kami berjalan beriringan. Dia merangkulku, dan sebelah tangannya menjinjing senter karena senterku benar-benar redup. Setelah bertemu dengan anggota kelompokku yang lain, barulah kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan seorang-seorang.

Beberapa meter setelah kami berjalan bersama, terdengar ribut dari arah Bayan. Rupanya ada senior yang mengajaknya bercanda.

"Widih, lo jagain cewek jalan paling belakang?" kata sang senior.

Bayan hanya terkekeh menjawabnya.

"Mantaplah, Yan! Tinggal pilih tuh ceweknya mau yang mana," ujar si senior lagi.

Bayan diam sejenak, kemudian dia menjawab, "Udah ada atuh saya mah."

"Gila! Gerak cepet juga lo cari cewek, ya, hahaha! Btw, yang mana cewek lo?"

"Gak ada di sini, di kelompok lain."

Mendengar jawaban Bayan, aku mencoba untuk paham.

Paham, kalau aku memang tidak berarti apa-apa untuknya.

🌻🌻🌻

5 Chapter lagi dan cerita ini akan tamat, xixi. Terimakasih sudah setia membaca💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro