Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 : Memory

Kak Flo mengehela napas panjang, duduk terdiam di dalam kamar, sambil menatap dinginnya lantai. Aku tidak tahu apa yang sedang di pikirkannya. Mungkin menerawang jauh ke depan, atau mungkin mengingat masa lalunya. Entahlah aku tidak bisa menebaknya. Ku hanya mencoba menerka-nerka mungkin hatinya tergores oleh kejadian tadi pagi. Tentang beberapa pertanyaan yang tanpa mereka sadari sudah membuka luka. Dia coba untuk mengabaikan semuanya, tapi tampaknya kali ini luka itu tidak bisa lagi dia acuhkan. Sepertinya dia sedang berpikir apa yang akan dilakukan untuk ke depan nanti. Apakah mengikuti pertanyaan mereka? atau malah pura-pura tidak tahu lagi seperti yang selama ini dilakukannya. Rasanya ingin ku menghampirinya, tapi tidak jadi kulakukan. Biarkanlah dia mengambil keputusan sendiri. Ketika langkah kakiku akan pergi dari depan pintu kamar, suaranya menghentikanku.

"Mereka tidak mengerti semua yang terjadi!" katanya sambil terisak. Menahan tangis. Sadar akan adanya diriku yang dari tadi memperhatikan. Akhirnya kulangkahkan kakiku berjalan menujunya.

"Iya tidak apa-apa, seiring waktu akan datang masanya," kataku sambil memeluk Kak Flo untuk menenangkan hatinya.

Teringat lagi malam itu Kak Flo bercerita tentang masa kecilnya. Kenangan gelap yang tidak pernah aku tahu karena aku belum lahir. Dia bercerita tentang traumanya, melihat keadaan orang tua kami. Emosi mereka sering meledak-ledak. Hanya karena masalah sepeleh yang kadang biasa dilakukan oleh anak kecil. Hampir tiap hari kak Flo harus melihat ibu dan ayah bertengkar, saling memukuli dan mencaci maki. Kejadian itu terus menghantuinya, membuat rasa takut untuk menikah.

Ku bayangi betapa perihnya Kak Flo dulu, andai bisa aku menggantikan posisinya. Mungkin sekarang dia tidak akan menyimpan luka. Kak Flo selalu memfokuskan diri pada akademiknya. Dia terbiasa mengerjakan tugas sekolah sendiri. Dia takut jika harus di bentak oleh ayah dan ibu. Selalu merasa nyaman di dalam kamar, hanya berkutat dengan semua buku yang ia pelajari. Terbiasa dengan menutup telinga dan menangis sendirian di dalam kamar.

Sampai sekarang usianya menginjak angka 30 tahun, dia masih mengingat orang tua kami dulu yang saling membenci. Walau tidak ada perceraian di antara mereka. Hingga sekarang masih bersama, tapi satu hal yang tidak pernah mereka tahu. Kak Flo tidak pernah melupakan masa itu. Masa kelam yang dia pernah di tunjuk dengan pisau di depan mata. Meja pernah di banting hampir ke tubuhnya karena amarah ayah. Malam-malam yang seharusnya tidur nyenyak, tapi harus berlari keluar rumah karena semua barang hancur di banting ibu dan ayah. Kak Flo menangis. Tapi ayah dan ibu tidak peduli. Mereka sibuk saling membentak satu sama lain. Tetangga juga tidak berani ikut campur urusan keluarga. Akhirnya Kak Flo menangis sendiri.

Saat jam pulang sekolah Kak Flo pelan-pelan pulang kerumah berharap tidak ada kekacauan, tapi hari itu ibu memberikan cabai kemulutnya. Melampiaskan kemarahan karena baru saja bertengkar dengan ayah. Padahal dia hanya anak kecil yang merengek kelaparan ingin makan nasi, tapi Kak Flo kecil tidak mengerti bahwa kondisi ibu sedang tidak baik. Karena ayah yang di fitnah selingkuh dengan wanita lain. Kak Flo menangis terus menjerit kepedasan. Dengan iba ibu membersihkan mulutnya, tapi setelah itu ibu pergi ke kamar menangis. Kak Flo terus menangis menahan pedas yang masih terasa. Dia menghadapi itu sendirian lagi. Menangis sendirian lagi. Di kamar lagi.

Ketika lagi makan bersama. Kak Flo kecil tidak mengerti apa yang ayah dan ibu bincangkan, tiba-tiba ayah marah dan menarik taplak meja sehingga membuat semua makanan jatuh ke lantai. Kak Flo kecil menangis takut melihat semua itu. Tapi ibu berlari mengurung diri di kamar, dan ayah keluar rumah dengan motornya. Kak Flo menangis lagi. Tidak ada yang menghiburnya. Sendirian lagi. Tidak mengerti lagi. Mengurung diri di kamar lagi. Sampai rasa takut terus datang. Dia hanya akan keluar kamar jika di perlukan. Untuk ukuran anak di bawah umur sepuluh tahun. Kak Flo tumbuh dengan rasa takut dan sakit yang terus tertanam.

Aku menangis membayangi dia bertahan. Serangan psikologis yang diterimanya membuat aku mendengar ceritanya juga terluka. Aku protes dalam diam. Masa kecil itu harusnya di isi dengan cerita manjanya bersama ayah dan ibu. Kenangan yang di penuhi kasih sayang dari ibu. Merasakan hangatnya penjagaan dari seorang ayah. Perhatian yang terbentuk hasil dari buah cinta mereka. Harusnya dia di ajarkan caranya mengerjakan tugas. Di antar jemput sekolah. Di peluk hangat saat menangis karena ketakutan. Dan 10 tahun dari masa kecilnya. Hanya Luka-luka itu yang diingatannya. Rasa sakit itu masih terus membekas.

Walau pada akhirnya itu semua hanya lah emosi sesaat kedua orangtua ku saja, karena menurut mereka bahwa mereka masih labil, dan belum punya banyak bekal untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi mereka tidak sadar bahwa luka itu mempengaruhi masa depan anaknya. Sesaat setelah aku lahir, ibu dan ayah menjadi dewasa tidak ada lagi kata labil di rumah tangga mereka, tidak ada lagi pernikahan muda bagi mereka, belajar dari kesalahan yang lalu membuat mereka membesarkan aku dengan penuh cinta.

Tidak jarang ibu bertanya pada Kak Flo kenapa tidak pernah membawa teman laki-laki kerumah?" dan berbagai alasanpun di utarakannya. Perih rasanya ketika banyak yang bertanya padanya "Kapan akan menikah?" , "Kapan akan ngundang?" Pertanyaan yang selalu membuat dia menghindar dari acara keluarga besar.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro