Ungkapan Cinta
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ungkapan cinta selayaknya diperuntukan pada ia yang sudah halal dan diikat dalam sebuah pernikahan, bukan malah sebaliknya."
Ghina menghela napas panjang saat melihat sang putri yang sibuk menangis dengan bekas tisu berserakan di lantai. Ingin rasanya mengomel dan memarahi, tapi ia tak sampai hati untuk semakin membuat kacau perasaan sang putri. Hari ini kesabarannya sangat diuji, masalah si sulung, dan sekarang ditambah dengan si bungsu, hanya si tengah saja yang tak pernah membuat ulah.
"Kenapa?" tanyanya lembut dan memilih untuk duduk di hadapan Ama.
"Guntur, Bunda," adunya dengan sesekali terisak.
"Iya, kenapa lagi sama Guntur?" Ia mengelus dada penuh kesabaran, menghadapi si bungsu memang harus bermental baja dan pandai menahan gejolak emosi.
"Hiks ... hiks ... Guntur PHP-in Ama, kemarin Guntur nyuruh Ama nunggu tapi tadi lain lagi," katanya.
Ghina mengukir senyum tipis menenangkan. "Ayah sama Bunda kan udah ngingetin kamu, kalau jangan terlalu percaya dan menaruh banyak harap. Kecewa, kan sekarang?"
Ama mencebik tak suka. "Bunda kok malah nyalahin Ama sih!"
Ghina menggeleng dan mengelus puncak kepala sang putri penuh kelembutan. "Kalau jodoh gak akan ke mana, lebih baik sekarang kamu fokus kuliah dulu aja."
Gadis itu terdiam, ia tak lagi bisa menyangkal. Perkataan bundanya cukup menohok hati dan perasaan, seharusnya ia memang fokus pada pendidikan, bukan malah sibuk mengurusi soal percintaan.
"Sebagai perempuan kamu harus pandai menjaga diri dan jangan mudah baper karena perhatian kecil yang laki-laki berikan. Itu semua palsu dan omong kosong, agar kamu masuk ke dalam perangkapnya. Kamu paham, kan?" tuturnya yang langsung mendapatkan gelengan bingung dari sang putri.
Ghina terkekeh sebelum akhirnya berujar, "Ya udah gak usah kamu pikirkan, pesan Bunda hanya satu, kamu harus bisa menjaga pergaulan dengan yang bukan mahrom. Batasi, jangan terlalu dekat."
Gadis itu hanya mengangguk saja. "Tadi Guntur omelin Ama gara-gara Ama hujan-hujanan," adunya dengan mata mengedip gemas.
"Bunda juga sering omelin kamu soal itu," sahutnya yang langsung sang putri balas dengkusan.
"Beda, Bunda!"
"Apanya yang beda, hm?"
"Kalau sama Guntur Ama kesel, tapi kalau sama Bunda malah biasa aja," ucapnya.
Ghina menggeleng beberapa kali. "Udah ah jangan bahas Guntur terus. Bisa gagal move on kamu."
Ama mencebik tak suka. "Ama gak mau move on dari Guntur, Bunda."
"Tadi katanya Guntur jahat, sekarang Bunda suruh move on aja gak mau. Gak konsisten kamu mah," protes Ghina.
"Ama kan sayang Guntur, Bunda."
Ghina hanya diam dan melihat mata sang putri yang berbinar terang kala menceritakan perihal lelaki bernama Guntur tersebut. Sebagai seorang ibu ia sudah sangat tahu bahwa putrinya itu memang tengah terkena virus merah jambu.
Namun ia tak ingin putrinya terlalu mengagungkan kata cinta pada sang lawan jenis. Ia takut Ama akan bernasib sama seperti Humairah—mantan kekasih sang putra yang termakan janji-janji semu tak bermakna—
"Kuliahnya gimana? Tadi pulang sama siapa?" tanya Ghina mengalihkan pembicaraan.
Senyum gadis itu mengembang sempurna. "Ama dianter Guntur, Bunda," beritahunya terlihat sangat bahagia.
"Tapi tadi Guntur marahin Ama gara-gara Ama ngobrol sama si cowok modus," imbuhnya dengan raut wajah yang berbanding terbalik dengan tadi.
"Cowok modus?"
Ama mengangguk semangat. "Cowok modus itu minta nomor hape Ama, tapi pake alasan hapenya hilang dan minta Ama buat misscall-in. Tapi tahunya hape cowok itu ada dalam tas, gak ilang. Nyebelin banget tahu gak sih, Bun!"
Ghina tertawa pelan. Anak muda zaman sekarang modusnya aneh-aneh saja. "Ya udah buka simcard-nya besok Bunda belikan yang baru," pintanya.
"Jangan dibuang, nomor temen-temen Ama di sana semua," tolak Ama tak ingin mematuhi perintah sang bunda.
"Copot untuk sementara waktu aja," sanggah Ghina. Ia khawatir putrinya akan menjalin komunikasi dengan pria modus tersebut.
Ama mengangguk tak rela, ia mengambil gawai di laci beserta alat untuk membukanya. "Janji yah Bunda, jangan dibuang."
"Iya," jawab Ghina seraya mengambil alih simcard yang putrinya serahkan.
Sebuah ide nakal menghinggapi kepala, senyum kecil terpatri apik di sana. "Istirahat sana, besok kuliah pagi. Gak usah bareng Guntur lagi, sama Bang Gilang aja."
Gadis itu tak menjawab. Sepertinya mulai detik ini ia harus terbiasa hidup tanpa kehadiran sang sahabat. Ayah dan bundanya sangat membatasi gerak ia untuk bertemu dengan Guntur.
Ghina turun dari ranjang, mengecup pelipis sang putri, menyelimuti tubuh Ama hingga sebatas dada, dan mematikan lampu kamar hingga temaram menyisakan lampu tidur saja.
Selepas kepergian sang bunda Ama langsung menyingkirkan selimut dan kembali menghidupkan lampu kamar. Rasa kantuk belum datang, dan ia ingin sedikit bermain-main di atas papan ketik.
Suasana hatinya sedang kacau tak keruan dan cara untuk membangun mood agar kembali hanya dengan berkawan aksara. Tangannya begitu lincah menghidupkan CPU, dan tak lama dari itu layar monitor sudah menyala dengan terang.
Guntur VS Hujan
Melepas adalah hal yang sangat tidak kuinginkan, tapi jika itu sudah menjadi sebuah ketetapan, aku tak lagi bisa memaksakan keadaan.
Mungkin memang benar, bahwa hujan dan guntur diciptakan hanya untuk menjadi kawan, bukan pasangan.
Sakit memang,
Tapi apa daya jika tangan Tuhan tak sampai untuk mengabulkan. Untuk saat ini kita hanya sebatas teman tanpa kepastian.
Ama menyudahi kegiatannya, ia hanya bisa menulis sekitar tiga paragraf saja. Perkataan Guntur tadi pagi sungguh sangat menyita pikiran dan hati.
"Ya udah kita jalani dulu aja, untuk ke depannya kita pikirin nanti lagi."
Kalimat itu sangat ambigu dan tak jelas. Sangat memberatkan Ama yang memang tak ingin terlibat hubungan tanpa kejelasan. Tapi hatinya bersorak meng'iya'kan, bahwa setiap penuturan Guntur pasti akan bisa dipertanggungjawabkan.
Hati manusia memang mudah luluh dan hancur, hanya karena manisnya sebuah janji dan tawaran saja sudah berhasil membutakan akal pikiran. Seharusnya ia lebih bisa me-manage ihwal perasannya agar tak terjerumus pada kedukaan yang sewaktu-waktu bisa saja datang tanpa undangan.
"Ama gak mau kehilangan Guntur, tapi Ama juga bingung kalau harus nunggu Guntur terlalu lama," monolognya dengan tangan terlipat di atas meja.
"Ayah sama Bunda gak bolehin Ama nikah muda, lamaran Guntur juga ditolak mentah-mentah sama Ayah. Ama pusing!"
Gadis itu terus saja bergelung dengan kemelut hati yang tak kunjung usai dirasai. Kepalanya terasa pening bukan main, ternyata jatuh cinta tak seindah bayangan dan perkiraan.
Ia mengangkat kepalanya saat mendapati suara deringan dari gawai yang berada di nakas, dengan cepat ia pun bergerak untuk mengambilnya.
Nama Guntur tertera di sana. Lelaki itu memang tahu saja jika Ama sedang memikirkannya, tanpa banyak pikir panjang lagi Ama langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Kok nomor yang biasa gak aktif, Ma?" Kalimat tanya itu langsung menyapa rungu Ama.
"Dicopot sama Bunda, mau ganti yang baru," sahutnya memberitahu.
Di seberang sana Guntur hanya manggut-manggut saja. "Besok aku jemput yah, tunggu depan gerbang aja kaya biasa."
Refleks Ama pun menggeleng cepat. "Gak usah, kata Bunda besok Ama dianter Bang Gilang aja."
"Kamu masih marah soal tadi pagi?" Ada nada cemas dan intonasi rendah penuh rasa bersalah di sana.
"Aku gak ada maksud buat PHP-in kamu, apalagi mainin kamu. Aku cuma gak mau buat Om Ghani ilang respect sama aku gara-gara terus ngejar kamu. Itu akan buat aku semakin susah dapetin restu," terangnya berharap Ama bisa mengerti dan memahami.
"Iya Ama ngerti kok, tadi Ama cuma kesel aja sama Guntur. Kesannya Guntur gak mau perjuangin Ama lagi."
Terdengar helaan napas berat di sana. "Kamu jangan berpikiran kaya gitu, aku akan terus berusaha buat kamu. Aku cinta sama kamu, Ma."
Ama menggigit bibir bagian dalam, gugup. Ungkapan cinta yang Guntur layangkan sangat berdampak buruk pada kesehatan jantungnya. Ia takut perasaan itu semakin bertumbuh kembang menjadi besar.
"Ama juga sayang Guntur."
Setelahnya gadis itu langsung mematikan sambungan telepon dan berlari ke arah pembaringan. Ia membanting tubuhnya serta tidur terlentang dengan senyum mengembang. Guntur memang selalu berhasil membuat ia berbunga-bunga dan jatuh cinta.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro