Perbincangan Serius
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ta'aruf yang sesuai dengan syariat tidak hanya melibatkan sepasang insan saja, akan tetapi selalu menghadirkan orang ketiga sebagai penengahnya."
Jangan pernah mau jika dipinta untuk menunggu, terlebih jika yang dinanti adalah sesuatu yang belum pasti. Tak usahlah terlalu banyak berangan dan berkhayal akan kisah indah di masa depan yang tak pernah diketahui, sebab kita tak memiliki kemampuan untuk menerawang garis takdir yang sudah Allah tetapkan.
"Coba liat dan baca dulu CV-nya," bujuk sang ayah pada Ama yang sedari tadi malah bungkam tanpa kata.
Gadis itu hanya melirik sinis sang ayah. Ia tidak suka, dan tidak akan pernah tertarik untuk membaca berkas tersebut. Hanya membuang-buang waktu saja.
"Jangan mengharapkan dia yang belum tentu jadi jodoh kamu. Ada yang jelas kamu malah terjebak sama yang gak jelas. Ayah gak ngerti sama jalan pikiran kamu," ungkap Ghani sedikit tegas.
"Ama gak ngarepin siapa-siapa, tapi Ama emang gak mau aja. Ayah jangan maksa Ama dong," sahutnya kesal.
Sudah seminggu semenjak pertemuannya dengan lelaki modus yang memberikan CV ta'aruf, dan selama itu pula sang ayah terus mendesaknya untuk membaca berkas tersebut.
"Ayah gak maksa, Ayah cuma mau kamu baca dulu CV-nya. Jangan berpikiran macam-macam, bisa? Ayah gak akan maksa kamu buat nikah ataupun terima ajakan ta'aruf dari dia. Gak sama sekali, tapi seenggaknya kamu bisa menghargai usaha dia yang berniat baik un-"
"Stop! Ama baca sekarang," potongnya cepat. Ia tak ingin terus menerus mendengar ocehan sang ayah yang tak pernah lelah mempromosikan lelaki bernama Hadad tersebut. Kupingnya panas dan pengang.
Ghani tersenyum lega, dengan segera ia pun menyerahkan berkas yang dipegangnya pada sang putri. Ama hanya membaca sekilas, antara niat tak niat. Yang jelas isi dari CV tersebut terkait Hadad, dari mulai data diri lengkap, kepribadian, gambaran fisik, keseharian, riwayat pendidikan, pekerjaan, acuan akidah dan mazhab, hingga visi dan misi menikah. Tapi Ama malas, ia hanya membolak-baliknya saja.
"Udah, Ama gak minat!" putusnya yang langsung dihadiahi helaan napas berat sang ayah.
"Baca yang bener dan teliti, jangan asal kaya gitu. Jangan ngakalin Ayah yah, Ma," tegur Ghani tegas, hal itu membuat rasa dongkol Ama bertambah berkali-kali lipat.
Ama bangkit dari duduknya. "Ama gak suka dipaksa. Ama gak mau!" Ia langsung berjalan cepat menuju kamar, meninggalkan sang ayah yang terlihat tengah duduk frustrasi seorang diri.
Ghina yang baru kembali dari dapur langsung meletakkan secangkir kopi di meja. "Jangan terlalu mendesak Ama, Mas," pintanya pada sang suami.
Ghani tersenyum tipis, ia mengambil kopi dan meminumnya sekitar dua tegukan. "Mas gak maksa, tapi Mas cuma mau Ama melupakan Guntur. Dan mungkin Hadad adalah orang yang tepat untuk menggantikan posisi Guntur."
Ghina menghela napas sejenak. "Mas baru bertemu dia satu kali, kenapa Mas bisa seyakin itu. Sedangkan Guntur yang sudah kita kenal lama dan tahu betul latar belakangnya Mas tolak begitu saja?"
Ghani tersenyum samar, ia mengelus punggung tangan sang istri lembut. "Guntur dan Hadad beda. Guntur terlalu berbelit-belit, dia gak bisa konsisten sama keputusannya sendiri. Masih labil, belum lagi dia gampang banget pegang-pegang Ama, meskipun hanya sebatas gandengan. Mas gak bisa lepas Ama sama lelaki seperti itu. Di depan kita saja Guntur berani melakukan kontak fisik, apa kabar saat di belakang kita?"
Sebagai seorang ayah ia menginginkan yang terbaik, salah satunya dengan melepas sang putri pada lelaki yang tepat. Lelaki yang memang bisa menjaga dan juga bertanggung jawab. Bukan hanya bermodalkan napsu dan mengatasnamakan cinta belaka.
Belum lagi Guntur selalu meminta sang putri untuk menunggu, ia sangat tak suka pada lelaki seperti itu. Jika memang belum siap untuk menikahi, ya sudah pergi dan jangan pernah meninggalkan banyak harap serta janji.
Lain halnya dengan Hadad, di pertemuan pertama pemuda itu sudah berhasil menarik perhatiannya. Sigap dan begitu tegas dalam memutuskan sesuatu untuk masa depan. Ia suka dengan cara Hadad yang frontal dan langsung mengajak sang putri ber-ta'aruf. Jelas, lugas, serta tegas.
"Kita adakan nadzar terlebih dahulu untuk menggali informasi terkait Hadad dan juga latar belakang keluarganya," saran Ghina yang langsung Ghani angguki.
Nadzar adalah melihat calon pasangan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk lebih bisa mengenali satu sama lain. Baik antara pihak laki-laki maupun perempuan, keduanya berhak untuk bertemu serta menggali informasi secara detail dan menyeluruh terkait pasangan masing-masing.
Nadzar bisa dilakukan dengan datang ke rumah calon wanita. Tentunya ketika nadzar calon pasangan harus didampingi oleh pihak ketiga. Sebab dalam ta'aruf tidak diperkenankan untuk bertemu hanya berdua-duaan saja, harus selalu didampingi wali dari dua belah pihak.
Al-Mughirah bin Syu'bah pernah meminang seorang wanita, maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pun berkata, "Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta kasih) antara kalian berdua[1]."
"Mas akan hubungi Hadad, dan memintanya untuk datang kemari. Kamu urus Ama dan kasih dia pengertian," ucapnya pada sang istri.
"Apa ini gak terlalu cepat? Ama masih kuliah, Gilang dan juga Ghilsa belum ada tanda-tanda untuk menikah," ungkap Ghina sedikit cemas.
Ghani tersenyum menenangkan. "Untuk Gilang kita harus mempersiapkan kemampuan finansial, mental, dan juga imannya, sebab dia akan menjadi seorang imam. Kalau memang sudah siap dan calonnya sudah ada, kita bisa langsung meminta Gilang untuk segera meminang."
Dari pengalaman terdahulu ia banyak belajar, di mana ia harus benar-benar selektif dalam menjaga putra dan juga putrinya. Terlebih si bungsu yang memang perlu pengawasan ekstra, ia telah kecolongan satu kali dan ia tak ingin hal itu terulang lagi.
Oleh karena itulah, jika memang Ama sudah siap serta calonnya pun sudah ada ia akan lebih memilih untuk segera menikahkannya. Lain hal dengan Ghilsa, ia ingin sedikit lebih mendekat pada sang putri pertama sebelum akhirnya melepas Ghilsa pada lelaki yang tepat serta mau menerima sang putri apa adanya.
"Untuk Ghilsa, Mas gak akan terburu-buru menikahkan dia. Mas ingin kita lebih bisa menjaga interaksi dan komunikasi, agar hubungan di antara kita semakin rukun. Terlebih masa lalu Ghilsa yang pasti akan menyulitkan kita untuk mencarikan dia calon pendamping. Biarkan dia memperbaiki dirinya terlebih dahulu, memantaskan dirinya agar tak kembali mengulangi kesalahan di masa lalu," terang Ghani begitu mantap.
Ghina mengangguk setuju. Ia mempercayakan sepenuhnya pada sang suami, jika memang baik sebagai seorang istri ia hanya bisa mendukung. Dan lagi Ghina pun merasakan kecemasan yang sama seperti suaminya, selalu ada ketakutan yang membayangi.
Sepak terjang Ghilsa yang terkenal sangat pendiam, mampu menghancurkan segala kepercayaan yang selama ini diberikan. Lantas apa kabar dengan Ama? Gadis itu tak bisa menjaga dirinya sendiri, terlebih jika tengah bersama Guntur. Wajar jika mereka mengkhawatirkan hal tersebut.
"Ama gak mau nikah muda!"
Teriak gadis itu histeris. Sedari tadi dirinya diam dan menguping, menyaksikan obrolan serius di antara sang ayah dan juga bunda.
Ghina dan Ghani saling berpandangan sebelum akhirnya mereka menghela napas secara berbarengan.
"Gak ada yang minta kamu buat nikah muda. Makanya kalau jadi anak yang sopan. Menguping itu salah satu perbuatan tercela, tidak diajarkan dalam agama!" sentak Ghani tegas.
"Ayah jahat!" Gadis itu menangis sesenggukan dan berlari kencang kembali masuk ke dalam kamar.
"Susul Ama," titahnya pada sang istri. Ghina mengangguk patuh dan segera melajukan tungkai ke arah kamar sang putri.
Sedangkan Ghani memijat pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Mendidik tiga anak yang tengah memasuki masa pendewasaan dan pencarian jati diri ternyata sangat menyulitkan.
Catatan Kaki :
[1]. (HR. Tirmidzi no. 1087)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro