Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Panggung Sandiwara

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Dunia ini layaknya sebuah panggung sandiwara, di mana menjadi ajang pamer kesempurnaan dan kebahagiaan saja. Seakan lupa bahwa semua ini bersifat fana, hanya sementara."

Ama memencet bel rumah milik keluarga Guntur dengan rusuh tak sabaran, bahkan ia pun berteriak-teriak seperti orang kesetanan. Volumenya sungguh di atas ambang batas wajar dan berhasil membuat siapa pun yang mendengar pengang tak ketulungan.

"Guntur ... Oh ... Guntur!"

Kakinya sudah pegal, tenggorokannya pun sudah terasa kering kerontang, tapi sang empu rumah belum kunjung menampakkan batang hidung.

"Guntur ngampus yuk!" teriaknya lagi dan kali ini lebih kencang dari sebelumnya.

Terdengar suara gembok yang terbuka, ia langsung berjingkrak kesenangan. Namun senyumnya seketika sirna saat Hasnalah yang menyapa netra.

"Gunturnya ada, Tante?" tanyanya celangak-celinguk mencari keberadaan sang sahabat.

"Sudah berangkat dari tadi, memangnya Guntur gak bilang sama Ama gitu?"

Gadis itu menggeleng polos dan menggigit kukunya yang panjang karena belum dipotong. "Kok Guntur jahat sih malah ninggalin Ama," katanya.

Hasna tersenyum ramah dan mengelus puncak kepala putri dari sahabatnya itu. "Tadi Guntur berangkat pake motor, Ama kan gak suka kalau naik motor. Mungkin itu alasan kenapa Guntur gak jemput Ama."

"Ish, kok sekarang Guntur jadi nyebelin sih kaya Bang Gilang. Sukanya ninggalin Ama," rajuknya yang Hasna hadiahi kekehan.

"Ya udah bareng sama Om Hasan aja gih, sekalian berangkat ngantor," cetus Hasna berharap mood Ama bisa sedikit lebih baik.

"Enggak usah, makasih Tante, assalamualaikum," tolaknya dan langsung melesat pergi setelah mencium punggung tangan ibu dari sahabatnya itu.

Hasna menggeleng beberapa kali melihat tingkah polah Ama yang masih seperti anak-anak. Pantas saja Ghani belum bisa melepas sang putri untuk berumah tangga. Bisa dipastikan bahwa gadis manja itu tak bisa mengurus rumah dan calon suaminya kelak.

"Wa'alaikumusalam," jawabnya setelah punggung gadis itu mulai menjauh pergi. Ia bergegas untuk kembali ke dalam guna melayani segala kebutuhan sang suami yang akan berangkat bekerja.

Ama berjalan dengan tergesa menuju ke rumah, sesekali ia menendang apa pun yang menghalangi langkahnya. Pagi-pagi ia sudah dibuat dongkol dan kesal, yang pertama disebabkan oleh sang kakak dan yang kedua dikarenakan oleh sahabat kecilnya.

"Ama gak mau kuliah!" katanya setelah berhasil memasuki rumah dan duduk di sofa sebelah sang bunda yang tengah menyidang si sulung.

"Kenapa?" Kalimat tanya itu dibarengi dengan elusan lembut di puncak kepalanya.

"Guntur ninggalin Ama, Bunda, Guntur jahatin Ama," adunya manja dan melesak dalam pelukan sang ibu.

Ghina mengelus punggung sang putri penuh sayang. "Diantar sama Bang Gilang yah, masa gak kuliah sih. Kalau Ayah marah gimana?"

Gadis itu mendongak dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. "Ayah gak boleh marahin Ama. Titik gak pake koma!"

Ghina tertawa renyah dibuatnya, ia mengecup salah satu pipi sang putri bungsu. "Ya udah kalau gitu berangkat kuliah."

"Males, Bunda!"

Ghina menggeleng tak suka. "Jangan seperti ini dong, Ama harus bersyukur karena Ayah sama Bunda masih mampu untuk membiayai kuliah Ama. Berapa banyak orang di luar sana yang ingin kuliah tapi terhalang biaya, kuliah yah," bujuknya lembut.

Ama mengangguk patuh. "Mau kuliah, tapi gak mau dianter Bang Gilang," katanya memohon.

"Lagian siapa juga yang mau anterin kamu, males banget!" ujar Gilang masih sedikit sebal dan dongkol pada sang adik.

"Bang Gilang makin hari makin nyebelin aja sih. Ama gak suka punya kakak kaya Bang Gilang."

Kepala Ghina rasanya mau pecah seketika. Si sulung dan si bungsu memang seperti tikus dan kucing yang tak pernah bisa akur, lain halnya dengan Ghilsa yang calem serta tak suka banyak bicara dan mendebat.

"Berangkat sama Mbak yuk, tapi naik angkutan umum," suara Ghilsa tiba-tiba saja mengambil fokus semuanya.

"Ish, gak mau. Panas, sempit, mana desak-desakkan lagi." Ama langsung menolaknya mentah-mentah.

Gilsha berdecak pelan. "Namanya juga angkutan umum," sahutnya datar.

"Gilsha pamit dulu, Bun assalamualaikum," imbuhnya seraya mencium punggung tangan sang ibu serta sang kakak bergantian.

Ia tak menempuh pendidikan tinggi seperti kakak dan adiknya, ia lebih memilih untuk bekerja di salah satu toko pakaian muslimah. Tak ada sedikit pun selera untuk melanjutkan kuliah, ia hanya ingin bisa berpenghasilan sendiri dan tak mau lagi membebani orangtuanya.

"Wa'alaikumusalam, hati-hati," kata Ghina setelah memberikan beberapa kecupan di wajah sang putri.

Gilsha mengangguk dan tersenyum tipis, ia pun menurunkan kaki dan meninggalkan mereka bertiga dalam keheningan.

"Antar adik kamu ke kampus, awas kalau curi-curi kesempatan dan malah pacaran."

Perintah itu Ghina layangkan pada si sulung, Ama jelas tak terima, ia langsung menyela, "Gak mau, Bunda!"

"Turutin Bunda untuk kali ini aja, bisa?" tegasnya yang langsung membuat nyali Ama menciut.

Ia pun mengangguk pasrah. Jika sang bunda sudah berkata tegas seperti itu, tak ada cara lain lagi untuk menyanggah.

"Anterin Ama sampai gerbang kampus, kalau sampai diturunin di pinggir jalan," ia seakan sengaja menggantung kalimatnya agar membuat si sulung ketar-ketir tak jelas, "uang jajan kamu Bunda potong!"

Tanpa banyak berpikir pun Gilang langsung mengangguk cepat. Jangan sampai uang jajannya raip, alamat tidak bisa menabung untuk modal nikah.

"Berangkat," titahnya.

Ama dan Gilang pun bergegas untuk berpamitan dan berjalan keluar. Sedangkan Ghina tepar di atas sofa, pagi-pagi sudah dibuat pusing oleh kelakuan anak-anaknya. Untung sayang, jika tidak, mungkin sudah ia jual.

"Bang Gilang joknya bisa gak sih diratain, gak enak banget tahu. Bikin sakit pinggang aja," protes Ama saat ia sudah duduk di jok penumpang.

"Baru juga naik udah banyak ngoceh. Kalau joknya rata Abang gak bisa modusin Aira," katanya yang Ama hadiahi pukulan di punggung.

"Ama laporin Bunda yah," ancamnya yang Gilang balas dengkusan kasar.

"Serah. Udah terlambat juga, Bunda udah tahu semuanya, syukur-syukur langsung dibawa ke KUA dan dimodalin buat gelar hajatan," cetusnya lantas menjalankan sepeda motor dengan tenang.

"Ya udah sana buruan nikah, biar Ama juga bisa cepet-cepet nikah sama Guntur," jawab Ama santai dan terdengar senang. Segala angan indah sudah mulai terangkai.

"Kuliah dulu yang bener, nikah mulu tuh otak isinya," semprot sang kakak tak suka. Semenjak acara lamaran gagal total itu pikiran Ama jadi dipenuhi banyak kehaluan akan indahnya sebuah pernikahan.

"Ama mau nikah muda kaya artis yang di tv, seru pasti yah," ocehnya dengan diiringi senyum tak jelas.

"Jangan kemakan berita di tv dan juga sosmed. Yang mereka perlihatkan itu hanya keindahan, kesempurnaan, dan juga kebahagiaannya aja. Untuk yang pahit dan kecutnya mereka telen berdua," tutur sang kakak mengingatkan.

"Bang Gilang kok sok tahu banget sih jadi orang!"

Gilang mendengkus kasar dan berujar, "Apa yang kita liat indah belum tentu pada kenyataannya seperti itu. Jangan ngarep dan banyak ngayal kalau nasib kamu juga akan kaya gitu. Para artis itu good looking, good finansial, pokoknya good semua. Sedangkan kita? Bedain dong, yang mana dunia nyata dan yang mana dunia fiksi belaka. Jangan baper mulu yang digedein teh."

"Ih sejak kapan coba Bang Gilang suka ceramahin Ama. Bang Gilang kesurupan apa?" Begitulah sahutan yang diberikan sang adik.

"Bukan ceramahin, tapi sekedar mengingatkan. Menikah itu bukan menyelesaikan masalah, yang ada malah nambah masalah. Kamu kira nikah muda mudah?"

"Gitu yah? Pantes Abang gak nikah-nikah. Abang, kan biang masalah. Kasian nanti Mbak Humairah kalau jadi istri Bang Gilang."

Motor yang Gilang kendarai langsung terhenti, ia memutar tubuhnya dan menonyor jidat sang adik. "Tuh mulut minta disekolahin lagi? Udah sukur ada yang ingetin, ini malah ngatain. Gak bersyukur banget kamu jadi manusia."

"Ih Abang mah sensi mulu sama Ama, padahal Ama ngomong jujur apa adanya. Kata Ayah kan kita gak boleh bohong, dosa, nanti dikasih julukan pendusta lagi di sisi Allah."

Sekelebat perkataan sang ayah begitu terngiang dalam benaknya, sebuah hadits yang melarang umat manusia untuk melakukan sebuah kebohongan. Sebab berkata dusta itu merupakan perbuatan tercela yang tidak dibenarkan, hanya menjerumuskan para pelakunya pada lubang kesesatan, neraka.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong).’” [1]

"Serahhhh!"


NB:

[1]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (I/384); al-Bukhari (no. 6094) dan dalam kitab al-Adabul Mufrad (no. 386); Muslim (no. 2607 (105)); Abu Dawud (no. 4989); At-Tirmidzi (no. 1971); Ibnu Abi Syaibah dalam  al-Mushannaf (VIII/424-425, no. 25991); Ibnu Hibban (no. 272-273-at-Ta’liqatul Hisan); Al-Baihaqi (X/196); Al-Baghawi (no. 3574); At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro