Nadzar
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika sudah sama-sama menerima, menikah muda adalah keputusan yang harus disegerakan."
Ta'aruf diserap dari bahasa Arab, ta’arafa atau yata’arafu yang artinya saling mengenal. Pada praktiknya ta'aruf adalah proses yang dilakukan oleh dua orang yang ingin mengenal satu sama lain sebelum berlanjut ke jenjang pernikahan.
Tentunya atas bimbingan orang yang ahli di bidangnya ataupun melibatkan orang ketiga sebagai penengah, agar tak menimbulkan fitnah serta kegiatan ber-khalwat yang tidak sesuai syariat. Islam sudah mengarahkan setiap hamba-Nya untuk menjemput jodoh agar tak menyalahi aturan.
Bukan dengan pacaran, sebab dalam Islam tidak mengenal kata tersebut, ataupun mengatasnamakan ta'aruf tapi aktivitasnya mencakup kegiatan yang hanya menimbulkan banyak kemudharatan.
Pacaran umumnya lebih santai serta bebas, dan karena sifat itu pulalah, dikhawatirkan pacaran malah menjerumuskan ke arah maksiat.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jangan sampai kalian berdua-duaan dengan seorang wanita (yang bukan mahramnya), karena setan adalah orang ketiganya.[1]"
Sedangkan ta'aruf dilakukan dengan tetap menjaga syariat Islam ataupun adat masyarakat. Ber-ta'aruf harus didampingi oleh pihak ketiga yang berfungsi sebagai penghubung dan memastikan syariat tetap terjaga.
Orang yang melakukan ta'aruf biasanya lebih serius serta mempunyai persiapan yang cukup matang untuk menuju pernikahan. Dari tujuannya saja sudah jelas sangat berbeda, bukan?
Jangan pernah keliru dan menyamaratakan ta'aruf dengan pacaran, sebab keduanya sangat berlainan dan bertolak belakang. Jika memang tidak tahu menahu terkait proses ta'aruf yang sesuai syariat, cukup diam dan jangan banyak berkoar serta menunjukkan hal yang hanya akan menimbulkan banyak stigma buruk bermunculan.
Ghani sedikit terkejut kala menyambut kedatangan Hadad yang hanya didampingi seorang kepala desa setempat, lebih tepatnya Ghani pun mengenali sang kades yang juga merupakan pimpinan desa tempat tinggalnya.
"Silakan masuk," ujar Ghani setelah menjawab salam Hadad dan juga menyambut baik uluran tangan Hadad yang ingin menyalaminya.
Keduanya tersenyum dan mengangguk lantas duduk di ruang tamu yang tersedia, di sana sudah ada beberapa camilan serta minuman yang terhidang di meja.
"Sebelumnya perkenalkan saya Ahmad, bapak posko Nak Hadad selama KKN di sini. Nak Hadad meminta saya untuk mendampinginya kemari guna memenuhi undangan Pak Ghani," ujar Ahmad begitu ramah dan sangat kental akan logat Sunda.
Ghani mengangguk paham. Kebingungannya sedikit terjawab, ia pun baru mengetahui bahwa pemuda yang berniat ber-ta'aruf dengan sang putri tengah menjalani kegiatan KKN. Di dalam CV yang Hadad berikan tidak membahas perihal kegiatan kampus, pemuda itu hanya menerangkan sekilas saja bahwa dirinya masih kuliah semester 8.
"Maaf, Pak karena saya belum bisa membawa ayah dan ibu saya. Bukannya tidak ingin, hanya saja saya masih harus fokus pada kegiatan perkuliahan saya. Saya pun sedikit terkejut kala bapak mengundang saya untuk datang kemari. Saya kira tidak akan secepat ini," ujar Hadad menambahkan.
Ia tak ingin dianggap tak serius dalam menjalani proses ta'aruf ini. Oleh sebab itulah ia meminta sang bapak posko untuk mendampingi serta membantunya. Beruntung sang kepala desa bersedia, hal itu jelas membuatnya lega.
Ghani mengangguk maklum dan tersenyum. "Tak apa, saya meminta kamu untuk kemari hanya ingin ber-nadzar saja. Saling mengenal satu dan lainnya," sahut Ghani tak kalah ramah.
Perbincangan mereka terhenti kala Ghina dan juga Ama datang serta langsung duduk di sisi Ghani. Kepala gadis itu menunduk dalam, bahkan tangannya saling memilin resah. Rasa gugup seketika menyeruak dengan begitu hebat.
"Tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui dari putri saya," tutur Ghani mempersingkat waktu. Ia tak ingin membuat waktu Hadad terbuang percuma, sebab pemuda itu pasti memiliki banyak kegiatan terkait KKN-nya.
Hadad mengangguk singkat, ia sedikit mencuri pandang ke arah Ama yang sedari tadi diam menunduk lantas kembali menatap ke arah Ghani. "Apa Ghaitsa bersedia untuk menerima ajakan ta'aruf dari saya?"
Ama meneguk ludah dengan susah payah. Dadanya bergemuruh dengan begitu hebat, bahkan mata gadis itu berkeliaran ke mana-mana. Bibirnya kelu untuk mengeluarkan sepatah kata pun.
Ghina yang menyadari keresahan sang putri dengan lembut mengelus tangan Ama, memberikan gadis itu kekuatan dan keyakinan. Ama mendongak dan melirik sekilas ke arah sang ibu lantas melihat sekian detik pada Hadad lalu membuangnya lagi.
"Aa-a-ma gak bisa jawab sekarang," cicitnya dengan suara pelan, ia langsung menggigit bibir bagian dalamnya guna meredam gejolak dalam dada yang sudah bersorak tak tahu diri.
Haddad tersenyum kecil lantas kembali berujar, "Saya masih kuliah semester 8, saat ini saya sedang berjuang menyelesaikan tugas akhir. Terkait pekerjaan saya belum cukup mapan, hanya bekerja paruh waktu saja. Apa kamu tak keberatan jika saya mengajak kamu untuk menikah muda?"
Ama menahan napas sekian detik, jantungnya semakin berulah saja. Menikah muda? Ia saja masih berkuliah, dan parahnya lelaki yang hendak akan menghalalkannya pun sama, masih mengenyam pendidikan.
Ama melirik sang ayah yang malah terlihat mengukir senyum tipis. Hal itu jelas semakin membuat perasaannya ketar-ketir. "Ama bingung," jawabnya.
Ghani mengacak puncak kepala sang putri gemas. Jawaban yang diberikan putrinya sangatlah tidak berbobot sama sekali.
"Putri saya manja, ceroboh, pecicilan, tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, tidak berkawan dekat dengan perkakas dapur. Apa kamu yakin mau menikahi wanita seperti itu untuk dijadikan istri?" cetus Ghani membongkar habis kekurangan sang putri.
Ama mencebik sebal dan menatap horor sang ayah penuh permusuhan. Tidak ada orangtua yang berani menjelek-jelekkan anaknya, tapi yang dilakukan Ghani justru berlainan.
Hadad terkekeh pelan lantas berucap, "Saya bukan cari asisten rumah tangga, yang saya cari istri. Lagi pula niat saya menikah muda pun untuk membangun rumah tangga, bukan rumah makan. Saya tidak masalah dengan hal tersebut, mungkin saat ini Ghaitsa belum apik dalam hal tersebut, tapi jika memang Allah menjodohkan kami, In syaa Allah saya akan membimbing dan mengarahkannya."
Ama semakin resah dibuatnya, terlebih kala mendengar penuturan Hadad yang jujur saja membuat hatinya melayang terbang. Sekuat tenaga ia menahan agar tak menjerit karena terlalu bawa perasaan. Kalimat yang Hadad utarakan terlalu manis dan bermasalah untuk kesehatan Jantungnya.
"Finansial saya memang belum mapan, bahkan mungkin kurang. Tapi saya percaya bahwa Allah akan senantiasa memberikan rezeki dari sumber yang tidak disangka-sangka," timpal Hadad meyakinkan Ghani, bahwa dirinya benar-benar serius dan tak berniat untuk memainkan.
"Disegerakan saja, Pak, takutnya jika dibiarkan terlalu lama bisa menimbulkan kemudharatan dan menodai proses ta'aruf ini," saran Ahmad dengan sunggingan lebar.
Ghani menyambut antusias. "In syaa Allah jika putri saya mau menerimanya," sahut Ghani seraya melirik sang putri.
"Ayah!" dengkus Ama kesal. Namun respons yang Ghani berikan hanya terkekeh dan hal itu jelas disambut gelak tawa oleh semuanya.
"Bec—"
Perkataan Ghani menggantung di udara kala mendengar suara benda jatuh, tak jauh dari tempat mereka berkumpul. Sontak ia pun langsung bangkit dan menghampiri Ghilsa yang tengah berjongkok membereskan kekacauan yang dibuat.
"Maaf, Ayah, Ghilsa gak sengaja," katanya seraya memungut gawai yang sudah berserakan di lantai. Antara bodi, layar, dan baterai sudah tak terbentuk lagi.
"Gak papa, lain kali hati-hati. Gak enak sama tamu," bisik Ghani setelah keduanya berdiri dan menggiring Ghilsa agar ikut bergabung.
Namun kaki Ghilsa dibuat membatu dan tak bisa digerakkan kala melihat pemuda yang begitu ia kenal. Pemuda berkemeja kotak-kotak yang tengah terduduk di hadapannya mengingatkan ia pada seseorang.
Refleks tangannya langsung memeluk erat Ghani, meminta perlindungan. Ghani yang merasakan perubahan dalam diri sang putri dirundung kebingungan, terlebih kala melihat keringat dingin yang sudah mulai bercucuran.
Napas Ghilsa memburu dengan begitu cepat, ia menatap dengan pandangan berkaca-kaca pada Hadad dan setelahnya ia pun berkata, "Ghilsa gak setuju dia nikahin Ama. Ghilsa gak setuju!"
Perempuan itu berteriak histeris dan pergi dengan air mata bercucuran untuk kembali ke dalam kamar. Ketakutan dan kerapuhan menjadi satu, terlebih kala bayangan buruk masa lalu saling terbayang dalam pikiran.
Semua orang yang ada di sana terpaku tak mengerti, namun tidak dengan Hadad. Pemuda itu jelas sangat mengenal Ghilsa, ia tak menyangka bahwa dirinya kembali dipertemukan di sini.
"Saya permisi, Pak, assalamualaikum," pamit Hadad setelah sekian lama berkawan geming. Ia meminta sang kepala desa untuk segera mengikuti langkahnya.
"Wa-wa'alaikumussalam," jawab Ghani tergagap. Ia bingung, dirinya seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa.
Catatan Kaki :
[1]. HR. Ahmad
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro