Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mengungkap Isi Hati

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kelemahan wanita itu hanya satu, mudah termakan bujuk rayu mulut manis pria. Dan hal itu pulalah yang mendatangkan banyak rasa kecewa."

Bulan bersinar dengan begitu terang, bahkan ramainya bintang pun ikut menyemarakkan kegelapan. Suasana dan keadaan seakan mendukung dan memberikan angin segar bagi pemuda yang kini sudah berpakaian rapi serta sedikit formal.

Sebuah batik sarimbit yang senada dengan kedua orangtua sangat terlihat enak dipandang mata. Penampilan lelaki itu sangat berbeda jauh dan terlihat gagah serta tampan. Hal itu semakin terlihat sempurna kala sambutan baik ia dapatkan.

"Ada keperluan apa nih rombongan kemari?" tanya Ghani setelah cukup lama berkawan geming.

Sebenarnya ia sudah menangkap sinyal keseriusan, saat sang istri membicarakan perihal sahabat putrinya. Sebagai lelaki yang sudah lebih dulu menelan asam garam kehidupan, jelas ia sudah tahu maksud dari acara malam ini.

Guntur terlihat sedikit gelisah kala beradu tatap dengan ayah dari sahabatnya, padahal ia sudah sangat sering bertemu. Tapi kali ini sangat terasa lain serta ada sesuatu yang mengganjal hati.

"Melamar, Om."

Setelah menyiapkan mental dan berusaha untuk menenangkan gejolak dalam diri, ia pun bisa dengan lancar mengutarakan maksud isi hati.

"Melamar Om? Saya sudah beristri, belum lagi saya tak suka laki-laki," sahut Ghani yang jujur saja membuat Guntur semakin dirundung kegugupan.

"Maksud Guntur ingin melamar Ama untuk dijadikan istrinya, Bang," sela Hasan, yang tak lain bergelar sebagai ayahnya.

"Punya apa kamu sampai berani melamar putri saya?" tanya Ghani tegas dan lugas.

Ia takkan sembarangan memberikan putri bungsunya. Ia harus memastikan terlebih dahulu, apakah lelaki itu layak untuk dijadikan sebagai mantu?

Meskipun ia sudah mengenal dekat keluarga Guntur, tapi hal itu tak lantas membuatnya dengan mudah memberikan restu. Jangan harap lolos seleksi jika tak dapat menjawab secara sempurna pertanyaannya.

Ditanya seperti itu jelas membuat nyali Guntur merosot ke dasar jurang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan.

"Apa kamu yakin akan bisa membahagiakan putri saya?" cerca Ghani semakin menjadi.

Guntur menunduk dan melirik sekilas ke arah sang ibu, dan hal itu langsung disambut senyum tipis menenangkan. Tak ketinggalan elusan lembut pun diberikan Hasna pada sang putra.

"Apa kamu mencintai putri saya?"

Untuk pertanyaan kali ini langsung dijawab lugas, tegas, serta cepat oleh Guntur. Pemuda itu mengangguk singkat. "Iya, Om."

"Dasar anak muda. Ditanya soal kesiapan mental dan finansial menciut, tapi giliran ditanya soal hati langsung semangat. Apa dengan cinta kamu bisa membahagiakan putri saya?" sahut Ghani terdengar mengerikan di telinga Guntur.

"Panggil Ama," titahnya pada sang istri. Ghina mengangguk patuh dan bergegas ke kamar sang putri.

"Menikah itu perlu persiapan mental, finansial, dan juga iman. Kalau kamu gak bisa memberikan tiga hal it—"

"Ayah." Perkataan Ghani menggantung di udara kala suara lembut sang putri—yang tengah berdiri gelisah dalam pelukan sang bunda—mulai mendominasi.

Ghani bangkit dan membawa sang putri untuk duduk berdampingan dengannya. "Apa kamu akan menerima pinangan Guntur?" tanya Ghani langsung pada intinya.

Ama langsung menunduk dalam, ia masih mempertimbangkan bahkan mungkin belum bisa memberi jawabannya sekarang.

Ghina mengelus punggung tangan sang suami agar sedikit lebih tenang. Suaminya itu memang sangat tegas serta tak bisa diajak kompromi jika membahas perihal masa depan anak-anak, sebab itu sudah menjadi harga mati yang tak lagi bisa ditawar-tawar.

"Jawab Ayah, Ama."

Gadis itu mendongak dengan mata yang sudah mulai berembun, ia tak biasa dibentak dengan nada setinggi itu. Ia takut.

"Ama bingung, Ayah," cicitnya dengan diiringi dentingan air mata.

Ghani menghela napas berat, ia menatap lekat pemuda di depannya yang tengah sibuk melihat ke arah sang putri.

"Guntur," panggil Ghani pelan namun sangat menusuk dan membuat pemuda itu panas dingin.

Guntur berusaha untuk memfokuskan mata agar melihat ke arah ayah dari sahabatnya. "Jika Om merestui, aku akan berusaha untuk membahagiakan Ama. Dari segi finansial mungkin aku belum mampu, tapi In syaa Allah atas izin-Nya aku akan mengusahakan yang terbaik."

"Berapa usia kamu?" tanyanya.

"20 kurang," jawab Guntur.

"Yakin?"

"20 kurang 10 bulan, Om," tutur Guntur meluruskan.

"Kenapa gak bilang 19 tahun lebih 2 bulan?"

Guntur menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Niatnya ingin terlihat dewasa karena mengaku berusia 20an. Namun nyatanya malah senjata makan tuan, jelas-jelas Ghani tahu betul berapa usia pemuda di depannya. Hanya selisih satu bulan saja dengan sang putri.

"Sudah punya modal apa sampai kamu berani datang kemari?" Ghani masih belum puas akan jawaban yang telah diberikan oleh Guntur.

"Niat, tekad, dan kemauan," sahutnya berharap itu adalah jawaban yang bisa mendatangkan restu dari sang calon ayah mertua.

"Apa kamu tahu kalau Ama masih memiliki dua orang kakak?"

Guntur mengangguk pasti. Jelas ia mengetahuinya, bahkan ia sangat berkawan dekat dengan kakak pertama Ama yang merupakan seniornya di kampus.

"Ama tidak akan menikah sebelum dua kakaknya menikah lebih dulu. Kamu paham kan maksud saya?"

"Lamaran aku ditolak, Om?"

Anggukan singkat Ghani berikan. Hal itu jelas langsung membuat hati Guntur hancur berkeping-keping.

Ia kira akan dengan mudah mendapatkan restu, terlebih hubungan keluarga mereka yang sangat dekat. Namun ternyata hal itu tak banyak membantu, bahkan orangtuanya saja malah diam membisu tak membela.

"Usia kalian masih terlalu muda untuk membina sebuah keluarga. Datanglah lagi jika kamu sudah benar-benar siap serta bisa membuktikan kesungguhan kamu."

"Apa tidak bisa dipikirkan terlebih dahulu, Bang?" tanya Hasan, ia iba saat melihat wajah lesu yang putranya pancarkan.

Padahal tadi sebelum berangkat, sang putra sangat bersemangat dan begitu yakin lamarannya akan diterima. Namun ternyata ekspektasi tak seindah realitas.

Ghani menggeleng tegas. "Untuk urusan masa depan anak-anak, saya tidak bisa sembarangan. Saya belum bisa melihat kesungguhan dari putra kamu."

Sebagai seorang ayah Ghani jelas menginginkan yang terbaik untuk keberlangsungan nasib anak-anaknya, terlebih bagi Ama, si bungsu yang masih childish serta belum siap untuk menghadapi kerasnya dunia.

"Bisa bicara sebentar sama Ama, Om?" pinta Guntur sedikit ragu dan takut.

Namun di luar dugaan, ia pun mengangguk serta menerbitkan senyum menenangkan. Hal itu bisa membuat Guntur sedikit lega.

"Kenapa kamu malah diam aja, sih, Ma?" tanya Guntur saat keduanya berdiri berdampingan di teras rumah.

"Ama bingung mau ngomong apa," jawab Ama jujur apa adanya. Ia saja masih belum percaya bahwa sahabat kecilnya melamar dalam waktu secepat ini.

"Kamu gak mau jadi istri aku?" cetus Guntur langsung pada intinya.

Ama menoleh cepat, ia menatap Guntur penuh tanya. "Ama belum siap, lagi pula Bang Gilang sama Mbak Gilsha belum menikah. Jangankan nikah, calonnya aja belum ada."

"Tapi aku gak bisa terus jalanin hubungan gak jelas ini," sanggah Guntur.

Hubungan mereka sangat membingungkan, jika hanya sekadar sahabat tidak mungkin melibatkan perasaan. Tapi pada nyatanya mereka malah mencampur-adukan masalah hati di dalamnya.

"Ama gak bisa nentang perkataan Ayah," cicitnya menggigit bibir bagian dalam.

"Kamu mau nunggu sampai aku lulus kuliah dan bisa yakinin Om Ghani?"

Ama menatap penuh rasa tak percaya akan penuturan yang baru saja dipertanyakan oleh sahabatnya. Apa ia tidak salah mendengar?

"Guntur kuliah baru semester dua, itu artinya Ama harus menunggu tiga tahun lagi."

Lelaki itu menatap lekat bola mata bulat Ama, dengan ragu ia pun menggenggam tangan sang sahabat penuh kelembutan. "Tunggu aku tiga atau lima tahun lagi. Aku akan segera datang ke rumah untuk melamar."

Pandangan gadis itu berkeliaran dan jatuh pada genggaman hangat yang Guntur berikan. "Apa itu gak terlalu lama?"

Guntur menggeleng dan mencoba untuk menyakinkan bahwa perkataannya dapat dipegang serta dibuktikan. "Setelah lulus kuliah aku akan mencari pekerjaan dan setelah aku bisa membangun karir, aku akan datang lagi ke sini."

Ama menarik lepas tangannya. Kebingungan sangat terlihat jelas di sana. "Apa Guntur yakin gak akan berpaling hati dari Ama?"

Lelaki itu mengangguk mantap dan menepuk pelan ubun-ubun sahabatnya. "Kalau jodoh gak akan ke mana. Tugas kamu sekarang hanya menunggu saja."

Ama kembali dirundung kebingungan. Hatinya masih bimbang dan ragu, tapi otaknya seakan meminta untuk menerima ajakan tersebut. Netranya terpejam sejenak, sebelum akhirnya memberi anggukan singkat.


Kalau kalian ada di posisi Ama, kalian akan jawab apa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro