Mencoba Bernegosiasi
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Emosi takkan pernah menyelesaikan masalah, hal itu justru akan semakin memperunyam saja. Maka dari itu, putuskan semuanya dengan kepala dingin dan kondisi yang lebih memadai."
Hujan dan Guntur Hanya Teman
Aku sudah menunggu,
dan aku pun sudah setia selalu di sampingmu
Tapi mengapa Allah tak izinkan kita untuk bersatu?
Jiwaku memberontak tak setuju
Tapi semesta malah menyuarakan hal lain yang menyakiti batinku
Mungkin kita memang ditakdirkan hanya untuk menjalin sebuah pertemanan, tidak dengan pernikahan
Ia pernah melabuhkan harap dan tenggelam dalam kedukaan yang teramat dalam. Lupa akan pijakan dan tak sadar jika penantian yang selama ini diagung-agungkan akan berakhir dengan kepiluan. Jodoh memang sangat lucu, ia yang diperjuangkan malah berlalu dan menghilang.
Ama membuang kertas putih yang sudah tercoret tulisan tangannya ke sembarang arah. Menjatuhkan tubuh di atas pembaringan dan langsung menyelimuti seluruh badannya dengan selimut tebal. Ia tenggelam dalam tangis dan meringkuk di sana. Hatinya masih sakit, belum bisa menerima atau mungkin takkan pernah bisa.
Jika memang Guntur bukan jodohnya, mungkin ia akan mencoba untuk berlapang dada. Tapi kali ini lain, Guntur akan menjadi iparnya, suami dari kakak yang ia sayangi dan cintai. Inilah yang dinamakan dengan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bukan bermaksud menentang takdir dan menyalahkan Allah atas jalan hidup yang harus dilalui.
Tidak sama sekali. Hanya saja, ia belum bisa terima atas kenyataan pahit yang menimpanya. Seperti baru kemarin ia dan Guntur bersama, saling melemparkan ocehan dan gombalan yang menggembirakan.
Bahkan tak segan lelaki itu pun datang melamar, tapi kini Gunturnya hanya tinggal cerita saja. Sebab, dalam waktu dekat sang sahabat akan menggelegar akad. Bukan. Bukan dengan dirinya, melainkan dengan sang kakak.
"Ama," panggilnya lembut. Gadis yang tengah bergelung dengan tangis itu tak merespons apa pun. Ia terlanjur asik berkawan rasa sakit.
Disingkapnya selimut yang menutupi tubuh Ama, pemandangan sendu yang diperlihatkan sang adik sungguh mengiris hati. Adiknya yang selalu ceria dan manja itu kini tengah dilanda kepahitan hati.
"Katanya kangen Bang Gilang. Ini Abang datang buat Ama," ujarnya seraya duduk di tepi ranjang dan mengelus rambut hitam kecokelatan milik sang adik.
Ama menarik tubuhnya agar terduduk dan bersandar di bahu sang kakak. Wajah sembap dengan lingkaran mata panda yang begitu jelas membuat Gilang iba sekaligus kasihan.
"Hati Ama sakit, Abang," lirihnya sembari memeluk tubuh sang kakak dan kembali terisak di sana.
Gilang mengangkat dagu Ama lembut, ia memberikan senyum usil. "Hatinya ganti yang baru, nanti Abang servisin," candanya.
Ama tak sedikit pun tertawa mendengar guyonan yang dilayangkan sang kakak, bahkan gadis itu malah asik berkawan geming.
"Udah ah jangan sedih-sedihan, Abang jauh-jauh ke sini masa malah diajak galau sih. Ama sama Guntur emang gak berjodoh, move on dong," katanya menyemangati.
Padahal Gilang sendiri butuh penyemangat, karena gadis pujaannya dikabarkan menerima khitbah lelaki lain. Dalam kata lain mereka sama, sama-sama akan ditinggal nikah.
"Jodoh itu pasti bertemu, entah duduk bersanding di pelaminan atau hanya sekadar jadi tamu undangan, dan nasib kita sama-sama jadi tamu undangan," ungkapnya seraya terkekeh pelan untuk menutupi rasa sakit yang kian menganga lebar.
Gilang tak menyesal karena belum sempat berjuang dan melamar, karena ia tahu bahwa lelaki yang akan menikahi Aira jauh lebih di atasnya. Ia pun sadar diri bahwa memang ia bukan lelaki yang patut untuk dinanti.
"Mbak Aira mau nikah sama orang lain?" tanya Ama kaget sekaligus penasaran. Gilang mengangguk dan tersenyum, lantas setelahnya merengkuh tubuh sang adik dengan sangat erat.
"Gak papa, itu namanya gak jodoh. Mungkin Allah sedang mempersiapkan seseorang yang baru di masa depan," ujar Gilang menguatkan dirinya sendiri.
Jika berani bermain hati, maka sudah sepantasnya berani juga patah hati. Sebab keduanya sudah menjadi paket komplit yang tak bisa dipungkiri.
"Ama mau coba ikhlasin Guntur buat Mbak Ghilsa, tapi hati Ama selalu menolak gak terima. Ama gagal move on, Abang," adunya.
"Bukannya gak terima, tapi belum aja. Cepat atau lambat Ama pasti bisa, Bang Gilang yakin itu."
Ama hanya mengangguk saja, ia tak lagi berselera jika membahas perihal sahabatnya itu. Sebab hanya rasa sakitlah yang kian merongrong tak tahu malu. Ingin pergi dan memenangkan diri, tapi ia tak memiliki cukup nyali untuk melakukan hal tersebut.
"Emang beneran Guntur yang hamilin, Mbak Ghilsa?" tanya Gilang penasaran.
Lelaki itu tak tahu banyak mengenai hal ini, hanya sebatas tahu dan tak terlalu mengoreknya lebih dalam, sebab ia tak ingin membuat kedua orangtuanya semakin dirundung kesakitan.
Ama menarik tubuhnya agar duduk tegak dan tak lagi bersandar pada sang kakak. "Gak tahu, Ama bingung, Bang Gilang," adunya sendu.
Gilang mengelus surai sang adik lembut. "Ya udah jangan terlalu dipikirkan," ucap lelaki itu tersungging lebar.
Gilang tak percaya bahwa Guntur tega menghamili Ghilsa, sebab seperti yang ia tahu jika Guntur hanya mencintai Ama. Baginya ini aneh dan tak masuk akal logika. Sepertinya ia perlu bicara enam mata dengan sang ayah dan juga bunda.
"Tidur yang bener, jangan nangis terus," ujarnya pada sang adik. Ama menurut dan kembali merebahkan tubuh, dengan penuh perhatian Gilang menyelimuti adiknya.
Lelaki itu tak mematikan lampu utama kamar, sebab sang adik tak suka kegelapan. Lantas ia pun berjalan keluar, dan mendapati ayah serta ibunya yang terlihat tengah berbincang.
"Mas ini gak adil untuk Ama, kasian dia. Kita bisa mencari jalan keluar lain untuk menyelesaikan masalah ini," tawar Ghina pada sang suami.
Ia tak tega melihat si bungsu yang terus menangis dan meraung tak terkendali, bahkan ia pun tak sampai hati jika harus melihat Ama yang terus bersedih seperti ini.
Ghani menghela napas berat. "Ama masih labil, Mas yakin cepat atau lambat dia bisa menerimanya. Lagi pula kita juga harus memikirkan Ghilsa, bayi yang tengah dikandungnya memerlukan sosok pelindung, ayah."
"Tapi gak harus mengorbankan orang lain juga kan, Mas?!" geramnya.
"Aku yakin bukan Guntur yang menyebabkan Ghilsa hamil. Kita tidak bisa memutuskan sepihak seperti ini, kita hanya mendengar dan memercayai dari satu pihak saja. Kita lakukan tes DNA untuk mengetahui jawaban validnya," saran Ghina yang cukup membuat Ghani tercengang.
"Gilang setuju sama Bunda, bukannya Gilang gak percaya sama omongan Ghilsa. Tapi ini demi kebaikan bersama, kita gak seharusnya mengkambinghitamkan orang yang gak bersalah," tutur Gilang ikut larut dalam perbincangan.
Orangtuanya cukup terkejut kala mendapati argumen sang putra. Sebab seperti yang mereka tahu, bahwa Gilang tengah berada di kamar Ama.
"Tapi dia mengendap-endap masuk ke kamar Ghilsa tengah malam. Coba kamu pikir, untuk apa dia melakukan hal itu kalau bukan berniat macam-macam?" sanggah Ghani tak sepaham dengan sang putra dan juga istri.
"Mungkin aja Guntur emang salah masuk kamar, Yah. Dia mau ketemu Ama tapi malah masuk kamar Ghilsa. Itu bisa aja terjadi, kan?" selanya membela.
"Mau masuk ke kamar Ama ataupun Ghilsa, dia tetap salah. Karena gak ada orang yang bertamu malam-malam dengan cara seperti itu!"
"Apa kalau Guntur masuk kamar Ama, Ayah juga akan nikahin mereka berdua?" Ghani terdiam dan menatap dengan pandangan yang sulit untuk diartikan pada sang putra.
"Gak akan, kan. Gilang tahu Ayah kurang suka sama Guntur, tapi jangan sampailah Ayah libatin Guntur dalam masalah keluarga kita," ujarnya lagi.
"Tapi Ghilsa butuh sosok suami, ayah untuk calon anaknya."
"Gilang paham apa yang Ayah rasakan, tapi jangan sampai emosi menutupi akal pikiran Ayah. Kita bisa mencoba untuk bertanya lagi sama Ghilsa, kalau jawaban Ghilsa masih sama kita lakukan tes DNA untuk menguatkan perkataannya."
"Jangan terlalu mendesak Ghilsa, Lang. Dia sedang hamil, gak baik kalau banyak beban pikiran. Bunda khawatir sama kandungannya," larang Ghina cemas.
"Bunda jangan khawatir, Gilang akan ngomong sama Ghilsa pelan-pelan," ucapnya meyakinkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro