Memulainya Dari Awal
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Pahit untuk dijalani, sakit untuk dinikmati, tapi tak ada cara lain lagi selain mensyukuri apa pun yang kini sudah ditakdirkan Sang Illahi Rabbi."
Mengasingkan diri adalah cara yang Ghani sekeluarga tempuh. Bukan bermaksud untuk lari dari permasalahan, tapi jika bisa menghindar kenapa harus melawan dan menerjang badai. Menerima cacian dan hinaan mungkin terdengar sangat menyakitkan serta menyesakan.
Tapi bagi Ghani hal itu tak seberapa jika dibandingkan dengan dosa serta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sebagai seorang ayah jelas ia telah gagal serta lalai dalam menjaga salah satu putrinya. Dan ia pun merasa tak layak untuk menyandang status sebagai kepala keluarga.
Mereka ingin sejenak menepi dan meninggalkan segala kepahitan hidup yang sampai saat ini masih kerapkali membayangi. Mengetahui kabar buruk yang menimpa sang putri sudah cukup memukul telak Ghani, dan ia tak ingin mengambil risiko lagi.
"Ayah percaya kamu bisa jaga diri, jangan pernah buat Ayah kecewa," katanya pada sang putra. Mereka saling berpelukan untuk saling melepas satu sama lain.
"Maafin Gilang, Yah," sahutnya terdengar tulus dan sedih. Fakta kebenaran akan kondisi sang adik cukup membuatnya tertampar.
Ia merasa tak berguna dan tak becus dalam menjaga Ghilsa, seharusnya ia bisa membantu sang ayah. Namun ia malah sibuk mengurusi urusan pribadinya, urusan hati yang sepatutnya tak perlu diprioritaskan.
"Gilang akan cari laki-laki kurang ajar itu!" tekadnya yang langsung dihadiahi gelengan kuat sang ayah.
"Ayah sudah mengikhlaskan semuanya, lagi pula Ayah gak akan pernah rida melepaskan Ghilsa pada lelaki itu. Dia tak lebih dari lelaki tak bertanggung jawab yang hanya mementingkan napsunya saja," tutur Ghani berharap sang putra bisa meredam gejojak emosi.
"Dia harus bertanggung jawab, Yah!" Tangan Gilang terkepal dengan kuat, bahkan kini pelukan di antara mereka sudah terlepas begitu saja.
Ghani menepuk pundak anak lelaki satu-satunya. "Inilah yang Ayah takutkan, kamu harus bisa menjaga napsu kamu. Jangan kecewakan Ayah."
Gilang hanya mampu diam dan menatap netra sang ayah yang terlihat sedikit meredup. "Maafin Gilang karena gak bisa jaga Ghilsa, Gilang malah sibuk sendiri."
Ghani mengukir senyum tipis. Gilang tak sepenuhnya salah, mungkin ini sudah menjadi suratan takdir yang tak lagi bisa ditawar-tawar. Tak ada cara lain, selain menjalani dan mensyukurinya.
Setiap kesulitan pasti akan ada kemudahan, dan ia pun percaya bahwa Allah takkan pernah menimpakan musibah di luar batas kemampuannya. Ia sekeluarga pasti bisa melewati semua ini.
"Kuliah yang bener, jangan mikirin Aira terus, jangan coba-coba pacaran di belakang Ayah sama Bunda," peringatnya yang langsung Gilang angguki.
"Kalau kamu sudah siap untuk berkomitmen, bilang sama Ayah dan Bunda," imbuhnya yang hanya direspons sunggingan tipis saja.
Ia belum siap jika harus berumah tangga, ia masih memerlukan waktu untuk mempersiapkan mental dan finansial, terlebih ilmu agama yang kelak akan ia jadikan sebagai pedoman dalam membimbing istri beserta anak-anaknya.
"Ayah ayo," ajak Ama saat ia sudah memasukan semua barang-barangnya ke dalam mobil. Sedangkan sang bunda dan juga Ghilsa sudah duduk manis di jok penumpang.
Ghani mengelus puncak kepala sang putri lembut. "Ngebet banget, kemarin aja nolak pindah. Kok sekarang semangat, ada apa, hm?"
Ama menggeleng dan memberikan sunggingan lebar. "Gak papa, Ama seneng kalau Ayah, Bunda, sama Mbak Ghilsa seneng."
Ghani merangkul bahu sang putri, ia tak menyangka bahwa putri manjanya itu bisa memahami dan mengerti akan kondisi yang kini tengah menimpa keluarganya. Bahkan Ama terlihat senang kala mendapatkan kabar bahwa sang kakak tengah mengandung.
Terlepas dari kecelakaan satu malam yang mengubah semuanya, Ama merasa ia bisa lebih dekat dengan sang kakak. Jika biasanya sang kakak sangat tertutup dan selalu mengerjakan apa pun seorang diri, kini ia ikut turun tangan membantu. Gadis itu merasa memiliki teman untuk bercengkrama.
Tanpa aba-aba Ama langsung melesak ke dalam pelukan sang kakak. Ia mendongak dengan diiringi senyuman lebar. "Ama pasti kangen Bang Gilang. Gak ada temen ribut lagi," katanya.
Gilang terkekeh dan mengacak puncak kepala sang adik gemas. "Ajak Mbak Ghilsa ribut aja," kelakar lelaki itu yang malah disambut dengkusan kasar.
"Gak mau, nanti dede bayinya marah lagi karena Ama ngajak ribut mamanya." Gilang dan Ghani meringis dibuatnya.
Pikiran gadis itu terlalu lurus dan lempeng, apa pun selalu dipandang baik dan positif. Sesekali mereka harus berguru pada Ama agar tak terlalu ambil pusing akan musibah yang saat ini tengah dialaminya.
Ama melepas pelukan, ia meminta Gilang agar sedikit menurunkan tingginya dan Gilang pun menurut. "Ama titip Guntur, kalau Guntur jalan sama cewek lain laporin Ama," bisiknya agar sang ayah tak mendengar.
"Ogah!" jawab Gilang dengan suara tegas dan lugas. Dalam keadaan genting seperti ini saja adiknya itu masih memikirkan Guntur.
"Abang gak boleh gitu. Sebagai saudara kita harus saling tolong-menolong, Abang kan ba—"
"Udah ah sana berangkat. Bisa darah tinggi Abang kalau kamu bahas si Geludug terus!"
Ama mencubit pinggang sang kakak. "Volumenya kecilin dikit, Bang. Kalau Ayah denger gimana?"
"Gak peduli!"
Gadis itu mengentakkan kaki sebal. "Bang Gilang jahat!"
"Malah bisik-bisik tetangga. Ayo, Ma, berangkat. Kalau kesiangan sampai sananya pasti malam," ujar Ghani mengambil fokus kedua anaknya.
"Dadah Abang!" Tangan gadis itu melambai, tapi sebelumnya ia menginjak kencang kaki sang kakak dan tertawa terpingkal-pingkal kala melihat raut wajah kesakitan kakak lelakinya.
"Kenang-kenangan dari Ama!" teriaknya saat ia akan memasuki mobil. Gilang menunjukkan bogeman dan malah disambut tawa meremehkan.
"Kerjaan kalian ribut terus, Ayah pusing liatnya," ungkap Ghani saat ia tengah memasang sabuk pengaman.
Ama yang duduk di samping kemudi hanya tersenyum samar dan berujar, "Ini yang terakhir, Ayah. Ama sama Bang Gilang kan gak akan tinggal serumah lagi, nanti gak akan ada yang buat Ayah sama Bunda darah tinggi."
"Jawab aja kamu, Ma," ucap Ghina seraya mengelus lembut perut Ghilsa. Anak keduanya itu terlihat sangat manja, dan ingin selalu mendapatkan perhatian lebih darinya.
Hal itu justru membuat ia senang, sebab Ghilsa tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Ia merasa benar-benar memiliki dua putri yang haus akan kasih sayang serta perhatian. Tidak seperti dulu, yang apa-apa pasti Ghilsa kerjakan seorang diri saja. Wanita yang tengah berbadan dua itu terlampau mandiri.
"Ih sejak kapan Mbak Ghilsa jadi manja sama Bunda. Ama ada saingannya sekarang mah," ujar gadis itu becanda.
Ghani terkekeh pelan, ia mengacak gemas ubun-ubun sang putri. "Cemburu?"
Ama bersidekap dada dan berujar, "Gak. Ama kan masih punya Ayah." Ia bergelayut manja di tangan sang ayah yang akan menjalankan mobil.
"Maafin Mbak, Ma," tutur Ghilsa tak enak hati. Wanita itu memang sangat tak enakan, terlebih ia memang tak pernah bersikap manja seperti sekarang.
"Gak usah minta maaf, Ama seneng sekarang Mbak bisa deket sama Bunda. Nanti temenin Ama juga yah, Mbak, Ama gak suka main sendirian. Bang Gilang kan gak ikut pindah," oceh Ama tak sedikit pun merasa tersaingi.
Ghilsa menatap lembut sang bunda, dengan penuh kasih sayang Ghina memberikan kecupan singkat di dahinya. "Kalau ada apa-apa cerita sama Bunda, jangan dipendem dan dipikirin sendiri aja. Kita ini keluarga, harus saling terbuka," tuturnya mengingatkan.
Ghilsa mengangguk dan tersenyum tipis. "Maafin Ghilsa, Bunda."
Ghina menggeleng pelan. "Gak papa, ini namanya proses pendewasaan diri. Kamu harus bisa belajar dari pengalaman, jangan pernah mengulang kesalahan yang sama di masa depan."
"Ayah sama Bunda akan selalu ada di sisi kamu, kamu jangan pernah merasa sendiri dan kesepian," imbuh Ghani menambahkan.
"Ada Ama juga, Ayah. Ama merasa terasingkan!"
Penuturan si bungsu membuat ketiganya tertawa. Ama memang selalu bisa mencairkan suasana, obat dari segala kepahitan ya gadis itu. Walau terkadang menyebalkan dan menjengkelkan, tapi itulah ciri khas Ama.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro