Kesepakatan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Semuanya sudah Dia pertimbangkan, dan yang saat ini terjadi murni atas dasar kuasa-Nya."
"Pernikahan akan digelar saat Ghilsa sudah melahirkan. Mau tidak mau, suka tidak suka kamu harus mempertanggungjawabkan kelakuan kamu." Kalimat tersebut dilayangkan sang ayah dengan sangat tegas.
Hasan dan juga Hasna langsung meluncur ke kediaman Ghani kala sahabatnya itu menghubungi dan meminta agar segera datang. Mereka terkejut sekaligus tak percaya akan apa yang sudah Ghani paparkan melalui sambungan telepon. Oleh sebab itulah tanpa banyak pikir panjang lagi mereka langsung menyambangi tempat tinggal Ghani.
"Aku gak salah, Dady. Ini salah paham," sela Guntur jujur dan berterus terang.
Saat ini hanya ada Hasan, Ghani, dan juga Guntur saja. Sedangkan para wanita tidak diikutsertakan dalam perbincangan. Hasna dan Ghina tengah menenangkan Ama yang terus menangis dan meraung, belum lagi Ghilsa yang sedari tadi hanya diam tanpa kata.
Ghina mengkhawatirkan kondisi Ghilsa, terlebih kandungannya. Itu pasti akan memengaruhi perkembangan sang jabang bayi. Cemas, itulah yang saat ini tengah dirasakan. Dan lagi, ia pun harus membagi fokus pada si bungsu yang kini tengah dilanda patah hati akut.
Hal itu sudah sangat cukup membuat Ghina pening dengan segala buah pemikiran yang bercabang ke mana-mana. Sebagai seorang ibu ia dituntut untuk adil dan tak memihak pada siapa pun, ia bingung. Haruskah mengikuti pinta si bungsu atau mengikuti keputusan suaminya.
"Berani berbuat maka harus berani bertanggung jawab!" tutur Ghani begitu sarkasme.
"Aku hanya akan menikahi Ama, bukan Mbak Ghilsa!" sahut Guntur tak kalah gentar.
Ia akan memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi milik lelaki itu. Ia tak mau menjadi pahlawan kesiangan yang sudi bertanggung jawab atas apa yang tidak diperbuat.
Mendengar hal tersebut Ghani semakin meradang dan kesal. Kedua tangan pria itu mengepal dengan begitu kuat. Ingin rasanya ia kembali melayangkan tinjuan pada anak dari sang kerabat, tapi sebisa mungkin hal itu ia tahan. Jangan sampai emosi kembali menguasai diri.
"Kamu gak kasian sama anak kamu? Pikirkan itu baik-baik. Jangan egois!" ungkap Hasan pada sang putra.
Sebagai seorang ayah ia sangat amat kecewa pada sang putra. Anak yang diharapakan bisa membanggakan, kini malah tengah mencoreng citranya hingga malu dan tak lagi memiliki muka di hadapan Ghani.
Ia tak habis pikir bahwa Guntur bisa melakukan hal tidak terpuji itu. Padahal masih teringat dengan betul bagaimana sang putra mengatakan ingin melamar dan mempersunting Ama. Tapi yang terjadi sekarang? Guntur malah menghamili Ghilsa.
"Dady salah paham Guntur bisa jelaskan semuanya," ujarnya berharap bisa sedikit meredam emosi sang ayah.
"Salah paham? Di tengah malam datang mengendap-endap seperti maling dan memasuki kamar perempuan. Coba jelaskan di mana letak salah paham itu?" sembur Ghani kesal.
Tak ada tamu yang berkunjung di malam hari, terlebih cara yang Guntur tempuh memang sudah sangat fatal. Maka tak heran jika memunculkan banyak stigma buruk yang bersarang dalam pikiran.
"Aku cuma mau ketemu Ama, Om. Aku mau kasih kejutan sama dia, tapi malah salah sasaran dan masuk kamar Mbak Ghilsa. Serius, Om aku gak pernah aneh-aneh, apalagi sampai hamilin Mbak Ghilsa," terangnya berharap Ghani dan Hasan bisa mempercayai.
"Tidak ada maling yang mau ngaku, dan kamu salah satunya. Sudah sembarangan ambil kehormatan anak saya, dan dengan seenak jidat pergi begitu saja. Otak kamu di kemanakan, hah?!"
Guntur memejamkan netra cukup lama. Lawan bicaranya sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil, mau sejujur apa pun berkata tetap saja ia akan dikira sebagai pendusta.
"Jangan mentang-mentang Mbak Ghilsa anak Om, dan dengan segampang itu Om mempercayai. Mbak Ghilsa bohong, Om! Dia seorang pembohong!"
Emosi Ghani semakin meletup-letup kala mendengar makian yang Guntur layangkan. Ia percaya pada putrinya, Ghilsa tak mungkin tega merangkai kebohongan besar tersebut.
"Jaga ucapan kamu, Guntur!" tegur Hasan tegas dan begitu tajam.
Lelaki itu menatap geram sang ayah. "Aku kira Dady akan membela, tapi nyatanya gak. Aku anak Dady, tapi kenapa Dady malah menyudutkan aku?!"
"Kamu salah dan kamu harus menerima konsekuensinya. Jadilah lelaki yang teguh akan pendirian dan bisa mempertanggungjawabkan apa yang sudah kamu per—"
"Salah? Dady yang salah! Main percaya gitu aja sama pembohong seperti Mbak Ghil—"
Perkataan Guntur terpotong kala ia merasakan cengkraman kasar di rahangnya akibat ulah tangan Ghani. "Jangan pernah merendahkan putri saya!"
Hasan yang melihat hal itu hanya bisa diam dan menyaksikan. Ada rasa tak tega dan kasihan, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Sebab sang putra memang salah, dan wajar jika mendapatkan perlakuan tersebut.
"Jika saya tak memikirkan nasib anak yang Ghilsa kandung, saya tidak akan pernah sudi memilliki menantu pecundang seperti kamu. Berani berbuat tapi tak mau bertanggung jawab!" cerca Ghani lantas melepaskan cengkramannya secara kasar.
Guntur memegang rahangnya yang terasa begitu sakit akibat ulah Ghani, belum lagi bekas tinjuan yang sebelumnya pun masih terasa ngilu. "Aku emang gak bisa kontrol diri aku kalau deket Ama, selalu ada keinginan untuk menyentuhnya, walau itu hanya sebatas berpegangan. Tapi itu gak berlaku sama Mbak Ghilsa, aku gak pernah berbuat hal gila seperti yang dia katakan. Aku masih tahu batasan, Om!"
Ghani menatap penuh rasa tidak suka. Kedua tangannya sudah kembali terkepal kuat, ia ingin melayangkan tinjuan lagi pada Guntur. Jika bisa sampai wajah lelaki itu babak belur parah.
"Ak—"
Perkataan Guntur melayang di udara kala mendengar suara pintu yang diketuk dengan sangat brutal, bahkan bisa dibilang sebuah gedoran.
"Ayah! Buka pintunya!" teriak Ama sekencang yang ia bisa, bahkan tangan gadis itu sudah terasa nyeri akibat menggedor pintu dengan sangat keras.
"Ama tenang, Nak, sabar," pinta Ghina. Ia baru saja berlari dan mengejar langkah sang putri yang saat ini tengah mengamuk serta menuntut keadilan.
"Guntur gak salah, Bunda! Ayah gak boleh jahatin Guntur!"
Ghina menghela napas panjang, berusaha untuk menarik tubuh sang putri agar berada dalam dekapan. Sebisa mungkin ia memperlakukan Ama dengan lembut agar si bungsu tak lagi memberontak, dielusnya punggung sang putri penuh kasih sayang.
"Bunda tahu Ama sakit hati, Ama gak bisa terima kenyataan ini. Tapi Ama gak boleh kaya gini, ini sudah menjadi suratan takdir dari Allah. Guntur bukan jodoh Ama," ucapnya pelan.
"Enggak! Guntur jodoh, Ama! Jodoh Ama, Bunda!"
Hati Ghina tercabik-cabik melihat kerapuhan yang saat ini tengah sang putri rasakan. Ia tak pernah membayangkan bahwa kedukaan ini bisa menimpa keluarganya. Ini sangatlah menyesakan dada, jiwanya memberontak tak terima.
"Ama harus ikhlas, harus tabah dan juga sabar. Percaya kalau takdir Allah lebih indah dari yang kita bayangkan," bisiknya dengan air mata yang sudah mulai berjatuhan.
Ama semakin terisak dibuatnya, ia tak bisa melakukan apa yang sang bunda utarakan. Sulit, itu sangat sulit baginya. Selama ini ia sudah cukup bersabar untuk menunggu sang sahabat, tapi sekarang? Mimpi yang sudah sempurna terangkai itu malah hancur berantakan.
"Ikhlaskan Guntur untuk Mbak Ghilsa," katanya tepat di samping telinga sang putri.
"Kenapa harus Mbak Ghilsa? Kenapa bukan cewek lain aja? Ama gak mau Guntur jadi ipar Ama, Bunda. Hati Ama sakit!"
Melihat orang yang ia cintai dan kasihi duduk bersama di pelaminan dengan sang kakak yang juga disayangi, pasti akan membuat luka di hati semakin menganga lebar tak terkendali. Ia takkan mampu untuk menyaksikan hal tersebut.
Ghina semakin merapatkan tubuhnya, ia tahu keputusan yang saat ini diambil pasti akan melukai salah satu putrinya. Tapi ia tak bisa seolah menutup mata akan kondisi Ghilsa saat ini. Mengandung bukanlah hal yang mudah, terlebih Ghilsa tak seperti wanita hamil pada umumnya.
Mungkin dengan cara menikahkannya dengan Guntur, Ghilsa bisa melewati fase sulit tersebut secara mudah. Terlebih ia pun harus memikirkan nasib anak yang tengah Ghilsa kandung. Bayi tak berdosa itu pasti membutuhkan sosok ayah, dan Ghilsa pun membutuhkan pendamping, suami.
"Bunda sayang Ama, keputusan ini memang yang terbaik untuk kita semua. Mbak Ghilsa lebih membutuhkan Guntur dibanding Ama. Ikhlaskan yah, Nak," ucapnya dengan suara lirih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro