Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kembali Bertemu

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Melabuhkan harap pada sesama hamba sama saja dengan patah hati yang disengaja."

Tanah Pasundan menjadi pilihan Ghani untuk memulai kembali kehidupan barunya. Bukan tanpa sebab, hal itu dilakukan karena ia ingin merasakan suasana yang jauh lebih asri. Di mana polusi belum banyak bertebaran, dan mencari sebuah ketenangan di tengah kemelut hati yang merisaukan.

Ia ingin melepas segala penat dengan kondisi pedesaan yang masih hijau serta rindang. Mungkin dengan cara demikian ia bisa melupakan segala masalah yang saat ini tumpang tindih memenuhi isi kepala. Ia pun sengaja membeli hunian yang berada di sekitar daerah pegunungan.

Di mana masih banyak warga yang bercocok tanam, mengandalkan hasil kebun sebagai mata pencaharian. Bahkan hamparan kebun teh menjadi hal yang sangat sayang untuk dilewatkan. Tanpa terasa sunggingan lebar terpatri di wajah mereka, sebuah senyum penuh harap.

"Ama suka tempatnya, Ayah, Bunda," ungkap gadis itu riang, ia sangat senang melihat kawasan hijau yang membentang luas di hadapannya.

Kini mereka tengah sejenak beristirahat seraya mencuci mata, sebelum benar-benar menginjakkan kaki di hunian yang telah dibelinya satu minggu lalu.

"Rumah kita di mana?" tanya Ama terdengar sangat antusias. Baik Ghina maupun Ghani bernapas lega karena kecemasannya sedikit sirna. Sang putri manja yang selalu bertingkah itu ternyata tidak merasa kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.

"Belakang kebun teh ini, tapi kita jalan-jalan di sini dulu yah, ngirup udara segar," tutur Ghani yang jelas langsung Ama angguki.

"Untung Ama bawa novel kesayangan Ama, Ama mau foto di tengah kebun teh sama novelnya," ocehnya dengan tangan sibuk mengeluarkan sebuah novel religi yang syarat akan nilai-nilai Islam dalam tas punggung yang selalu menemaninya bepergian.

"Heboh banget kamu, kaya ikan kekurangan air aja," sembur sang ibu yang sama sekali tak Ama hiraukan. Ia berjalan cepat dan meninggalkan orangtua serta kakaknya yang masih asik menikmati pemandangan.

"Ayah!" teriak gadis itu kala ia sudah berada di antara rimbunnya daun-daun teh yang siap panen.

"Fotoin Ama!" lanjutnya dengan intonasi yang jauh lebih tinggi lagi. Ia tak menghiraukan beberapa orang yang juga tengah berada di sana.

"Biar saya yang fotokan."

Ama menoleh saat mendapati suara asing menyapa rungunya. Sontak ia pun menoleh dan betapa terkejutnya ia kala melihat seorang pemuda dengan setelan casual, berperawakan tinggi, dengan rambut hitam tebal, jangan lupakan juga sebuah kemeja kotak-kotak dan celana jeans andalan.

Hal itu jelas membuat Ama terpaku dan melongo, tapi detik berikutnya ia pun tersadar dan berlari kencang menghampiri ayah serta bundanya yang sedang ber-swafoto, sedangkan sang kakak terlihat tengah menikmati pemandangan indah yang memanjakan mata, tak jauh dari kedua orangtuanya berada.

"Awas jatuh, Ma," peringat sang bunda kala Ama sudah membungkuk dengan napas ngos-ngosan.

"Pulang, Bunda, pulang!"

Ghina dan Ghani saling berpandangan, mereka tak mengerti dengan tingkah polah sang putri. Perasaan tadi baik-baik saja, dan bahkan ia terlihat semringah. Tapi kenapa sekarang lain?

"Ada cowok kurang kerjaan deketin, Ama, kalau Guntur tahu pasti cemburu dan marahin Ama," katanya yang membuat Ghina serta Ghani saling berpandangan.

"Kepala kamu isinya Guntur mulu, bisa gak sih jangan bawa-bawa dia?" semprot sang ayah.

Gadis itu mencebik tak suka. "Ama harus jaga diri, jaga hati, jangan deket-deket sama sembarang laki-laki. Itu pesan Guntur, Ayah."

Pria yang tak lagi muda itu sedikit meradang, ia sering mengingatkan sang putri hal yang serupa. Tapi yang diingat oleh anaknya itu malah pesan Guntur, sungguh hal itu sangat membuatnya tak nyaman.

"Ama ... Ama ... Guntur itu bukan siapa-siapanya kamu. Dia gak ada hak apa pun atas diri kamu, paham?"

Ama menggeleng tak setuju dengan apa yang baru saja bundanya tuturkan. "Guntur calon suami, Ama, Bunda. Udah seharusnya Ama melakukan hal itu."

"Permisi, bukunya ketinggalan tadi," katanya berhasil mengambil fokus mereka semua, terlebih Ama tentunya.

Gadis itu langsung merampas paksa novel yang tengah disodorkan sang pemuda. "Ih kok buku Ama di Kakak sih, mau nyuri yah?"

"Ama!" tegur sang ayah.

"Terima kasih," lanjutnya sedikit tak enak hati. Bukannya berterima kasih, sang putri malah menuduh yang macam-macam. Ia tak habis pikir dengan tingkah Ama yang baginya sangat tidak sopan itu.

Tanpa kata Ama langsung meninggalkan pemuda tersebut dan memilih untuk berjalan ke parkiran serta memasuki mobil. Mood-nya seketika hancur berantakan, dan ia sudah tak lagi berselera jika harus melanjutkan kegiatannya.

"Maafkan putri saya," tutur Ghani syarat akan rasa tidak enak.

Pemuda itu mengangguk maklum. "Gak papa, saya permisi," ucapnya lantas berlalu pergi.

Setelahnya Ghani langsung mencari keberadaan Ghilsa dan mengajak perempuan yang tengah berbadan dua itu untuk pulang. Kelakuan Ama tadi cukup membuatnya malu dan tak lagi betah jika harus berlama-lama di sana.

"Pulang yuk, adek kamu ngambek itu," tutur Ghani seraya merangkul bahu sang putri agar berjalan beriringan untuk menyusul sang istri yang sudah lebih dulu menghampiri Ama.

Ghilsa menurut saja, ia tak pernah berani untuk menyuarakan argumen. Lebih baik mengikuti apa pun yang sudah sang ayah katakan. Lagipula ia pun ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah.

"Ama gak boleh gitu sama orang, gak baik." Dengan lembut Ghina memeringati sang putri.

"Ama gak suka cowok itu, Bunda!" kesalnya.

Ghani yang hendak memasangkan sabuk pengaman pun urung kala mendengar perdebatan di antara istri dan juga anaknya. "Siapa juga yang nyuruh kamu suka sama cowok itu. Kepedean banget kamu jadi cewek."

"Ihhhh, kok Ayah malah ngatain Ama sih. Ama gak suka ada cowok lain deket-deket, Ama. Titik gak pake koma!"

Orangtua serta sang kakak hanya menggeleng. Mereka bingung dengan pola pikir Ama yang terlalu mengagungkan cinta pada sang sahabat.

"Ama harus kuliah dulu yang bener, jangan mikirin Guntur terus. Ama sayang, kan sama Ayah dan Bunda?" seloroh Ghina lembut, berharap putrinya itu bisa mengerti.

"Ama sayang sama Ayah dan Bunda, tapi Ama juga sayang Guntur," jawabnya tanpa dosa.

Ghani mengeram tak suka, dengan segera ia pun melajukan mobilnya. "Inget, Ma, jangan terlalu percaya diri bahwa Guntur adalah jodoh kamu. Di antara kamu dan dia gak ada ikatan apa pun."

"Ada. Ama udah janji bakal nunggu Guntur, dan Guntur pun udah janji bakal lamar Ama." Gadis itu berkata dengan penuh kesungguhan dan keyakinan.

Ia begitu yakin dan percaya bahwa sahabatnya akan benar-benar datang melamar serta menepati janji. Meskipun ia harus menunggu tiga sampai lima tahun lagi, itu takkan menyurutkan sedikit pun perasaannya.

Tak ada lagi perbincangan di antara mereka, dan Ama pun lebih memilih untuk membuka novel yang sedari tadi berada di pangkuannya. Netra gadis itu membola sempurna kala melihat ada sebuah tulisan tangan, tepat di halaman pertama.

Ta'aruf?

Hanya ada satu kata yang tertulis di sana, dan hal itu cukup membuat Ama jantungan. Apa itu ulah tangan nakal lelaki tadi? Angannya terus bergerilya ke sana-kemari, sampai pada akhirnya sebuah adegan terputar dengan tidak sengaja.

"Aaaakkhh!" teriaknya frustrasi, dan jelas hal itu mengundang perhatian dan tatapan bingung dari orangtua serta sang kakak.

Ketiganya saling berpandangan linglung, dan lagi-lagi mereka dikagetkan dengan pekikan nyaring Ama.

"Cowok modus itu lagi!"

Ama membenamkan wajahnya di antara halaman buku. Kenapa ia bisa lupa akan wajah si modus yang dulu mengerjainya, dan sekarang ia kembali dimodusinya lagi. Allahuakbar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro