Kacau
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Apa yang saat ini terjadi mutlak atas kuasa-Nya, sebagai hamba kita hanya bisa berlapang dada dan menjalaninya saja."
Bertanggung jawab atas kesalahan orang lain bukanlah perilaku terpuji yang patut untuk dibanggakan, terlebih jika itu sudah menyangkut kesalahan besar yang sulit untuk dimaafkan.
Begitu pula dengan Guntur, ia tak pernah ingin berada di situasi seperti sekarang. Di mana ia didakwa atas kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. Ia hanya ingin memberikan sang sahabat kejutan, tapi yang terjadi malah di luar dugaan.
Parahnya Guntur semakin disudutkan karena pengakuan bohong Ghilsa yang mengatakan bahwa ialah dalang dari permalasahan yang sudah mengakibatkan perempuan itu hamil di luar pernikahan. Sumpah demi apa pun lelaki itu ingin mengumpat dan memaki dengan sesuka hati.
"Nikahi Ghilsa!"
Kalimat ultimatum tersebut dilayangkan Ghani pada Guntur. Lelaki itu tak lantas diam saja dan menerima, ia tak salah dan tak seharusnya bertanggung jawab atas kesalahan yang orang lain perbuat.
"Mbak Ghilsa jangan mengada-ada yah. Aku gak pernah ngapa-ngapain, Mbak. Dan maaf, Om aku gak bisa menikahi Mbak Ghilsa."
Keputusan final sudah Guntur layangkan. Ia merasa terdzolimi dan disudutkan. Tega sekali kakak dari sahabatnya itu menuduh yang macam-macam. Jangankan untuk menghamili, niat saja tidak ada. Hatinya hanya untuk Ghaitsa bukan Ghilsa.
Ghani menggeram penuh emosi. Pantas saja selama ini ia tak ada feeling terhadap anak dari kerabatnya itu, sebab kini Guntur menampakan dirinya yang asli. Ia sudah menodai putri pertamanya dan sebagai ayah jelas ia tak bisa menerima hal itu.
Gelagat Guntur jelas sangat mengundang kecurigaan. Malam-malam mengendap ke kamar perempuan, alhasil beginilah nasibnya sekarang. Ia harus mempertanggungjawabkan hal yang tak pernah ia lakukan.
"Ghilsa gak bohong? Benar Guntur yang melakukan hal itu?" tanya Ghina sebisa mungkin terlihat tenang dan biasa saja. Walau pada nyatanya ia sudah gelisah dan tak enak hati dengan apa yang baru saja sang putri paparkan.
Bola mata wanita itu berkeliaran, ia resah sekaligus takut, terlebih kala melihat sorot tajam sang ayah dan juga Guntur. Ghilsa akui, ia sudah salah karena melibatkan Guntur dalam masalahnya, tapi hal itu dilakukan supaya sang ayah dan bunda tak lagi mendesaknya agar mengakui ayah dari si jabang bayi.
Ia pun mengira bahwa sang ayah takkan memperpanjang masalah dan melepaskan Guntur kala ia mengatakan kebohongan itu. Namun ternyata dugaannya salah besar, sang ayah malah meminta pertanggungjawaban Guntur. Ini sungguh sudah keluar jalur.
"Jawab Bunda, Ghilsa."
Hanya anggukan pelan yang wanita hamil itu berikan. Guntur menatap tak suka ke arah kakak dari sahabatnya. "Mbak jangan mengarang bebas seperti itu. Sampai kapan pun aku gak akan tanggung jawab!"
Ghani yang memang sudah diliputi emosi langsung menggeplak meja dan itu berhasil menimbulkan suara nyaring yang cukup mengagetkan.
"Saya akan hubungi orang tua kamu."
Guntur langsung dibuat cemas sekaligus mati kutu. Bahaya. Ini sudah benar-benar kacau, bisa habis ia diamuk masa oleh ayah dan juga sang ibu. Belum lagi tadi ia beralasan ingin mengerjakan tugas kampus di kediaman kerabatnya.
"Jangan, Om."
Senyum miring terpatri apik di sana. "Kamu takut kelakuan bejat kamu terbongkar?!"
Setelahnya Ghani langsung melipir untuk menghubungi sang sahabat. Ia ingin segera menuntaskan permasalahan sang putri.
Dulu mungkin ia berkata sudah berlapang dada dan mengikhlaskan semuanya, tapi pada saat ia tahu siapa yang sudah menghancurkan masa depan Ghilsa. Ia takkan membebaskan lelaki itu dengan mudah.
"Tante tolongin aku, sumpah demi Allah aku gak pernah aneh-aneh sama Mbak Ghilsa. Aku cuma cinta sama Ama, Tante. Aku ke sini cuma buat ketemu Ama," terang Guntur dengan nada memohon dan wajah memelas.
Ghina sedikit iba dengan anak dari kerabatnya itu, tapi ia pun bingung dengan apa yang terjadi saat ini. Haruskah ia mempercayai Guntur, atau malah sebaliknya?
"Mbak Ghilsa ngomong dong jangan diem aja. Aku gak mau nikah sama Mbak!" cerca Guntur kesal, bahkan ia mengacak rambutnya frustrasi.
Mendapat perlakuan demikian Ghilsa langsung meringsak masuk ke dalam pelukan sang bunda. Ia merasa benar-benar telah berdosa karena mengobarkan orang lain demi kepentingannya sendiri.
Tapi semua ini sudah terjadi, dan ia takut jika harus berkata yang sebenarnya. Sang ayah dan bunda pasti akan tambah marah besar dan kecewa. Ia tak ingin hal itu terjadi, ia bingung dan serba salah.
"Nikahi Ghilsa saat dia sudah melahirkan. Saya dan orangtua kamu sudah bersepakat."
Suara tegas dan lantang Ghani begitu membuat Guntur tercengang. Semudah itukah? Ia tak bisa menerima hal ini.
Ia berdiri dan berhadapan langsung dengan Ghani. "Om gak bisa memutuskan sepihak seperti itu. Aku gak bersalah dan aku gak mau bertanggung jawab atas apa yang tidak aku perbuat!"
Ghani menarik rahang kokoh Guntur dan menghadapkannya pada sang putri yang kini tengah ketakutan di dalam dekapan Ghina. "Ghilsa hamil, dan itu atas perbuatan kamu!" Ia melepaskan tangannya dan menatap tajam Guntur.
"Nikahi Ghilsa!"
Lagi-lagi Ghani mengeluarkan ultimatum tegas tersebut. Dua kata yang berhasil membuat pertahanan Guntur runtuh seketika. Ia ingin menjadikan Ama sebagai istrinya, bukan iparnya. Mengapa takdir ini tak berpihak dan merestui?
Tanpa sepengetahuan mereka, ada Ama yang kini tengah mematung di ambang pintu kamar. Menyaksikan setiap perdebatan yang kini tengah berlangsung.
Hati gadis itu menjerit tak setuju. Ia tak bisa menerima keputusan sang ayah yang lebih memilih untuk menikahkan Ghilsa dengan Guntur dibandingkan dengan dirinya.
Rasa pening yang masih menghantui, dengan dibarengi denyutan di pipi akibat bogeman melenceng yang tadi sang ayah berikan terasa tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit di hati yang kini terbayang.
"Ama gak setuju. Guntur harus nikah sama Ama, gak boleh sama Mbak Ghilsa ataupun perempuan lain!" teriak Ama lantang, tapi rembesan air mata sudah mulai berjatuhan.
Ghani mematung sejenak, tapi detik berikutnya ia pun bergegas untuk menghampiri sang putri. "Mana yang sakit? Maafin Ay—"
"Ayah jahat. Kenapa Ayah lakuin ini sama Ama? Ayah gak adil!"
Gadis itu menangis dan meraung, tapi yang Ghani lakukan justru memeluknya dengan sangat erat. Ama memukul dada sang ayah sekuat yang ia bisa, namun tenaganya semakin melemah dan hanya menyisakan suara isakan saja.
"Ini demi kebaikan kita bersama."
Ama tak lagi merespons, ia terlalu asik berkawan tangis dan rasa sakit yang kian menganga dengan lebar. Dadanya begitu sesak, seperti ada ribuan ton baja yang menghimpit dengan begitu hebat.
Tak ada kebaikan jika imbasnya melukai salah satu pihak. Ini tidak adil, ia sudah berjuang bahkan rela menunggu sang sahabat tapi kenapa sekarang malah seperti ini? Takdir begitu kejam padanya.
Ghilsa menyaksikan kesakitan yang tengah sang adik rasakan, hatinya begitu teriris dan merasa sangat bersalah. Air mata perempuan itu pun tak lagi bisa dibendung dan mengucur dengan begitu deras. Ia jahat, ia sudah menghancurkan segala angan dan mimpi yang sudah adiknya rangkai.
Tanpa kata Ghina semakin merapatkan tubuhnya pada Ghilsa, ia tahu ini takkan mudah untuk dilalui. Baik bagi Ghilsa ataupun bagi Ama, keadaan yang menyulitkan mereka semua. Ia mengelus punggung sang putri agar merasa lebih tenang, tapi hal itu malah tak berdampak apa pun.
"Maafin, Ghilsa, Bunda," lirihnya terisak pilu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro