Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hujan & Guntur

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Akan selalu ada rasa nyaman yang ditimbulkan dari sebuah hubungan pertemanan antar sepasang insan."

Rintik hujan adalah hal yang sangat amat dinantikan, bahkan ia akan bersedih hati jika langit tak kunjung membasahi bumi ini. Hatinya selalu merasa senang dan tersirami kala hujan datang menghampiri. Tak ada rasa takut akan suara guntur yang menggema, sebab ia menyukai segala hal yang berhubungan dengan hujan.

Ghaitsa Amaiah, begitulah nama lengkapnya. Gadis muda penyuka hujan sebagaimana nama yang telah ia sandang. Hujan di malam hari, ceria, peduli, serta penuh akan kasih sayang. Terdapat makna, doa, serta harapan besar yang kedua orangtuanya harapkan, dan kini terbukti bahwa Ama—sapaan akrabnya—tumbuh kembang sebagaimana nama tersebut.

"Kembalikan sendok Ama, Guntur!" pinta gadis itu dengan tangan berusaha menggapai alat makan yang sudah dirampas oleh sang sahabat, Guntur Triyoga begitulah nama lengkapnya. 

"Usaha dong, masa ambil ini aja gak bisa," sahutnya seraya mengangkat tinggi-tinggi benda berbahan stainless tersebut.

Ama mencebik sebal dan mengentakkan kaki ke lantai. Ia sudah kadung lapar, tapi sang sahabat dengan tidak tahu diri malah menjahili. Awas saja nanti, ia akan melaporkannya pada sang bunda.

"Guntur jahat!"

Pemuda itu mengalah dan memberikan sendok milik Ama yang memilki tanda tipe-x putih di ujungnya.

Senyum lebar langsung tersungging dan tanpa membuang banyak waktu lagi ia segera mengambilnya. Kembali mendudukkan tubuh di kursi yang tersedia lantas membuka bekal makan siang yang tadi sudah sang bunda siapkan.

"Bagi dong," ujarnya seraya mengambil satu sendok nasi goreng milik Ama lantas memakannya tanpa dosa.

"Guntur gak sopan. Masa asal comot gitu aja sih, Ama gak mau makan lagi, jijik bekas Guntur!" cetusnya yang malah disambut tawa riang sang sahabat.

Ama sangat anti berbagi makanan dengan orang lain, termasuk Guntur di dalamnya. Ia tak ingin mengambil risiko lebih, bisa saja orang yang satu alas makan dengannya memiliki riwayat penyakit berbahaya, dan hal itu jelas akan membuatnya terinfeksi lebih besar.

Guntur menggeleng beberapa kali. Sahabat kecilnya itu masih saja tak berubah, selalu seperti itu. Padahal mereka sudah kenal sejak masih dalam kandungan, tapi sifat super clean-nya tak ada perubahan.

Pernah suatu ketika Guntur menjahili Ama serta berpura-pura meminum di botol yang sama. Dan respons Ama sangat di luar dugaan, gadis itu menyiramkan sisa air minumnya ke wajah Guntur, bahkan tanpa segan ia pun memusuhi Guntur hingga berhari-hari.

"Kan cuma ambil satu suap doang, lagian ini sendoknya masih bersih kok," sangkal Guntur tak ingin membuat sang sahabat marah.

"Bersih? Jelas-jelas tadi itu bekas jatuh ke lantai. Jorok tahu!"

"Bersih, kan udah aku lap pakai tisu," belanya tak mau kalah.

Ama menyodorkan kasar bekal makan siangnya ke hadapan Guntur. "Jijik, banyak kumannya pasti. Kalau Ama sakit perut, Guntur mau tanggung jawab?"

"Tanggung jawab? Aku kan gak ngapa-ngapain kamu, Ma," sanggah Guntur yang justru semakin membuat emosi Ama meletup-letup.

"Guntur tahu gak sih kalau yang dilihat pertama kali dari cowok itu sifat tanggung jawabnya. Kalau Guntur kaya gitu, Guntur bakal susah dapet cewek," ujar Ama malah melebar ke mana-mana.

"Gak nyambung kamu. Masa dari sendok nyosor ke tanggung jawab sama cewek. Gak enak banget lagi ujungnya," protesnya tak mengerti.

"Ih Guntur nyebelin, masa Ama sakit perut gak mau tanggung jawab. Laporin Bunda yah, Ama gak mau temenan lagi sama Guntur."

Helaan napas panjang Guntur keluarkan. "Kamu kan gak papa, sehat wal afiat malah," cetus Guntur heran. Sahabatnya itu sangat childish dan terkadang ia bingung menghadapi sikap Ama yang angin-anginan.

Ama bangkit, ia berkacak pinggang dan menatap penuh permusuhan pada sang sahabat. "Guntur emang gak sayang Ama."

Setelahnya ia berlalu meninggalkan Guntur yang terdiam membisu. Perempuan memang sangat sulit untuk dimengerti dan penuh akan misteri.

"Tunggu, Ma!" teriak Guntur dengan tangan sibuk menutup bekal makan sang sahabat lantas membawanya dengan tergesa-gesa.

"Ih, Guntur jangan pegang-pegang. Ama masih sebel sama Guntur!" pintanya dengan nada tinggi.

"Maaf, refleks." Lelaki itu pun melepaskan cekalannya.

"Tangan Ama jadi merah ini, Guntur jahat ih, masa kasarin Ama," katanya seraya mengelus penuh sayang pergelangan yang menjadi korban dan ada ruam bekas kemerahan.

"Pelan juga, masa iya sampe merah. Sensitif banget kulit kamu," dengkus Guntur sedikit sebal.

Ama memutar bola mata malas. "Tenaga cowok kan gede, sedangkan kulit cewek senitif. Ya jadi wajar aja kalau perlakuan Guntur tadi ngelukain Ama!"

Guntur mengangkat sebelah tangannya yang terbebas, tanda menyerah. Sedang yang lainnya masih asik memegang tempat makan Ama. "Maaf deh."

"Ama maafin tapi ganti dulu makan siang Ama," sahutnya dengan cengiran khas menampilkan gingsul yang terletak di antara deretan gigi lainnya.

Guntur mengangguk. "Mau makan apa?"

Gadis itu meletakkan jari di dagu, persis sama seperti anak kecil yang tengah berpikir. "Nanti aja deh, bentar lagi Ama ada kelas."

"Ya udah sana, telat nanti," titah Guntur yang langsung Ama patuhi.

"Pulangnya bareng yah, Guntur tunggu depan gerbang aja nanti Ama nyusul." Pemuda berjas kuning itu hanya mampu mengangguk lega.

Ia menepi dan duduk di undakan tangga, masih ada waktu sekitar 15 menit lagi sebelum kelas kedua berlangsung. Ia membuka kotak makan milik Ama dan memakannya dengan lahap.

"Masakan Tante Ghina emang paling top," ujarnya dengan mulut penuh nasi goreng. Rezeki nomplok ia bisa menikmati makanan selezat ini.

"Geluduk!"

Mendengar hal itu sontak membuat Guntur tersedak dan terbatuk-batuk, sedangkan sang dalang kekacauan hanya tertawa penuh kemenangan.

"Sopan dikit napa jadi orang!" dengkusnya kesal. Selera makan lelaki itu langsung hilang ke peradaban.

"Lebay lo kaya cewek, gitu aja kaget!"

Guntur meninju lengan bagian atas sang sahabat karib yang sudah menemaninya sejak masa putih biru itu. "Semerdeka lo aja lah."

"Cewek manja lo mana? Kangen gue liat dia ngerengek-rengek kaya bocil," tanyanya dengan kerlingan mata nakal.

"Namanya Ama, bukan cewek manja. Ada apaan sih cari dia?" sahut Guntur dengan nada tak santai. Ia tak suka jika ada orang lain yang menghina serta meledak sahabat kecilnya.

"Cuci mata."

"Ke mushola sono, wudu, nah itu baru namanya cuci mata!"

Lelaki bernama Kahfi itu tertawa hambar sebelum berujar, "Kalau suka datangi bokap nyokapnya sana. Diembat orang baru nyaho lo!"

"Suka? Ya gak lah, Ama tuh udah kaya adek gue sendiri. Mana ada ceritanya gue jatuh cinta sama tuh bocah," sangkal Guntur yang dihadiahi decakan.

"Nyangkal mulu lo jadi orang, gue nikahin juga tuh si bocil," ujar Kahfi yang membuat rahang tegas Guntur mengencang.

"Langkahin dulu mayat gue!" Setelahnya ia berlalu meninggalkan sang sahabat yang malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Gue sumpahin lo cuma bakal jadi pagar bagus di nikahannya!" teriak Kahfi yang hanya dibalas lirikan sinis.

"Hujan sama guntur itu saling hidup berdampingan dan tak terpisahkan. Sekalipun akan ada pelangi, guntur akan tetap dinanti."

Kahfi melempar bolpoin yang berada di saku jasnya tepat sasaran hingga mengenai bagian belakang kepala Guntur. "Ngimpi di siang bolong. Di mana-mana itu geludug ditakutin."

"Suka-suka lo dah manusia gua!" sahut Guntur dan segera melanjutkan laju tungkainya yang sempat terhenti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro