Ghilsa
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sesuatu yang semula dianggap baik-baik saja, belum tentu pula seperti itu adanya. Jangan terlalu percaya diri bahwa hidup akan lurus-lurus saja, sebab ujian dan rintangan akan senantiasa datang beriringan."
Sudah beberapa minggu terakhir Ama sudah tak lagi bisa bercengkrama dengan Guntur, geraknya begitu terkekang. Terlebih kakak pertamanya yang sangat menyebalkan, setiap hari lelaki itu selalu membuntuti ke mana pun Ama pergi. Efek kejomloan sang kakak sangat berdampak buruk pada hubungan dirinya dan juga Guntur.
"Bang Gilang bisa gak, gak usah ngintilin Ama terus?"
Gilang menggeleng tegas dengan tangan bersidekap dada. "Kamu yang buat Abang jadi jomlo, ya jadi kamu juga gak bisa berdua-duaan lagi sama si geludug!"
Ama memukul bahu kakaknya. "Bang Gilang nyebelin. Salah sendiri malah ngajak anak gadis orang pacaran. Ya wajar kalau Bunda marahin Abang dan nyuruh putus."
"Pacaran itu biasa, kuno kalau zaman sekarang gak punya pacar. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu menyakitkan," ungkap Gilang dengan dibarengi sesi curhat colongan.
"Pacarannya pas udah nikah aja, Ama jamin Bunda sama Ayah gak akan recokin Abang," cetus gadis itu memberi masukan.
"Otak kamu isinya nikah mulu dah. Mau Abang kasih makan apa Aira? Dikira nikah cuma yang enak-enaknya aja apa? Gak!"
"Ih Abang malah ngegas, kan Ama cuma kasih saran aja. Kalau gak mau nurutin ya udah gak usah," sahut Ama sedikit kesal.
"Mulai hari ini Bang Gilang gak usah antar jemput Ama lagi. Titik gak pake koma, tapi pake tanda seru!"
Gilang menyentil dahi adik bungsunya. "Jangan sok ngatur-ngatur, itu emang udah jadi tugas dan tanggung jawab Abang. Ya udah terima nasib aja sih, susah amat."
"Ama kan mau diantar jemput Guntur, Abang!"
"Si geludug gak ada. Kamu mah macem-macem aja, yang ada Abang kena omel Ayah sama Bunda lagi kalau kamu tetep ngeyel."
Ama mendengkus kasar. "Bang Gilang kan baik, ganteng, rajin menabung lagi, boleh yah untuk hari ini aja berangkat kuliahnya Guntur yang antar," bujuknya dengan tangan saling menangkup penuh harap.
"Gak mem—"
Kalimat Gilang terpotong kala mendengar suara keributan yang berasal dari kamar adik pertamanya. Mereka saling berpandangan sampai akhirnya berlari ke arah kamar Ghilsa dengan terburu-buru.
"Ama dulu Abang!" protes Ama saat mereka berhimpitan di tangga.
"Yang kecil ngalah," ucap Gilang tak mau mengalah.
"Di mana-mana abang yang ngalah sama adek. Bukan malah kebalik kaya gitu. Bang Gilang mah emang nyebelin!"
"Banyak ngomong kamu mah!" Setelahnya Gilang langsung melesat dan sedikit menyenggol sang adik agar memberikan jalan.
"Bunda ... Bang Gilang jahat!" adunya saat tubuh gadis itu terpelanting dan jatuh di anak tangga terakhir.
"Lebay. Orang cuma jatuh dikit aja juga," ujar Gilang dan berlalu meninggalkan Ama yang kini sedang berusaha untuk bangkit.
Lututnya sedikit membiru karena terbentur tepian tangga, dan itu lumayan perih serta sakit. Tapi dengan tanpa dosa kakaknya itu malah berlalu begitu saja.
Langkah Ama tertatih untuk menuju lantai atas. Sesekali ia meringis akibat rasa ngilu yang ditimbulkan. "Ama laporin Ayah, biar Bang Gilang tahu rasa!"
Saat kakinya mencapai undakan tangga paling atas, ia dibuat membatu kala mendengar suara menggelegar milik sang bunda.
"Itu punya siapa, Ghilsa?!"
Tubuh Ama menggigil bukan main, ia tak pernah sedikit pun mendengar intonasi penuh amarah bundanya, dan itu cukup membuat ia takut.
"Ghil-sa bisa jelaskan, Bunda," sahut Ghilsa dengan suara bergetar, bahkan linangan air mata sudah menganak pinak di sana.
"Jelaskan semuanya!" Nada suara Ghina sudah melemah, tapi syarat akan emosi serta kecewa yang begitu besar.
Ama meringsak masuk dan memegang erat tangan Gilang, keduanya hanya menjadi penonton yang diliputi banyak rasa penasaran. "Mbak Ghilsa sama Bunda kenapa, Bang?"
"Diem. Jangan berisik bisa gak sih?" sahut Gilang agar Ama tak menggangu fokusnya.
Gadis itu menurut. "Lutut Ama sakit, Abang, lecet," adunya yang langsung Gilang hadiahi dengkusan kasar.
"Ma-ma-afin Ghilsa, Bunda, maaf," ungkapnya terisak pilu, bahkan tangan perempuan itu pun berusaha untuk menggapai sang bunda.
"Bukan permintaan maaf yang ingin Bunda dengar. Katakan benda itu bukan punya kamu!"
Napas Ghina memburu dengan begitu cepat. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja dilihatnya di kamar sang putri. Hatinya sangat amat tertohok tak percaya.
Sebuah gelengan Ghilsa berikan, dan itu berhasil meluruhkan tubuh Ghina hingga terduduk lesu tak berdaya. "Maafin Ghilsa, Bunda," katanya ikut meluruh bersama Ghina.
Ghina memejamkan netranya cukup lama, rasa sesak di dada begitu menyeruak dengan begitu hebat. "Si-si-apa yang melakukan itu sama kamu?"
Ghilsa bungkam dan menunduk dalam, matanya berkeliaran ke sana-kemari dan membatu kala melihat kakak beserta adiknya berdiri di ambang pintu.
"Jawab Bunda, Ghilsa!"
Wanita itu menggeleng frustrasi. Perasaannya sudah dibuat tak keruan, dan lagi ia tak bisa mengatakan kebenaran menyakitkan ini. Ia tak sanggup untuk lebih melukai hati sang bunda.
"Ada apa pagi-pagi sudah ribut?!"
Suara tegas Ghani mengambil fokus semuanya, terlebih Gilang dan juga Ama yang mematung kaget dibuatnya.
"Sejak kapan kalian diajarkan menguping, hm?" Pertanyaan itu Ghani layangkan bersamaan dengan tangannya yang bergerak untuk menjewer kuping kedua anaknya.
"Sakit, Ayah, lepas," pinta Ama meringis. Sedangkan Gilang terlihat santai saja, jeweran ayahnya tak sedikit pun terasa sakit. Adiknya memang terlalu berlebihan.
"Awwww, sakit, Yah!" jerit Gilang saat Ghani memelintir telinganya dengan begitu sadis.
"Berangkat ke kampus sana. Kaya gak diajarin etika sama tatakrama aja kalian ini. Mau Ayah potong kuping kalian?"
"Jangan!" kompak keduanya.
"Ya udah sana ke kampus!" titah Ghani tegas.
"Lepas dulu dong, Yah, bisa copot beneran nih kuping Gilang," kata sang putra.
Ghani menurut dan langsung mengusir putra serta putrinya untuk segera bergegas ke kampus. Ia menghampiri istri dan juga putri keduanya yang tengah terduduk lesu di lantai.
"Ada apa?" tanyanya lembut tapi syarat akan ketegasan.
Ghina terdiam beberapa saat sampai akhirnya ia tenggelam dalam pelukan sang suami. Tangisnya kembali pecah tak terbendung saat mendapati elusan yang Ghani berikan.
"Tenangkan diri kamu, istigfar," pintanya dan langsung dipatuhi sang istri.
"Ghil-sa, Mas," isaknya pilu.
Ghani terpaku dan menatap lekat ke arah sang putri yang kini tengah menunduk dalam, lalu kembali melihat ke arah sang istri. "Kenapa sama Ghilsa?"
Tangan Ghina yang sedari tadi bergetar karena memegang sebuah benda yang tak sengaja ia temukan di balik tumpukan bantal pun bergerak dan menyerahkannya pada Ghani.
Wajah Ghani seketika berubah menjadi merah padam, urat-urat lehernya mengencang dengan begitu kuat. Netra pria itu menghunus tajam pada sang putri yang semakin dirundung ketakutan.
"Siapa yang sudah menghamili kamu, Ghilsa?!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro