Definisi Sakit Tak Berdarah
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Puncak dari mencintai adalah mengikhlaskan, merelakan saat ia harus bersanding di pelaminan dengan orang lain."
Garis takdir itu terkadang konyol dan tak bisa dicerna oleh nalar. Ia yang berjuang serta diperjuangkan ternyata hanya berstatus sebagai jodoh orang, tapi ia yang diabaikan malah berakhir di pelaminan. Jodoh memang sebercanda itu, tapi rasa sakitnya jelas bukan main dan tak pantas untuk dijadikan sebagai bahan lelucon.
Pernah berkhayal dan berkeinginan bahwa ia yang sudah lama bertahta di hati akan mendampingi dan menjadi suami. Tapi kini, semua itu ditepiskan oleh takdir Tuhan yang terkesan serba dadakan serta tak bisa dipikir akal logika. Ingin menentang dan menolak, namun tak memiliki kuasa. Alhasil hanya mampu membatin dan menangis dalam diam penuh kesunyian.
Melihat seseorang yang dulu pernah menjanjikan sebuah kebahagiaan, dan berjanji pula akan menghalalkan yang kini justru tengah bersanding di pelaminan dengan wanita lain membuat gemuruh dalam dada memberontak tak tahu malu. Rasa sakit dan tak terima itu saling menguasai. Ia ingin pergi dan melarikan diri, terbebas dari pemandangan yang mampu membuatnya iri.
"Abang tahu ini gak akan mudah buat Ama, Abang juga tahu sakitnya kaya gimana. Tapi Ama harus bisa menerima kalau sekarang, Guntur berstatus sebagai ipar Ama," ujar sang kakak seraya merangkul bahu sang adik menguatkan.
"Ama yang dilamar, tapi yang dinikahin malah Mbak Ghilsa. Hati Ama sakit, Abang," adunya dengan suara lirih dan bergetar. Sangat kentara sekali bahwa gadis itu tengah menahan tangis.
"Itu namanya belum jodoh," sahut Gilang dengan sunggingan tipis. Ia tahu ini menyakitkan, bahkan ia pun pernah berada di posisi sang adik.
Menyaksikan seseorang yang disayang untuk menikah dengan orang lain bukanlah perkara sepele yang bisa mudah dilupakan. Karena pada nyatanya bayangan itu akan selalu terkenang dan sulit untuk dienyahkan.
"Kenapa Ayah jahat sama Ama? Ayah kasih restu Guntur buat nikahin Mbak Ghilsa. Tap—"
"Bukannya jahat, ini memang yang terbaik untuk kita semua. Coba Ama bayangkan kalau sampai Mbak Ghilsa nikah sama Hadid? Ayah gak akan pernah bisa melepas Mbak Ghilsa sama lelaki gak bertanggung jawab seperti dia. Ama harus bisa legowo dan ikhlasin Guntur," potong sang kakak cepat.
Ia tak ingin mendengar apa pun lagi yang keluar dari sela bibir sang adik. Itu hanya akan semakin membuat luka lama semakin terkorek dan sulit dihilangkan. Adiknya harus move on, dan terbebas dari belenggu cinta yang keliru.
"Tapi kan Bang Hadid udah berubah, Bang, gak kaya dulu lagi," sangkalnya tak mau menerima.
Gilang tersenyum simpul dan mengacak lembut puncak kepala sang adik. "Kepercayaan itu diibaratkan seperti kaca, sekali retak tak bisa lagi diperbaiki seperti semula. Mungkin bisa diusahakan, tapi kaca itu gak akan pernah bisa menimbulkan bayangan secara sempurna. Begitu juga dengan kepercayaan Ayah sama Hadid, dia sudah melakukan kesalahan fatal yang gak bisa Ayah toleransi, dan inilah yang harus Hadid terima."
"Tapi kenapa harus Guntur?"
Lelaki itu mengecup lembut ubun-ubun sang adik lantas berucap, "Guntur datang melamar dan meminta Mbak Ghilsa untuk menjadi istrinya. Gak ada alasan lagi untuk Ayah menolak, sebab Ayah takut Mbak Ghilsa akan kembali luluh dalam pelukan Hadid. Paham, kan?"
Ama menggeleng polos, penjelasan sang kakak hanya membuat pening kepala saja. Terlalu berbelit-belit dan tak langsung pada intinya. Otak gadis itu ngadat jika terlalu banyak mencerna kosakata yang sulit untuk dipahami.
"Sekarang Ama sendirian, gak punya sahabat lagi. Guntur pasti bakal lupain Ama dan hidup bahagia sama Mbak Ghilsa. Sedangkan Ama?"
Gilang tertawa kecil guna menghibur kedukaan yang tengah sang adik rasakan. "Ada Bang Gilang, mulai sekarang Bang Gilang akan tinggal di sini. Skripsi Abang udah selesai, dan tinggal nunggu jadwal wisuda aja."
Ama hanya mengangguk tanpa minat, lantas netranya tertuju pada sang kakak dan juga sahabat yang tengah saling berfoto di pelaminan. Lagi-lagi rasa sesak itu menyeruak dengan begitu hebat, terlebih kala melihat pose Guntur dan juga Ghilsa yang terlihat manis serta romantis.
"Ama juga mau kaya Mbak Ghilsa, Bang Gilang," rajuknya seraya menggoyang-goyangkan lengan Gilang secara brutal.
"Nanti foto berdua sama Bang Gilang, sad boy ketemu sad grils," godanya yang lantas dihadiahi dengkusan kasar oleh Ama.
"Kasih selamat dulu sana, masa kakak sendiri nikah gak diselamatin," titah Gilang yang langsung dibalas gelengan keras.
"Ama gak kuat, liat mereka dari jauh aja udah buat lutut Ama lemes. Apalagi kalau harus ke sana, gak mau!"
Gilang terkekeh dan mencubit gemas pipi sang adik. "Sahabatnya nikah masa gak dikasih selamat. Cuma selamat doang juga, nanti balik lagi ke sini. Temenin kesendirian Abang."
"Kalau Ama pingsan di pelaminan gimana? Abang mau tanggung jawab?" serbu Ama kesal. Tadi saja pada saat ijab kobul berlangsung ia tak berani menyaksikan, malah asik mojok di kamar dan menyumpal telinganya dengan headset.
"Lemah. Cowok masih banyak, tinggal cari lagi aja apa susahnya sih." Dengan sadis Ama menginjak kaki sang kakak. Sebal mendengar kalimat yang baru saja dituturkan olehnya.
"Bang Gilang juga masih aja betah sendiri, padahal udah lama ditinggal nikah sama Mbak Aira. Cewek, kan banyak gak cuma satu!"
"Udah pinter skakmat Abang yah sekarang. Awas aja nanti kalau Abang udah punya gandengan, Abang pamerin ke kamu," ujarnya dengan gaya pongah.
Ama memutar bola mata lantas berujar, "Ya udah cari aja sana. Lagian Ama gak akan ngiler juga kalau Bang Gilang nikah!"
Setelahnya gadis itu pun berlalu meninggalkan sang kakak yang terlihat tengah tertawa dengan begitu puasnya. Sekuat tenaga ia meyakinkan diri untuk menaiki pelaminan serta mengucapkan selamat pada sang kakak dan juga sahabat.
Sebisa mungkin Ama memberikan senyum terbaik lantas berucap, "Selamat atas pernikahannya yah Guntur, Mbak Ghilsa. Ama ikut seneng."
Ama mendongak dan mengedipkan beberapa kali netranya agar tak mengeluarkan air mata. Lantas dengan penuh kelembutan ia merengkuh tubuh sang kakak. "Ama ikut bahagia kalau Mbak Ghilsa bahagia. Ama ikhlas Guntur jadi suami Mbak," bisiknya di balik punggung sang kakak.
Ghilsa mengelus tubuh bagian belakang sang adik menguatkan. Ia merasa sangat berdosa karena menjadi perantara atas duka yang dirasakan sang adik tercinta. "Mbak harap kamu gak membenci Mbak, Ma. Mbak gak mau kehilangan Ama."
Ama melepaskan rengkuhannya dan memberikan senyum tulus pada sang kakak. "Gak akan. Ama sayang sama Mbak, buat apa juga Ama benci kakak Ama sendiri." Perasaan Ghilsa sedikit lega kala sang adik mengutarakan hal tersebut.
Pandangan Ama jatuh pada sang sahabat yang terlihat tengah asik menyalami beberapa tamu yang hadir. "Guntur," panggilnya, dan hal itu membuat sang empunya nama menoleh. Ia memberikan senyum tipis.
"Ama titip Mbak Ghilsa, jangan sakiti kakak Ama yah," ujarnya dengan sorot mata yang sudah mulai berembun. Guntur tak menjawab, ia hanya mengangguk dan lagi-lagi memberikan senyum terbaik.
"Cepet-cepet kasih Ama ponakan yah," imbuhnya terkekeh pelan, bukan tanpa sebab. Hal itu dilakukan untuk menutupi rasa perih yang kian mengiris hati.
"Aamiin." Jawaban kompak itu diungkapkan Ghilsa dan juga Guntur, bahkan tanpa segan Guntur merangkul bahu sang istri di hadapan Ama.
"Ish, bikin Ama baper aja sih. Kabur ah!" katanya yang direspons kekehan oleh pasangan pengantin baru tersebut.
Sedangkan tanpa mereka ketahui, hati gadis itu tengah menjerit pilu. Sakit, rasanya teramat pahit. Ama langsung berlari dan mencari keberadaan Gilang untuk meluapkan kesakitan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro