Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

Sekali lagi ngasih tahu kalau Novel Cita-cita menikah, He's not normal dan kata mereka tersedia yaaaa. plis DM bagi yang mau beliii.

Dan bagi yang baca cerita ini mohon bantuannya untuk divote dan komen yaaaa. supaya aku tetep semangat nulis ehhheh dan bantuannya juga untuk disebarkan ke kerabatnya mengenai cerita ini.

Terima kasih. Selamat membacaaaaa

--------------------------------------------------------------------------

"Lo lihat deh cowok yang di sana. Yang pakai baju merah lagi duduk di sepeda. Ganteng banget, Na. Gue udah perhatiin lama sejak kita ospek," aduku pada Goana  sambil menunjuk dengan daguku begitu kami duduk di taman kampus dan melihat segerombolan senior yang sedang berkerumun di area pojok taman.

Aku dan Goana yang baru semester satu dan baru saja di hari pertama akan memasuki perkuliahan tentu saja memperhatikan lingkungan sekitar. Mulai dari suasana kampus, dosen, termasuk seniornya. Dan aku semenjak hari pertama MOS, sudah memperhatikan kakak senior berbaju merah itu. Sayangnya, aku belum mendapat info apa-apa tentangnya. Namanya juga baru masuk kuliah. 

"Ehm, biasa aja deh. Nggak ganteng-ganteng amat. Lebih ganteng yang di depan dia." Aku melirik ke arah telunjuk Goana. Ya posisi kami tidak begitu dekat dengan gerombolan pria sepeda baju merah itu. Apalagi dengan adanya pohon yang menutupi kami sehingga walaupun Goana menunjuk mereka tetap tidak ketahuan. 

Aku pun memperhatikan pria di depan pria yang kutaksir itu. Ehm, sebenarnya iya sih. Tapi aku benar-benar tertarik dengan pria hitam manis berbaju merah itu. Ketika kemarin pada saat ospek, cara dia mengenalkan UKM-nya kepada mahasiswa baru benar-benar membuatku terpincut. UKM alias unit kegiatan mahasiswa semacam ekskul pada jaman sekolah. Sayangnya, pada saat ospek, ia tidak mengenalkan nama dan dirinya dari fakultas mana. Apa aku waktu itu yang tidak fokus ya karena kecapekan saat ospek? Entahlah. 

"Di depan dia sih lebih putih. Tapi kan lo tahu selera gue yang item manis gitu. Kira-kira gue bisa ajak kenalan dia nggak ya?" 

"Gimana mau kenalan? Kita aja nggak tahu fakultas mereka. Lagipula itu UKM sport kan? Orang-orang itu pasti dari fakultas yang beda. Termasuk si Baju Merah sama di depannya. Mereka kemarin kalau nggak salah sempat kenalin UKM-nya ke kita deh," ungkap Goana.

"Iya, tapi kemarin dia sempat kenalin namanya nggak sih, Na?" tanyaku.

"Dia nyebut tahu, tapi pada ketawa gitu pas dia nyebut namanya. Pokoknya pesawat pesawat gitu. Gue nggak ingat. Tapi intinya dia nyebut. Sampe dibilang dia calon pilot sama anak-anak UKM yang lain," terang Goana. 

Hmmm iya kali ya. Kemarin pada saat ia mengenalkan diri memang sih terlalu banyak candaan dan ketawa. Begitu ia menyebut nama semua orang tertawa. Aku yang mengaguminya pun masa bodoh sampai akhirnya aku menyadari kalau aku kelewatan namanya. Yang aku tahu ia adalah ketua UKM tersebut. Seharusnya mudah sih bagiku mencari identitasnya.

"Oke deh. Berarti gampang cari tahu soal dia. Toh ketuanya ini. Nah nanti gue sekalian cari tahu deh yang di depannya juga," sambutku riang. 

Goana menatapku sembari mengerutkan dahinya. "Kenapa kita nggak masuk ke UKM-nya aja? Jadi, lo ga repot cari-cari informasi tentang dia?"  Aku jentik dahinya Goana. Dasar si Goana ini kadang-kadang. "Au! Kenapa, Jy?"

Kuputar bola mataku ke atas. "Kan baru bisa daftar UKM tunggu udah tiga bulan. Orang kita baru kelar ospek juga. Nunggu daftar kelamaan," tanggapku. 

"Iya sih. Terus gimana cara lo cari tahu soal mereka?"

Aku menyengir. "Gampanglah. Ntar lo tinggal terima jadi."

Dan perbincangan kami di hari itu tentang pria bersepeda memakai baju merah itu pun terhenti sampai di sini. Aku sudah tahu hal-hal apa saja yang akan aku lakukan. Aneh rasanya memang karena baru kali ini aku sesuka itu melihat pria hanya dari pandangan pertama. Tapi cara dia menerangkan UKM-nya benar-benar tegas. Apalagi suaranya yang sangat berat jadi terlihat sekali lakinya. Semoga nanti kudapatkan soal dirinya.

***

Akhirnya proses pencarianku berhasil. Setelah beberapa hari mengawasi aktivitas pria berbaju merah itu, aku bisa tahu selalu ke mana ia jika memesan makanan di kantin. Dan caraku cukup cerdas karena aku menanyakan nama pria itu ke Ibu Kantin.

Dan namanya adalah Angkasa Pura Jaya! Otomatis ingatanku kembali ke masa ia mengenalkan UKM-nya. Pantes saja pada saat ia menyebut nama sontak tawa pecah terutama dari anggotanya. Calon pilot? Secara namanya adalah nama BUMN penerbangan. Aku terkikik sendiri begitu mendengar namanya dari Ibu Kantin. Dan wajar aku sampai tidak ngeh dengan namanya. Dia menyebut kok namanya siapa. 

Karena mengingat Goana, aku sekalian menanyakan pria yang juga diincar oleh Goana. Namanya Wira. Aku baru tahu dari Bu Kantin bahwa pamor mereka di kampus ini memang lumayan dan dia hobi sekali bersepeda. Sayangnya, Ibu Kantin tidak tahu dia dari fakultas apa. Hmmm, harus kerja keras lagi dong.

"Na, gue udah tahu namanya!" aduku pada Goana di saat kami sedang beristirahat.

"Siapa?" tanya Goana dengan mata yang terfokus pada ponselnya. Entah kenapa aku merasa Goana agak cuek tiap kali aku curhat soal pria yang kusukai itu. Tapi bagaimana lagi. Hanya Goana temanku. Aku belum akrab dengan anak-anak lainnya.

"Angkasa Pura Jaya!" ucapku semangat. 

Goana segera meletakkan ponselnya. "Serius namanya itu? Udah kayak nama ...."

Belum selesai Goana bicara, "Nama yang di bandara kan? Pantes aja kemarin lo bilang pesawat dan calon pilot kan. Ternyata namanya berhubungan sama hal itu," jelasku dengan tawa di sela kalimatku. 

"Panggilannya Angkasa?"

Ketika aku bertanya pada Ibu Kantin, beliau bilangnya sih Mas Kasa. Mas Angkasa Jaya. "Katanya sih Kasa. Tapi gue nggak mau sebut dia itu ah. Gue mau punya panggilan unik sendiri." 

Ya, aku sudah memikirkan panggilan yang tepat untuk si Angkasa ini dan hanya diriku seorang yang akan memanggilnya seperti itu. Khusus dari Jyora. Begitu kemarin aku tahu nama lengkapnya, malam-malam segera kutulis list-list nama yang tepat untuk si pria itu. Tak hentinya wajahku tersenyum membayangkan diriku memanggil namanya. 

"Apaan emang?" tanya Goana. 

"Mas Angkas."

Goana terbahak, tapi begitu kulirik tajam ia pun mengurungkan niatnya untuk tertawa. "Sori, tapi itu lucu banget sih, Jy."

"Lucunya di mana ya?" tanyaku mulai sebal.

"Lo buat nama dia semau lo. Kayak dia mau aja dipanggil Mas Angkas. Kan tadi kata lo Kasa. Kenapa nggak Mas Kasa aja?" 

Kumanyunkan bibirku. "Ya suka-suka gue lah. kalau dia ngga suka dengan panggilan itu ya gue akan cari panggilan lain. Tapi untuk sementara karena gue belum kenal dia, ya gue akan sebut dia dengan panggilan itu."

Dan flashback-ku tentang asal muasal panggilan Mas Angkas telah selesai. Semua itu otomatis terputar. Serius, mengingatnya membuat dadaku sesak. Seharusnya hanya aku yang memanggilnya dengan sebutan Mas Angkas, tapi barusan dia bilang apa? Ada orang lain lagi selain aku? Serius, mau menangis rasanya ....

Apalagi mendengar ketika mereka tertawa lepas begitu mendengarku yang tak sengaja menyebut Angkasa dengan sebutan Mas Angkas. Cara mereka tertawa mengingatkanku dengan tawa Goana. Belum lagi ucapan Donal barusan yang bilang bahwa kisah kami terbalik. Aku mengenal Mas Angkas dan Mas Angkas tidak. Benar-benar menyesakkan ....

Goana ....

Tak kusangka ternyata ia juga menyematkan panggilan Mas Angkas pada Angkasa. Tega sekali dia ....

"Wah, ternyata lo satu kampus dengan gue ya dulu?" Pertanyaan Mas Angkas membuyarkan lamunanku.

"Hah? Kenapa?" tanyaku kaget sembari mengubah ekspresiku menjadi penuh senyum.

"Lo anak kampus kuning?" Kuanggukkan kepalaku. Iya, aku satu kampus denganmu, Mas .... jawabku dalam hati. "Tapi kita beda jurusan ya. Pantes sih gue nggak kenal lo meskipun rasanya nggak asing. Mungkin dulu kita pernah ketemu kali ya, tapi kita nggak saling kenal jadinya nggak tahu."

Aku hanya tersenyum dibuat-buat. Melihatnya membuat semua perjuanganku jadi sia-sia. Betapa aku bodohnya waktu itu. Aku terlalu percaya dengan Goana dan semua ucapannya. Bayangkan, ia sama sekali benar-benar tak mengingatku.

Astaga! Aku jadi teringat hal lain yang tak kalah penting. Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan milik Om Ronny alias papanya Goana! Apa jangan-jangan yang memasukkan Mas Angkas ke sini adalah Goana? Berarti intinya dia sama saja sepertiku dong! Masuk ke sini berkat orang dalam.

"Lo fakultas ekonomi dan bisnis. Hmmm, gue ada nih kenal satu orang di sini."

Ya! Aku juga kenal! Pasti Goana kan maksudnya?! Malah dulu aku dekat dengannya!

"Yaelah, Kas. Anak kampus kuning jurusan ekonomi mah gue juga banyak kali kenalnya. Padahal gue bukan alumni kampus kuning. Buktinya bisa kenal sama Jyo," sanggah Kewa.

"Sama, gue juga," timpal Donal. Menuk dan Opey mengangguk menyetujui ucapan Kewa dan Donal. 

"Masalahnya orang yang manggil gue Mas Angkas itu orang yang satu jurusan juga sama dia. Makanya gue nanya. Kalau kenal ya bisa aja kapan-kapan reuni gitu sebagai satu alumni kampus kuning," tanggap Mas Angkas santai. 

Wait wait, maksudnya apa? Reuni? Big no! "Nggak mau ...." Astaga! Bisa-bisanya aku keceplosan bicara lagi dan tentu saja pernyataanku barusan memancing tatapan tajam kelima pria yang berada di sekitarku ini. 

"Wah, lo kayaknya beneran ada masalah sama Angkasa deh, Jy. Tadi lo bilang dia bohong. Sekarang, lo nolak ajakan dia. Gawat. Anak baru udah berani sama bos nih. Didik, Kas, hahaha." 

Kusentuh bibirku. Ya ampun, bisa-bisanya. Ini lagi si Opey. Kompor sekali sih. Baru hari pertama sudah berkali-kali diriku dibuat kesal. Sayangnya aku anak baru. Belum bisa menunjukkan diriku apa adanya. Semoga aku cepat-cepat dapat panggilan di tempat lain deh. Aku rasa tidak akan nyaman rasanya bekerja dengan tim yang orang-orangnya begini. 

Tiba-tiba Mas Angkas. Wait, aku ralat. Mas Angkas itu adalah panggilan manisku padanya di saat dulu ketika aku begitu menyukainya. Tapi kan sekarang perasaan itu sudah tidak ada. Kusebut namanya Angkasa saja. Dengan begitu, masa lalu bodohku pasti tak akan terbayang-bayang. Aku pun melirik Angkasa yang tak kusangka, di saat yang sama ia juga melirikku sinis. Kubuang segera pandanganku. Sudah berapa kali coba ia melirikku? Apa ia sedang mencoba-coba mengingat diriku?

Tiba-tiba Angkasa menghelakan napasnya panjang. Kenapa coba lagi dia?

"Oke. Sebaiknya kita nggak usah bicarakan hal di luar kantor. Panggilan lo Jyora kan?" Aku mengiyakannya. "Karena tadi lo udah kenalan sama mereka berempat, kali ini giliran gue. Dan sebenarnya agak mencurigakan sih karena lo bisa manggil gue Mas Angkas. Tapi ya itu ntarlah kita bicarakan. Ya, nama gue Angkasa. Kalau lo nyaman manggil gue Mas Angkas nggak masalah. Tapi orang-orang di sini biasa manggil gue Kasa. Gue Lead di sini. Kita belum ada Head, jadi apa-apa langsung lapor ke Mas Ronny selaku CEO. Maklum namanya juga startup."

"Lo nggak kasih tahu nama lengkap lo, Kas?" celetuk Menuk. 

Seketika gelak tawa hampir pecah termasuk diriku namun, "Gue yakin Jyora harusnya udah tahu juga. Jadi nggak perlu gue jelasin."

Sepertinya di mana-mana nama Angkasa ini memang menjadi candaan. Tidak jaman Mos bahkan sampai jaman kerja. Hmmm seandainya saja mereka tahu nama kakak-kakaknya Mas Angkas, eh Angkasa, pasti mereka akan lebih tertawa lagi. Tapi yasudahlah. Lupakan hal tentang Angkasa.

"Pura Jaya?" Allahuakbar! Jyoraaaa, mulutmuuuuu! Kali ini kutepuk pelan berkali-kali bibirku. Ini mah sudah pasti alamat ditanya sama mereka. 

Lagi-lagi pelototan penuh tanda tanya menghampiriku. "Jy, lo gila sih. Ada apa dengan lo dengan Angkasa, Jyoraaaa?!" tanya Donal histeris. Bahkan ia sampai menutup mulutnya kaget. Tuhkan benar. Donal saja sampai bereaksi seperti itu. 

"Jy, lo kenal dengan Angkasa? Okelah, lo dulu satu alumni. Tapi ini udah ketiga kalinya lo kelepasan gini," tambah Kewa yang tak kalah herannya dengan yang lain. 

Kuteguk ludahku bingung. Masa iya aku harus jujur? Tidak. Itu tidak mungkin. Tidak ada cara lain. Aku harus mencari alasan selogis mungkin. Otakku terus berputar berusaha berpikir. Ayo, Jyo. Ayo ....

"Dulu gue satu kampus dengan Mas eh maksud gue Angkasa, te ...."

Ucapanku dipotong Angkasa. "Kalau lo lebih nyaman manggil gue Mas Angkas, panggil itu aja nggak apa-apa," ujarnya sembari menyandarkan dirinya ke kursi dan melipat tangannya di depan dada. Kali ini kurasa ia juga tidak mampu menahan rasa penasarannya, tapi perintahnya itu tak akan kugubris. Panggilan itu adalah panggilan sayang dan unik yang memang diperuntukkan untuknya. Jika sedang dalam kondisi biasa tak akan kupanggil dirinya Mas Angkas.

"Terus dia waktu itu adalah ketua UKM sport. Nah, dia cukup terkenal waktu itu. Jadi angkatan gue cukup tahu sama sosok Angkasa termasuk nama lengkapnya. Terkait panggilan Mas Angkas itu karena gue terbiasa manggil senior gue dengan panggilan Mas disertai nama depannya. Kayak Arkewa nih." Aku menoleh melihat Kewa yang menatapku ragu. "Kalau gue nggak kenal dia di tinder bisa aja gue manggil dia Mas Ar. Gitu juga dengan kalian semua. Jadi gue emang cuma adik angkatan aja."

Semoga dengan penjelasanku mereka semua mengerti dan tidak bertanya-tanya lagi. Ucapanku tidaklah 100% bohong. Masalah terkenal mungkin itu hanya persepsiku saja dan terkait panggilan Mas Angkas, ya itu bagian bohongnya. Kutatap mereka satu per satu seolah meminta tanggapan mengenai penjelasanku.

"Masuk akal sih penjelasannya," tanggap Opey.

Menuk mengangguk. "Berarti di sini ada tiga orang ya yang udah saling kenal. Donal meskipun masih nggak diakui Jyora. Kewa yang diakui Jyora, dan tak disangka adalah Mas Angkasa yang nggak kenal Jyo."

Kewa mendengkus. "Tapi kok gue masih ragu ya, Jy?" tanyanya tak percaya. 

Duh, kenapa lagi si Kewa ini? "Kenapa, Wa?" tanyaku lembut berharap ia tak memperpanjang masalah ini.

Ia pun melirik Angkasa. "Angkasa sama gue gantengan gue. Emang dia seterkenal itu sampai lo jadi tahu soal dia?"

Angkasa tak terima. Ia pun membenarkan posisi duduknya. "Lo mau bukti, Wa?" 

Dari beberapa menit aku berinteraksi dengan Angkasa, perlahan aku mengetahui sikapnya. Ia sama sekali tak bisa dikompori oleh anggotanya. Ya seperti sekarang buktinya. 

"Oke. Gue sekalian buktiin kecurigaan gue juga sih," ujar Angkasa sembari mengorek kantong celananya dan ia mengeluarkan ponselnya. Jantungku langsung berpacu cepat. Apa coba yang mau ia lakukan?

Ia terlihat menyalakan ponselnya dan menekan-nekan layar pada ponselnya. Tak lama setelah itu, ia tempelkan ponsel ke telinganya. Semua orang menyaksikan tindakannya sekarang sampai akhirnya ....

"Halo, Goana ...."

Entah dari mana keberanianku muncul. Aku bangkit dan tanganku berusaha mencapai ponsel Angkasa dan refleks menepis ponsel dari telinganya sehingga ponselnya melayang. Aku tentu tak membiarkan ponselnya jatuh ke lantai. Aku berusaha menangkapnya. Sialnya, karena lututku yang masih sedikit pedih, kakiku tak kuat menahan tubuhku dan ....

"Jyoraaaa!" Pekikan keempat pria selain Angkasa memenuhi telingaku dan entahlah. Serasa dunia mau kiamat. Huaaaaaa.....

***

PLIS TANGGAPAN UNTUK CHAPTER INI. LAGI SEMANGAT NULIS NIH. PLIS RESPON DONG PLIS. YAY OR NAY???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro