
T W E N T Y - T W O [Repost]
"BUKAN seperti itu caranya, Ellie."
Aku menoleh, menyaksikan Acres yang mengerutkan dahi tidak setuju, dia bergegas menghampiri aku, menampar punggung tanganku yang tidak becus.
Sembari menggerutu Acres membenarkan pekerjaanku yang berantakan. Matanya menyipit, penuh konsentrasi sementara kedua tangannya dengan cekatan menyambungkan kabel-kabel di dalam tubuh logam—cikal bakal robot.
Berhubung Acres lulus lebih cepat dari siswa tahun akhir, dia bisa mendapatkan izin untuk mengambil pekerjaan dan seharusnya dia mampu mendapat pekerjaan yang lebih cocok untuk isi kepalanya, tetapi alangkah bijaknya Acres, dia lebih memilih berkutat dengan ciptaannya sendiri di lab rahasia warisan orangtuanya daripada meniti karir nan cemerlang di pemerintahan.
Acres terkadang juga mendapat beberapa pekerjaan tambahan untuk memperbaiki robot-robot hewan yang error, yang sudah terlalu tua dan karatan atau bahkan jika suasana hatinya sedang baik, Acres akan langsung pergi sendiri ke rumah pelanggan untuk memperbaiki sistem server jika Tech lainnya tak kunjung datang menangani masalah itu. Penghasilannya lumayan tetapi kekurangan tenaga. Maksudku di antara saudara-saudaranya, tidak ada yang memiliki ketertarikan yang sama dengan logam-logam karatan seperti Acres.
Merekrut seseorang di luar sana juga bukanlah hal yang mudah, pasalnya tak ada yang mau menjadi anak buah dari seorang anak lelaki enam belas tahun seperti Acres. Merendahkan harga diri, begitu kira-kira pendapat mereka.
Karena itulah aku berada di sini, berusaha membantunya. Setidaknya bisa dikatakan, aku berusaha untuk tidak menghancurkan sesuatu.
Sejujurnya kalau Acres mau mendengarkan aku, sudah pasti kemarin aku sudah mendapatkan sarung tangan robot pengoreksi yang mampu bekerja lebih cepat untuk membantu supaya meringankan sedikit bebannya.
Namun seperti seharusnya, Acres menolak ide itu mentah-mentah. Aku masih ingat jelas apa pendapat Acres tentang sarung tangan rekomendasi dariku. Katanya, benda itu tidak berguna untuknya. Sarung tangan itu masih belum sempurna dari berbagai sisi dan Acres bukan tipe orang yang mudah dibujuk. Dia menyukai kesempurnaan. Otaknya memang mendukung tetapi tangannya tidak.
"Kau harus hati-hati dengan kabel merahnya, salah sedikit saja saat selesai nanti robot ini bisa meledak. Kabel emasnya harus diletakkan berjauhan dengan kabel biru. Seperti ini ...,"
Tetapi aku tidak perhatianku tidak tertuju kabel-kabel memusingkan itu. Bibir Acres bergerak dengan cepat memberiku instruksi-instruksi yang masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Alisnya menukik tajam ketika dia berusaha keras berpikir, makin cemberut ketika semakin banyak menemukan kesalahan yang kubuat.
Aku teralu sibuk memikirkan bahwa kacamata kerja Acres sudah tergores di sana-sini. Sudah harus segera diganti. Sekonyong-konyong Acres mengangkat kepala. Terlambat bagiku untuk memalingkan wajah, dan, kenapa pula aku mesti berbuat begitu, tak ada gunanya. Sebab mata emas Acres sudah terlebih dahulu memegorkiku.
Mata emas itu balas menatapku, tak ada nada menuduh di sana justru mata itu terlihat kesal. "Ellie, kau mendengarkanku atau tidak?"
Aku selalu berkata jujur, kali ini pun tak ada bedanya. "Tidak."
Acres berdecak, serta merta memukul dahiku dengan salah satu bagian robot. Aku hanya bisa terkekeh sembari mengusap dahi yang berdenyut. "Dengar, Miss Withtaker. Kau harus belajar kalau tidak mau ketinggalan terlalu banyak."
Aku memutar bola mataku, tapi tetap saja aku memberinya hormat ala prajurit Sector Dva. "Baik, Sir!"
Aku mendapat pukulan kedua tetapi tidak terlalu sakit karena aku bisa melihat Acres tersenyum. Walaupun tidak terlalu kentara tetapi senyuman itu sudah mampu membuat rasa sakit pada dahiku berkurang banyak. Akan tetapi senyuman itu menghilang secepat datangnya. Acres dengan terburu-buru kembali menekuri pekerjaanku, terus mengoceh. Berharap aku melupakan apa yang baru saja kulihat. Namun Acres tak tahu, kalau soal dirinya aku akan selalu mengingat setiap detail kecil. Entah itu disengaja atau tidak.
Aku akan terus berharap melihatnya. Aku ingin menjadi yang satu-satunya menyadari hal-hal kecil yang tak disadari orang lain pada diri Acres. Kalau ingin melindunginya, aku mesti tahu Acres. Terkadang di tengah-tengah rasa putus asaku. Aku selalu meyakini banyak hal.
Misalnya saja, aku tahu Acres yang dulu pasti akan kembali.
□●□
Aku membuka mata, selama sesaat hanya mampu memelototi langit-langit buatan yang menampilkan awan-awan putih empuk.
Dimana aku?
Aku terlonjak dari tempat tidur. Kepalaku langsung mengeluh dengan gerakan mendadak itu, tak ayal membuat tubuhku kembali terbenam ke dalam bantal yang empuk. Tetapi aku tidak ingin menghabiskan sebagian hari dengan berbaring, apalagi jika mengingat apa yang telah dikatakan Paxtof tentang sesuatu seperti tempat tidur merupakan tempat yang cocok untukku.
Setelah usaha yang amat menyiksa, untuk ketiga kalinya mencoba bangun. Tubuhku menyerah tapi pikiranku tidak. Aku berakhir dengan mencoba cara pertama yang akan memulihkan tubuhku. Setidaknya supaya aku mampu duduk tegak. Aku mulai memejamkan mata, menarik dan mengembuskan napas secara perlahan. Setelah merasakan gemuruh jantung perlahan mulai tenang. Aku masuk ke dalam pertanyaan yang sesungguhnya—Dimana aku? Aku sekali lagi bertanya, mendesak diriku sendiri untuk segera memberi jawaban.
Awan-awan empuk di langit-langit buatan terus bergerak perlahan-lahan. Pikiranku juga.
Aku mengerjapkan mata. Sekali, dua kali ...
Satu persatu kalimat mulai terusun dengan rapi di dalam kepalaku.
Aku ada di Perbatasan Sector Wan. Di tengah-tengah sekumpulan orang-orang dengan kemampuan luar biasa. Mereka menyebut diri mereka: Lichas. Dia—seseorang yang kusebut Ayah—merupakan salah satu dari mereka tetapi sayangnya, dia sudah mati. Sector tempatnya berasal—tempatku dilahirkan juga hancur. Sekarang aku jadi penanggung beban, pembawa rahasia. Para Lichas membutuhkan aku. Mereka membutuhkan ingatanku.
Semakin pikiranku mampu mengingatnya, semakin menyakitkan rasanya, tetapi aku tidak boleh berhenti.
Rangkaian kejadian kembali terjalin di dalam kepalaku, perlahan-lahan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Lebih spesifik.
Aku kabur, tapi gagal. Ada pertempuran. Pembunuhan. Aku telah membunuh. Aku membunuh begitu banyak orang. Aku penjahat sekarang. Tak ada lagi tempat yang mau menampung aku. Tidak dimanapun kecuali di sini. Bersama para Lichas yang takkan membawaku pada apapun selain kehancuran.
Aku mempercayai Avgustin. Aku membiarkan Kadarius membawaku. Aku membiarkan diriku dibawa.
Aku bergerak-gerak seperti cacing kepanasan. Kutatap jemari tanganku yang gemetar. Perlahan kukepalkan sampai buku-buku jariku memutih, seolah-olah dengan begitu aku menghancurkan bayangan pemuda Sector Tres di atas FlyMobs yang terpasung oleh cucuk-cucuk tameng holo Yozita. Darah mengucur dari sela-sela tubuh yang bolong, sama seperti UrsaMayor—korban—pertama yang kubunuh.
Aku tak ingin mengingat, namun mataku sudah terlanjur merekamnya, dan pikiranku bergerak tanpa persetujuanku untuk terus menerus mengulang-ulang kejadian mengerikan itu.
Seakan-akan seseorang menimpakan kepalaku dengan bongkahan tanah. Aku tersentak, bangkit dari tempat tidur, hampir tersandung selimut yang melilit.
Ternyata aku berhasil sampai di kamar mandi, karena saat ini aku mulai muntah-muntah di atas wastafel yang putih bersih. Muntahanku yang tidak keruan bentuknya menodai warna memusingkan itu.
Aku selalu benci putih. Sekarang, aku juga benci merah.
Aku terus muntah sampai yang tersisa dan keluar dari mulutku hanya cairan bening asam.
Selama beberapa saat aku hanya memperhatikan muntahanku yang perlahan disedot hingga tak tersisa dari wastafel. Tanganku masih gemetaran saat menangkup air dari kucuran keran wastafel. Aku berkumur sampai rasa getir itu hilang dari lidah serta mulutku. Sekalian mencipratkan air ke wajahku. Supaya aku lebih melek. Supaya aku tak kepanasan. Kutekan salah satu simbol pada holo di atas wastafel. Perlahan-lahan cermin muncul dari balik dinding.
Aku semestinya siap dengan apa yang akan kulihat. Namun nyatanya, aku tetap saja tertegun memandangi bayanganku sendiri. Aku menemukan seorang gadis dengan tatapan mata lemah—berair setelah muntah habis-habisan, kulit memucat, rambut emasnya kusut, bagian bawah matanya merah. Aku mengambil sejumput rambutku, menyadari warna emasnya sedikit memudar. Rambutku berubah menjadi pirang kusam—hampir putih. Kalau dibiarkan lebih lama, bisa saja aku akan memiliki rambut seperti Paxtof.
Di Sector Tres. Hanya ada dua kemungkinan jika rambut emasmu mulai memudar. Menua atau stres. Dalam kasusku, lebih cocok jika kusebut diriku gila. Mungkin lebih baik jika aku gila lalu mati.
Aku membuka bajuku, merasakan rasa sakit pada beberapa bagian tubuhku. Kuperiksa setiap jengkal tubuhku melalui cermin, memeriksanya dengan tamak. Aku tak menemukan apapun selain tulang yang menonjol disana-sini. Setelah yakin aku tak menemukan satupun memar pada kulitku.
Perlahan, masih sempoyongan, aku menghampiri tempat shower, menekan beberapa kombinasi acak pada hologram pengatur. Sesaat kemudian wangi bunga Lilac langsung memenuhi indera penciumanku.
Lalu apakah jika aku gila dan mati maka semua masalah yang menumpuk ini akan selesai? Kemungkinan terbesarnya adalah tidak. Avgustin benar, Tak ada bedanya. Bayangan tentang pemuda Aviator Elite yang terpasung kembali berkelebat dan aku tidak menyalahkan tanganku yang melayang, memukul permukaan kaca hologram pengatur air shower diatasku. Kaca itu pecah dan hologramnya pun mati bersamaan dengan berhentinya air dan wewangian yang mengalir dari shower.
Darah mulai merembes dari tanganku yang tergores, tertancap pecahan kaca holo. Tetes demi tetes cairan berwarna merah mengotori lantai kamar mandi yang putih. Beberapa menetes di atas ibu jari kakiku. Pedihnya, rasa sakitnya, lukanya. Aku serta merta menyesali apa yang telah kuperbuat. Namun ini tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang menimpa pemuda itu. Apa yang telah kulakukan pada UrsaMayor malang itu. Apa yang telah Kadarius perbuat.
Pheasen takkan pernah memaafkan perbuatan keji itu. Aku sendiri bahkan tak mampu memaafkan diriku sendiri.
Pembantaian itu.
Sindrom gemetaran menghantui tanganku lagi.
Kuseret dengan paksa kedua kakiku untuk segera melangkah keluar dari ruang sesak ini. Tanganku menjambret jubah di dekat bathup, memakainya dengan tergesa. Kain yang lembut langsung menangkup tubuhku. Tidak lupa aku mengikat talinya erat-erat. Kuambil bajuku yang lama untuk membebat luka di tanganku. Pemanas memancar kearah tubuh ketika aku menjejak keset. Secara keseluruhan mengeringkan sisa-sisa air dari tubuhku.
Aku tidak terkejut ketika menemukan bahwa kamar tidurku tidak lagi kosong. Dia duduk di atas tempatku tidur, sementara yang satunya ada di sofa. Pakaian kering yang sepertinya diperuntukkan untukku ada di sampingnya.
Ketika aku mendekati dia, matanya mengikuti gerakan tanganku yang dibebat dengan kaos berdarah. Aku sedang tidak berniat untuk berbasa-basi atau bahkan berbicara. Aku membuka jubah mandiku, tidak peduli kalau orang dia saat ini memperhatikan. Aku tidak peduli.
Pakaian dalam yang kukenakan terlalu ketat, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Ada baju kaos hitam lengan pendek dan celana panjang yang sama seperti yang kukenakan di hari pertama, tetapi kali ini dilengkapi dengan ikat pinggang yang kuat. Aku bahkan tidak mempunyai waktu untuk mengagumi jaket yang kukenakan saat ini saking marahnya aku.
Ketika aku membalikkan badan, ternyata Kadarius tidak melihat. Dia menatap pintu Trib seolah-olah pintu datar itu lebih menarik ketimbang aku.
Lakukan saja sesuka hatimu, Kadarius.[]
Total : [1615 words]
Neraka itu untuk semua orang. Terutama orang-orang pengecut-penghina-tak berakal budi.
-Your Fav Author, Prasanti
Call me, Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro