Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T W E N T Y - T H R E E [Repost]

      AKU memilih duduk di sofa, berseberangan dengan Indira. Berjauhan dengan monster itu. Langsung menunduk, tak memperhatikan apapun selain lukaku. Indira pasti ada di sini karena aku.

     Aku mengeryit, tidak terlalu menyukai gagasan tentang orang lain yang harus kuhadapi nantinya.

     Ketika kupikir tidak akan ada yang berbicara. Kadarius memecahkan keheningan dengan berkata, seperti biasa tidak suka basa-basi. "Tentang hal yang kukatakan padamu sebelumnya. Dewan setuju untuk mulai melatihmu lebih awal."

     Apa? Pembicaraan yang mana? Aku tak mampu mengingat satupun. Saking banyaknya omong kosong yang kau racunkan padaku. Aku juga tidak menyukai pernyataan angkuh Kadarius. Bagaimana bisa dia bersikap seakan tidak terjadi apapun, seakan-akan apa yang dia lakukan di belahan hutan Nahari itu hanya sekadar mimpi belaka. Bagaimana bisa? Monster selalu tak punya hati. Aku mau tak mau merasakan gelombang kebencianku pada Kadarius semakin menggerus kesabaranku.

     Namun aku tak mau memandang Kadarius. Bisa jadi aku mungkin kehilangan kendali lalu membahayakan diriku sendiri. Aku mengangkat kepala, mendelik pada wajah masam di seberangku.

     Indira balas menatapku. Aku mendengar dirinya mendengus. Sepertinya menyadari tatapan menuduhku. "Ada yang menarik di wajahku?" ketusnya jelas tersinggung. Aku tida gentar akan teguran semacam itu, jadi aku terus memakukan pandang. Gelap. Gelap seperti malam itu.

     "Indira sama seperti Paxtof," Kadarius berkata, mengabaikan Indira yang kini menyipitkan mata. Tak senang akan kegigihanku.

     "Aku tahu," aku menyahut. Setengah kesal, setengah muak.

     Seorang Void. Dengan melihat matanya saja aku sudah tahu. Satu lagi orang yang akan mengangguku. Satu lagi orang yang akan segera mengambil bagian dalam mimpi burukku. Aku tak tahan untuk tidak melirik Gear pada lengannya. Abu-abu. Pikiranku langsung berputar. Memikirkan berbagai kemungkinan tebakanku tentang kemampuan Lichas Indira.

     "Oh, bagus!" Indira menghentakkan sepatu botnya ke lantai. Hentakannya membuat getaran pada Gear pada lengannya semakin parah. Suaranya yang lembut berbanding terbalik dengan percikan-percikan kecil yang timbul dari tubuhnya. Semacam listrik. Aku mengatupkan bibirku rapat-rapat, mengalihkan pandangan dari kilatan cahaya itu. Itu kilatan yang sama yang kulihat di pertempuran. Percikan yang segera mematikan fungsi FlyMobs. "Bolehkah aku pergi sekarang?"

     "Aku sudah memperingatimu, Indira," gumam Kadarius dengan nada mengancam yang jelas sekali. Bukannya menciut ketakutan seperti kebanyakan orang. Indira justru mengeluarkan suara campuran antara dengusan dan tawa meremehkan. Dia memberi Kadarius pandangan yang menjurus ke arah jijik. Membuatku bertanya-tanya apakah seperti itu kira-kira pandangan yang selama ini kuberikan pada Kadarius ketika aku memandang dirinya. Barangkali.

     Indira mendesis. Seiring dengan jaring berbagai warna meloncat-loncat makin jelas di seluruh tubuh. "Memangnya aku kelihatan peduli?"

     Aku menunggu datangnya balasan berupa sulur-sulur. Yang menurutku akan menarik sekali. Di antara dua hal itu—Sulur dengan listrik—aku penasaran siapa yang akan lebih dahulu tumbang. Sayangnya, Kadarius jelas-jelas menghiraukan ancaman Indira yang mengebu-gebu, dan justru berkata yang sudah kuduga akan ditujukan padaku. Bahasa-bahasa kasar menjadi latar suara Kadarius. "Tanganmu berdarah terlalu banyak."

     Tanganku yang tidak terluka secara refleks menangkup tanganku yang berdarah-darah. Menyembunyikannya dari pandangan Kadarius. Memikirkan Ribka yang datang menyembuhkan aku membuatku makin tidak senang. "Aku baik dan sembuh."

     Sialnya aku tidak terlihat seperti itu.

     Sementara Indira menghenyakkan dirinya makin dalam ke sofa, menampilkan wajah masam nan kecut. Beberapa helai rambut pink-lavendernya berdiri. Semua hal yang bercahaya dan menggunakan tenaga dari server berkedip-kedip.

     Aku beringsut menjauh dari Indira, siapa tahu dia berubah pikiran, dan membiarkan kemampuannya lepas begitu saja. Aku tak mau menjadi daging hangus. Kulirik Kadarius, heran menyadari dia masih menatapi lukaku tak yakin, tetapi anehnya dia juga tidak memanggil seorangpun melalui Gamma di pelipisnya, tak juga berusaha menenangkan Indira yang membahayakan. Kemudian sekonyong-konyong dia mengangkat kepala dan kalau kupikir-pikir sekali lagi. Inilah saat yang tepat untuk mengatakannya. Pikiranku sedikit jernih sekarang.

     Sekali lagi, aku tidak menyalahkan mulutku ketika bergaung dengan nada kasar. "Kenapa kau melakukan hal itu?"

    Cemberut pada bibir Indira memudar barang sedikit. Ruangan seketika terasa hening meresahkan. Seperti yang aku duga, Kadarius bergeming dengan ketenangan yang luar biasa.

     Aku bertanya-tanya apakah sekiranya ada hal yang membuat pengendalian dirinya goyah? Satu saja, karena kupikir saat ini—dengan benar—itu pasti akan mengacaukan kepalanya. Pengacauan pikiran. Itulah satu-satunya hal yang aku butuhkan saat ini.

     "Karena memang dibutuhkan. Kau takkan pernah tahu apa yang bisa mereka lakukan apabila kita membiarkan mereka lolos begitu saja. Sejarah takkan lagi terulang untuk kali kedua." jawab Kadarius, berdalih dengan amat lihai.

     "Takkan lagi terulang?" cemoohku dengan berang. Bahkan tanpa matipun, segala hal yang terjadi di sana sudah membunuhku. Menimbulkan luka, lebih dari hanya sekadar luka fisik yang terlihat oleh mata telanjang.

     Kadarius menjawabku dengan cepat dan lugas. "Setidaknya selama aku masih hidup."

     Aku mengepalkan tangan. Monster. "Kau tak tahu apa yang bisa dilakukan oleh Pheasen. Kau tak tahu—,"

     "Aku tahu." Kadarius menunduk barang sejenak. Saat mengangkat wajah, raut wajahnya sudah jauh berbeda dari sebelumnya.

     Aku mau tak mau menegang oleh wacana Kadarius barusan. Cobalah untuk melihat dari persepktif orang lain. Namun aku tak bisa menahan gejolak dalam diriku. Terlebih lagi saat ini aku tak bisa membedakan, apakah yang kurasakan saat ini adalah bagian dari kerja keras otakku untuk mengalihkan perhatianku dari luka yang berdarah makin banyak di tanganku atau rasa sakit yang menyerbu kepalaku dari segala sisi. Aku tak bisa memastikan. Pikiranku berkecamuk.

     Mata biru Kadarius yang sedari dulu ingin kucongkel dari rongganya berkilat-kilat di antara terangnya langit-langit cerah dengan awan-awan empuk. Terang-terangan mengejekku, tetapi sejujurnya aku tahu Kadarius sedang memilah-milah perkataan yang tepat untuk menjawab situasi yang aku hadapi. Dia akhirnya memutuskan setelah aku meremas luka di tanganku untuk yang kelima kalinya. "Kau hanya—terlambat."

     "Terlambat apa?!" Aku menggertakkan gigi. Kalau Kadarius coba-coba lari dari permasalahan utama dengan mengangkat topik tak jelas. Aku tidak akan sudi membiarkan dia berbuat begitu.

     "Aku hanya menduga. Secepatnya, seiring dengan kembalinya ingatanmu. Kemampuan—yang entah apa itu—akan datang dari dalam dirimu," Kadarius mengeryitkan hidung. Seolah-olah dia mencium bau yang tidak mengenakkan. Kadarius terlihat seperti membenci kenyataan tentang kemampuanku. Itu adalah satu-satunya hal yang membuatku sedikit merasa impas.

     "Aku tidak—"

     "Ya." Sergah Kadarius nada final. Menegaskan bahwa aku kalah, bahwa aku tidak akan pernah bisa menggunakan suaraku lagi untuk membantahnya.

     Aku tak mau disamakan dengan mereka. Aku tak mau menjadi abnormal seperti mereka. Aku tak sudi.

     Alih-alih berdiri, lalu memukulkan kepalan tanganku ke rahang Kadarius. Aku malah bergeming, menelan emosiku sendiri bersama dengan liur asam nan memuakkan. Aku amat sangat tergoda mengatakan padanya—berteriak—bahwa tindakan yang telah dia lakukan mengerikan, menjijikkan, tak ubahnya tindakan seorang monster. Bahkan jika sanggup, akan kutunjukkan padanya. Seperti apa rasanya menjadi seonggok daging yang hanya dianggap umpan dan penting—berharga—karena ingatan yang ditinggalkan oleh orangtuanya sendiri. Akan kujejalkan segala perasaan putus asa tentang mimpi menyedihkan yang membumbui pikiranku dengan kebahagiaan bersama Acres atau menghidupkan kembali Leah. Berikut perasaan lainnya yang dipenuhi oleh rasa bersalah sebab janji-janji yang tak bisa kupenuhi telah lama berakhir menjadi sekumpulan abu kebohongan.

     Namun salahkah aku? Salahkah aku karena dengan lancangnya masih menginginkan sedikit dari masa laluku sekarang.

     Rasa mengerikan itu berubah menjadi pukulan menyakitkan di balik tenggorokan dan mataku. Aku membenamkan wajah pada tanganku yang terluka. Bau besi karatan yang memuakkan memenuhi hidungku tapi aku tak mampu mengangkat wajah saat ini. Dengan memperlihatkan mata merah penuh air mata, dan ketidakberdayaan nan menyiksa sama saja seperti menyodorkan kelemahan pada musuh dengan sukarela.

    Aku tak sudi.

    Ternyata aku tak sekuat itu, apa yang terjadi kemarin telah mengacaukan segalanya. Aku benar-benar membencinya hingga sampai pada tingkat dimana aku yakin, bahwa aku tidak akan pernah bisa lagi menginjakkan kakiku di situasi serupa.

     "Dengar, selagi kau disini, dengan wajah itu, dengan tubuh itu. Kau takkan selamanya bisa bersembunyi dari kenyataan," Bersembunyi dari kenyataan? Ini lebih seperti kenyataanlah yang menekan aku sampai jauh ke dasar. Sampai aku sendiri bahkan tak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah.

     Lepaskan aku ya? Demikian aku memohon pada Kadarius kemarin, namun dia berkedip pun tidak saat menghempaskan permohonanku begitu saja. Sekarang pun aku masih berharap walaupun jawabannya sudah tentu masih sama.

     "Kalau begitu sekalian saja aku tidak di sini!" Aku membentak. Air mataku telah mengering. Hidungku meninggalkan bau amis memusingkan dari tanganku, pandangan gelap yang membutakan tergantikan oleh dalamnya warna palung lautan Permukaan—yang telah lama mengering—dari mata Kadarius. Tahu-tahu aku sudah tersesat di kedalaman sana. Terjerat oleh sulur-sulur gelap yang memaksaku untuk tetap teguh terpaku di tempat yang sama.

     "Kau mau ke mana? Pheasen? Chrone?" Kadarius memberi aku senyuman itu lagi. "Kau sendiri tadi mengatakan bahwa Pheasen takkan memaafkan kami. Bagaimana bisa kau diterima di sana?"

     Aku lupa Kadarius tidaklah seperti Acres, yang akan selalu mengalah untukku. Yang akan membuang muka demi kebahagiaanku. Kadarius akan terus menjatuhkan aku, sampai aku sendiri tak tahu bagaimana caranya berdiri. Aku membuang muka, tapi malah menemukan Indira sedang mengamatiku dengan ekspresi tak terbaca.

     "Aku berbeda denganmu."

     Indira mengerjap, tapi dia tetap bungkam. Kadarius berkata, "Mau kau seorang Lichas atau bukan. Lihat dirimu, lihat tanganmu. Apa yang sudah kau lakukan dengan tangan itu."

     Kepalan tanganku memukul dinding. "Jangan ingatkan aku—"

     "Kalau begitu angkat bokongmu, berhenti merengek seperti anak kecil dan buat dirimu berguna!"

     Suara tamparan itu bergema ke seisi ruangan. Bukan hanya mengagetkan aku, tapi juga Indira dan Kadarius. Tapi aku segera menguasai diri. Menusuk dada Kadarius dengan telunjukku yang kebas. "Saat di Tembok Perbatasan sana, aku menyanggupi untuk membantu kalian karena aku kasihan. Karena aku merasa punya hutang dengan kalian. Tapi sekarang aku menyadari bahwa aku tak memiliki hutang apapun dengan kalian!" Tanganku yang sudah kebas makin mati rasa saat melayangkan tamparan kedua. "Orang yang punya kewajiban itu sudah lama mati. Dan aku tidak suka diperintah oleh siapapun! Terutama monster seperti kau!"

     Kadarius mengusap darah yang mengalir dari sudut bibirnya, ikut-ikutan berdiri. Rahangnya berkedut-kedut. Pemuda yang kulihat di atas Tembok Perbatasan, pemuda yang menyelamatkan aku dari sergapan Kahnivore, pemuda dengan humor yang sama sekali tak kumengerti. Semuanya hilang. Digantikan oleh sosok baru. Yang lebih menakutkan daripada yang kulihat di arena maupun saat dia memutuskan untuk membantai semua UrsaMayor berikut dengan Aviator Elite pendamping mereka. Dia berdiri menjulang di hadapanku, jemari tanganku tenggelam dalam genggaman tangannya. Hanya butuh sedikit remasan, maka remuklah jemari tanganku.

     "Untuk menang," desisnya, "terkadang kita harus menjadi penjahat terlebih dahulu."

     Aku maju terus. "Dan apa yang sekiranya bisa dibanggakan dari menjadi jahat?"

      "Masa depan yang dulunya tak bisa kami miliki." Kadarius menyeriangi kejam. "Dan kau? Apa yang kau dapatkan dari menjadi baik?"

     Tidak ada. Kenyataan itu menyentakku. Aku tidak mendapatkan apapun. Pertama, aku tidak berusaha lebih keras, membiarkan orang lain mengambil tempatku untuk bisa terus melaju bersama Acres di Institut. Hanya karena orang itu memiliki keadaan yang mirip dengan Acres. Itu kegagalan pertama. Kedua, aku kehilangan Acres, kehilangan Leah, kehilangan segalanya. Hanya karena aku berbaik hati memberikan dia tiket VIP Avgustin pada mereka. Aku melarikan diri, berpikir para UrsaMayor akan menyelamatkan aku. Aku berusaha membuat Paxtof mengerti, Kadarius mengerti. Tapi mereka tak mau tahu dengan perasaanku.

     Aku terus mengharapkan sesuatu dari kebaikan, dan terus kehilangan banyak karenanya.

     Seringaian Kadarius bertambah lebar, menyadari perubahan rona wajahku. "Selamat datang, Aurellion," katanya. Sengaja melepaskan cengkramannya perlahan, kukunya menggores punggung tanganku yang terluka, mengelupas kulitku. "Saat kita bertemu beberapa hari lagi. Aku tak mau lagi mendengar rengekan. Aku bukan pengasuh bayi."

     "Begitu juga aku," celutuk Indira. Aku sepenuhnya lupa dia ada di sini.

     Kadarius mundur selangkah, dua pipinya mulai memerah. Tak lama lagi akan jadi bengkak. "Indira akan membantu—"

     "Mengajari." Geram Indira mengoreksi kata-kata Kadarius. "Aku akan mengajari Ellie apapun itu yang dibutuhkan oleh Dewan."

     Begini lagi. Dipertaruhkan pada satu tangan, diperas pada tangan lain.

     "Ellie, kau ingin bertemu dengan Acres bukan?"

     Jantungku berdentum amat keras, sampai-sampai aku takut Kadarius akan mendengarnya. "Apakah sekarang itu penting?"

     Kadarius menggendikkan bahu, menghela napas. "Mungkin kau perlu sedikit motivasi? Semua ini akan cepat selesai andaikata kau juga bekerja cepat."

     "Jangan sentuh dia." Kutegakkan punggung, kutatap Kadarius segalak mungkin.

     "Setelah ini?" Dia menunjuk pipinya yang memerah, terkekeh muram. "Aku takkan coba-coba, tapi bagaimana dengan Pheasen? Bagaimana dengan Chrone? Bisakah kau hanya memberi mereka tamparan tangan belaka?"[]


Total : [1921 words]

Thawol athodu,
Ek erilaz owlthuthewaz
Niwaremariz saawilagar
Hateka harja!

-Your Fav Author, Prasanti.
Call me, Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro