Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T W E N T Y - S E V E N [Repost]

     MULA-MULA aku hanya menatap tempat yang pernah ditunjukkan oleh Avgustin padaku, tetapi kemudian tanpa kusadari kakiku melangkah, menjauhi tempat aman, melewati rerumputan. Dan mulai memanjat Tembok Perbatasan. Setelah berhenti beberapa kali karena kelelahan. Aku akhirnya sampai di puncak, berhati-hati supaya tidak terlalu dekat dengan Glass Gate dan terutama makhluk aneh yang berterbangan di seberang sana.

     Namun begitu aku menyipitkan mata, mencoba melihat dengan lebih seksama kekacauan di balik Glass Gate. Reruntuhan di kejauhan sana seakan memanggil-manggilku untuk mendekat. Aku seketika melupakan segalanya.

     Pikiranku gamang. Sector Zero. ayahku, ibuku dan bahkan mungkin teman-temanku.

     Apakah aku punya teman di sana?

     Pertanyaan itu tak pernah kusangka akan menyakitiku. Aku tak mengingat mereka satupun atau lebih tepatnya aku tak mau. Beberapa malam yang lalu Avgustin datang, menawari aku, tapi aku segera menolak bahkan sebelum dia menyelesaikan kata-katanya. Walaupun begitu ada secercah rasa asing yang meremas-remas hatiku. Aku bertanya-tanya apakah pernah Avgustin merindukan orang-orang terkasih yang sesungguhnya di Sector 4? Apakah semua Lichas yang berada disini merasakan hal yang sama? Aku tak tahu. Tak perlu tahu.

     Aku baru saja akan mengulurkan tangan ke permukaan Glass Gate yang menghalangiku dengan—dulunya yang kusebut rumah ketika suara itu sekonyong-konyong terdengar.

     "Kalau aku jadi kau. Aku takkan melangkah lebih jauh dari ladang ini." Suaranya lembut mendayu tetapi juga penuh ancaman dan peringatan. Membuat aku mau tak mau berhenti, kepalaku menengok cepat. Melihat siapa yang berbicara. Aku mengenali sesuatu yang membuatku merasakan rasa muak dan juga takut. Dia duduk tak jauh dari tempatku berdiri.

     Aku berdiri kaku, lidahku sama saja. Padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri, aku tak mau lagi bertemu dengannya. Tidak akan.

     Berbalik, Ellie. Pergi dari sini. Semudah itu.

     Benar. Memang mudah mengatakannya. Tapi tidak pernah saat kau sendiri bahkan tak sanggup menggerakkan ujung jari sedikitpun.

    Dia tak menatapku—aku bersyukur untuk itu—matanya menatap jauh ke seberang sana. Pada reruntuhan Sector Zero, pada apa yang telah diperbuat oleh Chrone. Masih dalam posisi yang tidak berubah, Kadarius membuka mulut. "Apakah kau membenciku?"

     Aku mengerjap-ngerjap bingung sekaligus terkejut. Tentu saja aku begitu, karena seumur hidup—selama aku di Sector Tres—tak pernah sekalipun ada orang yang menanyaiku tentang bagaimana perasaanku pada mereka. Tak pernah. Bahkan Acres ataupun Avgustin sekalipun. Mereka berdua lebih banyak menunggu, melihat dan membaca dalam diam semua perasaanku. Bukan menanyakannya secara langsung, bukan berarti aku membenci keingintahuan yang menganggu, tetapi karena kami sudah terbiasa tak suka mencampuri urusan orang lain.

     Peraturan hidup di Sector Tres sederhana, jika mereka tak mau memberitahumu, jangan menanyakan.

     Namun tentu saja Kadarius memiliki peraturan yang berbeda jauh dariku. Dia sebenarnya bisa saja sudah mempelajari tata krama ala Sector-Sector yang lainnya, dia mampu menerapkannya. Andai saja Kadarius tak searogan itu, atau andai saja aku gadis yang sama.

     "Ya." Jawabku. Aku tidak berbohong.

     Aku memang membencinya, bahkan mungkin lebih. Tetapi aku tidak mengatakan apapun lagi sebab dia hanya menanyakan satu hal, maka aku akan menjawab satu hal itu saja. Dan tak lupa kuperingati diriku, bahwa aku tidak akan melunak semudah gadis-gadis bangsawan di Sector Wan.

     Aku bukan lagi gadis yang sama, Acres bahkan mungkin salah mengenaliku, atau bahkan dia takkan lagi mengenaliku. Pikiran itu membuatku bergidik. Tidak, selama aku masih normal, aku takkan kehilangan harapan kecil itu.

     Benar, teruslah berharap.

     Aku mendengar suara itu. Tawa pelan yang sekalinya mengingatkanku pada Acres. Bukan tawa yang menganggu atau meremehkan, tetapi tawa hangat karena mendengar kejujuran. "Apa kau akan memaafkanku?"

    "Mungkin," kataku cepat-cepat, tak ingin menebak kemana pembicaraan ini akan mengarah.

     Dengan keras kepala aku menfokuskan pendengaranku pada suara Glass Gate yang berdengung samar, bukannya pada tawa merdu Kadarius.

     Usahaku setengah berhasil, permukaan Glass Gate meriakkan pemandangan reruntuhan Sector Zero. Suara gemericik air dan hembusan angin membelai wajahku, memanjakannya sehingga aku sedikit lupa bahwa baru beberapa menit yang lalu bertarung melawan seorang bocah Lichas

     Perlahan aku menjauh dari Glass Gate, tak terlalu jauh sebenarnya. Permukaan Glass Gate yang mengerikan itu masih bisa kusentuh jika aku menjulurkan kaki, tapi aku tak mau coba-coba. Badanku memang pegal-pegal, kotor dan berkeringat. Walaupun semua luka yang kudapatkan sudah disembuhan oleh Paxtof. Aku tetap saja merasa letih dan kotor, tetapi dengan semua hal di hadapanku saat ini, Kadarius yang berbeda dari yang kutemui di Trib, arena atau ruangan-ruangan lainnya. Entah mengapa—mau tak mau aku mengakui—semua kelelahan itu berkurang sedikit.

     "Kenapa 'mungkin'?" tanyanya seperti anak polos.

     Dan aku serta merta gemetar, gemetar oleh amarah dan rasa kesal. Berani-beraninya dia, seolah-olah dia tak tahu saja jawabannya. Namun kali ini, aku cukup terlatih supaya tidak gegabah memancing hewan buas untuk bangkit dari tidurnya. Aku bukan Indira yang tanpa rasa takut, aku penuh rasa takut. Aku hidup berdampingan dengannya selama ini.

     "Haruskah aku mengatakannya keras-keras? Setelah apa yang kau perbuat di Perbatasan, di Arcade—" tenggorokanku tercekat. Ya. Terutama di Arcade. Rencana bodoh tanpa perhitungan. Rencana gagal. Rencana yang menimbunku dengan rasa bersalah.

     "Aku ..." kemudian tanpa kuduga Kadarius memalingkan wajah dari Glass Gate, sudah terlambat bagiku untuk melakukan hal yang sama, dan kenapa pula aku harus memalingkan wajah? Tak ada alasan. Mata kami bertemu, benar-benar bertemu, dan apa yang kulihat dari kedalaman mata biru gelapnya cukup membuatku tersentak. Aku tak mengerti kenapa mata itu begitu penuh rahasia, kenapa mata itu berbeda sekali dengan Acres. Lagi pula ternyata bukan aku saja yang terkesiap dengan pemahaman dari mata masing-masing, sebab Kadarius memutus kontak seketika, sembari melanjutkan kata-katanya yang tadi sempat terputus. "... tahu itu."

     Aku bernapas dengan susah payah, aku tak tahan dan ingin melakukan hal yang sama seperti Kadarius, tetapi aku tak mau dia memikirkan bahwa aku baru saja merasakan sesuatu. Selain kengerian, mata itu juga menjanjikan banyak hal, begitu menggiurkan sampai-sampai aku ingin sekali menyelam disana lebih lama. Aku mengepalkan tangan, merasa muak dengan apa yang kurasakan saat ini. Kugeser arah pandangku kepada rambut gelap Kadarius yang bergerak-gerak pelan tertiup angin.

     Akankah semua akan berbeda bila aku dan Kadarius bertemu pada situasi yang berbeda? Mungkin jadi teman. Orang terdekat seperti aku dan Acres. Aku tak pernah berani mengangkat visi itu dalam kepalaku, tapi sekarang, aku seperti orang tolol, berani memimpikan hal yang mustahil.

     "Tidak semudah itu ya," katanya sesaat setelah aku tak kunjung mengatakan sesuatu. Mata biru Kadarius meredup barang sekejap, sampai-sampai aku berpikir, apa yang kulihat tadi hanya ilusi belaka.

     "Aku tak punya pilihan." Tidak lagi.

     "Benarkah?" Tak peduli sejauh apapun jarak antara aku dengan Kadarius, tak peduli jika aku berusaha keras untuk mengabaikan percikan yang terjadi setiap kali tatapan kami saling bersinggungan. Aku tetap saja kewalahan, sebab Kadarius terus melangkah ke dalam lingkar batasan yang kupasang. "Nyatanya kau masih punya begitu banyak pilihan, Ellie. Setiap kemungkinan yang kau ambil akan berdampak pada seluruh kaum Lichas. Tak peduli jika itu buruk atau bagus."

     Kali ini aku mendengus, nyaris tertawa mendengarnya. Hebat benar dia merajut kebencian yang telah terurai. "Kenapa kau yakin sekali, Kadarius? Aku takkan terkejut kalau kau mengaku punya kemampuan selain membungkam orang lain, serta menghijaukan pohon-pohon."

     Seperti melihat masa depan mungkin.

     Jawaban yang diberikan oleh Kadarius mencengangkan, terutama karena dia mengatakannya dengan raut wajah menganggu seperti itu. Kaku, dingin, jauh. "Aku tak suka berandai-andai apalagi menerka-nerka. Cobalah untuk berpikir logis, Ellie."

     Cobalah melihat dari sisi orang lain, Ellie. Cobalah ini, cobalah itu.

     Aku menggertakkan gigi, bukan karena tersinggung atau semacamnya, tetapi karena apa yang disemburkan oleh Kadarius benar adanya. Avgustin bahkan sudah terlebih dahulu mewanti-wantiku. Katanya, memang apa yang berbeda? Apa yang bakal berubah? Jawabannya serta merta aku dapatkan tak lama setelah abang palsuku itu menanyakannya.

     Tidak ada. Aku akan tetap menjadi seorang anak yang dilahirkan oleh orangtua yang tak pernah lagi kuingat wajahnya, rumahku tetap saja hancur, Acres tak terjamah dan Leah ...

     Dengan kesal tanganku bergerak, mencerabuti rumput liar di sekeliling tempatku duduk. Pikiranku menjerit frustasi. Gadis bodoh dengan pertanyaan bodohnya.

     "Aku hanya punya satu kemungkinan yang egois, Kadarius. Jika aku diberi kesempatan sekali saja, aku akan datang padamu, pada kalian, tanpa menghancurkan hati siapapun. Biarpun..!" suaraku meninggi. Sebenarnya berniat untuk kedengaran ketus, tapi getaran kecil diantara suaraku menghancurkan segala-galanya. "Tak peduli dengan segala tetek bengek semacam Glass Gate yang perkasa menghalangi, akan kucari cara sialan itu! Akan kukorbankan apa saja ... apa saja ..."

    Keparat! Air mata sialan! Keparat kalian semua!

     Aku menggeleng, cepat-cepat aku mengusap air mataku yang tak seberapa. Jangan sampai orang seperti Kadarius melihatnya.

     Ketika pada akhirnya aku sedikit tenang, dengan berani kutatap Kadarius, kuselami mata hampanya, kubiarkan sensasi menggelitik menyerbu setiap inti dari syaraf pada tubuhku. Aku bisa merasakan sensasi terbakar pada keseluruhan wajahku. Aku merasa malu, seharusnya aku tidak boleh sampai hilang kendali seperti tadi, apalah dayaku yang mempunyai emosi bawaan, yang tak bisa kukontrol, seberapa keraspun aku mencoba.

     "Kadarius, pilihan yang selalu menghantuiku selama ini hanya satu, sederhana saja."

     Dari gestur tubuh Kadarius yang seketika berubah, aku tahu dia mengerti apa dan siapa yang aku maksud. Bibir bawahnya melesak kedalam mulut, alis tebalnya mengkerut tidak setuju. Secara keseluruhan dia mengeluarkan tanda yang menguarkan kata-kata penolakan sejelas warna yang berombak pada kedalaman mata itu. Biru. Biru gelap, saking gelapnya sampai nyaris hitam sempurna. Hitam yang hampa.

     Sebelum kami sama-sama kehilangan pegangan, aku menggeram. "Dia. Atau kau cari sendiri aku yang lain."

     Seperti itulah, apa yang kukatakan barusan ternyata ampuh membungkam Kadarius. Sepanjang matahari yang seram dan garang perlahan-lahan digantikan oleh rona yang tak lebih baik dari sebelumnya, kami sama-sama membisu. Aku sibuk memikirkan tentang berbagai cara dan kemungkinan untuk lepas dari kewajiban yang membebaniku, Acres serta reruntuhan Sector Zero.

     Sementara Kadarius ... aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Dia hanya duduk bersila dengan punggung tegak sempurna, hampir mirip seperti patung bernapas. Aku ingin dia memikirkan ancamanku. Sebab aku memang bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Masa bodoh dengan kengerian yang akan mengincarku menjadi daging giling empuk, jika saja aku bersikap melenceng sedikit saja dari rencana. Tetapi semua ini kulakukan hanya supaya aku tidak menyesal dikemudian hari, aku takut harus mati tanpa pernah mengatakan pada Acres bahwa aku menyayanginya.

     Setelah berapa saat yang terasa seperti seabad lamanya, akhirnya Kadarius memberiku jawaban. "Oke," ujarnya. Namun aku tidak merasa lega begitu saja. Seperti yang aku duga. Kadarius akan mengajukan peraturan versinya sendiri. "Tetapi aku juga punya syarat."

     Aku tak peduli. Aku akan melakukan apapun untuk mewujudkan impian terakhirku. "Katakan saja."

     Nyatanya aku memang peduli.[]

Total : [1656 words]

Gagal, bangkit lagi. Aku terus begitu, atau setidaknya aku berusaha.

-Your Fav Author, Prasanti.
Call me, Pras or Kahnivore.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro