
T W E N T Y [Repost]
SEORANG gadis menyentuh tanganku yan terluka dengan lembut, sehabis Kadarius mengeluarkan peluru dari lukaku, dia dengan telaten menyembuhkan serta menutup luka itu. Aku tidak mengenali gadis itu, jadi aku tak peduli. Fokusku hanya tertuju pada satu orang. Satu dari sekian banyak manusia yang akan kusalahkan untuk jalan yang mesti kutempuh saat ini.
Kadarius tanpa gentar sediitpun balas memandangku. Kondisinya sama buruknya seperti aku, kotor oleh tanah, darah atau sesuatu yang lain, wajah tampannya memancarkan rasa lelah. Bahkan aku sendiri bisa melihat bahwa sebagian dari alis kanannya hilang. Hangus terbakar kukira, dilihat dari bekas kemerahan yang tidak disembuhkan dengan sempurna.
Kadarius mengerjap, untuk sesaat perhatiannya teralihkan dariku. "Segitu saja sudah cukup. Terima kasih, Nora."
Gadis Sector Quattro menghentikan gerakan tangannya di atas lukaku. Mengangguk sopan, lalu berbalik, berjalan terseok-seok untuk melakukan tugas yang lain.
Sepeninggal gadis itu, aku merasa lebih lemah daripada seharusnya. Merasa tak sanggup menggerakkan tubuh seincipun, padahal biasanya setiap kali proses penyembuhan dilakukan padaku. Aku seketika langsung segar bugar. Merasa bisa melakukan apapun hanya dengan pelototan mataku, tapi saat ini aku kurang lebih menganggap diri seperti sampah tak berguna, seorang manusia tak berdaya yang telah kehilangan lebih banyak daripada yang aku sendiri sadari.
Kadarius tak repot-repot bersimpati pada pembawaanku yang seakan-akan siap meninggalkan dunia ini kapan saja. Dia berujar tanpa basa-basi, langsung ke inti dari permasalahan."Rupanya apa yang dikatakan mereka benar, memang susah untuk merubah kebiasaan yang sudah bercokol jauh hingga berakar dalam diri kita sendiri."
"Sudah kubilang kau akan menyesal membawaku ke sini." Aku meremas jempol tanganku. Meminjam kekuatan dari rasa sakitnya supaya aku tak berjengit ditatap sedemikian rupa oleh Kadarius. Akui saja, Kadarius. Maka semua akan berakhir. Semudah itu. Aku akan pergi, dan kau takkan perlu lagi menanggung rasa sakit akibat kehilangan lebih banyak lagi.
"Kau tak mengerti juga ya?" geram Kadarius dari sela-sela bibir yang terkatup rapat.
"Kalaupun kau menjelaskan, Kadarius. Aku tetap takkan mau mengerti. Pengorbanan, balas dendam, dibunuh, membunuh. Semua siklus itu, siklus sialan itu akan terus merongrong kalian semua, termasuk aku. Semua ini ... semua ini takkan pernah berakhir." Tubuh tanpa kepala yang jatuh berdebum kembali berkelebat dalam ingatanku, berikut dengan tatapan kosong dari kepala yang terpenggal. Sekelebat saja tapi sudah lebih dari cukup untuk membuatku menggigil tanpa adanya udara dingin.
Aku telah membunuh banyak UrsaMayor hari ini, tapi korban pertama itu ... aku takkan pernah melupakannya. Sama seperti aku takkan pernah melupakan bagaimana Leah meregang nyawa tepat di depan mukaku. Paxtof bilang, aku mesti melakukan apa yang sekiranya harus kulakukan sedari lama. Bertempur untuk para Lichas, biar bagaimanapun aku sudah terikat bersama mereka, tapi sekarang aku jauh lebih tahu jika bukan itulah tepatnya yang kuinginkan.
"Avgustin. Dia kakak tiriku. Dia tentu punya sesuatu yang kalian inginkan. Avgustin punya apa yang disembunyikan oleh dia." Terlebih lagi Avgustin tidak seperti aku, yang cacat, rusak, pokoknya aku bukan bagian dari Lichas. Bukannya aku menyesali hal itu, justru aku bersyukur karenanya. Aku masih normal. Aku masih seorang manusia biasa seperti Acres. Namun lebih daripada itu, aku sendiri bahkan tak mengingat sedetikpun masa hidupku bersama mereka—bersama keluarga hantuku. "Lepaskan aku ya?"
"Tidak." Hanya dibutuhkan satu kata untuk memadamkan api dalam diriku. Kugigit bagian dalam dari daging pipiku, hanya agar aku tak perlu mengeluarkan tangis yang tentu makin menjatuhkan harga diri bila kuperlihatkan. "Aku repot-repot menemuimu bukan untuk mendengar permohonan kekanak-kanakan." Imbuh Kadarius ketus. Dia menarik kerah bajuku hanya dengan menggerakkan satu jarinya, memaksa tubuhku untuk berdiri. Melayang beberapa senti dari atas tanah, mengikuti langkahnya untuk menjauh dari barak penyelamatan.
Aku tidak berusaha memberontak, aku tidak berusaha untuk menjerit. Aku tak ubahnya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Kalaupun Kadarius berniat membunuhku, aku takkan protes, tapi segera saja aku menyadari kejanggalan di sekelilingku.
Kadarius tak sendirian. Dia bersama dengan tiga Lichas. Aku terperangah, apa dia akan membiarkan orang lain menyiksaku, sementara dia sendiri berleyeh-leyeh menyaksikanku dengan matanya yang hampa? Pengecut, makiku dalam hati. Hanya berani bertindak selama ada orang lain bersamanya.
Kadarius berhenti tepat kira-kira seratus meter dari posisi semula, di mana aku bisa merasakan puluhan pasa mata mengawasiku diam-diam dari atas sana. Di antara pepohonan. Aku tak sempat menyaksikan dengan lebih seksama satu orang yang bergelantungan paling dekat denganku, sebab Kadarius memaksaku untuk menatapnya. Mata birunya berkilat-kilat kian lama kian menakutkan seiring perintah yang keluar dari bibirnya. "Ciz, lakukan."
Gadis Sector Quattro yang lain, melangkah keluar dari kegelapan di belakang Kadarius. Menghampiriku dengan raut meminta maaf. Gear hijau muda berpendar di lengannya. Mataku terbuka lebar-lebar. Aku menggeleng, memberontak mati-matian, tapi tubuhku hanya bisa bergoyang-goyang tanpa hasil. Sia-sia. Kadarius sendiri mempererat cengkraman kemampuannya pada sebagian tubuhku. Membuatku makin histeris. "Apa? Apa yang akan kau lakukan?!"
Ciz sepenuhnya mengabaikan aku, lebih berkonsentrasi pada tugas yang diberikan padanya. Tugas untuk menyakitiku.
Aku mengencangkan rahang bersiap-siap untuk merasakan sentakan rasa sakit nan memedihkan, tapi apapun yang kutakutkan tak kunjung terjadi. Malah aku merasakan struktur tulangku menjadi lain. Perlahan-lahan perubahan itu terjadi, dimulai dari rambutku yang memendek, rahangku melebar, menjadi lebih tegas, pipiku yang semula berisi, mengendur. Jemari tanganku membesar dua kali lipat dari ukuran yang sebelumnya.
"Hentikan!" Aku berteriak, kemudian terperangah karena bukan suaraku sendiri yang kudengar, melainkan suara lain. Suara berat dan angkuh. Sector Tres. Mereka mengubahku menjadi seorang pria dari Sector Tres. "Kubilang hentikan!"
Ciz terlonjak sampai mundur beberapa langkah.
Kadarius menjentikkan jari, hampir seketika sama seperti Xaya saat di arena. Dalam sekejap tubuhku sudah ditempeli oleh lempeng besi armor yang rusak, penuh bekas goresan di bagian luar dan lengket oleh darah pada bagian dalamnya. Setiap bagian mencengkram otot-ototku dengan kekuatan yang niscaya meremukkan tulang wujud lamaku. Aku menjerit, bukan karena takut namun lebih karena murka. Aku tak mau menjadi bidak lagi, aku tak mau lagi kembali ke tengah situasi berdarah-darah itu.
"Tidak!" Aku takkan lagi sanggup. Aku benci ini. Tega-teganya ...
Aku menggertakkan rahang, mengepalkan tangan kuat-kuat. Timbre suaraku yang memberat, menggema ke seisi hutan. Mengeruk telingaku. "Tidak, Kadarius! Es stercus! Kubunuh kau! Kubunuh kau!"
Kadarius bergeming, walaupun begitu sudut mulutnya berkedut. Dia gentar juga, sama seperti yang lain. Wujud siapapun yang mereka pilihkan untukku pasti bukan sembarangan orang, pasti akan membuat UrsaMayor menghentikan serangan.
Dengan gerakan terakhir, Kadarius menutup mulutku yang masih menyumpah-nyumpah dengan armor penutup kepala yang hanya mampu menutupi setengah dari wajahku. Rasa logam karatan langsung membanjiri mulutku, bukan darah dari mulutku sendiri. Sama sekali bukan.
Inikah rencana yang dimaksudkan pemuda Sector Tres tadi? Inikah alasan kenapa dia terlihat enggan mengatakan detailnya. Dia enggan bukan karena sedang terburu-buru, dia semata-mata tak mau aku mengetahui bahwa akulah si bidak catur. Akulah umpannya.
Keparat!
Tapi bukankah kau menginginkan ini, Ellie?
Kenapa pula aku berpikir begitu?
Tidak. Tidak benar begitu. Ini rencana bodoh yang hanya akan menambah petaka.
Aku terus memakukan pandangan pada ujung sepatu dari armor keemasan yang saat ini membalut sekujur tubuhku. Menolak untuk menatap siapapun. Bukan hanya karena aku disuruh untuk terus bersikap seperti tahanan, tapi karena aku tak mau orang lain melihat besarnya kebencian yang kurasakan saat ini pada mata serta raut wajahku. Aku tak mau mereka melihat dendamku. Akan kusimpan semua ini sampai aku punya kesempatan untuk membalas. Terutama pada Kadarius. Terutama padanya.
Aku mesti mengerahkan seluruh sisa tenagaku untuk tidak segera menerkam punggungnya, dan menggulingkan persekutuan kami seketika itu juga.
Saat ini kami berjalan berempat, Kadarius di depan, dengan Yozita dan Xaya yang mengapitku. Sementara yang lain, aku tahu sudah menempati posisi masing-masing. Kami perlahan-lahan mendekati mimpi burukku. Kadarius menyibak segala rintangan dengan mudah.
Menghempaskan, meremas lima UrsaMayor sekaligus semudah meremas sari buah, dari kejauhan sana sulur-sulur listrik bercahaya mengompori segala jenis ribut-ribut yang bergemuruh di sekelilingku. Aku hanya perlu mengangkat wajah sedikit saja untuk menemukan Paxtof yang mengamuk seperti bison, dibantu oleh Korain dan gadis yang tadi kulihat bersama si pemuda Sector Tres. Mereka bertiga bergerak lincah, seperti satu harmoni yang memang ditakdirkan untuk bersama.
Untuk sesaat yang singkat aku kembali teringat pada pasangan latih tandingku di Sector Tres. Arden, Leah, terkadang Islee—aku paling sinkron dengan Islee. Tapi secepat pemikiran itu datang, secepat itu pula aku mengeyahkannya.
Pertarungan di sini berbeda dengan apa yang kulakukan di Sector Tres atau di Institut. Aku tak bisa menjerit untuk menyuruh mereka lari menyelamatkan diri. Aku tak bisa meneriakkan sepatah katapun. Kadarius membungkam mulutku dengan kemampuannya, melengkapi rasa getir yang kurasakan.
"Kade ..." bisik Xaya di sampingku, setelah sekian lama pada akhirnya memecah keheingan nan mencekam. Pegangan tangan Xaya pada lenganku mengerat, alhasil memenyokkan bentuk armor UrsaMayor di bagian sana. Xaya tadi mencetuskan ide untuk berlari daripada berjalan perlahan seperti sekarang ini, aku sejujurnya menyetujui ide Xaya. Lebih cepat, lebih baik. Namun Kadarius menolak, dengan alasan bahwa hal itu takkan membawa kesan apa-apa.
Kadarius mengabaikan Xaya seperti sebelumnya, terus saja bergerak. Memandu kami di tengah-tengah ladang pertempuran. Pandangannya lurus ke depan. Kemampuannya secara mengerikan meningkat drastis. Sekarang dia tak perlu lagi menggunakan tangannya untuk menyingkirkan rintangan berupa UrsaMayor, sulur-sulur muncul seiring dengan langkah kaki Kadarius. Sulur-sulur itu seolah punya jiwa sendiri, bergerak menyasar siapapun yang coba-coba mendekat.
"Kade, bagaimana kalau kita gagal?"
Xaya makin menegang, sementara Yozita menggigit bibir, barangkali berharap dia tak pernah mengatakan kata-kata itu atau barangkali dia berharap Kadarius akan berubah pikiran. Aku sendiri mau tak mau memikirkan hal serupa. Rencana ini merugikan. Terutama, merugikan diriku sendiri.
Jawaban yang diberikan Kadarius mengagetkan kami bertiga. "Kalau begitu selesai. Kita tamat."
Yozita membuat suara kesiap yang terlalu dilebih-lebihkan atau mungkin tidak. "Kadarius!"
"Kau bisa berbalik, Zita. Kau juga Xaya. Aku takkan keberatan." Cengkraman kemampuan Kadarius pada leherku mengetat, mengharuskan aku untuk menarik napas dengan susah payah. "Aku bisa melakukan ini seorang diri."
"Bukan itu maksudku!" sergah Yozita dengan cepat. "Sudah semestinya—"
Kadarius mengangkat tangannya tinggi-tinggi di udara, mengepalkannya, dengan geraman melemparkan FlyMobs yang berusaha menembak jatuh kami, tepat beberapa meter di belakang kami. Ledakannya menggetarkan tulang punggung. Panasnya seakan-akan menjilati tengkukku.
Seakan belum cukup, Kadarius membanting seorang UrsaMayor dengan sulurnya tepat di tengah jalan yang akan dia lalui, lalu tanpa berjengit sedikitpun dia berjalan di atas mayat itu. Sulur seketika muncul dari tempat kakinya tadi berpijak, menyelimuti mayat UrsaMayor tadi seperti kepompong. Aku dan Yozita sama-sama membuang muka secara bersamaan saat darah segar mulai merembes dari sela-sela kepompong sulur itu. "Kalau begitu jangan pernah mempertanyakan keputusanku lagi."
Yozita mengerucutkan bibir, tapi tidak lagi berusaha untuk membantah. Aku malah sebaliknya, walaupun tak berani memikirkan rencana pelarian diri yang niscaya gagal, aku tetap saja berharap semoga saja apapun itu rencana Kadarius, semua akan berjalan sesuai dengan siasatnya, dan, barangkali dengan itu aku tak perlu melihat siapapun terluka gara-gara aku. Aku mengambil napas dalam-dalam, mengangkat dagu sedikit saja supaya bisa memperhatikan dengan lebih seksama Tembok Perbatasan nan familier di depan sana. Aku bahkan hampir-hampir bisa merasakan desiran angin yang membelai pipiku, menonton senyum Acres yang langka, membaui udara bersih, mengkhayalkan aku bisa saja menguasai dunia dengan segala hal yang terlihat menyemut di bawah kakiku, menaklukan segalanya semudah membalikkan telapak tangan.
Hanya angan-angan.
Semuanya bohong.
Dusta belaka.
Langkah Kadarius makin cepat, mau tak mau mengharuskan aku untuk ikut melebarkan langkah. Mudah saja mengikutinya dengan tubuhku yang baru, tapi Xaya dan Yozita sama-sama tersengal-sengal kepayahan. Meski beberapa kali memiliki niatan untuk memelankan langkah demi mereka, tapi aku tahu diri, bahwa percuma saja berbaik hati. Mereka tak berkeinginan untuk menyamai langkahku.
"Kau tahu apa yang kau lakukan, Ellie?"
Walaupun marah, berang akan ketidakberdayaanku. Aku mau tak mau membuka mulut untuk menyatakan kesanggupan. "Ya."
"Xaya, Yozita?"
Mereka menjawab dengan serempak tanpa ragu-ragu. "Ya, mengerti."
Dengung Glass Gate menyakiti bagian belakang kepalaku, tapi aku tidak bereaksi sepertin biasanya. Jangan sampai ada yang mengetahui kelemahanku, jangan sampai mereka menggunakannya untuk mengancamku. Cukup Acres dan kebebasanku saja yang mereka curi.
Kadarius menghentikan langkah tepat beberapa meter saja dari Tembok Perbatasan. Dia menengadah, diam seperti itu selama beberapa detik, sebelum akhirnya memutuskan. "Ellie, sekarang."
Yozita dan Xaya mengambil satu langkah menjauh dariku, supaya aku bisa lebih leluasa memenuhi perintah yang telah dibebalkan padaku sebelumnya. Andai saja aku punya kemampuan setara dengan mereka, aku takkan sudi melakukan ini. Terutama saat Tembok Perbatasan berada tepat di depan mukaku. Aku tinggal lari, memanjat, hanya—andai saja tak ada Glass Gate. Mudah saja membayangkan, mudah saja terjatuh karena ketidakberdayaan.
Tanganku berkedut-kedut ingin menggaruk pahaku yang gatal oleh keringat, tapi alih-alih membongkar bagian armor pada pahaku, tanganku bergerak pada benda yang tersampirkan di pinggang.
Aku menarik pelatuk.[]
Total : [1999 words]
Moving on.
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro