Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T W E N T Y - F O U R [Repost]

      ACRES.

     Kadarius tak tahu jika aku selalu menggunakan Acres sebagai batu loncatan. Selalu menggunakannya di setiap tindakan yang kulakukan. Bahkan pada saat pembunuhan pertama yang kulakukan ... bahkan pada saat itu aku meratapi nasibnya. Nasib kami.

    Sesungguhnya, aku menggunakan Arhaki bersaudara sebagai peganganku. Bukankah aku rela melakukan apa saja demi mereka? Kadarius benar, apa yang dilakukan Pheasen jika aku membuang-buang waktu, jika aku lagi-lagi memberi orang kesempatan untuk menyakiti aku lebih banyak? Tidak. Tidak. Cukup Leah seorang.

     Aku mau tak mau merasa tolol karena baru menyadarinya. Lebih daripada itu, aku butuh tenaga ekstra untuk memberi Kadarius pukulan. Aku mungkin punya pilihan lain—meludahinya, tapi bahkan mengumpulkan liur pun membutuhkan waktu. Pasalnya saat ini mulutku sekering gurun di perbatasan Sector Tres. Sementara waktu kian menyempit, menyesakkan aku. Kadarius menyadari hal itu, menyadari kemenangannya. Kuabaikan senyum mengejek Kadarius, menunduk untuk mengambil kaos berbercak darah yang terongok di lantai.

     Tidak membuang-buang waktu untuk menunggu siapapun mendahului aku keluar dari Trib sesak ini. Aku memutuskan sendiri. Entah mereka mengikuti aku ataupun tidak, aku juga tidak peduli.

     Melompat dari satu dahan ke dahan lain, rasanya lebih sulit bila dibandingkan dengan yang sebelumnya, mengingat sebelah tanganku punya luka gores yang makin lama makin terasa pedihnya. Aku tidak membiarkan hal itu menjadi penghalang.

     Saat ini wajah dan pikiranku membutuhkan terpaan angin kencang, bukan tubuh yang melayang nyaman di udara. Walaupun dengan begitu denyutan pada punggung tanganku makin parah. Tidak jadi soal. Lebih baik begini daripada menahan diri terus menerus.

     "Kemana dia akan pergi?" aku tak tahan untuk bertanya saat Kadarius mengambil jalan yang berlawanan arah denganku dan Indira. Pergi lebih jauh masuk ke lorong yang minim pencahayaan dibanding yang lain.

     Indira menjawab tanpa melirik atau bahkan menghentikan langkah. "Dia punya banyak hal yang mesti dilakukan. Bukan urusanku."

     Begitu juga aku. Seharusnya aku tak usah bertanya. Setelah apa yang terjadi beberapa menit yang lalu, sudah semestinya aku berhenti untuk peduli.

     Lorong yang kulewati bersama Indira makin jauh makin menurun. Membuatku jadi bertanya-tanya seberapa besar Trib Pusat, berapa banyak tempat dan lorong di dalamnya. Sebab itulah aku agak terkejut saat Indira bergumam. "Kau tahu tidak, Gamma bisa digunakan sebagai petunjuk jalan." Untuk pertama kalinya sejak beberapa saat yang lalu Indira terlihat senang. "Jelas berbeda dengan Cincin Identitas yang kau banggakan itu."

     Aku secara refleks menggapai jari telunjukku, semata-mata hanya untuk merasakan kekosongan di sana. Aku ingat. Ravi sendiri menyatakan bahwa Cincin Identitasku diambil demi keamanan mereka dan diriku sendiri. Namun, pada akhirnya bahkan tanpa Cincin Identitas pun segalanya jadi berantakan. Gara-gara aku.

     Bukan. Tidak sepenuhnya gara-gara aku.

     Alibi yang lumayan menghibur, Ellie, cemooh hatiku.

     "Setting. Bar 5. All see. Enable. Done."

     "Apa?"

     Indira mengetuk pelipisnya, selagi dia berbelok ke kiri. "Cara mengaktifkan petunjuk jalan." Dia mengendikan bahu, acuh tak acuh. "Cobalah."

     Aku mempertimbangkan ajakan Indira dengan hati-hati. Memikirkan apakah yang kulakukan nanti akan ada untungnya bagiku. Jalan di lorong makin melandai, dan Indira sama sekali tak kelihatan memiliki niat untuk berhenti. Kemudian, aku menghela nafas. Menyerah. Ketidaktahuan merupakan satu hal yang tidak bisa aku toleransi.

     Biarpun tersentak pelan karena cubitan pelan dari cengkraman Gamma pada bagian dalam kulitku. Ternyata aku baik-baik saja. Tidak pusing atau mual. Dua hal yang selalu mengikuti apabila ada objek yang mengakses ke dalam pikiranmu. Aku tahu itu, sebab dulu saat pertama kali menggunakan Cincin Identitas, aku merasa tidak enak badan selama dua hari.

     Perlahan, layaknya kedip lampu, antar muka dari Gamma mulai muncul. Hampir mirip dengan tampilan antar muka Cincin Identitas. Hanya memiliki perbedaan pada bentuk serta desain, dengan beberapa tambahan fitur yang lumayan membuatku terkagum-kagum. Aku mengerjapkan mata satu kali untuk mengaktifkan dan membuka akses ke Gammaku. Mengikuti instruksi yang diberikan Indira tadi.

     Setting. Bar 5. All see. Enable. Done.

     Aku terkesiap, menjulurkan tangan untuk meraba-raba sekelilingnya. Mau bagaimana lagi pasalnya pengelihatanku tiba-tiba menghitam. Aku membuka mulut, bermaksud untuk memaki Indira saat tiba-tiba pengelihatanku kembali kali ini dan kali ini aku bukan hanya sekadar melihat lorong panjang kosong. Ada garis-garis mirip benang, layaknya kabel-kabel yang pernah aku lihat di pusat Server Onwellstone Sector Tres, bedanya yang ini masing-masing kabel memunculkan nama apabila kusentuh.

     "Canggih bukan?" Indira ternyata juga menghentikan langkah, sekarang bersidekap. "Kau takkan pernah tersesat dengan itu. Tak perlu pemandu bodoh juga."

     Acres pasti senang dengan eksistensi benda ini. Andai saja dia berkesempatan untuk melihat ini. "Ya. Lumayan ..." Aku bergumam, merasakan Jadrové memberat pada pergelangan tanganku.

     Indira mengerutkan dahi menyadari ada sesuatu yang berubah, tapi dia tidak berkomentar apapun selain mengatakan, "Desain Gamma sudah ada sejak lama, tapi pada akhirnya Kadarius sendirilah yang menyempurnakan benda ini."

     Indira melanjutkan langkah. Membiarkan aku mengikuti. Seharusnya aku sudah menduga hal itu. Sector Wan, dengan segala kelebihan yang tidak terlalu dilebih-lebihkan. Sector Wan yang punya segalanya. Sector Wan yang sempurna sampai ke akar-akar. Sama seperti orang-orang yang berada di sana. Sama seperti Kadarius. Aku bertanya-tanya seperti apakah rupa orang Chrone. Walaupun kami bisa dibilang hidup saling membutuhkan. Chrone seakan-akan sengaja memisahkan diri dari dunia Pheasen. Segala hal tentang Chrone masih menjadi misteri. 

     Aku tak pernah bertanya-tanya tentang hal itu sampai saat ini, bahkan dulu ketika Acres coba melakukan berbagai cara untuk mengintip Chrone melalui barang-barang rakitan buatannya. Aku tidak pernah peduli. Hidup berkecukupan, damai, dengan orang-orang kusayangi berada sekelilingku.

     Avgustin tidak suka jika aku coba-coba melakukan hal seperti Acres. Dia selalu mewanti-wantiku untuk tutup mulut dan berpaling saja dari apapun yang sekiranya bakal jadi sulit untuk ditangani seorang diri. Aku menurutinya, dan lihat dimana aku sekarang. Luntang-lantung di tangan manusia abnormal.

     "Perhatikan langkahmu." Tegur Indira membuyarkan berbagai macam penyesalan yang berkelidan dalam kepalaku. Kami ada tepat di depan pintu besi yang terlihat kuat, sulit ditembus dengan apapun. Barangkali, andaikata Trib Pusat dijatuhi bom, entah apapun itu yang berada di balik pintu ini akan tetap utuh. "Kita sudah sampai."

     Indira memasukkan kode—ternyata masih menggunakan cara lama. Aku menebak pasti tempat ini sudah ada jauh sebelum Trib Pusat dibangun. Akan tetapi bukannya terbuka, antar muka hologram berubah warna. Merah menyala seperti warna lampu tanda bahaya di Tribku.

     "Yorick!" Geram Indira. Dia menggertakkan gigi, betul-betul kelihatan kesal. Lalu membentakku. "Minggir!"

     Aku bergeming, memperhatikan error pada antar muka hologram dengan lebih seksama. Mengeryit. Sesuatu yang familier membuncah di dadaku. "Tidak. Tunggu. Aku bisa memperbaikinya, maksudku membukanya untukmu."

     Sulur-sulur bercahaya dari lengan Indira segera padam secepat aku mengatakan hal tadi. Satu alis ungunya terangkat. "Kau serba bisa ya?"

     Aku hampir-hampir memutar bola mata. Masalah seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hariku. Setidaknya kebiasaan yang ini ada karena aku terlalu sering bergaul dan mengikuti Acres kemanapun dia melangkah. Sebenarnya mudah saja, ada berbagai cara yang digunakan untuk meretas balik, tapi aku paling suka menggunakan metode Burce Force Attack. Walaupun membutuhkan waktu, tapi aku selalu menyukainya.

     Lagipula saat ini kami tak perlu terburu-buru. Aku tinggal mengkombinasikan angka, huruf secara acak, terkadang harus melapalkan alogaritma untuk mengetahui kombinasi yang tepat—bagian ini kesukaan Acres. Aku tidak terlalu menyukai hitung-hitungan, tapi bukan berarti aku tidak mengerti sama sekali.

     Aku menarik napas, menjernihkan pikiran dan mulai bekerja. "Seberapa sering—siapa itu—melakukan ini?"

     Indira menjawab. "Yorick. Terlalu sering. Tapi kali ini ada kau, jadi aku tak perlu sampai membuat server di sebagian lorong ini konslet."

     Aku bergumam. "Ya. Itu bagus."

     "Kau yakin bisa melakukannya?" tanya Indira, menyipitkan mata, mengambil langkah untuk berdiri di sampingku.

     "Kita lihat saja," kataku. Jika orang lain merasa jengkel atau bahkan lebih sering—marah—saat diremehkan, aku malah sebaliknya. Kalimat itu memecut otakku untuk bekerja lebih cepat, tangan-tanganku bekerja selaras dengan pecutan itu. Setidak-tidaknya aku bisa bersikap begitu saat dihadapkan pada pekerjaan yang remeh-temeh, yang tidak akan menyakiti siapapun termasuk diriku sendiri.

     Indira mendengus pelan, tapi tidak mengatakan apapun lagi.

     Aku sudah sering diberi reaksi sedemikian rupa. Bohong besar jika Tech perempuan di Pheasen dianggap setara dengan Tech laki-laki. Walaupun samar, aku masih bisa merasakannya. Selalu dipandang sebelah mata. Itu adalah salah satu alasan kenapa aku tidak berkeinginan masuk lebih dalam untuk menjadi Aviator khusus dalam penanganan para Tech di Pheasen. Akan tetapi lebih daripada itu aku masih merasa beruntung karena bisa belajar dari Acres secara cuma-cuma tanpa paksaan.

     Aku telah mencoba beberapa kombinasi, gagal pada percobaan ke empat, hingga akhirnya berhasil pada percobaan keenam. Aku bergeser, menegakkan punggung, merasakan kepuasan saat pintu besar itu perlahan-lahan terbuka. Menguak lorong dengan pencahayaan yang mirip dengan rambut Indira. Kau bisa melihat ujung lorong dari sini.

     Indira menyenggol lenganku, tersenyum. "Kau lumayan berguna juga."

     Aku balas menyenggolnya. "Aku tahu."

     "Ayo," Indira mengendikkan dagu pada lorong di depan kami, menahan dadaku dengan lengannya. "Satu tips dariku. Jangan berjalan. Lari secepat yang kau bisa."

     Aku belum sempat membuka mulut untuk bertanya saat Indira sudah berlari. Membuat aku tak punya pilihan, selain mengikutinya. Hampir-hampir terpeleset oleh licinnya lantai lorong, tapi aku dapat menyeimbangkan tubuh tepat waktu sebelum sesuatu melesat, menyerempet jaket yang kukenakan, satunya menggores betisku. Mengharuskan aku untuk menggigit bibir, menahan jeritan yang terancam kukeluarkan.

     Benda itu—sesuatu yang mirip pisau—menancap di dinding lorong sebelah, berikut dengan sobekan kain jaketku. Sekarang aku mengerti kenapa Indira ingin aku berlari. Jebakan dan waktu—aku baru menyadari keberadaan angka-angka itu saat ini. Berubah sangat cepat. Lantai bergetar, aku dengan ngeri menyadari bahwa bagian-bagian dinding dari lorong mulai menyatu, suaranya menggetarkan tulang-tulangku.

     Indira sudah mencapai akhir lorong, menungguku dengan bahu yang menegang kaku.

     Aku tak tahu apa yang bisa terjadi apabila aku kehabisan waktu sebelum mencapai tempat Indira. Aku memang tak mau tahu.

     Waktu dan dinding di belakangku. Keduanya menghimpitku dari berbagai arah.

     Waktu menyempit dan aku tahu tidak akan memiliki kesempatan yang lebih baik daripada ini.

     Lebih baik daripada tidak sama sekali.
   
     Aku melompat, tersungkur beberapa kaki dari posisi Indira. Mundur dari kepulan asap hijau yang tiba-tiba berhembus dari lorong dengan menggunakan siku dan telapak kakiku.

     Jantungku masih berdebar saat seseorang menelusupkan tangannya pada ketiakku, memberdirikan aku dengan paksa. Kepalaku berputar. "Halo, Ellie. Ketemu lagi."

     Paxtof.[]

Total : [1596 words]

Always, i'll care.

-Your Fav Author, Prasanti.
Call me Pras or Kahnovore!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro