
T W E N T Y - F I V E [Repost]
DI TEMPAT seterang ini, rambut Paxtof jadi lebih menakjubkan. Layaknya api. Walaupun aku belum pernah melihat api berwarna seputih dan semurni itu.
"Lihat tanganmu ini," komentar Paxtof berdecak, sepenuhnya mengabaikan aku yang masih berada di awang-awang. "Kulit yang cantik harusnya dijaga dengan baik. Menumbuhkan sel, apalagi kulit itu tidak semudah kelihatannya. Belum lagi tulang, syaraf ..."
"Ya, ya terserah," tukas seseorang dari balik bahu Paxtof. Pemuda yang menyelamatkan aku dan Yozita. Dia melambai padaku, tersenyum kalem. Sepenuhnya mengabaikan pelototan Indira yang niscaya menghanguskan. Andai saja dia bermaksud seperti itu. "Spada Ellie. Yorick di sini."
Paxtof tergelak dengan suara beratnya begitu melihat ekspresi wajahku. "Kau orang pertama yang bisa memecahkan kode York tanpa perlu merusak apapun." Dia mengangkat tanganku, menepuk-nepuknya pelan seperti memperlakukan seorang anak kecil.
Aku menunduk barang sejenak, seperti biasa, tak ada lagi luka memedihkan. Kemudian mendongak untuk menatap Paxtof, walaupun saat di neraka kemarin aku melihat Paxtof yang sama sekali berbeda dengan yang kulihat saat ini ... Aku tetap saja merasa—sama seperti semua orang—kadang-kadang kepribadian seseorang akan berubah pada situasi yang sulit. Sesuatu yang bisa kumengerti.
"Terima kasih," kataku.
"Untuk apa?" Saat aku tergagap. Paxtof terlihat geli sendiri. "Aku bercanda. Sama-sama, Ellie. Aku senang hari ini akhirnya tiba."
"Betul." Celutuk Korain dari samping kiriku. Baru muncul dari lorong lain. Sebentuk SwitchBlade bercahaya sewarna dengan Gear pada lengannya berputar-putar di atas telapak tangannya. "Sekarang kita genap. Aku akhirnya punya pasangan."
"Yang benar saja," cibir Yorick menampar bahu Korain main-main. "Denaya takkan memaafkan apa yang kau katakan tadi."
Korain sepenuhnya mengabaikan Yorick. Sekarang memakukan pandang padaku. "Jadi kesepakatannya sudah ditentukan ya?"
Butuh beberapa detik bagiku untuk mengerti arti dari pertanyaan Korain, lalu mengangguk singkat, membenarkan. Wajah Yorick langsung cerah ceria begitu dia menyadari apa yang tidak aku sadari. Bertepuk tangan kegirangan. "Kalau begitu. Ayo lakukan."
Aku menengok ke balik bahu. Pada Indira yang masih bergeming. Bisa dibilang aku meminta bantuannya. Dia balas menatapku, bersidekap. Menyapukan tirai rambut pink lavendernya ke belakang telinga. Mataku tanpa sengaja menangkap kilatan benda munggil pada telinganya.
Sejujurnya hal ini tidak mengejutkan buatku. Penduduk di Sector Quattro punya ciri khas yang unik. Masing-masing Sector punya ciri khas. Ciri khas ini menjadi pembeda fisik yang paling mencolok dari kami.
Sector Quattro punya mata kelabu yang selalu dikaitkan dengan seperti itulah bulan terlihat di langit bertahun-tahun sebelum Permukaan berubah menjadi neraka. Keserakahan nenek moyang kami membuat langit menjadi merah—tak enak untuk dipandang. Dibandingkan dengan tiga Sector lainnya, Sector Quattro punya semacam tradisi untuk tidak membiarkan warna asli rambut mereka diketahui oleh orang lain.
Maka dari itu cat rambut permanem wajib dan selalu menjadi penanda bahwa mereka berasal dari Sector Quattro. Warnanya beragam, mulai dari yang menyakitkan mata sampai pada warna yang membuatmu ingin terus menerus memandanginya.
Tidak ada yang mengetahui seperti apa gerangan warna rambut asli mereka. Tak ada yang peduli dengan hal sepele seperti itu, karena setiap orang di keempat Sector tahu bahwa mereka punya ciri khas masing-masing dan sudah seharusnya kami saling menghormati dengan masalah perbedaan itu.
Selain itu, tindikan, tato atau rambut panjang untuk laki-laki adalah hal yang biasa di Pheasen tetapi lebih seringnya hiasan-hiasan tubuh dan rambut yang tak terurus itu digunakan oleh seseorang yang seumur hidupnya menggandrungi seni. Sebut saja, para perancang gedung dan pakaian, pelukis digital, atau terkadang sedikit orang di Pemerintahan.
Sector Tres adalah Sector yang paling banyak melahirkan seniman-seniman dengan ciri mencolok seperti itu, sebab itu keberadaanku dan Acres—yang sama sekali—tidak terlalu menyukai dan mengerti tentang hal yang terlalu diluar nalar kami, selalu merasa terasing setiap kali harus bertemu dengan orang baru setiap harinya di Sector Tres. Mereka semua adalah manusia yang menjunjung tinggi keindahan, peraturan, keunikan atau sesuatu seperti itu.
Sementara aku dan Acres bisa dibilang sebagai maniak dari kebalikan deskripsi di atas. Aku menyukai apa yang disebut Sector Tres sebagai pekerjaan bar-bar dan terlalu-sangat-laki-laki. Dan Acres, walaupun aku selalu menganggap pekerjaan menciptakan dan merakit mesin sebagai salah satu ciri dari seni. Acres menolak hal ini, dia lebih senang jika pekerjaannya selalu dikaitkan dengan keberanian, penyelewengan terhadap peraturan dan seni.
"Apakah sekarang?"
Indira menjawab segera setelah aku bertanya. "Kapanpun kau siap."
Aku menggeser pandangan sedikit. Tanganku masih dipegang Paxtof. Korain dan Yorick menunggu dengan ekspresi yang berlainan. Satu kelihatan tidak peduli, satunya terlihat seperti akan melompat dan terbang begitu mendengar pernyataanku. Aku tidak punya waktu lebih lagi. Seperti yang Kadarius maksudkan sebelumnya, kalau aku mau bertemu Acres, aku musti bekerja cepat. "Kalau begitu aku siap."
Indira menatapku sebentar, berpikir lalu menggeleng setengah mencibir. "Saat kau bilang siap, Ellie, kau sesungguhnya mengatakan sebaliknya."
Yorick menggerang. "Indira kau terlalu melebih-lebihkan. Bukankah Ellie calon Aviator? Setahuku Aviator merupakan pelajar paling bergengsi di Pheasen. Kau juga tadi lumayan."
Korain mengamatiku lekat-lekat. Kelihatan lebih tertarik daripada sebelumnya. "Kau belajar pertahanan diri juga?"
"Ya." Jawabku tanpa ragu-ragu. Aku juga digembleng untuk menghadapi situasi tak terduga. Siap atau tidak. Aku ingin mengatakan hal itu pada mereka, tapi aku sudah puas diri dengan jawaban yang sebelumnya. Tidak perlu menambahkan apabila mereka tak bertanya lebih jauh. Genggaman tangan Paxtof mengerat sementara kami semua manantikan keputusan Indira.
Indira balas mengamat-amati kami semua, seakan-akan kami ini semacam kutu yang tak ada gunanya. Aku masih tidak percaya saat dia melemaskan bahu, menghembuskan nafas. Berkata dengan geram. Tidak memiliki pilihan lain. "Ya sudah."
Segera setelah Indira mengatakan persetujuan, Yorick langsung melompat dari tempatnya berdiri, mencuri tanganku dari genggaman Paxtof. Bisa dibilang dia menyeretku untuk ikut bersama dengannya, memasuki lorong yang tadi dilalui oleh Korain.
Tidak ada yang menegur Yorick, malahan mereka mengekori kami, berikut dengan senyum samar di bibir mereka. Aku juga tak luput memperhatikan bagaimana langit-langit lorong meninggi barang sedikit begitu Paxtof melangkah ke dalamnya.
Aku mengalihkan pandangan ketika seberkas cahaya menyilaukan mataku dan langit lorong yang gelap—monoton menghilang, digantikan oleh kubah kaca yang meriakkan pemandangan di luar ke seisi ruangan. Ibaratnya seperti berada dalam aquarium besar. Ruangan ini tidak besar tapi langit-langit yang berbentuk kubah mengimbangi kekurangan itu.
Aku terlalu sibuk mengagumi atap kaca itu sampai lupa dengan apa yang ada di bawah kakiku saat ini. Rumput imitasi. Seperti yang berada di sekitar Danau Allur. Ruangan ini memberi nuansa seakan-akan aku sedang berada di alam terbuka, bukannya dalam ruangan tertutup.
Aku membelalakkan mata begitu melihat kelebatan dari bayangan sayap di luar sana.
"Kahnivore. Indah bukan?" bisik Yorick, matanya terpaku pada langit di luar kubah. Berbinar oleh obsesi. "Mau melihatnya lebih dekat?"
"Kapan-kapan saja, York," tukas Indira. Matanya jelalatan melihat sekeliling ruangan. Mengerutkan dahi. "Di mana Dena?"
"Jangan panggil aku York!" bentak Yorick, lalu mendesah, menyesali bentakannya sebab Indira sekarang memfokuskan tatapan membunuhnya pada Yorick seorang. Aku rasa Indira masih belum melupakan soal antar muka hologram pintu tadi. Yorick menunduk, menggaruk tengkuknya canggung. "Kau tahu dia di mana."
Paxtof yang sudah menjatuhkan pantatnya di atas rumput nyelutuk. "Biarkan saja, Indira. Anak itu memang butuh istirahat."
Indira mengerjap sekali. Sepenuhnya mengabaikan Paxtof. Korain urung duduk begitu Indira menggerakkan jari telunjuk untuk memanggilnya. Dilatarbelakangi suara-suara Paxtof yang masih berusaha untuk membujuk Indira, aku memperhatikan gerak-gerik Korain. Dia berhenti beberapa langkah dari dinding di sebelah kananku. SwitchBlade yang tadi sempat dikembalikan ke tempatnya, dikeluarkan kembali.
Jantungku berdebar, memperhatikan apakah ada sesuatu di sana, barangkali Lichas dengan wujud tak terlihat. Yang tak bisa aku lihat? Aku menengok Yorick, dia menangkap raut wajahku, tapi hanya memberi aku jawaban dengan mengangkat bahu acuh tak acuh.
Perdebatan Paxtof dan Indira seketika terhenti, saat SwitchBlade Korain tertancap di dinding. Bukan. Bukan tertancap, melainkan masuk ke dalam celah yang sepertinya memang diperuntukkan untuk memasukkan sesuatu.
Ada bagian dari dinding yang terbuka. Gadis berkulit cantik yang kulihat sebelumnya jatuh berdebum dari sana. Rambutnya acak-acakan. Paxtof tidak melebih-lebihkan saat mengatakan bahwa orang di depanku saat ini butuh istirahat. Pasalnya aku sendiri bahkan tak yakin gadis itu bisa membuka matanya dengan benar.
Aku dan Paxtof secara bersamaan berlari menghampiri si gadis, ketika dia lagi-lagi jatuh terduduk. Paxtof sampai lebih dahulu. Aku menggapai lengan yang satunya, terkesiap pelan. Rasanya seperti mengenggam balok es sungguhan. "Apa dia baik-baik saja?"
"Kadang-kadang begini," gumam Paxtof. Terlihat benar-benar terpukul. "Saat kau menggunakan kemampuanmu secara berlebihan. Inilah yang terjadi."
Itu adalah sesuatu yang baru. Aku selalu menganggap—sejak pertama kali melihat mereka—kemampuan para Lichas tak ada habisnya. Tak terkalahkan. Namun nyatanya aku salah, mereka sama seperti manusia biasa. Punya batasan juga. Aku menggigit bibir, memperhatikan si gadis di baringkan di atas lantai. "Kau bisa membantunya bukan?"
Paxtof tak kunjung memberi aku jawaban, tapi hatiku mau tak mau mencelus begitu melihat raut wajah Paxtof.
"Tidak apa-apa, Ellie. Semua Lichas pernah mengalami ini. Denaya akan sembuh dengan sendirinya," kata Korain, mengambil tempat duduk dekat kaki Denaya. "Beberapa jam lagi dia akan kembali jadi Dena yang biasanya."
"Ya aku juga pernah." Yorick menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Menyuruh aku duduk juga. "Aku agak kesulitan menjabarkannya, tapi bisa dibilang seperti—seakan-akan—kemampuan kita sendiri mencabik-cabik tubuh kita dari dalam. Sesungguhnya tidak terlalu mengerikan, andai saja Oasis seperti Paxtof bisa membantu."
Nyatanya tidak. Tak ada yang bisa membantu selain diri kita sendiri.[]
Total : [1459 words]
I'm (not) okay.
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro