
T W E N T Y - E I G H T [Repost]
WALAUPUN Kadarius seorang pemimpin, dia tentu tak boleh mengambil keputusan secara sepihak. Masih ada Dewan yang mesti dimintai pendapat. Aku ingat bertanya pada Kadarius apakah aku akan ikut dalam rapat mendadak itu, dan aku tak bisa untuk tidak menarik nafas dengan lega begitu Kadarius bilang, dia akan mengurus segalanya.
Saat itu aku ingin sekali mengatakan maaf karena sudah membuat keputusan yang merepotkan, tetapi aku masih punya cukup banyak kesadaran untuk tidak melakukannya. Aku tidak mengerti apa yang aku pikirkan saat itu, sampai bisa-bisanya aku memikirkan untuk mengucapkan kalimat semacam itu pada orang berkedok seperti Kadarius.
Sinting benar!
Ditambah dengan satu fakta mengejutkan; tidak ada satupun dari tim kami tahu alasan sesungguhnya dari misi ini. Aku menebak para Dewan juga tidak, sebab aku mampu membayangkan apa yang ada di pikiran orang-orang egois itu. Begitu tahu aku ke Sector Dva untuk menemui Acres. Sudah mampu kupastikan mereka akan menolak permintaanku, dan justru malah memaksaku untuk menjalani pelatihan dengan lebih keras lagi.
Entah apa yang digembar-gemborkan oleh Kadarius sehingga para Dewan mempercayainya dan mengizinkanku mengikuti misi berbahaya ini. Apapun itu aku bersyukur, serta jadi semakin tak mempercayai Kadarius. Maksudku, kalau dia bisa mengibuli Dewan, dia pasti-suatu hari nanti-akan melakukannya padaku juga.
Belum lagi syarat yang diajukan Kadarius ...
Bukan hal penting, aku rasa aku sanggup memenuhi syarat yang dia ajukan, sebagaimana dia mau dan sanggup memenuhi keinginanku. Pertukaran yang adil. Dan aku berjanji dalam hati, bahwa ini adalah terakhir kalinya aku akan berurusan dengan Kadarius.
Aku masih mampu mengingat setiap kata yang meluncur dari bibir sensual itu, sejelas warna rambutku yang makin memudar-kehilangan warna emasnya yang sedari dulu telah dengan susah payah kurawat. Pada saat aku dan Kadarius bertemu di Ruang Penyimpanan untuk mengepak perlengkapan yang mesti kubawa ke Sector Dva. Secara harfiah hanya aku saja yang membutuhkan begitu banyak peralatan. Yang lainnya hanya mengambil senjata api standar, sebuah pisau dan goggle, aku tahu mereka sebenarnya tak memerlukan senjata-senjata itu sebab sesuatu dalam diri mereka sendiri saja sudah lebih berbahaya dibandingkan dengan senjata api atau benda tajam.
Kadarius-sepertinya sengaja-membantu memilihkan goggle yang pas untuk wajahku, aku tentu tak bisa mengusirnya. Aku tidak ingin dia membatalkan rencana ini dan memutuskan segala harapanku. Tidak boleh. Jadi, aku membiarkan dirinya terus membuntutiku. Aku tak perlu menunggu waktu yang lama sampai dia mulai berbicara. Seperti biasa, tanpa basa-basi. "Apapun yang terjadi nanti, kau tak boleh gegabah. Dengarkan aku, tunggu aba-aba dan perintahku."
"Baik." jawabku enteng sembari mengulurkan tangan berniat untuk mengambil goggle yang ada di tangan Kadarius.
Aku sudah mendengar kata-kata itu diucapkan dari bibir Avgustin, serta para Dewan kemarin, aku juga sudah puas dihadiahi oleh Denaya, hadiahnya berupa air mata emosional. Bisa dibilang aku benci diperlakukan seperti itu, seakan-akan aku bisa saja berlari dengan sukarela ke pelukan musuh. Bukan berarti hal itu tidak pernah muncul dalam kepalaku yang bebal, hanya saja aku tak suka di suruh-suruh begitu.
Walaupun aku berpikir bahwa dengan menyatakan persetujuanku dengan mudah, Kadarius akan lepas tangan seperti halnya para Dewan atau Avgustin. Namun secara mengejutkan Kadarius justru melakukan hal sebaliknya-dia mencengkram pergelangan tanganku. Alhasil sentuhannya yang tak kuduga memberi efek yang mengerikan padaku. Bukan dalam arti buruk, tetapi lebih memusingkan daripadanya-lebih kompleks, sehingga timbul keinginan kuat untuk menampiknya, membebaskan kulitku dari sensasi aneh yang membuat bulu-bulu di tulang punggung sampai tengkukku merinding hebat. Sayangnya, tangan Kadarius terlalu kuat. Aku tak bisa lari kemanapun.
"Berjanjilah!" Geram Kadarius, rahangnya mengetat.
"Aku berjanji," sahutku cepat-cepat. Lebih baik begitu, dibandingkan nanti permasalahan jadi makin rumit. "Hanya kalau kau tidak meremukkan pergelangan tanganku."
Secepat kalimat itu meluncur dari mulutku, secepat itu pula sensasi aneh itu menghilang. Kadarius mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Bahunya terkulai. "Oh ... maaf."
Aku menggendikkan bahu, bersikap seolah-olah kehangatan yang masih tertinggal di pergelangan tanganku, sama sekali tidak mempengaruhi kepalaku. "Lupakan saja."
Setelah perjanjian nan canggung itu, bisa kurasakan tatapan Kadarius selalu mengikuti kemanapun aku bergerak, dia masih tidak mempercayaiku. Masa bodoh, selama dia tidak mengatakan yang aneh-aneh, aku takkan peduli. Akan tetapi lama-lama, aku jengah juga, terutama ketika aku, Kadarius, Indira, Paxtof, Xaya, beserta Ravi dan Yozita-yang ternyata saudara perempuan Ravi, berdesak-desakan dalam IronMobs-transportasi yang mirip dengan mobil zaman dahulu-penempatan tempat duduk juga membuatku jengkel setengah mati. Padahal mulutku sudah gatal sekali ingin menanyakan tentang asal-usul IronMobs tua ini. Bukan pada Kadarius, tentunya, tapi pada Paxtof yang lebih enak diajak bicara tanpa membangkitkan perasaan aneh apapun itu dalam diriku.
IronMobs tersentak lagi, yang mana membuat para penumpang di dalamnya, ikut terlonjak. Itu berarti-mau tak mau bagian tubuh kita dengan penumpang yang lain akan bergesekan. Aku menggertakkan gigi, berusaha tabah menghadapi sensasi yang menggelitik lenganku. Sembari bertanya-tanya dengan kesal di dalam hati, berapa lama lagi kami akan sampai di perbatasan antara Sector Wan dan Dva?
Bukan berarti aku tidak bisa mengecek sendiri melalui Gamma pada pelipisku, melainkan karena sinyal Gamma akan berbahaya di luar sini. Sinyal itu bisa saja tersangkut di Server Pheasen dan lalu ... aku tak mau membayangkan kelanjutannya. Dan kalaupun aku berniat bertanya, aku pasti sudah melakukannya sedari tadi.
"Merasa mual?" Xaya menatapku dengan mata merahnya. Beberapa helai rambut cokelat mengintip dari balik tudung jaket. Melihatnya dari dekat begini, aku jadi makin menyadari-untuk kesekian kalinya-Xaya punya struktur wajah yang begitu maskulin. "Tak usah malu. IronMobs memang sudah seharusnya punah." Xaya menggerang, saat itulah aku menyadari bahwa kondisi Xaya tak lebih baik dariku, bibirnya hampir sewarna dengan rambut Paxtof. "Aku benci kendaraan ini."
"Mabuk darat memang merepotkan, tetapi lebih baik ketimbang harus menempuh waktu dua hari untuk sampai ke tempat tujuan," ujar Paxtof. Seolah menjawab kata-kata Paxtof, mesin IronMobs tersedak, Xaya menyumpah, rona wajahnya berubah dari putih menjadi hijau. Paxtof menghela napas, lalu mengulurkan kepalan tangannya satu padaku, satunya lagi pada Xaya. "Ini, mungkin bisa membuat kalian merasa lebih baik."
Permen. Xaya mencibir, dengan jelas menyiratkan bahwa makanan manis itu tidak akan mempan melawan gejolak cairan empedu. Namun aku sudah keburu menerima permen pemberian Paxtof. Pelan-pelan membuka kotak yang berisi puluhan oval berwarna-warni, kuambil dua sekaligus, yang berwarna ungu pekat. Rasa manis, asam dan segar-karena mint meledak di dalam mulutku. Aku mendesah lega, menyandarkan kepala pada panel di belakangku.
"Terima kasih," kataku pada Paxtof. Paxtof tersenyum sebagai tanggapan. Biasanya kalau aku mengucapkan terima kasih, dia pasti akan mengomel panjang lebar tentang manisnya aku, memberiku pelukan sayang seperti seorang abang, tetapi sekarang Paxtof begitu berhati-hati dan menjaga jarak. Semua itu hanya karena-lagi-lagi-sosok yang ada di sisi kananku.
Lupakan saja.
"Berapa lama kira-kira kita akan sampai di titik aman?" tanya Indira, suaranya memecah kesunyian nan canggung yang selama-tidak-sedari awal kami masuk ke dalam IronMobs. Aku masih belum terbiasa dengan penampilannya yang seratus persen seperti Sector Dva. Mata merah, rambut cokelat stroberi, bahkan dia juga dengan sukarela melepas tindikan ramai di telinganya.
Jujur saja Indira terlihat makin menyeramkan dengan mata itu, akan tetapi rambutnya, dia kelihatan konyol. Aku cemberut, kalau Indira saja terlihat seperti, bagaimana pula aku yang biasa-biasa saja. Sudah dipastikan penampilanku berantakan. Beruntung aku tidak diharuskan untuk ikut menyamar. Ingat, ini semua demi Acres, hatiku mengingatkan. Jadi, jangan rewel.
Dalam IronMobs ini hanya Xaya dan Paxtof yang terlihat bersikap biasa-biasa saja pada satu sama lain, sementara yang lainnya-termasuk aku-bisa dibilang kami lebih suka mengunci bibir rapat-rapat. Walaupun terkadang aku tak bisa mengabaikan bagaimana Ravi mencuri-curi pandang pada Indira, atau bagaimana Yozita berusaha keras untuk tidak terus-menerus memelototiku. Aku tidak mengerti apa masalah Yozita, padahal saat pertempuran tak terelakkan itu dia membantuku. Bersikap baik padaku.
"Sabar benar kau," kata Xaya. Mabuk darat pasti sudah membuat kepalanya kacau balau, sehingga mulutnya pun tidak mampu dia rem. Kalau pun Indira kesal atas kelancangan Xaya, dia tak memperlihatkannya. Berkedut pun tidak, matanya tertancap lurus-lurus pada Kadarius. Seperti hewan buas yang sudah menandai mangsa. Aku mengigit bibir, iri dengan Indira beserta keberaniannya yang tidak main-main.
Sadar diperhatikan sedemikian rupa, Kadarius bergerak tetapi bukan untuk mencekik Indira. Dia mengeluarkan bola ranting dari saku mantelnya, melempar benda itu di tengah-tengah, bukannya jatuh ke lantai IronMobs, bola itu berhenti tepat di udara. Berputar-putar searah dengan jarum jam. Tak lama kemudian, cahaya kebiruan menyembur ke seisi IronMobs, menyilaukan pandanganku sekejap.
Saat aku membuka mata bola ranting Kadarius sudah memproyeksikan rute yang kami tempuh, dilengkapi tulisan berupa informasi yang kupikir berguna untuk seseorang yang masih awam. Namun aku tak memerlukan tulisan-tulisan itu, aku bersyukur karena tak pernah mengabaikan tugas selama tiga tahun menjadi siswa di Institut bergengsi. Tentu saja karena, sifat disiplin Avgustin dan tekadku untuk menyamai kepintaran Acres, merupakan dua dari beberapa alasannya.
"Kita akan sampai tak lebih dari sepuluh menit di titik aman." Kadarius menggerakkan tangannya di udara, tampak atas wilayah Hutan Nahari, segera berganti menjadi tiga dimensi sepenuhnya. Titik kuning yang berdenyut menandakan jika itu adalah IronMobs, yang terus bergerak pelan tapi pasti diantara pepohonan. Kadarius benar, melihat dari waktu yang terus berubah, kami akan sampai tak lebih dari sepuluh menit. Aku bisa melihat citra lautan yang mengombak-samudra kebangaan Sector Dva, padahal jelas jika air asin itu bukanlah jenis air sungguhan.
Namun titik amannya bukanlah di pesisir. Titik amannya di tempatkan beberapa meter jauhnya dari sana, alasannya lagi-lagi karena masalah keamanan-dari Xaya aku tahu jika sistem di tempat yang akan kami pijaki beberapa saat dari sekarang berbeda dengan perbatasan di ketiga Sector. Sector Dva amat sangat ketat dalam menjaga wilayah mereka. Aku menyebutnya sebagai naluri seorang UrsaMayor sejati. Tidak heran jika para UrsaMayor kebanyakan di rekrut dari sana.
"Dari informasi Tonia, Neopyhte ini tinggal di Solo III." Seperti yang kukatakan sebelumnya, target dalam misi ini adalah seorang Neopyhte Sector Dva. Wajah dari anak itu masih segar diingatanku. Mata merah, rambut cokelat cepak seperti kebanyakan warga sipil, keberanian menyala-nyala dari sorot matanya, setahun lebih tua dibandingkan aku. Namanya, Harendra Anantha. Dari pengalamanku, seseorang dengan huruf H di dalam namanya pasti tidak bisa diprediksi, dan sudah tentu Harendra ini susah ditemukan.
Korain terus terang padaku bilang, cara menemukan Neopyhte adalah dari Cincin Identitas yang di kenakan si calon Lichas. Untuk hal itu, Avgustin beserta mata-mata lainnya berperan amat besar di seantero Pheasen. Mereka bukan hanya bertujuan untuk memata-matai Pheasen, tetapi juga untuk menemukan setiap kejanggalan Cincin Identitas yang terjadi.
"Tetapi bukan berarti dia tak bisa berpindah sewaktu-waktu," Kadarius berdehem, ternyata dia sudah memperkirakan segalanya. Kebetulan sekali malam ini, adalah malam sehari sebelum parade menggelikan para Albercio terbang ke surga-Chrone. "Berpencar. Mengikuti rencana, Paxtof akan mengambil lokasi darurat."
Tugas Paxtof adalah memanggil bantuan jika keadaan jadi berbahaya, Aku tahu tentang hal ini dari Korain juga, penempatan Paxtof itu semacam protokol dasar yang sama setiap sata mereka harus menjemput Neophyte. Tak peduli siapa pun kaptennya. "Xaya, Yozita dan Ravindra, kalian bergerak dari Solo I sampai Solo terakhir, menyisir daerah pemukiman itu-berpencar. Kalau ada yang tidak beres atau ada sesuatu yang mencurigakan kalian tentu tahu apa yang mesti kalian lakukan." Mereka bertiga mengangguk mantap. Mereka sudah dapat dipastikan terbiasa melakukan hal ini. "Sementara aku, Indira dan Ellie akan memeriksa alun-alun, dan Pusat Kota-sekitar Milestone."
Aku meneguk ludah dengan susah payah. Alun-alun yang ramai, adalah tempat yang menguntungkan sekaligus juga berbahaya. Tetapi sebelum itu aku harus menanyakan satu hal. ini adalah satu-satunya yang tidak diberitahu Korain padaku. Entah dia lupa, atau karena terlalu gugup melepas kepergianku, yang jelas aku buta akan hal ini. "Bagaimana cara kita masuk ke Sector Dva?"
Dengan Tembok Perbatasan yang tingginya hampir tiga ratus meter, ditambah kubah Glass Gate yang tentu, tak bisa ditembus begitu saja. Aku ragu ada jalan bawah tanah rahasia, sebab apa yang ada di bawah kaki kami adalah pondasi raksasa, ternanam teknologi yang mampu membuat Pheasen melayang puluhan ribu kaki dari Permukaan.
Mana mungkin kami melubangi Tembok Perbatasan, jika hal itu memang dilakukan kenapa tidak sekalian saja berteriak pada UrsaMayor yang berjaga di atas Tembok Perbatasan, sehingga kami bisa mati dengan cepat. Itupun kalau UrsaMayor Sector Dva mau berbaik hati. Mengingat kejadian di hutan Nahari kemarin. Aku tak terlalu berharap.
Aku bergidik membayangkan sesi interogasi lalu disiksa sampai mati di Halder. Halder merupakan tempat paling buruk untuk mati. Aku tak mau mati. Setidaknya jangan sekarang.
Xaya cengengesan, ada sedikit rona di wajahnya sekarang. Senang pada akhirnya aku membuka mulut untuk bertanya. "Oh, sayang, sebab itulah kita membawa Ravi dan Zita."
Xaya memang mengakui keterlibatan Ravi dan Yozita-atau Zita untuk Xaya-dalam kerja yang paling penting dalam misi ini-menyusup ke Sector Dva tanpa ketahuan. Tetapi bukan berarti Xaya mengatakan bagaimana caranya, yang lainnya juga tidak dan aku juga tak berusaha untuk mencari tahu lebih. Benar, aku memang tak suka dengan kejutan, tapi aku lebih tidak menyukai pemaksaan. Jadi setelah telinga berderu, dan perut bergejolak karena mesin IronMobs yang sudah sangat tua membuat perjalanan jadi tak terlalu mulus. Biarpun begitu, seperti yang diperkirakan Kadarius. Kami sampai di titik aman tak kurang dan tak lebih dari sepuluh menit kemudian.
Begitu sepatu bot kami menjejak tanah lembab. IronMobs bergerak secara otomatis menjauh dari tempatku berdiri, dengan sendirinya menurunkan sayap, lalu berkamuflase. Walaupun aku benci alat transportasi satu itu, tetap saja IronMobs memiliki kecanggihan melebihi FlyMobs. Namun aku harus memalingkan wajah, karena Xaya menghalangi pandanganku dengan muntah-muntah di kaki pohon terdekat. Paxtof bergerak cepat, dia menghampiri Xaya, mengurut tengkuk gadis itu dengan lembut. Aku juga sebenarnya ingin sekali muntah, tapi permen pemberian Paxtof membuat desakan itu menghilang secepat datangnya.
Selagi menunggui Xaya, aku menengadah, merasakan keberadaan Glass Gate dibalik rimbunnya pepohonan yang menjulang tinggi. Ujung jemariku menyentuh permukaan kasar dari bayang pohon-entah jenis apa-aku tak pernah memperlajari tentang pepohonan-bukan kegemaranku. Tetapi aku tahu pohon-pohon ini bukan pohon asli, hanya semacam replika dari pohon asli yang dibuat oleh Chrone. Tak ada yang bisa diselamatkan lagi ketika badai matahari itu menerjang.
Sesaat bayangan ketika Kadarius merubah tombak-tombak kayu menjadi sepasang pohon kembali merasuki ingatanku. Apakah itu pohon asli? Jelas saja apa yang kulihat waktu itu bukan ilusi. Kalau betul begitu, bagaimana cara Kadarius melakukannya? Selain karena kemampuannya tentu saja. Seandainya dia mampu merubah replika pohon menjadi pohon sungguhan, seharusnya dia mampu menyelamatkan kengerian yang terjadi di Permukaan, bukan? Mungkin saja. Bisa jadi.
Kenapa kau tidak menanyakannya? Bisik pikiranku. Aku cepat-cepat menggeleng. Bukan urusanku.
"Apa yang kau lihat?"
Pikiranku serta merta terbagi menjadi dua, beruntung bahwa aku masih punya sedikit kesadaran untuk menjawab tanpa menimbulkan kecurigaan. "Glass Gate."
Ravi menyipitkan matanya tak percaya. "Aku tidak melihat apapun." Gerutunya.
Tentu saja kau tak melihatnya, aku merasakan, bukan melihat. Aku menggendikkan bahu. "Mungkin kau perlu mataku untuk melihat?"
Ravi cemberut, aku mau tak mau nyengir begitu teringat akan pemikiran ketika di Trib dulu-sehabis aku menghajar Avgustin-tentang Ravi yang bisa kujadikan partner saling membunuh. Perdebatan singkat kami berdua sehari setelah aku mengamuk. Baru sekarang terpikir olehku jika rambut Ravi agak mirip Yorick. Teksturnya. "Ada yang lucu?"
Aku nyengir makin lebar. "Tidak. Hanya melihat daun bawang di gigimu."
Itu lelucon lama tapi aku terperangah saat Ravi mempercayai ucapanku. Dia mengangkat pistol, untuk bercermin pada permukaannya. Beruntung bahwa Xaya sudah kembali dari sesi muntahnya, sehingga aku tak perlu merasakan pelototan dari Ravi.
Perjalanan kembali dilanjutkan, sehingga aku terhindar dari tertawa terbahak-bahak sekaligus terhindar dari semburan ketus Ravi.[]
Total : [2443 words]
Seperti inilah saya setelah menulis sebanyak ini :
Jadi gak ada yang ingin mengapresiasi darah saya (darah Bill sebenarnya)? Gak ada? Oh yasudahlah.
-Your Fav Author, Prasanti.
Call me Pras or Kahnivore
NB :Semenjak jadi Pennywise, Bill adalah salah satu aktor favorit saya. Hehe. Tatapan matanya bikin iri. T^T
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro