
T W E L V E [Repost]
ARCADE Sector Wan rusak berat, dengan kejadian traumatis itu, tentu saja pertandingan Radeon dibatalkan. Korban jiwa yang berjatuhan dari keempat Sector lebih banyak dari yang Kadarius bayangkan. Aku sendiri tidak dapat menahan dengusan, ketika mendengar kata-kata penuh penyesalan keuar dari mulut itu. Seolah-olah dia peduli saja.
Saat ini berita tentang pertempuran berdarah itu sudah menyebar ke seantero Pheasen, kepanikan tak lagi dapat dielakkan. Namun Kadarius menyatakan bahwa Chrone pasti punya banyak cara untuk mengatasi permasalahan itu--mengembalikan keadaan seperti semula--seperti mesin penggali yang rusak misalnya. Kadarius tak mengatakan tentang mesin penggali itu tapi aku tahu sendiri rumor itu bukan hanya isapan jempol belaka.
Dan dari semua berita menyedihkan itu hanya satu hal yang sekiranya membuatku bernapas lega walaupun tidak benar-benar mampu menghilangkan penyesalan yang menggerogoti.
Acres dan ketiga saudaranya selamat, hanya saja Kadarius tak tahu di mana keberadaan mereka saat ini. Mungkin sudah di Sector Dva. Berusaha menyembuhkan luka yang menganga. Dengan meninggalkan Sector Tres dan aku. Kuharap tidak ada lagi yang akan menyakiti mereka dengan sengaja maupun tidak. Jadrové di pergelangan tanganku serasa memberat.
Aku kembali teringat tentang janji-janjiku pada Acres. Janji tak terucapkan untuk menjaga impian, senyum serta keluarganya. Akan tetapi sama seperti janji tersebut, Darf pemberian Avgustin telah menghancurkan segala-galanya. Membakar janji-janjiku, mengubahnya menjadi arang penuh kebohongan.
Aku bertanya-tanya apakah Acres masih sudi memakai kalung pemberianku? Apakah dia mau memaafkanku kali ini. Memikirkan Acres jauh dari genggamanku saja terasa amat menyakitkan apalagi memikirkan bahwa dia membuangku jauh-jauh.
Kenapa harus aku yang mengalami semua ini. "Kenapa aku?"
Aku tidak menyadari kalau aku tidak hanya sekedar bergumam. Karena Kadarius menjawab pertanyaan yang pada awalnya tidak kutujukan pada siapa-siapa selain diriku.
"Karena kau amat penting bagi kami."
"Penting," ulangku dengan nada meremehkan. "Apa kalian tidak melihatnya? Aku hanyalah gadis pemarah tak tahu apapun, aku hanya sok tahu, dan aku tak punya apapun dan bahkan aku tidak memiliki--" Aku mengeryit tidak tahu harus menyebut dengan nama apa kemampuan manusia keparat aneh ini. Perusak? Malware? Pembawa sial? Kurasa tidak. Ribka telah menyembuhkan luka-luka pada tubuhku tanpa membuat lebih banyak luka lainnya. Tentu saja, Ribka belum memperlihatkan warna aslinya. Jadi, aku tak terlalu berharap banyak. "Percayalah padaku kalian akan menyesalinya suatu saat nanti."
"Dan kenapa kami harus menyesalinya, Ellie?" tanya Kadarius cepat. Aku berjengit sedikit, tak suka dengan nada suaranya ketika melafalkan namaku.
Karena kau tidak seharusnya mempercayai seorang gadis yang sudah kau hancurkan kehidupannya. Tetapi, walaupun begitu aku merasa sudah cukup dengan tatapan menghina Kadarius. Sehingga kujawab dia dengan pertanyaan juga. Berharap dia tidak akan mampu menjawabnya. Disaat yang bersamaan aku juga takut akan jawaban Kadarius. "Apakah karena aku kalian membuat kekacauan di Arcade?"
Kadarius memang tak mampu menjawab pertanyaanku.
Melihat reaksi diamnya membuat aku ingin membunuh diriku sendiri saat ini. Aku tertawa histeris--sinting. Kurasa aku memang sudah sinting. "Kalian mengorbankan nyawa orang lain hanya demi gadis pemarah yang sama sekali tak berguna sepertiku? Aku merasa sangat terhormat."
"Apapun yang terjadi di Arcade Illysiumstone bukanlah bagian dari rencana kami," kata Kadarius dengan tenang. Ketenangannya membuatku geram. "Dan berhenti meremehkan dirimu sendiri."
"Memang tidak, tetapi tetap saja terjadi, bukan? Jikalau kalian memang menginginkanku, kenapa tidak sedari dulu kalian melakukannya? Kenapa tak ada seorangpun yang datang ke Sector Tres, kenapa kalian tidak membiarkan Avgustin menyelesaikan pekerjaannya dengan menjelaskan segalanya padaku?!" Aku berteriak sekarang, tersulut oleh emosi. Ada begitu banyak kata 'kenapa' dengan tanda tanya dan seru yang menunggu di antrean panjang api kemarahanku.
Sayangnya bukan aku saja yang marah saat ini karena Kadarius mengepalkan tangannya erat-erat. Bibirnya berubah menjadi segaris lurus, rahangnya mengencang--menandakan bahwa dia menahan diri--menahan sulur-sulurnya untuk tidak meremukkan tubuhku.
Aku mendengus, aku sama sekali tak mengharapkan belas kasihan semacam itu. Setelah mendengar semua hal tentang betapa nyawa orang lain lebih tidak berarti dibandingkan aku, membuatku sama sekali tidak keberatan jika beberapa tulangku remuk.
Kadarius tidak akan membunuhku, kalaupun aku terluka, Ribka akan menyembuhkanku. Namun aku belum berani lagi mencoba-coba. "Avgustin tidak mau. Tidak di Sector Tres. Tidak dengan kenyataan bahwa kami seharusnya tidak ada, dan terutama tidak dengan Glass Gate yang tertutup rapat disegala sisi," kata Kadarius dengan bahu tegang. Dia tidak ingin memberi aku kesempatan untuk membeberkan kesalahan yang telah dilakukan olehnya atau oleh kaumnya.
Dasar keparat-munafik!
Tetapi dia benar tentang Glass Gate di perbatasan keempat Sector yang tidak akan memberinya kesempatan dihari-hari biasa. Pengecualian untuk hari Perayaan Perdamaian. Glass Gate akan sedikit melemah ketika pertandingan Radeon diadakan dikarenakan banyaknya StreamLiner yang melewati perbatasan. Hal ini bukanlah pengetahuan umum namun dengan Avgustin sebagai Aviator. Aku tahu segala macam hal yang kutahu sebagai rahasia paling rahasia di Pheasen.
Kadarius melepaskan kepalan tangannya. Kedua tangannya yang pucat memerah. "Kau ingin aku membantu mereka? Ellie apa yang akan kau lakukan jika orang yang selama ini membuatmu menderita meminta bantuan cuma-cuma darimu?"
Aku membelalak.
"Memahami cerita dari satu sudut pandang bukanlah tindakan cerdas, Ellie. Sekali-kali cobalah untuk memahami dari sudut pandang orang lain. Baru kau boleh membuat perkiraan." Saat berkata Kadarius seperti orang yang sudah menahan kata-kata itu dalam kepalanya selama bertahun-tahun. Dihantui oleh kebutuhan untuk mendapat kesempatan supaya mampu mengungkapkan ganjalan itu kepada orang lain.
Aku meneguk ludah dengan susah payah. Tidak pernah aku merasa segundah ini.
Papan skor dan beton-beton yang melayang di atas kepalaku, orang yang menggerakan benda itu sama sekali terlihat tidak peduli akan sekelilingnya. Pembalasan yang sepadan untuk ketidakpedulian. Aku menghentikan makianku yang mendesak ingin kumuntahkan ketika mengingat kejadian yang berlangsung setelah Kubus Utama--di mana Canavaro duduk--meledak. Ledakannya menghancurkan rumahku, tempatku selalu pulang, orang-orang yang kusayangi.
Pemikiran itu menggerakkan lidahku, menjernihkan pikiranku sedikit saja. "Dengan kata lain, kau dan orang-orangmu ini telah salah memperhitungkan sesuatu."
Kadarius mengerutkan dahi. Dia tidak menampik atau mengiyakan, tetapi raut wajahnya berubah menjadi semakin merah. Aku benar.
"Jadi semua ini berawal dari dendam kesumat?! Orang sinting yang menggerakkan benda-benda dengan membabi buta! Kau pikir itu hanya bagian dari taktik sederhana yang gagal?! Bagus sekali!" Semburku dengan suara gemetar. Aku mampu merasakan ledakan--yang sama--yang kurasakan saat di Arcade Illysiumstone mengguncang kepalaku, seiring detak jantungku yang kembali menggila.
"Kami tidak tahu-menahu tentang ledakan itu," tukas Kadarius. Walapun wajahnya merah menahan amarah, aku sedikit kagum dia bisa membalas semburan kemarahanku dengan jawaban yang tenang.
Tolol dia Sector Wan. Semua perdebatan semacam ini sudah menjadi makanannya sehari-hari.
"Tujuan kami bukan untuk menghancurkan, tapi membawa kau ikut bersama kami, dan Bloom sedang berada dibawah pengaruh orang lain ketika melakukannya. Dia sedang menjalani hukuman saat ini."
Aku menatap mata Kadarius, melihat apakah dia membohongiku atau tidak. Aku tak melihat apapun didalam mata itu selain kebenaran, hanya saja, aku sudah terlanjur dalam mode ketidaksenangan yang memuncak. Aku mengerling tajam pada sulurnya, sambil lalu berkata dengan nada sinis. "Bagus! Sangat hebat!"
Sulur dibagian pergelangan tanganku makin mengencang. "Kupikir ..." ujung bibir Kadarius berkedut dan itu bukan berarti sesuatu yang baik, "kau ingin mengetahui ini. Bahwa bukan hanya kami yang datang ke sana untuk mendapatkanmu. Seseorang mengetahui keberadaan kami di sana--rencana kami--lalu memanfaatkannya untuk membuat kekacauan sehingga ketika semua kejahatan itu selesai, kamilah yang dianggap telah melakukan semua hal mengerikan itu. Tetapi sayangnya, dia tak pernah bisa membunuh Canavaro Chrone, tidak juga mendapatkanmu."
"Siapa?" Seketika aku berubah menjadi was-was. Tidak memungkiri bahwa kemarahanku surut seketika.
Memikirkan bahwa ada pihak lain yang menginginkanku, membuat rasa penasaranku kembali kambuh disaat-saat yang tidak tepat. Tapi siapa? Kenapa mereka juga ingin membunuh Canavaro Chrone saat ini? Kadarius hanya mengatakan aku penting. Penting dalam urusan apa? Apakah aku sepenting Canavaro Chrone? Tentu saja tidak mungkin.
Tetapi, urusan apapun itu, sepertinya bukanlah urusan yang hanya bisa diselesaikan dengan jalan baik. Aku merasa sedikit beruntung bahwa setidaknya di dalam tempat perkumpulan orang aneh ini ada Avgustin yang kukenal--walau aku masih ingin membunuhnya--tapi setidaknya terlihat lebih baik dibandingkan disandera oleh pihak yang tak kutahu akan seberbahaya dan sekejam apa mereka nantinya. Setidaknya di sini kemungkinan aku bertemu dengan Acres masihlah terbuka lebar untukku.
Kadarius mengerutkan alis. "Aku tidak yakin dengan dugaanku tetapi mungkin--bisa jadi--salah satu dari orang penting di Pheasen, yang bukan hanya membenci kami tapi juga berniat menghancurkan Chrone untuk kepentingannya sendiri." Kerutan itu menghilang dari dahinya. Jika aku mau berkonsentrasi sebentar saja, mungkin aku bisa mengetahui rahasia apa yang disembunyikan oleh pemuda ini di balik lebatnya rambut hitam itu tapi Kadarius keburu mengangkat kepala.
Kami saling menatap selama beberapa menit, sampai kemudian aku lebih dulu menggeser arah pandangku, sehingga hanya melihat tempat diantara alis Kadarius. Itu tempat yang aman menurutku. Sudah kutetapkan. Aku bertanya, "Apa aku akan mati dalam waktu dekat?"
Kukira dia akan menjawab, tetapi setelah sekian lama menunggu tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya.
Aku mendengus. "Aku tidak masalah--"
"Aku masih punya waktu sekitar dua puluh menit untuk meladenimu disini."
Meladeni pertanyaan waras maksudmu. Demi dewa-dewi yang dipuja oleh orang-orang Sector Quattro, aku ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Betapa sialnya hidupku.
Tetapi dua puluh menit? Mungkin aku bisa menggunakan waktu yang singkat itu untuk membujuk Kadarius supaya memberikanku kesempatan untuk meludahinya sebanyak yang aku mau atau lebih menyenangkannya lagi, mungkin menggoreskan luka cakaran di wajahnya yang tampan. Aku tahu Kadarius tidak akan berbohong mengenai semua hal yang keluar dari mulutnya yang wangi. Aku bisa melihat, tetapi setiap kali mata itu bersinggungan dengan mataku. Aku selalu mempunyai keinginan untuk mencokelnya.
Aku hanya tidak bisa mempercayai orang yang baru saja membawaku ke dalam perkumpulan orang aneh begitu saja. Sayangnya setiap kali aku mencoba untuk melakukan hal yang melanggar janjiku padanya, mata itu selalu berhasil mencegahku. Membuatku kesal dan marah pada diriku sendiri.
"Pergi saja kalau begitu!" kataku tidak ingin ketus, tapi malah jadi terdengar begitu.
Salah satu dari alis Kadarius terangkat, sembari menggendikkan bahu enteng. "Baik. Tidak masalah." Lalu berdiri dari tempatnya semula duduk, walaupun aku tahu dia pasti merasa sangat tersinggung dengan bentakanku.
Tetapi apa peduliku?
Aku bisa menanyai Avgustin tentang hal pribadi lainnya nanti. Namun sebelum itu aku harus menanyakan hal ini pada Kadarius. Supaya nanti aku mampu menenangkan diriku dan menyusun setiap kalimat dengan baik-baik untuk Avgustin. Itupun kalau aku bisa.
"Tunggu! Kapan aku bisa keluar dari ruangan ini?"
Ujung-ujung bibir Kadarius tertarik, kali ini diikuti oleh matanya. Kupaksakan kedua mataku untuk mengedip ketika melihat senyuman itu dan berharap bahwa saat ini aku tidak terlihat seperti seorang manusia purba yang baru untuk pertama kalinya melihat api.
Aku bertanya-tanya apakah para gadis di Sector Wan sama tidak sadarnya sepertiku ketika melihat laki-laki bermata biru dengan kepala berambut gelap, dahi putih mulus yang teramat tampan menyilaukan tersenyum pada mereka. Aku tidak yakin tetapi mungkin bisa jadi, lagipula gadis-gadis di Sector Wan terlalu sempurna untuk tiga Sector lainnya.
Selama berpuluh-puluh dekade atau bahkan sejak Pheasen didirikan. Pernikahan antar lain Sector adalah hal yang aneh dan mengerikan menurut kami, karena jelas nanti anak yang dilahirkan akan memiliki darah campuran.
Masalahnya bukan hanya karena aneh. Ada hal lain yang membuat kami kembali memikirkan baik-baik tentang hal ini--di Pheasen tidak ada tempat untuk anak campuran--tidak di keempat Sector, tidak juga di Chrone. Membayangkannya saja membuatku mual.
Tunggu, kenapa pula aku memikirkan hal gila seperti itu?
Aku lupa bahwa aku sudah sinting. Mungkin geger otak karena sempat beradu kepala dengan Avgustin membuat pikiranku sedikit ngelantur. Akan kutanyakan hal ini nanti pada Ribka--jika dia masih mau melihatku.
"Secepatnya," katanya sok berahasia. Dan kemudian segera saja aku menyadari bahwa senyuman itu adalah senyuman mengejek yang kukenali dari bocah yang suka menganggu Acres. "Sampai jumpa lagi, Ellie."
Aku memalingkan wajahku. Kukibaskan pergelangan tanganku yang kesemutan. Lebih baik lagi bila aku tidak perlu melihat dia. Selamanya.
Sebelum pintu menutup Kadarius berkata padaku. Kata-kata yang memutuskan harapan terakhirku untuk segera pergi dari tempat ini. "Jangan macam-macam dengan jam itu, Ellie. Karena aku tidak bisa menjamin bahwa ruangan ini tidak akan menyetrummu sampai gosong jika kau melakukannya. Selamat malam."
Aku masih dalam posisi dudukku selama sejam lamanya. Masih berusaha mengorek-ngorek pikiranku tetapi tidak ada keinginan untuk menangis. Bahkan lebih tepatnya jika aku sebut diriku merasa kosong. Kukira setelah mengetahui apa yang kuperlukan dari Kadarius membuatku merasa lebih baik namun nyatanya saat ini aku merasa hampa. Aku tak mau memikirkannya tetapi kukira Avgustin akan memberiku jawaban untuk menghilangkan perasaan hampa yang menyiksa ini.
Ketika aku berbaring di tempat tidur. Seluruh dinding di ruangan ini berubah menjadi hitam. Langit-langit bercahaya--menampilkan langit malam yang bersih--penuh bintang-bintang. Langit-langit buatan. Hanya melihatnya saja membuatku teringat akan kamarku di Sector Tres. Apa yang terjadi pada rumahku saat ini? Apakah sebelum pergi ke Sector Dva, Acres sempat pergi kesana?
Kuharap tidak karena memang aku tidak mengharapkannya. Dengan kekosongan rumahku pasti akan membuat Acres semakin terlepas dari genggamanku. Aku mengangkat tangan yang dilingkari Jadrové. Kuperhatikan pantulan langit berbintang dari permukaannya. Jarum-jarum yang bergerak seiring menit berlalu.
Warna yang ditimbulkan oleh gelang itu mengingatkan aku pada warna mata Acres. Aku membiarkan pikiranku bergumul--berperang--dengan dirinya sendiri sampai aku tidak ingat apapun lagi.
Malam ini bukan hanya kelima Arhaki yang datang ke dalam mimpiku tetapi juga Kadarius yang menahan tubuhku dengan sulur berdurinya. Menahanku di tempat, sementara aku melihat adegan Leah ditusuk secara berulang-ulang.[]
Total : [2108 words]
When the glory tries to tempt u, it may seem like what u need. But, If the glory makes u happy, why r u so broken up?
-Your Fav Author, Prasanti.
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro