Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T H R E E [Repost]

     AKU mengedipkan mata dengan cepat, visiku yang semula kabur, perlahan semakin jelas sampai secara sepenuhnya aku melihat di mana aku berada saat ini. Jauh di alun-alun Solo, Onwellstone menyala-nyala dengan warna emas yang meriah, di ikuti kembang api dan sorakan penduduk dari atas jembatan kaca. Membuatku merasakan rasa familiar yang aneh.

     Aku menoleh tanpa berpikir lagi, tahu benar apa yang akan kulihat.

    Acres ada di sampingku, mata emasnya menatapku muram. Ada kerutan kecil di dahi Acres. Mau tak mau aku merasa terganggu dengan kerutan kecil itu. Acres jarang sekali menampilkan ekspresi semacam itu padaku atau bahkan mungkin tidak sama sekali.

     "Acres?"

     Acres berbalik, wajahnya berubah, tubuhnya juga demikian. Aku menggapainya dengan rasa takut, tetapi yang tanganku genggam hanyalah udara kosong. Kemudian titik-titik yang lengket menimpa wajahku, sebelum aku menyadari benda apa kiranya yang menetes dengan bau amis yang menyengat di atas wajahku. Cairan itu sudah terlebih dahulu mengaburkan pandangan dengan warna merah yang pekat.

     Darah!

     Kedua tanganku langsung mengusap-ngusap bagian wajahku dengan panik, berusaha menyingkirkan cairan amis itu dari permukaan wajah terutama kedua mata. Sialnya, semakin aku berusaha keras menyingkirkannya, semakin banyak pula darah membasahi wajahku. Masuk ke hidung, mulut, mata ...

     Satu usapan, Acres lenyap bersama dengan sapuan tanganku. Dua usapan dan satu kedipan mata, Onwellstone juga diselimuti cairan merah. Aku bangkit dengan panik. Sialnya, kakiku justru terpeleset oleh licinnya permukaan tembok, terjatuh dari ketinggian Tembok Perbatasan lalu tenggelam dalam pelukan lautan merah.

     Aku menarik napas dengan tajam, mataku terbuka lebar. Lampu kamarku berkedip-kedip merah. Suara alarm mulai memasuki gendang telingaku. Mengap-mengap. Aku meraup udara sebanyak mungkin, membiarkan paru-paruku merangkulnya dengan tamak. Langit yang penuh bintang-bintang membuatku kembali pada kenyataan.

     Aku mematikan bunyi alarm dengan geragapan.

     Hanya mimpi.

     Pikiranku terus menerus menggumamkan kata-kata itu di dalam sana selagi aku berjalan dengan tertatih menuju pintu kamarku. Mungkin yang sebenarnya menjadi pemicu dari mimpi tadi adalah karena semalaman aku menghabiskan waktu dengan menonton film horror kegemaranku lalu berakhir gundah memikirkan percakapanku dengan Acres beberapa hari yang lalu di Tembok Perbatasan.

      Pembicaraan itu tidak berakhir baik tentu saja. Aku dan Acres pulang tanpa mengobrol lebih panjang. Seharusnya kami punya banyak bahan obrolan setelah menonton Parade Lampu, tapi nyatanya kami berdua sama-sama egois. Tak mau mengalah pada satu sama lain.

     Sebelum aku mampu meraih Holo yang berdenyar pada tengah pintu. Pintu kamarku sudah terbuka dengan bunyi desis pelan. Avgustin berdiri menjulang di hadapanku dengan rambut emasnya yang panjang tergerai di punggung, belum tersentuh sama sekali. Tubuh tegap tetapi rampingnya dibalut seragam hitam elegan yang selalu membuatku iri.

     Untuk menyempurnakan penampilan, Avgustin memakai kacamata yang berbeda setiap minggunya. Kali ini dengan bingkai yang membuat mata emasnya terlihat lebih tajam, mengintimidasi dan lebih tebal tentu saja, membuat kepalaku semakin berkunang ketika melihat mata emas yang ada dibalik benda persegi itu.

     "Sarapan," katanya pendek, lalu berjalan mendahuluiku ke bawah.

     Aku mengikuti langkah-langkah kaki abangku yang tegas dan mantap. Begitu kedua kakiku menginjak anak tangga paling bawah, segera saja bau roti dan telur menyergap hidungku, serta merta membuat aku lupa akan bau amis darah dalam mimpi. Antara makanan dan mimpi buruk yang tidak nyata, makanan selalu menang disetiap kesempatan.

     Setelah aku duduk, Avgustin langsung berkata. "Aku baru saja menambah Kuota dalam Cincin Identitasmu. Cukup untuk membeli apapun selama dua bulan penuh."

     Dan sebagai jawabannya, aku hanya mengangguk patuh dan mengunyah lebih banyak potongan roti dan telur. Kalaupun aku mengatakan yang sejujurnya tentang Kouta yang diberikan olehnya dua bulan yang lalu masih banyak yang tersisa. Aku yakin, Avgustin tidak akan mendengarkan.

     Pernah satu kali, setelah aku mengikuti beberapa kompetensi sampingan di Institut dan mendapatkan hasil yang lumayan untuk kebutuhanku sendiri. Aku mengatakan pada Avgustin bahwa dia tidak perlu lagi mengisi Cincin Identitasku. Setidaknya selama lima atau enam bulan kedepan, tetapi dia terus saja mengisi Cincin Identitasku sesuai dengan jadwalnya. Bahkan kupikir dia menganggap kalau aku tidak pernah mengatakan tentang uang kompetensi yang kubicarakan sama sekali.

     Avgustin masihlah seorang Avgustin yang keras kepala, tetapi walaupun begitu, dia adalah keluargaku yang amat kusayangi. Satu-satunya keluargaku.

     Selagi dia disibukkan oleh layar-layar hologram dari Cincin Identitasnya. Aku mengamati tulisan Aviator 99' yang disulam dengan warna emas berkilauan di bagian lengan seragam hitamnya.

     Semenjak Avgustin menerima gelarnya sebagai bagian dari orang penting di pemerintahan Sector tiga tahun lalu, aku tidak mampu mengalihkan mataku dari sulaman mahal di lengan seragam dinasnya. Aku selalu menganggap penempatan sulaman gelar itu tidak perlu sebab ada Cincin Identitas yang akan memberikan banyak informasi dengan benar tanpa perlu takut diselimuti oleh pemalsuan.

     Namun tetap saja, tradisi itu tidak berubah sedari dulu. Masih ingin membuang-buang bahan yang sudah langka hanya untuk hal yang tidak berguna.

     Beruntungnya aku tidak pernah mengatakan apapun tentang sulaman itu di depan Avgustin atau orang lain. Di mana Acres tidak termasuk.

     "Apa kau ingin menonton pertandingan semifinal Radeon di Sector Quattro?"

     Mataku teralihkan dari sulaman Aviator 99' lalu menggerucutkan bibir. "Tidak. Semifinal tidak akan seseru final."

     Setiap tahunnya Avgustin selalu--untuk hal ini--menyempatkan dirinya untuk menemaniku menonton pertandingan Radeon sebagai bayaran atas ketiadaan waktu denganku. Avgustin tersenyum masam. Aku tahu Avgustin akan memberikanku reaksi semacam itu.

     Semenjak penentuan tempat untuk pertandingan final Radeon diumumkan, Avgustin dan bahkan mungkin seluruh warga Sector Tres sangat tidak menyukai keputusan akhir yang dibuat oleh pemerintahan Chrone. Belum lagi di Institut, semua orang hampir selalu mempunyai topik yang sama untuk memulai percakapan--pergunjingan--terhadap tempat diadakannya pertandingan final Radeon nanti; Sector Wan.

     Jika Sector Dva dan Quattro tidak terlalu mempermasalahkan tentang penempatan ini, lain halnya dengan Sector Tres. Bukan hal yang biasa lagi bahwa di antara Sector Wan dan Sector Tres ada perang dingin yang entah dimulai sejak kapan. Selalu saja ada yang diributkan.

     Penyebab dari permusuhan ini sederhana saja.

     Sector Wan punya banyak hal yang tidak akan pernah mampu dimiliki dan dibuat oleh Sector Tres. Seluruh penduduk Pheasen tahu bahwa Sector Wan adalah tempat dimana orang-orang paling sempurna dilahirkan. Mereka punya fisik, pemikiran, serta tingkah laku yang selalu dianggap sebagai cerminan dari manusia-manusia paling mustahil ada di Pheasen.

     Bahkan Chrone sendiri mengakui betapa istimewanya Sector Wan.

     Selain itu, tidak memungkiri lagi bila seluruh teknologi yang Sector Wan ciptakan selalu berakhir dengan pujian. Tentu saja Chrone tidak menyia-nyiakan penemuan sehebat itu, membuat Sector Wan selalu menjadi Sector pertama yang mendapatkan segala-galanya. Selalu menjadi Sector pertama yang menciptakan benda-benda yang kemudian hari amat sangat disukai Chrone.

     Sector Wan selalu menjadi favorit.

     Harga diri warga Sector Tres cukup tinggi untuk mampu merelakan gelar itu diberikan pada Sector Wan. Sector Tres yang dikenal sebagai pusat sejarah dan hiburan bagi seluruh Pheasen tentu saja merasa tersaingi dengan kesempurnaan Sector Wan. Belum lagi, warga Sector Tres yang menjunjung tinggi peraturan-peraturan pemerintahan Chrone selalu menganggap bahwa orang-orang Sector Wan sama sekali tidak mempunyai rasa hormat sedikitpun pada Chrone.

     Hal sepele semacam itu juga menjadi penyebab menambahnya kerumitan hubungan kami, walaupun pada akhirnya tidak ada yang berani membantah keputusan akhir pemerintah Chrone tetapi tetap saja, ada keengganan penduduk Sector Tres untuk berpergian ke Sector Wan.

     "Yah, aku rasa tidak ada salahnya juga sesekali setuju denganmu," gumam Avgustin dengan berat hati lalu dia melanjutkan dengan ekspresi pasrah. "Kalau saja Kepala Divisiku tidak sakit."

     Avgustin menyodorkan Darf seukuran jari telunjuk di atas meja, Darf itu berdenyar dengan gradasi dari dua warna. Warna biru kelam yang--entah bagaimana--terlihat menakjubkan di mataku. Ibaratnya seperti menatap langit malam yang diproyeksikan di kamarku.

     Aku mengambil Darf tanpa mampu berkata-kata. Aku tidak pernah berpikir akan mendapatkan Darf ditanganku semudah ini. Sebab aku mengira Avgustin akan memberiku ceramah panjang lebar tentang menjaga harga diri kami sebagai bagian dari warga Sector Tres.

     Namun sepertinya aku tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi. Sudah seharusnya aku berterima kasih pada Kepala Divisi Avgustin yang sakit. Kesialan beliau memberiku banyak keuntungan.

     Avgustin sudah menebak kegembiraanku tentang Darf pemberiannya karena selanjutnya dia berkata setelah helaan nafas yang dapat aku dengar dengan jelas. "Jika kau menambah angka pada kuotanya, slot-nya bisa untuk dua orang atau mungkin lebih."

     Aku terperangah.

     Avgustin melirik Darf tiket di tanganku. Lalu tanpa menatap wajahku dia menambahkan. Kali ini suaranya pura-pura dia buat sedatar mungkin. "Kau bisa mengajak bocah Arhaki itu bersamamu."

     Tanganku serta merta menyambar bola-bola bening dan merasakan guyuran air sedingin salju di dalam mulutku. Aku hanya berharap rasa asin yang tak kunjung hilang dari mulutku, pergi bersama dengan air minum yang masuk ke dalam kerongkonganku. Mimpi tentang darah dan perkataan Acres di Tembok Perbatasan berkelebat di mataku.

     "Ide bagus," kataku dan kemudian bersyukur bahwa jawaban yang kukeluarkan tidak terlalu memperlihatkan betapa saat ini aku merasa sedikit terganggu dengan ide tentang Acres.

     Avgustin sepertinya cukup puas dengan jawabanku. Kalaupun ada hal sensitif yang paling dihindari Avgustin di dalam rumah ini. Hal itu tidak lain adalah topik pembicaraan tentang Acres Arhaki. Rasa tidak suka Avgustin pada Acres bukannya tidak beralasan.

     Sedari dulu orangtua Acres merupakan target utama dari pemerintah Sector Tres terutama Divisi Avgustin. Banyak orang yang mengatakan bahwa mereka membuat sesuatu yang illegal--sesuatu yang berbahaya--tapi desas-desus itu terus meluas tanpa adanya hasil akhir yang jelas.

     Divisi Avgustin bahkan tidak mendapatkan bukti apapun tentang apa yang dilakukan oleh orangtua Acres bahkan sampai sekarang, ketika orangtua Acres menghilang. Bukti-bukti yang dibutuhkan masih saja tidak ditemukan. Aku mengira Avgustin telah berhenti dengan obsesinya untuk menendang bokong Acres ke dalam penjara Halder. Akan tetapi mengingat bagaimana tatapan mata Avgustin pada Acres, sudah lebih dari cukup memberitahuku, jikalau selama ini Avgustin hanya menahan pendapat busuknya tentang keluarga Arhaki.

     Alasannya kukira pasti demi diriku dan demi mempertahankan posisi terhormatnya sebagai Aviator yang telah dia gapai dengan bayaran keringat darahnya sendiri. Ternyata Avgustin cukup bijaksana dalam membuat keputusan, mengingat betapa keras kepala dirinya. Bukan berarti aku tidak.

     "Aku suka kacamata yang kau pakai, dan sepatu itu juga," aku memperhatikan detail yang berbeda pada leher seragam Avgustin. Mengalihkan pembicaraan dengan cepat. "Ada lawatan resmi ya?"

     Avgustin membetulkan letak kacamata, serta menyugar rambutnya dengan bangga. "Terima kasih. Dan ya, aku akan pergi ke Halder. Mr. Crowe membutuhkanku."

     Mr. Crowe adalah Kepala Divisi untuk bagian keamanan di Halder. Aku pernah sekali bertemu dengan pria paruh baya itu. Pada Parade Lampu dua tahun lalu, ketika itu Avgustin memaksaku untuk ikut dengannya menonton Parade Lampu dari atas jembatan kaca dan menolak peduli dengan berbagai alasan yang aku muntahkan.

     Sepertinya Avgustin tahu jikalau aku akan menghabiskan seluruh waktu Parade Lampu di rumah Acres, menunggui Acres yang sakit dan membantu dia menjaga keempat adiknya. Avgustin tidak membiarkanku melakukan keduanya. Avgustin sengaja membuatku bertemu dengan banyak orang-orang penting di sepanjang jembatan kaca itu.

     Salah satunya, yang masih kuingat hingga saat ini adalah Mr. Crowe. Dia pria berbadan tegap berotot dengan rambut emas berkilauan yang dibiarkan memanjang--seingatku seluruh teman Avgustin memiliki gaya rambut yang sama, termasuk Avgustin sendiri--dengan kacamata persegi, dan senyuman yang menyilaukan.

     Kalau dipikir-pikir lagi sepertinya semua orang mencontoh sang atasan, dan di mataku sendiri aku mau tak mau mengakui kalau Mr. Crowe itu terlihat seperti atasan yang patut di puja-puja sedemikian rupa.

     "Berapa hari?" tanyaku ingin memastikan, sebagai saudara yang penyayang, aku setidaknya harus tahu.

     Perjalanan yang dibutuhkan dari Pheasen ke Halder adalah satu hari. Bisa lebih cepat kalau kau mau menggunakan Ohius namun jarang sekali ada yang mau menggunakan kapal angkut itu. Ada beberapa hal yang menyebabkan Ohius tidak terlalu populer untuk digunakan sebagai alat transportasi antar negara. Ohius masih dalam tahap proses pengembangan. Ohius mudah diretas.

     Namun puncak dari segalanya bermula dari kejadian tiga tahun lalu ketika sebuah insiden yang cukup membuat seluruh Pheasen bergidik ketakutan terjadi. Dimana salah satu dari Ohius yang beroperasi dari Pheasen ke Halder rusak di ketinggian. Meledak lebih tepatnya. Semua penumpangnya tewas terbakar atau hancur berkeping-keping.

     Setelahnya kau bisa menebak sendiri seperti apa keparanoidan warga Pheasen tentang penggunaan Ohius sesaat setelah itu.

     Namun sekarang tidak lagi kurasa.

     "Hanya sehari." Jawaban singkat Avgustin memberiku informasi lebih bahwa dia baru akan menginjakkan kakinya di Pheasen tepat pada hari ketiga. Itu berarti Avgustin akan datang sedikit lebih terlambat ke Sector Wan untuk menggantikan Kepala Divisinya menghadiri pertandingan final Radeon.

     Aku menyembunyikan kerutan yang muncul pada dibalik tangan. Satu pemikiran baru muncul di kepalaku. Avgustin mengizinkan aku mengajak Acres pastilah karena hal ini--selalu karena alasan yang sama--Avgustin selalu bersikeras bahwa jika aku tidak setuju dengan idenya, maka tidak akan ada lagi nama Acres atau Arhaki-Arhaki lainnya di dalam hidupku.

     Avgustin tidak pernah main-main dengan ucapannya. Jadi tentu saja aku masih cukup pintar untuk tidak membantah abangku, dan pada akhirnya dengan berat hati membiarkan Avgustin menggunakan Acres sebagai tempat perlindungan sementara yang--cukup bagus dan bisa dipercaya--seperti apa dia katakan padaku bertahun-tahun yang lalu. Dikala nenek Acres masih hidup, dikala dirinya sendiri disibukkan dengan urusan pemerintahan, dikala aku dan Acres tidak punya pilihan lain selain berteman, dikala kesepian yang mencekik sama-sama melemahkanku dan Acres.

     "Baiklah. Hati-hati." Roti dan telur hangat sudah berbaring dengan nyaman di dalam perutku. Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang bisa membuat makanan itu bergejolak dalam perutku. Seperti memulai pertengkaran tak berarti dengan Avgustin misalnya?

     Avgustin mengangguk. "Kau juga. Kalau aku harap tidak akan ada berita yang meriah tentang dirimu selama aku di Halder."

     "Aku sudah ribuan kali dengar yang itu," tukasku jengkel karena mengetahui Avgustin masih menganggapku anak kecil. Aku menggeser piring sarapanku. "Tunggu sebentar ...."

     Avgustin mengangkat sebelah alisnya yang rapi. Tanpa menunggu pertanyaan lebih lanjut aku memutar kursi yang di duduki oleh Avgustin, sehingga punggungnya menghadap ke arahku.

     Dengan telaten aku mulai mengepang rambut yang memiliki warna sama dengan rambutku. Avgustin sendirilah yang mengajariku mengepang, walapun kebanyakan hasil kepangan Avgustin pada rambutku selalu jelek, aku tidak mempermasalahkan, Avgustin juga demikian. Dia ingin aku belajar, ingin aku menjadi lebih baik darinya.

     Jadi itulah yang kulakukan.

     Setelah memberi sentuhan terakhir berupa pin rambut emas berbentuk segitiga, aku menatap hasil kerjaku. Puas akan jalinannya yang rumit tapi apik.

     Avgustin menyunggingkan senyuman terima kasih, dia mengusap rambutku dengan sayang, lalu memberi ciuman lembut pada puncak kepala. "Sampai jumpa di Sector Wan," katanya sebelum berjalan dengan postur tubuh yang sempurna ke arah pintu depan.

     Begitu suara ketukan sepatu dan desisan FlyMobs tidak lagi kudengar. Aku segera bangkit dari dudukku, tidak menyia-nyiakan hari liburku dengan berdiam diri di rumah kosong ini.

     Aku harus melakukan sesuatu tentang Darf di tanganku dan Acres.[]


Total : [2301 words]

I'll be somewhere in the clouds. I hope. Tonight.

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro