
T H I R T Y - T H R E E [Repost]
SEMUA mata tertuju padaku, bisa kulihat mereka semua sama terkejutnya seperti aku. Aku mungkin sedikit porak-poranda gara-gara persahabatanku dengan Acres hancur, tetapi aku masih punya otak untuk segera menjawab. Aku dulunya calon Aviator Elite, aku tidak akan membuang keahlian itu dengan percuma. Pelajaran yang sudah kupelajari dengan usaha keras, tentu takkan aku sia-siakan.
Aku mendongak, mengamati situasi di atas sana. Para UrsaMayor keparat itu memang bertambah dua kali lipat jumlahnya. Mereka jadi lebih waspada, lebih berbahaya, suar-suar yang hampir lebih terang dan berbahaya dibanding lampu biasa juga mustahil dilewati.
Kadarius bilang kondisi di sisi Tembok Perbatasan lainnya hampir sama. Aku berharap mereka melakukan pengamanan super ketat ini hanya karena besok, merupakan awal dari hari dimulainya Tur Kehormatan para Albercio. Bukan karena seseorang telah mengkisiki pemimpin Penjaga Perdamaian Sector Dva, bahwa di negara mereka ada sekelompok penyusup.
Ravi benar, kalau kami ingin keluar dari sini secepatnya, satu-satunya cara adalah dengan mendatangi maut itu sendiri. Tetapi kupikir Ravi hanya panik, sehingga dia tidak memikirkan bahwa masih banyak kemungkinan 'kecil' yang ada.
Aku juga, tapi sekarang tidak lagi.
Amarahku kembali membara begitu memikirkan kemungkinan itu. "Menurutku kita masih mempunyai kesempatan. Pertama-tama kita padamkan suarnya," Indira pasti mampu melakukannya. "Kendalikan kekuatan armor mereka selama kurang lebih lima belas menit-cukup banyak waktu untuk mengeluarkan kita semua dari sini."
Aku melihat Xaya, lupa jika anak perempuan tampan itu punya kemampuan berguna, yang tidak terpakai sedari awal. Aku tahu dia tidak menggunakannya karena kubah Glass Gate tidak bisa dilewati dengan cara itu. "Yozita berapa lama kira-kira kau mampu membuka jalur pada permukaan Glass Gate?"
Xaya menyeriangi lebar, sepertinya tahu rencanaku. Yozita menjawab dengan suaranya yang seperti menyanyi. "Aku bisa membukanya selama dan selebar yang diperlukan. Asal tak ada yang menganggu konsentrasiku, tak bakal jadi masalah." Penampilan gadis irit bicara itu telah kembali ke Sector Wan. Mata birunya seperti terbuat dari sekumpulan bintang-bintang, hidung munggil, dan bibir berbentuk huruf m terbalik, dibingkai oleh wajah berbentuk hati. Rambut hitam panjangnya berombak indah, berkibar di punggung. Sama seperti orang-orang dari Sector Wan, kesempurnaan mereka membuat mataku silau.
"Bagus!" Aku bergumam, cepat-cepat mengalihkan pandangan. Lalu melanjutkan untuk mengatakan tujuan yang sesungguhnya. "Xaya akan menteleportasi kita langsung ke Hutan Blax."
"Ellie, terlalu berisiko." Paxtof menggeleng tidak setuju.
Xaya berdecak tak sabaran. Dia mengayunkan tangannya di udara, menepis tanggapan Paxtof. "Aku bisa melakukannya, lagipula tak perlu lagi menyembunyikan apapun. Toh, mereka sudah tahu tentang eksistensi kita di dunia ini."
Biar saja Glass Gate mendeteksi adanya anomali. Xaya memikirkan apa yang aku pikirkan. Sebentar lagi semua orang juga bakal tahu.
"Aku pribadi setuju dengan Ellie," kata Kadarius sembari manggut-manggut. Dia tersenyum padaku. Berkata tanpa suara hanya padaku. "Bagus Ellie."
Aku hampir balas tersenyum. Namun bagian dari diriku yang terluka menepis kepedulian itu. Menginjak-nginjaknya seperti Acres menginjak-memecah kepingan hatiku yang tersisa. Aku maju selangkah, seakan-akan dengan begitu aku bisa menjauh dari semua hal yang menyakiti aku dan Acres. "Indira lakukan."
Sekali ini, aku berterimakasih pada Indira yang segera melakukan apa yang kukatakan tanpa mempertanyakan lebih dahulu atau bahkan meragukan kekuranganku.
Indira menggeram. "Bersiap-siaplah menghadapi kegelapan."
Aku siap.
Terdengar suara dengung statis, sesaat setelahnya, dimulai dari Millestone dibelakang kami. Seluruh lampu dan apapun yang memanfaatkan listrik sebagai sumber daya utama kehilangan cahayanya. Kemudian diikuti oleh suar-suar yang padam. Hanya Glass Gate yang masih bertahan dengan keras kepala. Para UrsaMayor di atas sana mulai ribut, panggilan kode berbahaya sahut menyahut dari segala penjuru Sector Dva. Secara otomatis memberitahu dimana lokasi kami. Beberapa UrsaMayor turun, bergerak ke arah kami.
Aku menggertakkan gigi, menahan lompatan jantungku yang makin menggila. "Yozita sekarang!"
Suara Glass Gate yang diperlebar oleh kemampaun Yozita menyakiti telingaku, suaranya seperti logam yang dipukulkan dengan logam lainnya. Salah satu UrsaMayor makin dekat, dia melihat kami, tangannya terangkat. Aku berteriak. "Xaya!"
Paxtof, Harendra, dan Xaya menghilang dari pengelihatanku.
Kadarius melompat ke depanku, mengangkat tangannya. UrsaMayor yang hampir menembakku, berhenti di udara secara mendadak lalu dengan mengerikan aku mendengar jerit kesakitan yang rusak, patah-patah. Tanpa berkedut sedikitpun, Kadarius melempar UrsaMayor itu ke Tembok Perbatasan di sebelah kiri kami. Jauh sekali, tetapi suara benturan menggema sampai ke tempat kami, membuatku menggigil. Dia melakukan hal yang sama kepada UrsaMayor-UrsaMayor yang lainnya. Ravi membantu Indira melindungi saudarinya yang tengah bekerja keras mempertahankan konsentrasi. Peluh sebesar biji jagung muncul di pelipis Yozita.
"Selanjutnya!" Xaya tiba-tiba muncul, terengah-engah. Saat dia hendak menyentuh bahuku, aku menjauh dari jangkauannya dan melotot. Aku tak sudi meninggalkan siapapun di belakangku.
Xaya mendesah, setengah menggerutu mengurungkan niatnya.
Akhirnya Indira dan Ravi, mendahului kami.
Aku bergerak cepat menggantikan Ravi untuk melindungi Yozita. Benda cantik munggil di genggamanku berubah menjadi AirArcher dengan enam gerigi pengendali. Dua di belakang siku, empat di lenganku yang digunakan untuk menarik busur bayangan.
Aku hanya tinggal memposisikan tanganku seperti pengguna panah manual, tanpa benar-benar memegang tali busur. Tanganku bergerak secepat pegas, anak-anak panahku akan berubah menjadi jaring listrik ketika menyentuh armor UrsaMayor. Mataku penuh konsentrasi melihat musuh yang paling dekat, dan aku tahu, aku takkan pernah meleset.
Tarik, lepas, kejut listrik. Tarik, lepas, tubuh berkelojotan. Tarik, lepas, jeritan membahana.
Aku melakukannya tanpa henti, konstan. Tentu saja aku tidak membunuh mereka, aku hanya membuat mereka tak berdaya atau pingsan.
Tetapi-seperti yang selalu aku yakini-para UrsaMayor ini seolah tak ada habis-habisnya.
Aku mengumpat ketika salah satu dari UrsaMayor berhasil menyerempet lenganku dengan tembakan laser. Rasa pedih membutakanku, kugigit bibir kuat-kuat untuk menahan jeritan nyeri, tetapi walaupun begitu aku tidak berhenti. Teringat akan pertarungan mengerikan di hutan Nahari.
Kurasakan kain pada baju di area dekat lukaku merapat, menghentikan pendarahan. Kadarius yang juga memposisikan dirinya dekat Yozita, menghempaskan UrsaMayor barusan beserta yang lainnya dengan mudah. Bahkan kupikir dia menikmati pembantaian ini. Tangannya bergerak luwes. Sulur-sulur mencuat, merekahkan aspal, merapat menjadi tameng di atas-di sekelilingku dan Yozita-melindungi kami dari hujan laser. Beruntung mereka tak ada yang menggunakan Stunes. Mungkin karena pertarungan dekat dengan pemukiman.
Namun bukan berarti mereka kehabisan ide, secara mendadak para UrsaMayor berhenti mendekat. Salah satu dari mereka melempar sesuatu ke arah kami. Benda berbentuk oval jatuh dekat kakiku, berkedip-kedip merah. Waktu seakan-akan terhenti.
Selain Stunes satu-satunya senjata yang lebih berbahaya dari benda terkutuk itu adalah Vipe. Tanpa berpikir untuk kedua kalinya, aku bergerak cepat, menanggalkan tudung mantel Sector Dva, menekan tombol pada sarung tanganku, mendekatkannya ke mulut. Sarung tangan itu berpindah, berubah menjadi pelindung wajah yang hampir sama seperti yang di kenakan para UrsaMayor. Walaupun sempat linglung karena pergerakan lawan yang terhenti tiba-tiba di sekitar kami, aku melihat Yozita melakukan hal yang sama.
Di tengah kabut asap putih nan memuakkan. Kadarius menatapku, aku lega wajahnya tersembunyi dibalik topeng hitam-biru. Untuk sesaat aku berpikir dia mengamati luka di lenganku, kupikir dia bakal mengatakan sesuatu seperti saat tanganku terluka di Trib setelah aku memecahkan layar holo dengan sengaja. Namun dia hanya mengeluarkan beberapa patah kata. "Tetap waspada."
Aku serta merta mengangguk, segera menyiagakan diri.
Tetapi Yozita tidak, kedua lengannya terkulai lemas pada sisi tubuhnya yang ramping. "Xaya ..." suara Yozita mengecil di akhir kata.
Kadarius memposisikan diri di belakangku. Disadarinya atau tidak, sikunya menyenggol pinggangku, otomatis mengejutkan aku. "Selama kau tidak membuka akses di permukaan Glass Gate, Xaya takkan bisa kemari," kata Kadarius dengan lugas. Dalam arti Xaya aman, sekaligus panik memikirkan apa yang terjadi pada kami. "Sekarang kita lebih baik mengkhawatirkan diri sendiri."
Kalaupun Yozita keberatan, dia tidak mengatakannya. Gadis itu tahu mana yang patutnya didahulukan. Yozita tidak seperti aku yang ngotot pergi ke sisi orang terkasih, yang pada akhirnya, memberiku rasa sakit nan memedihkan. Sepedih luka di lenganku. Sedari awal aku memang tidak berniat membawa Acres ke Hutan Blax. Mempertemukannya dengan para Lichas bukan bagian dari rencanaku. Aku sendiri tahu bagaimana tanggapannya tentang kelompok yang menjadi penyebab kematian Leah, dan apa yang terjadi beberapa saat yang lalu sudah lebih dari cukup untuk aku jadikan bukti. Tetapi nyatanya dia tahu lebih dahulu, dan murka gara-gara aku berbohong padanya.
Dia boleh saja begitu, seharusnya Acres mengerti. Aku hanya berusaha mempertahankan satu-satunya alasanku untuk terus maju saat ini. Arden, Leah, Indra, dan walaupun Leah sudah tak ada lagi untuk menyemangatiku. Aku masih berpegangan padanya. Aku masih melakukannya, bahkan ketika Acres mengesampingkan aku. Tidak. Semua orang pun tahu bahwa aku juga melakukan hal yang sama.
Kupikir saat ini aku hanya marah pada Acres, berharap bahwa apa yang dia katakan tidak akan pernah dia lakukan. Namun Acres-seperti yang aku ketahui-bukan pengingkar janji. Itulah yang membuatku marah, takut dan menyesal karena dikuasai oleh ego sendiri, sehingga berjalan menjauh, memunggungi Acres. Padahal keputusan apapun yang kami buat sama-sama menyakiti. Aku dan Acres sama-sama terjebak oleh kata-kata itu, pada janji yang telah terjadi lebih awal dari janji yang kami katakan kepada satu sama lain.
Beginikah rasanya patah hati?
Aku mengencangkan rahang, mengubah panah udaraku dengan Sequoia. Senjata yang ini lebih berat daripada AirArcher. Tetapi aku semata-mata tidak peduli. Mau bagaimanapun aku butuh pegangan, aku membutuhkan sesuatu untuk menekan kemarahanku. Walaupun aku ingin sekali membuang pemberian Acres yang satu ini, aku tahu aku takkan sanggup melakukannya. Aku membutuhkan benda ciptaan Acres. Sekedar sebagai pengingat bahwa dulu Acres pernah peduli padaku.
"Aku punya ide." Bisik Kadarius ditengah suasana yang mencekam.
"Apa?" Aku menggeram.
"Kita gunakan kabut ini untuk keatas sana," maksudnya Tembok Perbatasan. Maksudnya melarikan diri diam-diam. "Gunakan Timer untuk membekukan armor serta senjata UrsaMayor lainnya. Kita punya waktu dua puluh menit."
"Dua puluh menit," Yozita bergumam. Aku mengerti apa yang ditakutkan oleh Yozita, sebab hal itu juga membuatku tak yakin. Terutama satu-satunya yang membawa senjata seperti itu hanya aku seorang. Dan aku hanya membawa satu Timer. "Takkan cukup, Kade."
"Cukup." Kata Kadarius dengan nada final. "Kalau kurang, kemampuanku bisa menyokong-menambah waktu barang beberapa menit lagi."
"Si." Aku cepat-cepat menjawab sebelum kedahuluan Yozita lagi. Aku tak mau lama-lama berdiskusi. Dengan sebelah tangan, aku meraba salah satu kantung yang berderet pada sabuk di pinggangku.
Kadarius berujar tak lama setelah aku mengeluarkan Timer. "Aktifkan sesuai dengan aba-abaku."
Tentu saja.
Aku berjongkok perlahan, menaruh Timer dengan hati-hati pada aspal dekat kakiku. Dengan sekali pijakan kaki yang kuat, Timer akan aktif. Radius Timer dua kilometer jauhnya, dan Kadarius dengan kemampuan yang dimiliki, pasti akan merambatkan efeknya hingga keatas Tembok Perbatasan. Sebenarnya aku bisa saja melempar bom ini ke arah lawan, tetapi karena kami terkepung, lebih baik mengaktifkannya dari pusat daripada melempar keluar, yang belum tentu mengenai sasaran secara keseluruhan. Belum lagi dengan melakukan hal itu lokasi kami pasti akan segera ketahuan. Aku mau tak mau bersorak untuk kabut dari Vipe, serta kemampuan dahsyat Indira sampai-sampai mampu memadamkan seluruh tenaga listrik di Sector Dva, pasti membuat para Tech kalang kabut memikirkan apakah ada yang salah dengan salah satu kabel di Server Pusat. Padahal masalahnya bukan disana.
Dan walaupun kegelapan di sekeliling kami, menentramkan hatiku. Aku tetap saja merasa muak. Pergerakan musuh dibalik kabut tak kunjung ditangkap oleh google yang bertengger, lama-lama menyakiti tulang hidungku. Sementara waktu makin menyempit, aku pantang bersikap seenak jidat. Setidaknya, tidak selamanya aku bisa berbuat begitu.
Aku menunduk, menajamkan indera pendengaranku. Aku merasa amat sangat kesal sekarang, otot-ototku sudah gatal ingin cepat-cepat pergi dari sini, lenganku menjerit-jerit protes kemasukan kabut. Kalau aku diam disini lebih lama lukaku bisa membusuk gara-gara kabut beracun.
"Kadarius, bagaimana kalau ini jebakan?" geramku melalui sela-sela gigi.
Sebelum sempat Kadarius menjawab, sesuatu yang bercahaya menembus kabut. Tajam, meneteskan cairan asam. Benda itu jatuh berklontangan, tak bisa mencapai kepalaku karena tameng Yozita melindungi. Tanpa aba-aba dari Kadarius pun aku tahu inilah saat yang tepat. Lokasi kami sudah diketahui. Telapak kakiku menginjak Timer. Bom ini tidak seperti bom pada umumnya yang meledak dengan membahana. Tentu saja tidak begitu, sasaran Timer bukanlah orang-orang, tetapi teknologi seperti senjata dan armor yang dikenakan para UrsaMayor. Menjadikan bom ini sunyi,mengalirkan gelombang yang tak dapat dilihat dengan mata telanjang.
Tubuhku melayang keatas, diikuti oleh umpatan kasar para UrsaMayor karena senjata mereka tiba-tiba tidak berfungsi.
Dua puluh detik. Aku berpikir selagi tubuhku makin menjauh dari aspal.
Aku segera mengetahui Kadarius berhasil melaksanakan rencananya, karena para UrsaMayor diatas juga sama paniknya dengan yang dibawah.
Suara yang membuat telingaku menjerit protes, dan gigiku ngilu, terdengar lagi. Yozita juga sudah membuka jalan pada Permukaan Glass Gate. Kupikir Yozita berkata yang kedengarannya seperti. Jangan datang, Xaya. Keinginannya terkabul, Xaya memang tidak muncul tiba-tiba. Ternyata selusin UrsaMayor bertindak cukup pintar menggunakan anak panah manual, mereka dalam posisi membidik. Kadarius sibuk dengan dua beban, Yozita juga sama saja Jadi hanya tinggal aku seorang yang dapat diandalkan.
Baiklah, keparat. Kalau begitu mau kalian!
Senjata Acres tidak terpengaruh oleh Timer. Yozita terbelalak melihat moncong Sequoiaku memisahkan diri menjadi tiga bagian, aku tak ragu langsung menembak kearah para UrsaMayor keparat itu, yang langsung kejang-kejang. Tetapi biarpun salah satu dari tiga moncong senjataku berfungsi untuk menciptakan tameng untuk anak-anak panah yang ditembakkan UrsaMayor.
Kemudian ketika kupikir serangan telah berhenti, Aku melihatnya. Armor yang dia kenakan paling mencolok diantara UrsaMayor Sector Dva yang lain. Topeng wajah yang biasa dikenakan UrsaMayor lainnya, tidak dia kenakan. Tidak mungkin aku tidak mengenali tatapan mata dan wajah itu. Aku membelalak, dia memiliki panah udara seperti yang aku punya. Dia tahu aku melihatnya, sebab mulutnya bergerak menyatakan satu kata, diakhiri dengan seringaian.
Ketemu.
Aku bergerak hampir bersamaan dengannya melepas anak-anak panah. Namun salah satu anak panah yang keras kepala, menyasar bahuku yang tak kusadari merupakan sasaran empuk. Bahuku yang kena tersentak kebelakang, dan kali ini aku tidak bisa menyembunyikan erangan yang keluar dari mulutku. Kalau saja saat ini aku sedang tidak dikendalikan oleh Kadarius, aku pasti sudah jatuh terlentang. Beruntung aku masih punya cukup kesadaran untuk memegang erat-erat Sequoia ditanganku.
Tanganku yang satunya meraba bahu kiriku, ngeri merasakan betapa dalamnya anak panah itu menancap. Napasku berubah menjadi pendek-pendek, aku bahkan tak menyadari bahwa kami sudah berhasil keluar dari Sector Dva.
Aku tidak tahu di mana saat ini kami berada, tetapi Kadarius membantuku untuk duduk bersandar pada salah satu batang pohon, selagi dengan pemikiran yang entah datang darimana. Aku mencengkram batang anak panah, lalu dengan memejamkan mata dan menggertakkan gigi, kutarik anak panah dengan sekuat tenaga. Seketika dalam pengelihatanku yang memburam karena air mata rasa sakit, aku melihat darah menyembur dari luka bekas anak panah tadi menancap, merasakannya mengalir turun sampai ke perutku.
Hebat sekali aku tidak kehilangan kesadaran. Pikiranku hanya fokus pada satu hal; buang anak panah yang berlumuran darah itu jauh-jauh. Sekarang hanya tinggal bahu yang berlubang dan darah yang makin banyak. Semua itu tiba-tiba membuatku muak.
"Paxtof ..." Aku menggerang. Aku membutuhkan Paxtof. Terdengar seseorang berteriak, kurasa Yozita. Aku menahan keinginan untuk ikut berteriak. Namun untukku, teriakan itu berubah menjadi memanggil nama orang yang paling bisa menghentikan kengerian yang berdenyut pada bahuku.
Seseorang berkelebat muncul lalu menghilang, kemudian muncul lagi membawa seseorang. Paxtof.
"Ellie ..." Kucengkram lengan Paxtof, bukan karena apa-apa, aku hanya membutuhkan pegangan. Ini pertama kalinya aku terluka karena tertancap anak panah. Rasa sakitnya menyebalkan minta ampun. Paxtof sama sekali tidak keberatan. Perlahan-lahan dengan sensasi yang menyenangkan yang sudah amat kukenal, aku tahu lukaku akhirnya menutup.
Pengelihatanku kembali menjernih, dan aku bisa melihat Paxtof yang mengerutkan kening berkonsentrasi pada luka di lenganku. Yozita dan Xaya disampingku, berdiri sangat amat dekat. Tangan mereka bertautan. Mataku mencari seseorang, Kadarius berada sangat jauh. Kelihatan sekali dia menjaga jarak dariku. Walaupun begitu matanya nyalang meelotot pada jaketku yang ternoda oleh darah. Mantelku sudah lama disingkirkan oleh Paxtof.
"Beruntung kau punya kesadaran untuk melepasnya," kata Paxtof padaku, tangannya yang besar tetapi lembut mengusap peluh di dahiku. Seperti seorang Avgustin dulunya dia mengambil tanganku, menepuk-nepuknya dengan lembut. "Gadis pintar." Pujinya.
Aku tersenyum lemah. "Rasanya mengerikan kalau membiarkan benda itu lama-lama di bahuku," aku menggenggam tangan Paxtof, berucap dengan sungguh-sungguh, "terima kasih."
Kali ini Paxtof semata-mata memberiku senyuman khasnya. "Ayo kita pulang."[]
Total : [2540 words]
It's killing me inside.
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro