Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T H I R T Y - S I X [Repost]

     SETELAH hari itu ada sesuatu yang terasa terlepas dari diriku.

     Aku tidak tahu apa, dan memang aku tak ingin mencari tahu.

     Kegiatan harianku masih sama seperti sebelumnya. Kalau bukan berlatih dengan para Void, aku paling-paling termenung di atas Tembok Perbatasan Sector Zero. Kadang Kadarius datang, tapi mungkin karena aku lebih sering mendiamkannya, dia semakin jarang muncul.

     Menurutku itu bagus. Aku tidak perlu lagi berusaha untuk menahan diri, was-was kapan kiranya Kadarius akan menangih janji yang telah kami sepakati untuk ditukar dengan pertemuanku dengan Acres. Jika hari sedang beruntung, aku akan tiduran di atas rumput tempat persembunyian para Void. Memperhatikan bayang-bayang sayap Kahnivore yang sesekali lewat. Menonton pertandingan mingguan. Dua bulan sudah berlalu, musim dingin sudah lama berakhir. Tidak ada kabar apapun dari Sector Dva. Tidak dari para Arhaki, tidak juga dari Acres. Tak ada kabar tentang pencurian Ohio. Kalaupun ada, aku niscaya tahu dari Avgustin—dia selalu tak bisa menyembunyikan apapun soal Acres dariku.

     Bukan berarti aku peduli lagi dengan Acres.

     Akan tetapi baru-baru ini, dari Yorick dan Korain aku mendengar jika Pheasen kembali berusaha untuk masuk ke hutan Nahari. Barangkali berupaya memberi pembalasan yang setimpal untuk para Lichas. Namun tentu saja setelah tempat itu menjadi makam, Kadarius juga membuat tempat itu tak tersentuh. Dibentengi oleh ranjau. Lagipula takkan ada yang mau terbang lebih jauh dari hutan Nahari. Tidak apabila para Lichas masih berada di tempat itu. Sama gigihnya dengan Tembok Perbatasan, tetapi seperti halnya Kadarius, pihak Pheasen juga tak menyerah begitu saja. Membuat situasi makin runyam saja.

     Mereka mengirim serangan kecil-kecilan, berusaha menakut-nakuti dengan tayangan ancaman. Seperti sekarang ini, ada pergerakan mencurigakan di dekat hutan Blax, dan aku—seperti biasa ditinggalkan begitu saja di Trib. Selalu seperti itu. Biarpun Kadarius sendiri tahu aku takkan coba-coba, tapi tetap saja dia mengingatkan Indira supaya lebih mengetatkan pengawasan para Void padaku, yang mana dilakukan oleh mereka dengan sepenuh hati.

     "Hei, Aurellion."

     "Ya."

     "Mau melihat Kahnivore lebih dekat?"

     Seketika aku sepenuhnya terjaga dari tidur pura-puraku. Yorick nyengir. "Mau tidak?"

     Hari ini giliran Yorick yang menemani aku, sementara yang lainnya pergi ikut berjaga-jaga. Berbeda jauh dengan Ravindra yang sama sekali tak menyukai gagasan menjadi pengasuh bayi. Yorick santai-santai saja, bahkan kukira dia senang dengan kesempatan langka ini. Sebenarnya Denaya juga bersama kami, tapi dia menghabiskan waktu bebasnya dengan tidur. Aku menatap nanar pada kelebatan sayap, dan raungan makhluk aneh bin seram di luar sana. Walaupun takut, aku tidak bisa untuk tidak merasakan sesuatu bergejolak dalam diriku. Memohon-mohon untuk dikeluarkan.

     Aku beranjak, begitu Yorick membereskan bekas rumput pada bagian pantat di celananya. Senyumnya kian lebar. "Kau bisa memanjat tidak?"

     Aku menelisik medan yang akan dilalui untuk sampai ke puncak kubah. Tingginya tidak terlalu menyeramkan bila dibandingkan dengan tempat-tempat yang sering kupanjat. Kalau jatuh, aku barangkali hanya mendapat tulang patah. Patah tapi masih hidup. Kalau aku bisa memanjat gedung dan bahkan bianglala terbengkalai di Sector Tres, aku tentu mampu menaklukkan medan yang satu ini.

     Aku balas menyeriangi. "Jangan curang."

     Yorick menyenggol pinggangku, memberi aku kekehan main-main. Di antara para Void, Yorick merupakan orang kedua dari daftar Void paling aku sukai setelah Paxtof. Ada beberapa alasan untukku. Salah satunya karena dia bisa membaca keinginan terdalam orang lain bahkan sebelum mereka sempat mengutarakannya.

     Seperti sekarang ini, mungkin dia tiba-tiba saja ingat akan ekspresi yang kuberikan padanya saat pertama kali menanyakan hal yang sama. Saat itu ada Indira yang menukas jawabanku, tapi sekarang tidak ada seorangpun yang bisa mencegah keinginan gila yang Yorick tawarkan.

     Aku menangkap sepasang sarung tangan yang dilemparkan Yorick padaku. Memakainya tanpa banyak kata. Memperhatikan tekstur dari telapak tangan yang sama dengan hewan dari Darf terdahulu, tentang binatang yang mampu bergerak di bidang vertikal tanpa takut terpeleset apalagi jatuh. Pasti buatan Tonia lagi. Sama halnya seperti semua benda canggih disini.

     "Karena ini baru pertama kali, aku cuma jadi penuntun." Yorick berujar, sudah menempelkan satu tangan pada dinding. Satu matanya tertutup ikal emas, mata merahnya yang tidak tersembunyi berkilat-kilat jahil. Seringaiannya tak kunjung mengendur. "Curangnya kapan-kapan."

     Aku tak bisa untuk tidak menyembunyikan dengusan. Seakan-akan aku tidak tahu saja Yorick selalu memasuki permainan dengan adil. "Menyenangkan sekali mendengarnya."

     Ternyata semudah yang kubayangkan. Aku hanya perlu bersabar menunggu daya pada sarung tangan mengecil untuk mengambil langkah selanjutnya. Aku mampu mengikuti teladan Yorick selama kami memanjat. Tidak ada insiden yang berarti selain kekehan Yorick yang makin menjadi-jadi. Entah menertawakan keantusiasanku atau barangkali hanya bersikap apa adanya. "Kau lumayan jago," katanya di sela-sela kekehan.

     "Aku tahu." Sahutku, tersenyum pongah.

     Yorick menggelengkan kepala. Tersenyum geli, dia melepas satu tangannya, untuk kemudian membuka atap kaca yang ternyata bisa dibuka. Udara asing tersembur dari sana. Dingin, baru dan penuh karat. Mau tak mau membuatku bergidik. Yorick tidak menyadari hal itu, dia malah makin mempelebar bukaan. Langit merah yang sudah tak asing ada di latar belakang. "Kalau begitu, perempuan lebih dahulu."

     Kali ini aku tidak memprotes candaan Yorick, sebab rasa penasaranku lebih mendesak daripada yang lain. Aku menjulurkan tangan, merasakan hembusan angin membelai sepanjang lenganku yang telanjang. Aku menggapai pegangan kayu yang sepertinya disengaja di tempatkan di bagian sana. Yorick membantu dengan mendorong tungkaiku, hingga aku benar-benar berada di luar. Hembusan angin yang ini keras, alhasil mengacak-acak rambutku. Di antara anak rambut yang menutupi wajah, aku melihat Kahnivore, terbang cukup dekat hingga bisa saja aku sentuh, tapi secara bersamaan tidak. Aku terpana menyaksikan apa yang kulihat.

     Aku bisa melihat mereka, tapi mereka sepertinya tak mampu melihat keberadaanku.

     "Pernah tidak kau berpikir tentang bagaimana mereka bisa ada?" tanya Yorick yang ternyata sudah duduk di sampingku. Rambut emasnya juga diberantakkan oleh angin yang berasal dari kepakan sayap Kahnivore tadi.

     Aku memutar otak, mengingat-ngingat sesuatu tentang makhluk mengerikan itu, tapi ternyata tak ada satupun. Bahkan ketika aku masih di Sector Tres. Tak ada catatan apapun tentang mereka. Aku baru mengetahui keberadaan mereka tak lama ini, itupun saat hampir saja menjadi makanan mereka.

      "Radiasi?" tebakku, yakin bahwa jawabanku benar.

     Namun tetap saja, aku terkejut saat tawa tersembur dari mulut Yorick. "Itu hanya omong kosong."

     Tawa itu tak ayal memunculkan cemberut pada bibirku. "Lalu apa?"

     Mata merah Yorick bersinar oleh sesuatu yang tidak kumengerti. Sama seperti saat pertama kali aku berjumpa dengannya. Dia berkata-kata tanpa mengalihkan pandangan dari kepakan sayap makhluk seram di atas kami. "Mereka diciptakan. Saat perang nuklir sudah tak ada artinya lagi bagi moyang kita di Permukaan, sementara musuh masih tetap saja berkelidan. Ada orang yang mengangkat ide ini. Lebih praktis dan berdampak panjang, hanya memusnahkan orang-orang yang ingin mereka musnahkan. Percobaan, kekalahan dan ya ...," Yorick menghembuskan nafas dengan berat, sebelum melanjutkan. "kau tahu bagaimana akhirnya."

     Aku tahu persis. Karena itulah yang aku lihat setiap harinya. Pada Darf yang sering kubaca, pada bagan rahasia Acres, pada pelajaran penting di Institut. Namun bedanya tak ada yang mengangkat topik tentang hewan-hewan yang sengaja diciptakan untuk memenangi perang. Yang aku tahu hanya bahwa saat matahari mulai membesar dan makin panas, membawa dampak buruk pada alam di Permukaan.

     Masing-masing negara saling siku hanya demi memperebutkan satu wilayah yang masih bebas dari terjangan badai matahari. Mereka terus begitu, tak ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya tak tersisa apapun selain kehancuran. Bumi di bawah kami menjadi Permukaan yang sekarang aku kenal.

     Setidak-tidaknya mereka masih punya sedikit akal sehat untuk membangun Pheasen dan Chrone. Beberapa orang dari mereka pasti cukup cerdas untuk tahu masa depan yang telah menanti mereka.

     Sekarang aku berharap bahwa sejarah itu takkan lagi terulang.

     Aku berharap ...

     Tidak perlu mengharapkan apa-apa, Aurellion. Takkan jadi soal. Kau sendiri bahkan tak punya lagi tempat untuk pulang.

     Aku memalingkan wajah, menyembunyikannya dari seisi dunia. Berusaha keras mengaburkan kenangan menyakitkan di Sector Dva.

     Tersentak pelan ketika merasakan lutut Yorick membentur lututku. "Kau pasti bertanya-tanya kenapa mereka tak menyerang kita. Benar 'kan?"

     Aku mengangguk pelan. Hampir-hampir tak mampu bersuara.

     "Julurkan tanganmu."

     "Apa?" Kuberi Yorick tatapan yang menyatakan seakan-akan dia itu sudah sinting. Seingatku, kejahilan Korain dengan Yorick hanya setipis kulit bayi.

     Yorick cengengesan. Menambah rasa tidak percayaku padanya. "Coba saja."

     "Kau tidak—"

     Yorick berdecak tak sabaran, menyambar tanganku untuk kemudian dia sapukan di udara kosong, atau pada awalnya kukira hanya udara kosong. Pasalnya kemudian aku tersentak, merasakan sengatan kecil yang mirip dengan kemampuan Indira pada ujung jemariku.

     Sesuatu menggeletar di udara, setipis balon yang terbuat dari busa sabun. Yorick melepaskan pegangan tangannya, membiarkan aku lebih leluasa untuk mengecek seorang diri. Aku menyentuh benda itu sekali lagi, terpana menyaksikan pemandangan yang tiba-tiba bergoyang-goyang seiring gerak benda itu.

     "Tak ada yang tahu ini apa. Bahkan Tonia sendiri pun tak tahu. Aku percaya pelindung ini sudah ada sejak lama, sama halnya seperti bangunan kubah ini." Yorick mendesah. Menjulurkan tangan, ikut-ikutan meraba tekstur benda aneh tak bernama itu. "Indah seperti hal lainnya di Sector Zero."

     Peninggalan masa lalu. Sesuatu yang tidak dapat kuraih dengan mudah, yang tidak ingin kuingat. Malah kupikir, aku selalu menjauh dari kata-kata itu. Membiarkan mereka terus berputar-putar dalam kepalaku, tanpa punya kesempatan untuk disatukan. Indira bilang aku tak perlu lagi takut, kalau terus seperti itu aku bakal digilas oleh waktu. Dan yang menunggu di depanku sudah tentu hanya petaka belaka.

     "Apa kau mengingat semua itu sama seperti yang lainnya?" Maksudku kenangan. Maksudku teman-teman dan orangtua yang menyayangi kita. Maksudku banyak. Saking banyaknya sampai aku sendiri tak tahu harus menanyakan yang mana terlebih dahulu. Namun sepertinya aku tak perlu khawatir, Yorick mengerti apa yang kumaksud.

     "Aku ingat. Aku tak tahu bagaimana yang lain. Mereka selalu mengatakan mereka ingat, tapi tak tahu sampai sejauh mana." Yorick tersenyum kecil. Senyum tulus dari hati terdalam. "Tak perlu khawatir, Ellie. Seiring dengan berjalannya waktu, kau akan ingat juga."

     "Ya. Semoga saja." Aku memuntahkan kebohongan dengan mulus.

     Setelah itu tak ada yang berbicara lagi. Setidaknya tidak dengan topik yang menyakitkan. Yorick mengoceh terus tentang jenis-jenis Kahnivore yang pernah dia lihat atau sekedar dapat dari Darf berharga milik Korain. Aku lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan Yorick sepertinya menyukai hal itu. Dia memanfaatkan diamku dengan senang.

     Hingga suatu waktu ketika seekor Kahnivore melintas, warna sisiknya mengingatkan aku pada kulit ular. Begitu jauh berbeda dengan yang lainnya, yang punya kulit kelabu jelek. Sama sekali tak menarik perhatian. Yorick juga berhenti berbicara, kami berdua sama-sama tak bisa berkata-kata memandang Kahnivore yang barusan dengan mulut setengah terbuka.

     "Wow!" Kami sama-sama bergumam secara bersamaan.

      Aku berbisik. Masih takjub bahkan setelah kepakan sayap itu sudah jauh. Makin kabur. "Kau tahu jenis yang itu?"

     "Aku tak tahu." Yorick terkesiap. Menyadari sesuatu. "Aku baru pertama kali melihat jenis yang itu!"

     Selama sesaat kami berdua hanya saling pandang, sebelum kemudian terkekeh-kekeh padahal tidak ada yang lucu. Dalam hati aku terkejut karena menyadari inilah kali pertama aku bisa tertawa lepas setelah minggu-minggu yang menyiksa. Aku tidak berhenti dan justru meneruskan luapan kegembiraan itu. Jarang-jarang aku bisa begini, setidaknya aku harus memanfaatkan kenyamanan ini sebaik-baiknya.

     Sewaktu tawa kami akhirnya reda, Yorick memainkan alisnya. "Menyenangkan 'kan?"

     "Ya." Aku tak bisa untuk tidak tersenyum. "Barangkali kau mau mengajakku ke tempat rahasia lainnya?"

     Kelopak mata Yorick melebar sedemikian rupa, perlahan rona menyebar dari leher terus naik sampai seluruh wajahnya hampir sewarna dengan mata Sector Dva-nya. "Ya! Maksudku, kau tahu yang satu itu aku—setidaknya aku—maksudku kita akan pergi bersama dengan Korain. Dia lumayan tahu setiap sudut-sudut tersembunyi di tempat ini." Yorick tertawa canggung. "Atau bisa saja aku mencuri daftar sialan itu dari Korain."

     Tak ayal kalimat terakhir yang dia semburkan membuatku tertawa. "Kita bisa mencurinya bersama-sama."

     Yorick membenturkan bahunya dengan bahuku main-main. Kulit wajahnya kian memerah, senyumnya melebar sampai giginya kelihatan. "Roger that."

     Kami turun dari atap setelah senja mulai beranjak. Masih tertawa-tawa, membayangkan berbagai rencana konyol untuk mencuri Darf rahasia Korain, atau kemudian menjaring satu Kahnivore, menungganginya. Tidak menyadari bahwa kami tidak lagi hanya tinggal berdua. Kadarius berdiri dengan bahu sekaku tembok di sampingnya. Penampilan Kadarius tidak secemerlang biasanya. Dia kotor, terluka, penuh lumpur dan darah. Aku tahu aku kena masalah saat menangkap raut wajah Ravindra. Aku meluruskan punggung, membusungkan dada. Coba saja kalau Kadarius berani macam-macam.

     Wajah Kadarius berkerut pelan, tidak menyukai gelagat yang kutunjukkan. "Kalian ikut aku."

     "Kenapa—"

     Kadarius membalikkan badan memotong pertanyaanku dengan gestur dingin, begitu juga dengan Ravindra—setidaknya dia begitu setelah mengerling padaku. Ikuti saja. Begitu maksud dari kerlingan itu. Aku balik menatap Yorick, bermaksud bertanya padanya, akan tetapi aku justru tersentak. Darah seakan-akan terkuras habis dari wajahnya. Aku belum sempat bertanya apa yang terjadi saat Denaya keluar dari tempatnya tidur di dinding. Tergopoh-gopoh menghampiri kami dengan raut yang tak jauh berbeda dengan Yorick.

     "Apa—"

     Denaya seakan-akan terbang, hanya meninggalkan desingan angin belaka—berlari menyusul Kadarius. Tak lama kemudian Yorick menyusul. Aku tak punya pilihan lain selain membuntuti mereka.

     Lorong, lorong, belokan kemudian lorong lagi, sampai sesak rasanya. Hingga pada akhirnya—saat kupikir aku bakal meledak—kami sampai di Aula Trib Pusat yang tidak seramai biasanya.

     Aku semakin berdebar, menyadari bahwa ini bukan tentang aku. Ada orang lain yang terkena masalah. Kadarius bahkan sudah jauh tetringgal di belakang kami saat Yorick memukul HoloScan Tabung Lift dengan kepalan tangannya. Tabung Lift langsung meluncur naik. Selama itu aku hanya bisa mengkeret, membisu di antara gempuran aura yang Denaya dan Yorick keluarkan. Tidak ada yang berbicara. Hanya suara engahan napas dari kami bertiga yang mengimbangi denging mulus Tabung Lift.

     Entah kenapa aku juga merasa sesak. Aku tak bisa menangkap apa itu, tapi yang jelas perasaan itu sama sekali tak enak untuk dirasakan.[]

Total : [2162 words]

So much pain, too much cry.

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro