
T H I R T Y - S E V E N [Repost]
DENAYA sudah menyelinap keluar bahkan sebelum Tabung Lift terbuka dengan benar. Yorick menggapai tanganku, menyeretku. Bau bersih nan familier menusuk hidungku, memanaskan belakang mataku. Ada puluhan sekat berpanel, yang penuh dengan suara orang-orang yang sarat akan penderitaan. Mataku menangkap Lichas dengan Gear warna kuning menyala berlalu lalang di sekitar kami. Oasis.
Oh tidak.
Segera setelah pemahaman itu memukul kepalaku. Rasa takut yang hampir-hampir membuatku ambruk di tempat menekan kepalaku. Menghimpit dadaku sedemikian rupa. Aku tahu kami sedang berada di mana, dan tempat apa ini. Aku tahu persis.
Kumohon jangan mereka. Jangan. Aku takkan sanggup lagi.
Di antara suara erangan dan tangis kesakitan di sekelilingku. Aku mampu menangkap raut wajah Denaya. Aku pernah melihat mimik itu. Aku sendiri pernah memperlihatkannya. Denaya berhenti di depan salah satu kubus panel yang masih tertutup. Gemetaran dari ujung kepala sampai kaki. Kurasa bahkan menggerakkan seujung jari pun dia tak mampu, aku menyadari bahwa bukan hanya Denaya seorang yang dipenuhi oleh teror.
Tangan Yorick yang mengenggam pergelangan tanganku banjir keringat. Kemudian secara tiba-tiba Denaya memandang Yorick, lalu aku. Matanya yang sewarna dengan mataku melebar, perlahan dia menggeleng. Mulanya samar sampai kemudian betul-betul terlihat. Kedua tangannya dia gunakan untuk membekap mulutnya sendiri. Menahan isak tangis yang terancam muncul.
Jemari Yorick berkedut-kedut. Sama ngerinya seperti Denaya. Tapi tidak ada pilihan lain.
Aku menggigit bibir, melepaskan cengkraman jemari Yorick dengan paksa. Maju hingga sampai di depan pintu.yang seakan-akan berteriak padaku supaya mundur. "Biar aku saja."
Yorick menghela nafas gemetar. "Aurellion ..."
Aku menggubris permohonan itu, menekan antar muka HoloScan pada pegangan pintu. Sudah terlanjur. Tidak bisa berbalik lagi.
Kaki-kakiku langsung lemas luar biasa begitu melihat adegan yang terpampang di hadapanku.
Tubuh jangkung Korain terbaring di atas Ven. Matanya terpejam rapat. Telanjang dada, menampakkan lebam-lebam membiru pada kulitnya yang pucat. Indira ada di sana juga, berdiri dekat kepala Korain, mengelus-ngelus rambut pemuda itu dengan lembut. Walaupun dirinya sendiri bisa dibilang tak baik-baik saja. Paxtof beserta dua Oasis berdiri di sisi yang lain Ven. Mengerumuni sumber dari genangan darah yang menetes-netes di lantai.
Aku ingin menjerit, aku ingin melarikan diri. Aku tak ingin melihat ini. Mataku berkunang-kunang, liur asam membanjiri mulutku.
Jangan muntah. Tidak. Tegakkan punggungmu. Kau harus terbiasa. Inilah yang akan kau lihat selama kau terjebak di tempat sialan ini.
"Korain hanya kehabisan tenaga," Indira bergumam, menegaskan gerakan samar pada dada Korain. Nafas pelan yang saking samarnya sampai membuat aku berpikir yang tidak-tidak. Kudengar Yorick menghela nafas patah-patah, tangis tertahan Denaya pecah seketika. Dia berlari menghampiri Indira, memeluk gadis itu dengan erat. Entah untuk mengucapkan terima kasih atau hanya sekedar pelukan gamang biasa.
Aku memalingkan wajah dari adegan itu, akan tetapi secepat itu pula aku menyesal. Pasalnya kali ini aku tak bisa mengalihkan pandangan dari tangan Korain yang hanya tinggal selengan. Tanganku otomatis bergerak mencari pegangan. Hanya sekedar supaya aku tidak terjatuh.
Paxtof menengok dari balik bahu, sepucat yang lainnya. Dia menemukan mataku, rahangnya berkedut, tapi sesaat kemudian dia menelan kembali entah kalimat apa yang hendak dia ucapkan. Memalingkan wajah cepat-cepat. Kembali menekuri pekerjaannya. Setidaknya pendarahan pada lengan puntung itu sudah terhenti. Aku memperhatikan, tak mampu berkedip, saat perlahan-lahan Paxtof beserta dua Oasis lainnya merunut lengan Korain. Perlahan-lahan menciptakan selubung kulit yang akan segera membentuk tangan. Aku ingat Paxtof pernah mengatakan bahwa menumbuhkan tulang itu sulit, apalagi membentuk syaraf beserta jaringannya.
Lalu kenapa Ellie?
Sekalipun aku tidak seperti mereka, sekalipun aku berbeda dari ujung kepala sampai kaki. Takkan ada yang berubah. Aku masih sama. Tak bisa melakukan apapun selain terbengong seperti orang tolol. Sampai kapan aku akan terus begini?
Mungkin sampai kau kehilangan lebih banyak. Sampai kau tak lagi punya apa-apa selain akal sehatmu sendiri.
Peganganku pada pinggiran Ven mengerat.
Tidak akan. Jangan lagi. Tidak boleh begitu.
□•□
Aku kabur dari sekian banyak orang hari ini, menolak untuk ditemani. Aku berlari ke arah Tembok Perbatasan Sector Zero, tapi mengurungkan niat di tengah perjalanan begitu ingat siapa yang sudah pasti menantiku di sana. Aku juga tidak bisa terus-menerus di dalam Trib, tidak pula di tempat para Void. Aku tak tahan melihat Korain, yang ujung-ujungnya bakal membuat aku kembali teringat akan tangannya yang buntung. Hingga di sinilah aku berakhir, meringkuk di cekukan dahan pohon tertinggi. Membiarkan kegelapan malam menyembunyikan aku. Setidaknya selama hari ini. Membenamkan kepala ke lutut.
Aku tidak menangis.
Air mataku habis untuk yang sudah-sudah. Sudah cukup menjatuhkan air mata hanya demi menangisi sesuatu yang takkan bisa kembali lagi.
Sia-sia. Tak ada gunanya.
Ketika rasa karatan mulai memenuhi setiap sudut mulutku, aku tahu sudah seharusnya aku berhenti menggigiti daging pipiku.
Aku mengangkat wajah, Glass Gate seakan-akan mengejekku, benda itu sudah melihat banyak hal, sudah tahu apa-apa saja yang terjadi selama aku masih belum mengerti. Benda sialan itu tahu banyak tapi tidak melakukan apapun selain menonton kehancuran perlahan-lahan merongrong tempat yang dilindunginya.
Andai aku adalah dia. Andai aku punya kuasa sebesar itu.
Tentu saja aku bisa. Barangkali.
Beberapa hari yang lalu, aku tak mau dijadikan pion. Bersumpah supaya tak lagi dimanfaatkan. Akan tetapi sekarang, aku berubah pikiran, sebagaimana aku rela melakukan apa saja demi bisa bebas dari neraka ini, aku akan menjadi bidak demi keselamatan para Void. Teman-teman yang selalu ada di dekatku, yang memberi aku sedikit cahaya untuk membuka jalan pikiranku. Aku akan melakukan apa saja demi mereka. Supaya aku tak kehilangan mereka.
Namun bagaimana? Apa yang mesti kulakukan untuk mencegah hal seperti kemarin terulang kembali? Semakin aku mencoba untuk memikirkannya, semakin menjadi-jadi rasa gatal yang kurasakan. Rasa itu menggaruk kulit kepalaku, mengeruk bagian dalam otakku. Aku menggapai kepalaku, berniat menjambak rambut, pelampiasan yang sepadan, yang takkan menimbulkan kecurigaan Paxtof. Tapi ada helaian rambut yang tersangkut pada Jadrové. Alhasil menghentikan gerakan tangan serta niatku.
Jadrové
Aku hampir lupa tentang benda perpisahan pemberian dari Acres ini. Sama seperti aku melupakan kenyataan bahwa Acres sudah lama menghilang dari hidupku. Tidak. belum lama. Tapi aku tetap saja menganggap demikiran. Untuk menutupi luka hati.
Aku memperhatikan jarum-jarum yang bergerak seiring berlalu jam, menit dan detik. Aku tak pernah membicarakan tentang kebencian serta ketakutanku yang remeh-temeh pada Acres, kendati demikian dia tahu banyak tentangku. Jadrové. Pemikiran ini tiba-tiba saja merasuki kepalaku. Bisa saja Acres memberi aku jam digital ini untuk mengingatkan aku pada waktu, pada hal yang kubenci, atau mungkin saja dia menginginkan supaya aku akan terus ingat akan hari-hari yang kami lalui di Sector Tres. Aku takkan pernah tahu. Aku tak lagi memiliki kesempatan untuk bertanya.
Semua itu terjadi karena cinta sialan, janji yang lebih sialan, serta ego keparat yang menekan keinginan terdalam untuk mencegah hati yang telah retak, hancur berkeping-keping.
Kadarius bilang aku masih punya pilihan. Banyak pilihan. Acres juga menyatakan hal yang serupa.
Tapi aku tak rela. Begitu pula Acres, bahkan Kadarius sendiri hanya bisa berkata-kata, tak mau membantuku menentukan pilihan yang mesti kubuat.
Dan lalu sekarang apa? Apa yang terjadi di sekelilingku?
Kehilangan dari pembunuhan disengaja, dibunuh demi kemenangan yang nyatanya hanya angan, membunuh.untuk pembalasan. Terus seperti itu seperti siklus kehidupan yang terkutuk. Aku ingat membentakkan kalimat itu pada Kadarius. Aku seharusnya lebih berhati-hati dalam berucap.
Suara kerisik pelan dari pergerakan yang memanjat pohon mengalihkan perhatianku. Aku membentak. Geram oleh adanya gangguan. "Aku tidak ingin mendengar ceramah macam apapun, Avgustin." Enyahlah.
"Mungkin tidak. Tapi barangkali aku bisa membantu."
Aku menoleh. Bukan Avgustin. Sama sekali bukan dia. Apakah aku terlalu jauh pergi? Apakah ini wilayah musuh? Badanku mendingin.
"Halo, Lionne," desahnya dengan suara selembut beledu. Topeng armor UrsaMayor yang dia kenakan perlahan beriak, menguak wajah yang kukira takkan pernah kulihat di manapun lagi. Aku bergerak detensif secara otomatis. Dia menggeram. "Berani maju selangkah lagi, maka kau takkan melihat eksistensi pemilik kalung ini."
Ludahku tepat mengenai wajah rupawannya yang memuakkan. Aku tak menunggu sampai dia berkesempatan untuk mengocehkan hal lainnya dengan meluncur, mendesingkan Jadrové yang sudah kuubah menjadi katana. Akan tetapi dia menamengi diri dari tebasanku, dengan armornya.
Aku menggertakkan gigi, mengganti strategi di saat-saat terakhir. Berjongkok, menggunakan kakiku untuk menelikung pijakannya, seketika tubuhnya bergoyang, katanaku terlepas dari cengkramannya yang celaka. Tapi kemudian aku tersentak saat dia menggapai pergelangan kakiku. Alhasil aku ikut meluncur ke bawah bersamanya. Terantuk-antuk beberapa batang pohon sebelum akhirnya jatuh berdebum dengan punggung terlebih dahulu di atas akar yang mencuat.
Aku setengah menggerang, setengah mengumpat. Rasanya hampir sama buruknya seperti hajaran Indira.
Aku belum pulih benar ketika dua pasang tangan mengangkat tubuhku. Lagi-lagi punggungku berpalu dengan kerasnya batang pohon, bedanya kali ini aku tak bisa bergerak sepenuhnya. Tanganku diberi belenggu. Berikut dengan kakiku. Rupanya dia telah pulih dari jatuhnya, berjalan terseok-seok ke arahku. Mendesis dari sela-sela gigi yang terkatup rapat. "Lupa!" Jalang.
Aku memamerkan gigi-gigiku, balas menggertak. "Fillius canis!" Son of a bitch.
Tendangan itu menyemburkan udara dari paru-paruku. Aku menarik napas menggap-menggap. Tendangan yang kedua seolah-olah mencabut jantungku dari tempatnya. Darah tersembur dari mulut serta hidungku. Mengucur, membasahi dagu, terus turun ...
Seakan belum cukup, dia menarik rambutku ke belakang, sampai kulit kepalaku serasa pedih. Napas yang sudah tidak asing, wajah yang masih sama, serta mata emas yang takkan pernah kulupakan berkilat-kilat sama sintingnya seperti lima tahun yang lalu. Kesemuanya memenuhi pengelihatanku, meracuni mataku. "Sekali ini aku memaafkan tindakanmu yang barusan, Ellie." Cengkramannya makin membelenggu, aku yakin pasti ada beberapa helai rambutku yang lepas sesudah ini. "Tapi tidak ada kata lain kali."
Aku menarik sudut-sudut bibirku, mencemooh. Mendelik juga pada dua UrsaMayor di belakang dia. "Enyah, bangsat!"
"Aku lebih suka yang itu." Dia terkekeh-kekeh, selagi mendekatkan wajah. Dan aku mesti mati-matian berusaha untuk tidak mencaplok serta merobek hidung hanya hanya berjarak sesenti saja dari mulutku, hingga yang tersisa hanya lubang kosong belaka.
Namun aku keburu merinding jijik. Memperhatikan melalui ujung mataku, jemari tangannya yang satu lagi terangkat, merasakan telunjuknya yang berlapis armor merunut garis tulang rahangku, lembut sekaligus melukai. Terus begitu sampai terhenti dekat Gamma di pelipisku. Bau amis yang berasal dari darah, serta wangi memuakkan dari mulutnya membuat perutku mengejang dengan cara aneh. Nafasku berubah pendek-pendek. Kalau begini terus aku bakal melakukan hal yang lebih gila lagi.
Kuludahkan gumpalan darah yang memenuhi mulutku, kali ini tepat mengenai mata, biarpun setelahnya ganjaran yang kudapatkan adalah tempelengan. Aku tidak tumbang. Belum. Justru aku berkata dengan suara berdeguk. "Rupanya selain pecundang, kau ... ternyata penipu juga."
"Begitukah." Dia menyeriangi. Elusannya pada pelipisku tak lagi lembut. Rasanya seperti digores ujung SwitchBlade. "Kau sendiri tahu siapa penipu ulung di sini. Barangkali kau mau kuingatkan?"
Aku menjerit. "Bedebah sinting!" Teringat akan anak panah yang dia tembakkan. Senyuman yang muncul sebelum anak panah itu terlepas. Tatapan penuh arti di kubus Albercio Sector Tres, sesaat sebelum Leah tertombak. Sebelum semua kesialanku dimulai.
Aku menemukanmu.
Sontak aku memberontak gila-gilaan. Tangan kotor itu memegangiku, menyentuhku. Nafasku berdengih, terengah-engah oleh rasa sakit, takut dan amarah yang tiba-tiba meluap.
"Shhh ..." Dia membungkam jeritanku dengan pelototan. Kemudian berdecak pelan saat caranya tak mempan. "Urusan ini akan jauh lebih mudah kalau tak ada peganggu. Bukan begitu, Lionne?"
Keinginan untuk meludahi wajahnya lagi sungguh tak tertahankan, tapi tak cukup liur dan darah untuk mencoreng wajah itu. Jadi aku hanya bisa mendesis. "Mana aku tahu!"
"Ya sudah," katanya lamat-lamat. Aku tahu persis dia sengaja berbuat begitu. "Seperti yang kukatakan tadi, aku mungkin bisa membantu kesusahanmu?"
Aku mendengus. Aku telah berhenti berharap pada siapapun saat ini, terutama pada keparat-bangsat di hadapanku."Masa?"
Dia melepas cengkramannya pada rambutku. Bukan dengan cara lembut tentu saja. Berdiri menjulang di hadapanku, kembali memamerkan benda yang tadi dia perlihatkan padaku. Bandulnya berkilauan tertimpa cahaya bulan kemerahan dari langit. Dia kelihatan geram akan reaksiku. "Kutebak benda ini belum cukup memberimu motivasi."
Aku tahu tak ada gunanya memberontak, hanya menambah rasa sakit pada pergelangan kaki serta tanganku karena kulitku bergesekan belenggu. Namun itulah yang persisnya aku lakukan saat ini. Mengumpat-ngumpat, tersedak oleh darah serta liurku sendiri. Antar muka Darf yang di pegang si bangsat di depanku berdenyar, menampilkan wajah Acres yang seolah-olah tidak tahu dimana dia berada. Linglung, luka-luka, darah, banyak darah.
"Oh? Ataukah ..." Seringaian perlahan-lahan terbentuk di mulutnya, sementara tangannya menggulir ke rekaman yang lain. "Tentu saja yang ini kalau begitu."
Kali ini jeritan yang membahana. Jeritan yang betul-betul berasal dari rasa sakit tak tertahankan. Hampir-hampir menulikan telingaku. Islee. Aku belum selesai mencerna yang itu, sampai kemudian umpatan Arden terngiang berulang kali di antara jerit kesakitan Islee. Ada suara tangis pelan.
Pelan tapi telingaku langsung tegak begitu mendengarnya. Indra ... tidak! tidak! Belakang mataku memanas begitu melihat wajah lembut nan polos itu. Jangan dia. Jangan ...
"MONSTER!" Semburku, terisak-isak oleh rasa sakit, rasa murka, benci. Semuanya tercampur aduk. "Mati saja kau di Permukaan! Mati saja kau!"
"Lionne-sayangku."Dia berdecak, menatapku lekat-lekat. Mengamati air mataku dengan dahaga yang janggal. Saat matanya akhirnya bertemu denganku, kedutan di ujung rahangnya makin menjadi-jadi. Berani-beraninya diamemperlihatkan cengiran. Dasar monster! Keparat bangsat!
"Sekarang kau tahu apa yang mesti kau lakukan untuk mereka bukan? Dengarkan aku baik-baik, Ellie. Camkan apa yang kukatakan padamu."[]
Total : [2080 words]
Hold my breath, and count to ten
While he rips my heart, i see thousand stars hold it in
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro