
T H I R T Y [Repost]
ALUN-ALUN Sector Dva lebih seram dibandingkan dengan Sector Tres. Bukan hanya karena orang-orangnya, tetapi juga karena disebabkan oleh apa yang ada di sekelilingku saat ini, semuanya menampilkan warna Sector Dva. Merah gelap. Warna itu mengingatkan aku akan banyak hal.
Darf yang ditunjukkan Acres padaku saat musim panas dulu, mata yang ditakuti Indra, mantel yang saat ini kupakai, dan terutama ... terutama warna darah yang menghantui mimpi burukku.
Aku menggatupkan bibir rapat-rapat, perpaduan dari dua gerahamku spontan menghancurkan permen rasa jeruk nipis di dalam mulut. Menyebarkan rasa asam dan segar ke seluruh bagian mulutku. Aku lega karena suara kretakan itu mewakili kemarahanku biarpun cuma secuil. Sekaligus juga membuatku menyesal.
Kadarius jadi memperhatikanku. "Ada yang salah, Miamora?"
Aksennya bahkan mirip sekali dengan warga Sector Dva asli.
Secara harfiah bisa dikatakan Kadarius dan Acres berbanding terbalik, dari segala sisi. Terutama sifat. Dulu aku selalu jengkel akan ketidakpekaan Acres, sekarang aku merasa dongkol setengah mati pada perhatian Kadarius. Dia seperti UrsaMayor yang senantiasa mampu membaui sesuatu yang mencurigakan, melihatku seakan-akan aku ini Darf tanpa kode keamanan. Menganggu.
"Tidak ada," aku menjawab sekenanya, aksenku memang tidak sesempurna Kadarius, tapi lebih baik ketimbang tidak beraksen sama sekali.
Aku mengalihkan pandangan pada mantel Indira yang berkibar di hadapanku. Sudah bisa kupastikan saat ini, mata dari pemimpin para Void itu pasti jelalatan memperhatikan sekeliling dengan waspada. Cincin Identitas palsu yang dia kenakan berpendar dengan peta alun-alun Sector Dva. Dia berkonsentrasi penuh untuk membantu—dengan menjalani dua misi sekaligus. Sesungguhnya, Indira sudah lama tahu bahwa aku ada di dalam tim ini bukan karena untuk menjalani misi utama. Akan tetapi yang mengherankan adalah Indira sama sekali tidak membentakku atau mengomeliku tentang berbagai macam hal yang selalu menyakitkan untuk didengar.
Dan sepertinya Indira juga pura-pura tidak memedulikan fakta bahwa dia saat ini menjadi salah satu pengawalku, satu tim dengan Kadarius pula.
Aku bersyukur mereka berdua tidak melakukan gencatan senjata atau semacamnya saat ini, sebab itu adalah hal terakhir yang kuinginkan dari mereka berdua, tetapi walaupun begitu Indira jelas tak mau dekat-dekat dengan Kadarius, bahkan berjalan seiringan dengannya pun mungkin gadis itu tidak sudi. Sebab itulah dia melangkah mendahului kami, kalau boleh memilih, aku bisa saja berjalan di sisi Indira. Namun karena aku terikat pada perjanjian konyolku dengan Kadarius, aku segera mengurungkan niat. Tak bisa berbuat seenak jidat.
"Lihat itu," gumam Kadarius, jemari tangannya menunjuk hologram yang berkedip-kedip di depan Millestone—gedung pusat di Sector Dva.
Aku balas bergumam tidak tertarik, apa yang ditampilkan hologram itu sudah biasa untukku. Iklan properti, berita harian tentang cuaca, atau bahkan sesuatu yang kurang meriah seperti jadwal tetap kegiatan di Sector yang bersangkutan. Persiapan ujian masuk, susunan Divisi Aviator dan pemerintahan yang baru, kalau beruntung kau akan melihat pidato Canavaro yang langka.
Betapa anehnya bahwa pemimpin yang kami hormati jarang menampakkan batang hidungnya ke publik. Namun sekali lagi, siapa yang peduli? Asal kehidupan berjalan seperti biasanya. Takkan ada yang protes.
"Yah, asal kau tahu, aku tak tertarik dengan interior kamar apartemen terbaru."
"Yah aku juga tidak, tapi kau mungkin tertarik dengan dia."
Ternyata bukan aku saja yang terpaku di tempat, Indira juga melakukan hal yang sama.
Acres berjalan tergesa-gesa keluar dari dalam Millestone, masih dengan jas putih dengan aksen merah yang selalu kontras dengan warna rambut serta matanya.
Karena alun-alun terang benderang oleh cahaya dari lampu neon warna-warni atau hologram merah, saat ini aku dapat melihat dengan jelas, raut wajah Acres, dia kelihatan marah, tidak, dia gusar. Jemari tangannya yang kurus dan panjang menjambak rambut cepaknya cukup keras, sampai-sampai membuatku ingin segera berlari ke arahnya, dan menghentikan kebiasaan buruknya yang satu itu.
Aku melirik Kadarius, merasa sama gusarnya seperti Acres. Kadarius balas melirikku, dia bergeming. Aku menahan keinginan untuk memberi wajah sempurnanya bogem mentah, kukepalkan tangan, bukan salahku jika suara yang keluar dari dalam mulutku adalah suara marah, sama sekali tak beraksen Sector Dva.
"Apakah sekarang bukan saatnya?"
Kadarius menanggapi dengan tenang. "Kalau kau mau membuat kehebohan, tentu saja boleh."
Aku segera memalingkan wajah dan meludah ke jalanan beraspal di bawahku. Nah, yang barusan itu baru Sector Dva. Beberapa orang yang lewat melihatku, lalu melihat Kadarius, kemudian kembali berlalu dengan seringaian di bibir. Bagus, lebih baik dianggap sepasang kekasih yang sedang bertengkar ketimbang penyusup.
Aku baru saja akan melangkahkan kaki mendekati Acres, saat seorang yang kukenal lainnya berbicara dengan Acres. Saudara laki-laki Acres, berbicara pada Acres dengan wajah merah padam karena marah, tangannya berkali-kali menunjuk dirinya sendiri lalu Acres, lalu merentangkan tangan, bibir Arden yang tipis makin menipis. Arden kalau marah memang selalu seekspresif itu.
Selagi Arden marah-marah, Acres hanya berdiri diam, sama sekali tak terganggu dengan raut murka atau bentakan adiknya. Dia hanya mendorong Arden menjauh, itu artinya dia merasa sudah cukup, bergegas berjalan menajuah tanpa memedulikan Arden yang makin naik pitam. Acres mengambil langkah, menjauhi Millestone, melewati kerumunanan yang menatap kakak beradik itu dengan penasaran, dia bahkan tak melirik ketika Arden mengejarnya, memaki-maki abangnya yang tolol itu. Entah apapun itu yang dipertengkarkan oleh mereka berdua, aku yakin sekali jika saat ini Acres memang bersikap tolol. Tidak peka, keras kepala, tidak mau peduli. Vlakas!
Hal terakhir itulah yang menyadarkan aku seketika. Aku bergerak tanpa menunggu persetujuan dari Kadarius ataupun Indira. Walaupun saat menyenggol bahu Indira, aku tersentak sedikit merasakan listrik sungguhan merambati bahuku. Biarkan saja, kalau Indira berniat menyetrumku sampai mati, tentu dia sudah melakukannya dari jauh-jauh hari.
Aku berlari di antara tubuh-tubuh yang bersesakan, berusaha untuk membuat posisiku pada jarak yang memungkinkanku supaya tidak kehilangan jejak. Tubuhku termasuk kurus dan di antara orang-orang berbadan besar ini, aku mampu menyelinap, menghindari cengkraman Kadarius dengan mudah, selain itu aku harus berterima kasih pada hari-hari menyiksa sewaktu latihan. Tubuhku rasanya lebih ringan dan fit. Tetapi bukan berarti tak ada yang mampu menghentikanku, sekelompok siswa yang sepertinya baru pulang dari suatu acara—melihat dari seragam mereka— menghentikan lariku, bahkan aku hampir menabrak salah satu di antara mereka.
Aku menggumakan kata maaf, menggertakkan gigi, kemudian melanjutkan berlari mencari jalan memutar.
Ketika kukira aku telah kehilangan mereka berdua, kelebatan rambut emas serta lari Arden yang dikenal sebagai pelari terbaik di tim Radeonnya membuatku menghela nafas lega. Saat itulah kulihat Acres akhirnya berhenti, dia mengangkat tangan, membiarkan sensor di gerbang menyorot Cincin Identitasnya, gerbang terbuka dengan mulus. Arden menyusul di belakang sesaat kemudian, masih marah.
Aku bersembunyi di antara orang-orang yang sibuk membicarakan tentang jadwal yang tidak berubah bahkan setelah apa yang terjadi di Arcade Illysiumstone.
Aku tak bisa fokus pada pembicaraan itu, pikiranku sedang sibuk memikirkan hal lain. Bagaimana cara masuk ke dalam sana tanpa ketahuan? Aku jelas melihat ada kamera, dan kalaupun tak terlihat di kamera, aku pasti takkan bisa lolos masuk ke dalam gerbang tanpa kena sensor, tanpa menghidupkan alarm yang terpasang.
Merde merde merde!
Aku memutar otak, kutahan keinginan untuk menggerigiti kuku-kukuku. Semua perlengkapan yang kubawa, kusembunyikan dibalik mantel bukan jenis barang yang di fungsikan untuk menyusup atau mengutak-atik. Aku juga tak bisa mengambil benda-benda di sini tanpa izin. Pencuri dihukum berat.
Apa yang harus aku lakukan? Masih ada Kadarius, Vlakas! maki pikiranku.
Seakan-akan tahu dirinya dikatai dalam pikiranku, Kadarius muncul tiba-tiba dari belakangku, menyeretku ke gang sepi dan tanpa basa-basi langsung berkata-kata dengan tajam, beberapa helai rambutnya mencuat dari tatanan, uap berhembus dari mulutnya saat dia membentak. "Rasa-rasanya aku mendengarmu berjanji!"
Aku bergeming, aku tahu aku sudah melanggar perjanjian, tetapi aku tidak mau mengakui begitu saja, tidak kalau keadaan yang kuhadapi seperti tadi. Dan yang terpenting, aku kan tidak sampai berbuat kehebohan. Aku melihat Indira muncul dengan terengah-engah. Matanya melebar melihatku, bagus, sekarang ada dua orang pemarah yang harus kuhadapi. Semua gara-gara aku.
Dengan paksa aku menggeliat keluar dari kungkungan Kadarius. "Maaf," gumamku dengan enggan. Terpaksa. Aku tidak mau menghadapi Kadarius dan Indira sekaligus.
Kukira Kadarius akan lanjut membentakku, atau sekalian mengataiku. Namun nyatanya hanya helaan nafas yang kudengar, Kadarius mengusap wajah, seketika saat itu juga raut wajahnya kembali biasa-biasa saja. "Jangan lakukan lagi," katanya pelan, tapi sarat akan peringatan.
Sebelum aku menjawab, sebuah suara sinis menyela. Indira bersidekap, memelototiku dengan mata merahnya yang berkilat-kilat. "Daripada membuang-buang waktu demi mendapat jawaban tentang janji enteng, mending kita lanjut saja."
Sindirannya mau tak mau membuat wajahku bersemu, sebab Inidra benar, aku pasti akan melanggar janji lagi. Indira tahu aku pasti akan begitu jika dihadapkan dnegan satu pilihan bernama Acres. Indira sudah melihat sekali dan dia tentu takkan pernah melupakannya. Namun bukan aku seorang saja yang bersemu, aku tidak mungkin salah lihat, tapi warna merah itu memang merambati telinga dan leher Kadarius.
"Ya sudah!" ketusku, tiba-tiba merasa kesal. Telunjukku mengarah pada gerbang tinggi, yang tadi di lewati Acres. "Kalau begitu beritahu aku bagaimana caranya melewati gerbang itu!"
Kalau saja tidak ada Kadarius, aku yakin Indira pasti akan menjotos kepalaku, lalu setelah aku terpuruk dengan kemarahan di lantai, dia akan menghukum ketidaksabaranku dengan berlari keliling arena sampai Indira sendiri bosan melihatku berkeringat. Bukan berarti di belum pernah melakukannya padaku, tetapi urusan serta hukuman yang itu bisa ditimpakan padaku belakangan.
"Jangan khawatir, Ellie. Memang kami di sini untuk apa?" tanya Kadarius, tak ayal membuat wajahku makin membara, tapi sepertinya Kadarius pura-pura tak melihat warna di pipiku, sebagaimana aku pura-pura tak melihat warna yang sama di telinganya. Perhatiannya sendiri cepat-cepat teralih pada gerbang kokoh yang aku tunjuk. Aku serta merta mengikuti arah pandangnya, menunggu datangnya sulur-sulur yang menghancurkan gerbang atau kamera pengawas atau semacamnya. Namun tak ada yang menggeliat-liat seperti ular selain helaan nafas Kadarius dan nafasku. Sesaat kemudian, hampir dua detik kemudian, Kadarius berkata. "Beres."
"Hmmm?" aku menyipitkan mata pada Kadarius, sedari tadi dia hanya menatap kosong ke depan, dan setelahnya dia bilang beres?
"Ingatkan aku supaya kau bukan hanya mendapat pelatihan fisik dan mental, tetapi juga pengetahuan," tegurnya jelas-jelas jengkel akan ketidaktahuanku pada apa yang dilakukannya atau yang telah dilakukan oleh kemampuan Lichas yang menjiwai tubuhnya. Droid merah.
Sebelum aku mengatakan apapun untuk membela satu lagi kebodohanku. Aku segera mengerem mulut. Kusumpahi diriku sendiri. Tidak Ellie, jangan sekarang. Sekarang aku harus berjalan lurus ke depan, pada apa yang telah menungguku, pada apa yang mungkin menantiku, pada apa yang selama ini aku rindukan. Ketika langkahku makin dekat, namanya seolah-olah berkumandang di dalam kepalaku, memenuhi setiap sudut ruangnya dengan kehangatan.
Aku semata-mata membiarkan nama itu terus bergaung, sekadar untuk menguatkan setiap langkah yang mesti diriku ambil, sekadar mengingatkan pada bagian hatiku yang takut dan kesepian. Aku tidak sendirian dan aku tak perlu bersembunyi lagi.
Acres pasti mengerti, semoga dia mengerti.
Gerbang terbuka dengan mudah, tanpa perlu aku menyodorkan Cincin Identitas palsu yang terpasang di jari telunjukku. Aku melangkah melewati gerbang dengan mudah, Kadarius dan Indira menyusul. Sikap mereka serta merta berubah menjadi waspada. Pemandangan di depanku benar-benar membuatku terpana, orang-orang berseliweran. Banyak orang, baik yang berjalan kaki atau yang menggunakan sepatu bertenaga jet.
Dari postur tubuh dan cara berjalan mereka aku tahu siapa saja yang tinggal di sini. Siapa saja yang mendapat kehormatan untuk menempati wilayah ini. Duta, siswa pertukaran yang genius, Tech yang pekerja kontrak ataupun tetap yang penting di pemerintahan—seperti Acres.
Rumah di sisi kiri dan kananku tidak megah tetapi sudah termasuk mahal dan membuat iri siapapun yang melihatnya. Termasuk aku. Rumahku di Sector Tres saja mungkin kalah dari ini. Lihat saja bagaimana bentuknya yang praktis, canggih. Enak benar dipandang mata.
Kalau saja aku tidak sedang tergesa-gesa, aku mungkin rela duduk di depan salah satu rumah ini, memotretnya—kalau dibolehkan—menggambar sketsanya, dan jika aku meminta, Avgustin pasti akan berusaha mempertemukanku dengan arsiteknya. Sayangnya, aku sudah bukan Ellie yang dulu lagi, aku masih belum memaafkan Avgustin. Walaupun dia sudah meminta maaf, aku tidak bisa semudah itu memaafkan seseorang yang sudah menjebakku. Membuat Acres tertimpa kemalangan sekali lagi, merenggut Leah dari kami berdua. Cukup sudah.
Aku menggepalkan tangan, kupercepat langkahku.
Aku menekan Cincin Identitas palsuku, membaca informasi langka yang baru-baru ini aku dapatkan. Semuanya tentang Acres. Lengkap, bahkan kematian Leah juga tercatat disana, membuat perutku bergejolak setiap kali mataku menangkap huruf merah menyala itu.
Menurut Informasi di Cincin Identitas palsu, Acres tinggal di rumah paling ujung, nomor 109, deretan ketiga, dekat gymnasium. Arden pasti suka tinggal disana.
Ketika aku melangkah di gang pertama, aku merasa begitu yakin bisa melakukannya, yakin jika yang aku lakukan benar. Tetapi begitu aku melihat pantulan diriku sendiri di pada salah satu kaca rumah yang kulewati, aku tersentak. Mata emas yang balas menatap dengan liar, rambut emasku ternyata sudah parah keadaannya. Berantakan, pudar, pucat. Aku berhenti melangkah, bukan karena hanya aku ingin kabur sesegera mungkin, tetapi karena berpikir, apa yang akan dikatakan, tidak, ditanyakan oleh Acres ketika melihatku dengan penampilan begini. Macam-macam tentu saja. Namun yang paling aku takutkan adalah pertanyaan yang muncul dari diriku sendiri, pertanyaan ini senantiasa menghantuiku sejalan dengan mimpi burukku belakangan ini.
Akankah Acres mengenaliku?
"Ada yang salah, Ellie?"
Aku menoleh, menemukan Kadarius yang menatapku heran. Indira menaikkan satu alis cokelatnya, mencibirku. Dia barangkali tahu apa yang saat ini menyendat langkahku.
Aku serta merta tergagap, tenggorokanku seolah-olah tercekik oleh tangan-tangan tak kasat mata. Aku memalingkan wajah, bukan hanya dari Kadarius atau Indira, tetapi juga dari bayanganku. Aku merapatkan tudung mantel, ingat kembali akan tujuanku kemari. Tekadku sudah bulat, dan tak ada yang bisa kumintai tolong untuk berhenti sekarang. Sudah terlambat. Benar. Sudah sangat terlambat untuk berbalik arah.
Rumah Acres hampir sama persis dengan dua rumah yang kulalui sebelumnya. Yang membedakan adalah warna berkabung yang digunakan sebagai warna dasar cat rumah. Merah menyala, sewarna dengan langit beradiasi di luar Glass Gate. Bukan hanya itu, rumah ini juga sepi, mati, seolah-olah tak pernah dihuni.
Aku melirik pintu rumah, melihat hologram dengan angka 109 emas berdenyar. Acres menyukai angka sepuluh, aku sembilan. Betapa menggelikannya, disaat seperti ini aku masih mengingat hal itu. Aku buru-buru menunduk, melihat kebawah, pada kakiku yang berbalut bot hitam mengkilap, tanah beraspal yang tidak ternodai oleh derasnya salju, dan elevasi pekarangan rumah Acres.
Perlahan pengelihatanku memburam. Jangan menangis, tolol! Kubentak diriku sendiri. Bukan saatnya. Jadi aku mengucek mataku, perih memang, tetapi lebih baik ketimbang menangis.
Sekali lagi untuk yang terakhir kalinya, aku menengok ke belakang, dimana Kadarius dan Indira menunggu. Mereka mengambil keputusan yang tepat untuk tidak mengikutiku, tidak mencampuri urusanku. Cibiran Indira sudah lenyap, dan tak peduli seberapa keraspun dia berusaha—raut wajahnya yang cemas menghiburku sedikit. Sementara Kadarius, dia terus menatapku dengan tatapan matanya yang hampa.
Apa kau yakin mau melakukan ini, Ellie? Begitu yang dia tanyakan padaku, sebelum kami berangkat kesini, sebelum rapat dimulai. Sementara aku mengepalkan tangan erat-erat karena berpikir berani-beraninya dia bertanya begitu padaku. Sekarang pun, aku bisa membaca dengan jelas, bahwa pikirannya sedang mengumandangkan pertanyaan yang sama padaku. mengirimkannya melalui matanya yang tak seterbuka Acres.
Aku berbalik, masa bodoh, dia sendiri tahu jawabannya.
Aku sendiri tahu jawabannya.
Langkah pertama terasa berat, tetapi langkah kedua dan seterusnya malah lebih berat lagi. Ibaratnya seperti aku melangkah dengan beban logam di kaki.
Berapa hari semenjak aku berpisah dari Acres? Empat? Enam? Lebih dari yang aku pikir—aku benci memperhatikan waktu. Namun rasa-rasanya sudah seperti seabad lamanya. Tak pernah kami berpisah selama itu, bahkan tidak ketika kami bertengkar. Paling lama tiga hari dan itupun setelahnya aku atau Acres sendiri yang kembali untuk meminta maaf. Biasanya kalau kami terlalu enggan untuk mengucapkan kata maaf lagi, kami akan berkelahi. Dimulai dengan saling bentak, kemudian sama-sama naik pitam karena mendengar argumen satu sama lain dan kemudian tanpa tahu siapa yang memulai, tahu-tahu kami sudah saling hajar.
Biasanya yang menang selalu aku. Dan setelahnya, walau wajah kami berdua babak belur, kami tetap bisa menertawakan betapa bodoh dan kekanakannya kami berdua.
Dan sekarang, apakah Acres akan marah padaku, lalu kami berkelahi lagi? Atau akankah dia menutup pintunya keras-keras di depan mukaku? Tak mau lagi melihatku selamanya, saking marahnya dia.
Tidak apa-apa berandai-andai. Bayangkan saja kemungkinan buruk sepuasnya, selagi aku masih boleh.
Langkahku terhenti. Ujung sepatuku hanya berjarak beberapa inci saja dari pintu depan. Selama sesaat aku merasa kembali berada di undagan rumah ketinggalan zaman Acres, saat Cincin Identitasku discan, pintu rumahnya di Sector Tres akan menjawab dengan desis terbuka yang macet-macet.. Indra datang menyambutku, tak mau berpisah denganku sampai abang yang paling dia sayangi datang dari latihan di Arcade—Arden.
Pikiranku menggeram, Jangan sok dramatis! Lakukan sekarang atau kau akan hilang keyakinan.
Pikiranku benar, jadi aku mengulurkan tangan, hendak membiarkan HoloScan memeriksa Cincin Identitasku. Ketika secara tiba-tiba terdengar bunyi bip kerassekali, kemudian pintu mendesis terbuka dan aku langsung dihadapkan pada mata emas lebar yang sudah amat kukenali. Bibirnya yang munggil terbuka, kaget.Walaupun matanya merah sembab, mungkin karena baru habis menangis atau sudah berminggu-minggu dia menangis setiap saat, kecantikan Islee takkan memudar begitu saja.
Langkah-langkah kaki—jelas-jelas berlari—mengikuti di belakang danseperti Islee mereka juga mematung, Arden bahkan menjatuhkan mantel hitam yang ada digenggamannya.[]
Total : [2709 words]
I can't Quit you.
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro