Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T H I R T Y - O N E [Repost]

    UNTUK sesaat yang terasa selamanya, kami sama-sama membatu. Masih berusaha mencerna apakah yang kami lihat nyata atau tidak. Tetapi Indra menjerit, memecah keheningan, dia menyelinap di antara kakak kembarnya, aku tersadar, segera menekuk lutut, merentangkan tangan ...

     Indra lebih ringan daripada yang mampu diingat olehku. Namun selain itu, Indra masih berbau seperti Indra. Harum lembut khas bayi.

     Kukira aku akan menangis, tapi nyatanya aku hanya memejamkan mata rapat-rapat. Meraup udara di sekitarku dengan rakus. Kurasakan seseorang menarikku masuk ke dalam rumah, suara pintu tertutup dan dua tubuh yang lainnya segera memberiku kehangatan yang sama berharganya seperti Indra. 

     Kalau soal emosi, Islee dan Arden tak sehebat Acres, mereka langsung menangis begitu aku balas memeluk mereka. Hebatnya Indra yang kukenal cengeng, tak mengeluarkan isak tangis sekecilpun, dia hanya memelukku erat-erat. Mungkin dia sudah lelah menangisi saudaranya yang seorang lagi. Yang sudah tak ada di antara kami.

     Aku menyayangi kalian, aku rindu kalian, aku mencintai kalian, maafkan aku.

     Aku ingin mengatakannya dengan lantang, tapi aku tahu aku takkan bertahan lama jika aku mulai mengatakan sesuatu seperti itu. Jadi aku menepuk-nepuk punggung Arden, kukecup pipi Indra, ubun-ubun Islee. Aku mendongak, mencari sesuatu yang kurang. Rumah ini sepi, hampa.

     Aku meneguk ludahku dengan susah payah, menghilangkan gumpalan besar yang menyumbat tenggorokanku. "Acres?" tanyaku.

     Secara tiba-tiba Islee melepaskan pelukannya dariku, dia mengusap-ngusap sisa-sisa air matanya. Saat selesai, mata emasnya yang semula kuyu kini menyala, berkilat-kilat karena amarah. "Kemana saja kau selama ini?!" bentaknya, cukup keras sampai membuatku terperanjat dan Arden menjauh.

     "Islee, aku—" aku mencoba menjelaskan.

     Tetapi kepalan tangan Islee sudah terlebih dahulu menggebrak dinding, berteriak. Alarm anti kejahatan meraung-raung tak terelakkan. Tak ada yang peduli. "KUKIRA—" Islee terengah, "KAMI KIRA KAU BERNASIB SAMA SEPERTI LEAH!"

     Meninggal, tak pernah kembali lagi.

     Seperti alarm yang hidup seketika karena terpicu gelombang dari getaran kepalan tangan Islee dengan dinding. Aku merasakan sensasi menyakitkan yang menghimpit dadaku, seolah-olah ada yang menekan rusukku dengan kekuatan yang amat besar, aku seketika merasa sesak. Kalimat-kalimat yang telah aku susun berhamburan. Kata terakhir Islee bagai lecutan cemeti api—namanya—ternyata bukan hanya menyakitiku seorang, tapi juga Islee dan Arden.

     Islee membekap mulut, air matanya kembali terbit. Arden serta merta menundukkan kepala dalam-dalam. Sepertinya Indra juga merasakan hal yang sama, nama itu pasti mengingatkannya pada mimpi buruk yang kepalanya rekam, yang aku ingat, yang kami semua saksikan. Memicu kesedihannya yang terkurung.

     Indra bergumam dengan suara kecil yang serak. "Aku tak suka—" dia tersendat, tangannya bergerak meremas pundakku. Erat sekali. kuku-kukunya menancap di atas kulitku, tidak melukai tetapi membuatku merasakan rasa sakit yang mungkin tengah dia rasakan saat ini. "Aku tak suka Leah berdiri ketika itu."

     Aku juga tidak. Adegan itu masihlah segar di ingatanku, tidak mungkin aku bisa melupakannya begitu saja. Selamanya pun tidak.

     "Indra." Arden mendesis tajam, alhasil membuat Indra mengkeret dalam pelukanku. Mungkin baru kali ini Arden menggunakan nada setajam itu untuk menegur saudara yang dia sayangi. Arden beralih menatapku, bibirnya mengatup rapat saat dia berkata pada saudara kembarnya. "Islee, aku ingin bicara dengan Ellie."

     Islee mengerti, dia mengambil Indra dari gendonganku. Membawa sang adik ke salah satu ruangan yang ada di rumah ini.

     Sepeninggal Islee, aku dan Arden sama-sama membisu. Tak tahu harus memulai darimana. Masing-masing dari kami memiliki pertanyaan yang sama banyaknya untuk ditanyakan pada satu sama lain.

     Aku sudah diberitahu Kadarius apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh aku katakan saat ini. Sebenarnya dia tak perlu sampai menjabarkan batasan-batasan itu, sebab satu-satunya Arhaki yang selalu ingin tahu tentang sesuatu sampai ke akar-akarnya, hanyalah Leah seorang.

     "Maaf ..." Aku bergumam.

     "Apa—untuk apa, Ellie?" tanya Arden dengan muram.

     Untuk tiket yang kuberikan, untuk kemunculanku yang tiba-tiba, untuk Leah yang tak bisa kuselamatkan. Aku menunduk makin dalam tak mampu menatap wajah Arden. Permintaan maafku bukan hanya tentang tiga hal itu, permintaanku untuk segala sesuatu yang lebih besar. Semuanya tumpah tindih dalam kepalaku, beromba-lomba meminta aku keluarkan, di saat yang bersamaan dengan keras kutahan.

     Intinya semua hal ini terjadi gara-gara aku. Mungkin bahkan permintaan maaf saja tidak cukup untuk menebus semua itu. Aku kembali sesak memikirkan kebenaran barusan.

     "Kalau permintaan maafmu hanya untuk segala sesuatu yang terjadi di Arcade Illysiumstone, sebaiknya kita lupakan saja," Arden melanjutkan kata-katanya tanpa menatapku, "semua sudah terjadi, dan hal itu bukan hanya kesalahanmu seorang."

     Setelah Arden mengatakannya. Rasa bersalah yang menggerogotiku kian membesar. Aku merasa sangat egois, merasa bahwa hanya aku satu-satunya yang merasa bersalah atas segalanya. Penyesalan terbesar kami semua pasti sama—terutama aku dan Arden. Sebab pada saat itu kami berdualah yang paling kaut dan mampu, kami berdualah yang berada paling dekat dengan Leah. Seharusnya—setidaknya—salah satu dari kami bisa menyelamatkan Leah dari maut. Tetapi kenyataannya? Kami tidak bisa.

     "Jadi, apakah ceritamu untuk bisa sampai di sini sangat amat panjang?" tanya Arden.

     Saat aku mendongak, aku melihat raut wajah jenaka Arden yang biasa. Aku tersenyum kecil, mau tak mau. "Ya, tetapi aku akan singkat saja."

     Kepalaku berputar pada kata-kata yang telah berkali-kali dikatakan Kadarius. Cerita yang mesti aku kumandangkan pada siapapun yang bertanya. Tidak perlu mendetail, hanya membuat mereka percaya bahwa hal yang kau ceritakan benar-benar menimpamu.

     Diculik penjahat, yang mengira bahwa aku adalah orang yang mereka cari. Tentu aku menceritakan bahwa aku melawan sebelum mampu melarikan diri, terlantar berhari-hari bersama korban yang lain di rumah sakit, menunggu siapapun untuk menjemputku dan Avgustin ternyata datang untukku—dia memang datang untukku tetapi dalam cerita yang berbeda, yang sesungguhnya—aku kembali ke Sector Tres, tapi tidak menemukan Acres atau siapapun. Kukatakan pada Arden, Cincin Identitasku disita Avgustin selama di Sector Dva, karena marah aku berniat kabur.

     "Jadi aku ancam saja Avgustin supaya mau memberikanku izin pergi kesini dengan atau tanpa dia," kataku. Kuharap ekspresiku memadai. Aku mengendikkan bahu. "Avgustin akhirnya setuju, dengan syarat aku akan dikawal." Sepertinya ceritaku lumayan berhasil untuk Arden, karena dia mendengarkan dengan serius, menanggapai disaat-saat yang tepat. Kuharap.

     "Kau ingat wajah orang yang menculikmu?"

     Aku pura-pura berpikir, lalu menjawab dengan terbata-bata. Tak yakin. "Aku ... tak ingat. Petugas medis menemukan ada benjolan dan memar pada kepalaku. Semuanya kabur dalam kepalaku ... Aku sudah dimintai keterangan oleh UrsaMayor, tapi akhirnya mereka menyerah. Aku jelas tak berguna bagi mereka."

     "Syukurlah, kau tahu Yuri dia—," sesaat muncul semburat merah di pipi Arden, tetapi menghilang secepat datangnya. Seingatku Yuri adalah sosok yang diam-diam dicintai Arden. Salah satu pemain Radeon Sector Dva. "Dia juga ditanyai macam-macam oleh UrsaMayor. Beruntung juga dia tak tahu apa-apa."

     "UrsaMayor memang mengerikan." Terutama setelah aku hampir ketahuan oleh mereka beberapa saat yang lalu di Tembok Perbatasan. Aku tak mau mengingatnya lagi. Aku menyadari bahwa waktuku kian menyempit. "Bagaimana Acres?" Dimana dia? Kenapa kalian bertengkar? Apa yang kalian ributkan?

     "Tak baik," jawab Arden. Raut wajahnya segera berubah menjadi serius. "dia memang mengurusi kami lebih baik daripada sewaktu di Sector Tres, bersikap dewasa, sok kuat," Arden menekan tempat diantara alisnya, kebiasaan turun temurun yang sudah amat kukenal. Keluarga Arhaki selalu melakukan gerakan itu ketika sedang frustasi, stres atau kesal. "Tapi, kami semua tentu tidak sebodoh yang dia kira, dia remuk redam sama seperti kami semua. Bahkan mungkin lebih parah. Kau sendiri tahu bagaimana abangku ketika dia sudah mulai kambuh, aku sudah muak melihatnya begitu."

     Tentu saja aku tahu. Melampiaskan segalanya ke dalam pekerjaan yang dia tekuri, menangis diam-diam dalam kegelapan, sifat keras kepala yang sudah bercokol dalam dirinya sejak masih kanak-kanak akan semakin mengakar. Menjengkelkan, sekaligus membuat iba orang-orang di sekelilingnya.

     Namun Acres tentu tak mau mengakui, dia semata-mata akan semakin berang saat ada orang yang mengungkit-ungkit kelemahan dirinya. Dia tak sudi dianggap begitu. Acres selalu menganggap dirinya kuat berjalan sendirian, kuat menahan gempuran yang tak terduga.

     Dulu dia siap, sekarang keadaannya berbeda.

     "Dia bahkan memutuskan untuk minggat dari sini tak lama lagi."

     Aku terhenyak, tak menyangka Arden bakal berkata begitu, tak juga menyangka Acres berpikiran begitu. Tanganku mencengkram mantel yang masih kukenakan, aku lupa melepaskannya atau lebih tepatnya aku tak mau Arden melihat rambutku yang sudah kehilangan warna. Sekarang, wajahku pasti juga begitu. "Apa?" tanyaku dengan suara gemetar.

     "Bedebah itu mulai sinting!"

     "Arden!" Tegurku.

     Rahang Arden berkedut, dia menjentikkan jari. Seketika selubung rahasia—yang bisa mengelabui kamera-kamera pengawas aktif. Aku tahu sebab sisi-sisi buram diatasku, pada langit-langit buatan, memperdengarkan getaran yang sama seperti Glass Gate ditelingaku. Jikalau Arden mengaktifkan selubung ini, dia pasti ingin mengatakan sesuatu yang rahasia. Aku menatapnya dengan was-was. Kalau saja roman mukanya lembut sedikit dengan ikal-ikal keemasan pada rambut. Niscaya Arden akan kukira Acres. Tetapi Arden lebih tinggi, lebih berisi, lebih tempramental ketimbang Acres. Arden terbiasa mengutarakan apa yang ada di kepalanya secara blak-blakan.

     "Apa?" dia menggeram. "Memang benar dia begitu! Semua yang dia katakan membuatku ingin memukul kepala batunya, sehingga dia memiliki kesadaran akan apa yang dia ucapkan, barang sedetik saja. Dan kau—Ellie—kau pasti akan menganggapnya begitu juga. Tahu kenapa?" Arden tidak memberiku waktu untuk berpikir atau menjawab. "Permukaan. Edan benar dia! Kukira sudah lama dia melupakan tempat yang mustahil dipijaki itu. Tetapi, ternyata omong kosong itu masih ada di dalam kepalanya. Semakin hari, semakin menjadi-jadi saja omongannya."

     Permukaan. Acres memang sudah merencanakan hal itu sejak lama, bahkan nasehatku sendiri tidak mampu menghentikannya. Dulu satu-satunya peganganku hanyalah bahwa Acres akan melupakan obsesinya itu dengan menyibukkan diri mengurus pekerjaan, serta empat saudara yang mesti ditanggungnya seorang diri.

     Sekarang, tak ada lagi alasan untuk bertahan lebih lama. Acres memang gila, nekat. Namun apa yang sekiranya dilakukan Acres hingga membuat Arden marah besar seperti sekarang ini.

     "Apa yang direncanakan Acres?" tanyaku menyuarakan isi kepala.

     "Ohio!"

     "Ohio?" Aku membeo.

     Setahuku Ohio merupakan nama kapsul yang mengangkut para Tech pilihan untuk memperbaiki pipa penyulingan air yang diambil dari kedalaman tanah di Permukaan. Biasanya pemerintah melakukan pengecekan satu atau dua kali selama lima tahun. Tahun ini jelas Ohio takkan diberangkatkan kemana-mana. Acres takkan mungkin bisa ikut menjadi regu dari Tech pilihan itu. Kecuali ... perutku rasanya terputir kencang.

     "Dia akan mencuri, Ellie," kata Arden, suaranya goyah. "Mencuri dari pemerintah. Bukankah itu gila?"

     Tentu saja itu lebih daripada gila! Apa yang akan dilakukan Acres adalah bunuh diri. Aku ingin menjerit begitu, tapi aku merasa dicekik oleh tangan tak kasat mata. Ada satu hal lagi yang memperparah keadaan. Para Tech itu—yang dikirim untuk memperbaiki pipa-pipa—banyak dari mereka tak kembali, kalaupun mereka kembali—hanya segelintir yang berhasil sampai di Pheasen. Namun tentu saja hal ini juga tidak memberi keuntungan apapun, sebab mereka yang sebagian ini, kembali dalam keadaan sekarat. Sudah tak tertolong lagi. Entah karena luka dari sesuatu yang tak bernama atau karena terlalu lama terpapar radiasi. Dari rekaman serta pengakuan mereka sendiri, beberapa meter dari Permukaan saja, sudah berbahaya apalagi sampai berkeinginan untuk menjajaki tanah tandus nan mengerikan itu.

     Dan sekarang Acres berniat untuk mencuri Ohio demi tujuannya? Aku takkan membiarkan ini terjadi.

     "Di mana Acres?" rasa mual menguasai perutku, memenuhi mulutku dengan liur berasam, pelipisku berdenyut-denyut seirama jantungku. Kalau aku tidak menemukan Acres dengan segera. Aku bisa meledak disini.

     "Kau mau bicara dengannya?" dengus Arden, melihat reaksinya, dia pasti sudah mencoba—berusaha membujuk Acres. "Percuma saja."

     Tapi aku sudah menyela, serius dan marah. "Beritahu aku dimana Acres."

     Perintah bukan pertanyaan.[]

Total : [1784 words]

'Ello long time no see! (ノ^o^)ノ
Oh, ya hampir lupaaaa, HAPPY PRIDE MONTH!

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro