
T H I R T Y - F O U R [Repost]
MATAKU mengikuti air berwarna merah karena darah, air itu menuju satu-satunya tempat yang pasti dituju—saluran pembuangan. Dengan gerakan kagok tanganku meraba bahu di mana anak panah yang di tembakkan oleh orang mengerikan itu bersarang.
Aku tidak menemukan lubang atau garis yang bergerigi seperti bekas luka Acres. Bahuku sembuh, mulus, seolah tak pernah tersakiti. Walaupun begitu, aku tetap saja bergidik ngeri saat otakku mengirimkan sensasi yang direkam, ketika anak panah menembus daging bahuku. Saat ini yang jemari kurusku temukan hanyalah tulang selangka yang menonjol. Membuatku lega sekaligus berpikir, bahkan tanpa diet ketat dari Avgustin pun, tubuhku tetap saja menolak untuk menambah berat badan.
Memang siapa yang peduli, Ellie? Tak ada.
Aku menunduk makin dalam, membiarkan kepalaku diguyur air dari shower. Seberapa keraspun aku mencoba untuk bersikap baik-baik saja. Dalam kepala dan hatiku tidak demikian. Pikiranku carut marut, sama halnya seperti rambutku yang kusut.
Sekarang apa?
Aku tak tahu.
Tenang. Tenang. Berpikir secara perlahan-lahan. Tarik nafas, hembuskan. Ingat apa yang Indira katakan padamu, setiap harinya, setiap jamnya, di tengah-tengah gempuran mimpi buruk dan latihan. Lepaskan semua, dia bilang. Jangan ditahan-tahan. Maka itulah yang aku lakukan. Biarpun menyakitkan, kurunut satu persatu apa saja yang terjadi di Sector Dva. Hubunganku dan Acres sudah tak tertolong lagi, itu sudah jelas. Saat ini mungkin Acres sudah menjalankan rencananya, tak peduli jika ketiga Arhaki menentang kehendaknya secara mentah-mentah.
Aku yakin Islee-lah yang akan berusaha paling keras untuk menentang Acres, atau, setidaknya dia pasti berusaha. Acres bukan tipe orang yang bisa digoyahkan pendiriannya. Saking gigihnya, dia lebih cocok disebut egois, dan, dia memang seperti itu.
Padahal kalau aku dan Acres, atau salah satu dari kami mau mengalah ...
Nyatanya kami sama-sama egois. Tak rela untuk melepas janji.
Kukumpulkan semua kemarahanku, merasakannya mengalir ke seluruh pembuluh darahku, terus dan terus naik lalu kukeluarkan melalui helaan nafas. Sekarang, apapun yang Acres putuskan bukan urusanku lagi. Sama sekali bukan urusanku. Biar saja dia makin menyesal. Biar saja dia membusuk di Permukaan.
Dengan hati-hati karena tak mau menekan tombol yang salah, jari telunjukku berupaya untuk tidak gegabah memberi puluhan tombol itu kepalan tangan. Selagi bau harum pinus yang menyegarkan keluar bersama busa yang melimpah. Lidahku bergerak untuk memeriksa setiap sudut mulut. Paxtof tahu aku sering menggigiti daging pipiku. Saat perjalanan kemari pemuda berhati lembut itu menyembuhkan luka itu tanpa banyak bertanya, tetapi sekarang setelah kebaikan hati Paxtof, aku kembali melukai daging bagian dalam pipiku. Paxtof takkan senang, bukan berarti dia tak mau menyembuhkanku lagi. Paxtof hanya ingin aku berhenti melukai diri sendiri.
"Aku tak bisa," kataku pada Paxtof saat dia membahas tentang kuku-kuku yang habis kugigiti, daging pipi terluka atau lebih parahnya memar-memar di lenganku sebab sering kucubit. "Lagi pula, bukan aku saja yang melakukannya."
Paxtof memberiku tatapan tajam. "Kalau begitu sebutkan siapa saja mereka."
Aku melambaikan tangan dengan enteng. Padahal aku sendiri menahan tangis. "Sudah jelas bukan? Orang-orang seperti aku."
Paxtof menggenggam tanganku, mata cokelatnya yang cair seperti madu mengunci tatapanku. "Kau tahu bahwa masih ada begitu banyak orang yang tergantung padamu kan Ellie? Masih ada orang yang menyayangimu. Aku, Korain, Yorick, Denaya, jangan sampai aku menambahkan Indira," aku tertawa muram. Paxtof tidak tersenyum. "Aku serius, Ellie. Kami semua menyayangimu. Jangan pernah berpikir satu kalipun bahwa kami tidak peduli padamu."
Aku menepuk tangan Paxtof dengan lembut. Sudah cukup. "Iya, aku tahu," kataku.
Paxtof mengecup dahiku. "Jadilah gadis kuat."
Aku kuat. Sedari dulu aku juga begitu. Benarkan?
Kutekan pilihan tombol air yang berbeda, kali ini air keluar dari pancuran dengan semprotan paling menyakitkan. Aku tidak berkelit. Memang itulah yang aku inginkan. Segera saja busa, serta segala kotoran lainnya mengalir dari tubuhku, hanyut bersama dengan air.
Lepaskan semua, lalu kunci hati serta pikiranmu. Jangan pernah biarkan mereka kembali lagi.
Aku mengusap air yang memedihkan mata, menghalangi indera pengelihatanku. Kutatap bayanganku sendiri pada kaca yang buram oleh uap air panas. Gadis pada bayangan itu balas menatapku dengan garang, bibirnya mengatup rapat penuh tekad. Matanya meneriakkan keinginan dan perjanjian. Jangan meratap. Tak perlu merengek-rengek. Jangan lihat kebelakang. Jangan pernah lagi. Terus maju, gempur, selesaikan.
Lebih cepat, lebih baik.
Saat gadis di cermin tersenyum. Aku seperti tak mengenali bayanganku sendiri. Aku tersenyum amat lebar, sampai-sampai aku berpikir, aku pasti sudah sinting.
Dua hari kemudian, aku berjalan dengan punggung tegak dan dagu terangkat. Menyiapkan Jadrové bahkan sebelum Indira dan para Void lainnya datang ke arena. Aku tak memerlukan belas kasihan siapapun. Jadi ketika para Void datang, mereka tidak menanyaiku macam-macam selain memberiku pelukan hangat yang tidak hanya menenangkan hati, tetapi juga—seolah-olah mereka—dengan tangan serta hati mereka yang hangat telah mengembalikan setengah dari jiwa dan semangatku yang menguap kemarin. Keberadaan mereka dengan warna rambut yang beragam alhasil membuatku berpikir. Kalau rambut mereka bisa bernuansa cerah seperti itu, kenapa aku tidak?
"Misimu bagaimana?" tanya Yorick tiba-tiba, kami semua masih melakukan pemanasan. Aku melihat Paxtof melotot dari balik punggung Yorick.
Aku menyeriangi, secara perlahan melemaskan otot lenganku. "Lumayan."
"Aku tahu kau pasti menjawab seperti itu," ujar Korain sembari terkekeh ringan, dia sedang pamer kelenturan kakinya dengan melakukan gerakan splint secara sempurna. Sementara kedua tangannya tak tinggal diam, masing-masing menyentuh ujung kedua kakinya semudah dia mengumbar senyumnya yang teramat tampan—setara dengan orang-orang Sector Wan.
Aku mengendikkan bahu dan tersenyum kecil. Senyumanku ini bukan hanya ditujukan untuk Yorick dan Korain, tapi juga Paxtof. Aku bisa mengatasinya. Seketika kerutan pada wajah Paxtof menghilang, dia kembali memfokuskan diri untuk meladeni ocehan Yuuto—Lichas yang kadang datang hanya untuk belajar pada Indira. Paxtof harus berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Yuuto. Begitu Yuuto membuka kepalan tangannya. Kobaran melalap tangan anak itu, tapi dia tidak berjengit, Paxtof juga. Rupanya Yuuto sedang memamerkan kemampuan Lichasnya.
Pandanganku bergeser dari Paxtof ke arah dua sosok yang berdiri berhadapan, masing-masing memasang wajah cemberut. Tidak ada yang mau mengalah. Sihan pasti sedang bersikeras mencuri sedikit gosip dari Indira, yang tentu saja merupakan tindakan sia-sia. Sihan selalu menyempatkan waktu untuk menganggu ketenangan Indira.
"Kau melewatkan tanding mingguan di arena," kata Denaya mengalihkan perhatianku.
Aku melewatkannya. Tentu saja begitu. Aku terlalu lama menghabiskan masa luka hatiku untuk sembuh dengan mengurung diri di Trib. Berpikir tentang ini dan itu. "Jadi bagaimana—maksudku pertandingannya?" dengan bunyi keretak pelan, Denaya nyengir—tak lagi terlihat canggung di depanku—dia secara terang-terangan memamerkan pusaran air di atas telapak tangannya. Warna yang sangat kontras sekali dengan kulit serta pakaiannya. Membuatku serta merta tahu jawabannya. "Kau ikut," kataku, seringian Denaya makin melebar saja. Malah saat ini dia kelihatan bangga, "dan kau menang."
Yorick yang sedari tadi hanya menyimak, menggerang, secara terang-terangan dia membenci pernyataanku yang tentu saja benar adanya.
"Kenapa?" kekeh Denaya. "Aku tentu boleh pamer pada Ellie akan kehebatanku kemarin. Benar bukan Ellie?"
"Iya." Sahutku. Tidak masalah aku memang butuh pengalih perhatian.
Yorick dan Korain secara bersamaan mengeluarkan penyumbat telinga yang berupa chip kecil berisi lagu-lagu. Denaya tidak senang dengan kelakukan mereka berdua, tapi walaupun begitu dia tetap saja nyeroscos, menceritakan kemenangannya yang hebat. Melawan seorang pemuda dengan kemampuan mirip dengan Yorick—pantas saja tadi pemuda bermata emas itu kesal setengah mati—mungkin yang dikalahkan Denaya adalah seseorang yang sudah amat dikenal oleh Yorick.
Dengan penuh lagak Denaya menceritakan bahwa untuk melawan seorang Lethal, seseorang seperti Yozita. Dia hanya perlu pasak-pasak es dan sebanyak mungkin keringat lawan untuk mencelakakan diri lawan Denaya sendiri. Kedengarannya memang brutal dan buas. Kemudian aku menyadari kebenarannya. Memang seperti itulah Denaya—seperti itulah para Lichas lainnya. para Void atau Lichas biasa tak ada bedanya, mereka semata-mata dipisahkan oleh garis keturunan. Yang satu campuran, yang satunya murni.
Aku benci ini. Benci karena harus berada di antara mereka.
Jangan menyalahkan siapapun, yang salah disini adalah diriku. Arus ini bergerak karena aku, lalu menggerakkan aku, menghanyutkan aku terus melewati puluhan peristiwa yang tak mungkin aku hindari. Akankah aku kehilangan orang-orang yang kusayangi demi mengarungi arus itu?
Tentu saja. Sudah pasti begitu.
Sebab itulah aku harus berhenti terpuruk, bangkit saja terus walaupun hatimu tercabik-cabik sedemikian mengerikannya. Aku tidak peduli, aku harus begitu. Sekarang peganganku satu-satunya adalah apa yang ada di sekelilingku saat ini, apa yang selalu menjadi pemikiranku selama dua hari kemarin.
Lebih cepat, lebih baik.
Jadi sewaktu sesi pemanasan selesai dan suara Paxtof bergema dari Ruang Kendali ke seantero arena merasuki gendang telingaku, menyatakan kalimat yang sama setiap awal latihan. "Menang atau kalah, dua-duanya ada ditanganmu. Bertekadlah!"
Dulunya aku berpikir Paxtof hanya berusaha memberiku semangat. Sekarang, aku lebih dari mengerti. Paxtof memilih kata-kata itu bukan hanya sekadar dia gunakan sebagai kata sambutan atau penyemangat. Kata-kata itu memang dimaksudkan untukku. Untuk membangkitkan sesuatu dalam diriku, untuk mengingatkan aku, supaya tidak mudah menyerah.
Aku menyandang Jadrové dengan mantap. Memeganginya erat-erat. Kulayangkan senyuman paling mematikan pada Indira yang sudah bersiaga. Kali ini aku sudah bertekad, tak peduli jika aku ini hanya manusia biasa atau Void atau bahkan seorang Lichas. Aku tidak akan meratapi kemalanganku.
□•□
Aku memperhatikan tangan cokelat keemasan Paxtof meluruskan jari-jariku yang bengkok. Patah gara-gara salah memperhitungkan strategi Denaya. Saat itu kupikir aku sudah pasti berhasil memberi wajahnya pukulan, ternyata yang disasar oleh kepalan tanganku bukanlah daging yang lembut, tetapi dinding es yang keras.
Aku tidak sempat mengumpat apalagi menjerit, sebab Denaya keburu menghempaskanku dengan amat keras ke dinding arena yang berupa pelindung sejenis Glass Gate tetapi tidak seberbahaya kubah mengerikan itu. Udara tersembur dari dadaku seketika, bersama batuk darah dan tentu, tulang punggungku tidak baik-baik saja.
Kesimpulannya, tekadku belum sempurna benar.
"Kau benci ini?" tanya Paxtof, rupanya dia salah menebak arti dari ekspresi yang saat ini terpampang pada wajahku.
"Tidak," sahutku cepat, terlalu cepat malahan. Saat Paxtof memberiku pandangan mencurigai, aku mengendikkan bahu. Teringat akan ajaran Indira. "Nanti diluar sana pasti lebih mengerikan daripada ini."
Paxtof diam sejenak, menunduk dan kembali menekuri pekerjaannya. "Memang, tetapi terkadang—adakalanya—bisa saja lebih mudah." Di akhir kalimat Paxtof menghela napas, memberi kesan seakan-akan dia lelah mengharapkan keadaan yang mudah seperti yang baru saja dia katakan, atau memang mungkin seperti itulah kebenarannya.
Namun dia tidak mengatakan apapun lagi, semata-mata menyelesaikan sentuhan terakhir yang menyejukkan untuk mengakhiri proses penyembuhan jemari tanganku. "Sudah selesai," desah Paxtof, dia kembali seperti dirinya yang sesungguhnya. Tanpa menebak-nebak pun aku tahu apa yang akan Paxtof katakan selanjutnya. "Sekarang, sesi latihan dengan Indira."
Biasanya setiap kali Paxtof mengingatkan aku akan neraka yang sesungguhnya bernama Indira, aku akan berusaha keras untuk tidak menggerang, sehingga yang keluar hanya embusan napas kasar berupa dengusan semata. Tetapi saat ini aku melompat bangun dari Ven, bergegas berjalan keluar dari bilik mendahului Paxtof. Paxtof pura-pura tidak melihat reaksiku. Aku pura-pura menungguinya dengan bibir merenggut. Tidak sepenuhnya pura-pura, tapi bisa dibilang begitu.
Aku tahu Paxtof sengaja berjalan lambat-lambat, supaya aku kesal dan mengatakan alasan dibalik perubahan sikapku. Tapi aku sudah memutuskan untuk tidak mengatakan apapun tentang rencanaku pada Paxtof, bisa-bisa dia tidak memperbolehkan aku dengan bersikap seperti layaknya seorang Ayah pada anaknya.
Namun Ayah yang aku tahu sudah tiada, mati dengan membebankan impiannya di pundakku. Lagi pula—selain itu—aku sudah merasa muak diilhami serta dituntun seperti seorang bayi.
Kaca Tabung Lift bergeser terbuka, dengung Glass Gate, cahaya matahari dari sela-sela daun dan udara segar menyambutku. Untuk sesi latihan dengan Indira, para Void sepakat untuk memberiku keleluasaan dengan berlatih di udara terbuka. Paxtof sendiri yang menyarankan tempatnya. Dan tidak ada yang keberatan.
Seperti yang aku duga Indira sudah menunggu. Dia tidak repot-repot menghampiri kami, aku juga tidak repot-repot menyapanya. Tetapi tidak dengan Paxtof, sebelum pergi dia menyapa Indira, tersenyum padanya. Walaupun hanya dihadiahi kedutan di ujung bibir, Paxtof sama sekali tidak keberatan.
"Nih!" Indira melemparkan botol kecil seukuran jari telunjuk saat Tabung Lift yang membawa Paxtof menghilang dari pandanganku. Aku menangkapnya dengan satu tangan. Dalam botol itu berisi cairan keemasan, yang mengeluarkan bau hangat seperti campuran jahe dan musim semi. Namanya Dust. Aku meneguknya tanpa ragu. Aku tak merasakan apapun ketika cairan tersebut menuruni kerongkonganku, tetapi aku senang rasa dari Dust menempel di seluruh bagian mulutku.
Aku mau meminum obat itu karena dua hal, pertama Dust itu lumayan nikmat. Dan yang kedua karena tuntutan. Dust difungsikan untuk menstimulasi bagian otak yang berisi tentang ingatanku akan Sector Zero. Dust diberikan padaku tak lama setelah laporan yang seharusnya diterima Avgustin dariku tidak kunjung ada. Sebenarnya Avgustin sendirilah yang ditugaskan untuk memberikan obat ini padaku, tetapi sepertinya dia tahu bahwa Indira akan membuatku meminum Dust tanpa beradu argumen terlebih dahulu. Pilihan yang cerdas sebenarnya, tapi tetap saja menjengkelkan.
Aku melempar kembali botol yang sudah kosong pada Indira. Gadis bermata kelam itu menangkapnya, menaruh botol itu ke salah satu gantungan pada sabuk yang dikenakan olehnya. Tidak seperti Pheasen, di sini kami mesti berhemat akan banyak hal, terutama barang-barang, bahkan yang bekas sekalipun tidak diizinkan untuk dibuang. Segala macam hal yang ada disini didapatkan secara ilegal dari Pheasen, tapi Korain jelas-jelas tidak setuju akan tanggapan itu. Dia mengatakan kami masihlah penduduk Pheasen, dan kami berhak mengambil apa saja dari tanah kami sendiri.
Alasan yang bagus. Tetapi pencuri tetaplah seorang pencuri. Dan aku menggunakan barang-barang dari para pencuri.
Luar biasa.[]
Total : [2095 words]
Acres, I lost you
But i found me
So, i win
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro