Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T H I R T Y - F I V E [Repost]

"KAU mengalami kemajuan yang bagus," Indira melepas jaket, mengikatnya menjadi simpul di pinggang. Memperlihatkan tubuh ideal yang dibalut oleh kaos abu-abu tanpa lengan. Pada lengan kirinya mataku menangkap tato yang berupa merak mekanik. Tato itu juga mengeluarkan berbagai warna yang sama seperti bulu merak yang diperlihatkan Darf pengetahuan umum. Campuran biru, hijau berminyak atau sesuatu seperti itu. Aku tak pernah menanyakan arti dari tato-tatonya. Aku memang tidak akan pernah menanyakannya. Sama sekali bukan urusanku.

"Terima kasih. Berkat bantuanmu," kataku. Aku tidak melebih-lebihkan, aku bisa menguasai ilmu bela diri, pertahanan serta berbagai cara untuk menggunakan senjata-senjata yang seberbahaya penampilannya. Semua hal itu aku dapatkan dari Indira. Jadi layak saja aku mengucapkan terima kasih padanya.

Indira menggerakkan lehernya yang kaku, diikuti oleh anggukan pelan. Dia tidak bermaksud untuk menanggapi pujianku, tetapi untuk menyatakan bahwa pertandingan dimulai. Dan karena hal inilah aku lebih menyukai Indira ketimbang Paxtof. Indira tidak akan pernah menceramahiku terlebih dahulu, dia akan langsung bertindak, membiarkan aku mempelajari apa yang salah dan apa yang perlu diperbaiki secara langsung.

"Apa yang kau ketahui tentang Lodestar?"

Aku ingin menjawab. Tukang sabot profesional. Mengikuti julukan edan Korain pada setiap jenis Lichas. "Neuron otak berevolusi, membuat telekinesis itu memungkinkan terjadi. Mampu memindahkan segala macam benda hanya dengan pikiran tapi tidak bisa menciptakan seperti Apex. Droid merah."

Indira menyingsingkan lengan kaos. "Bagaimana dengan Avian?"

Karena aku tidak memakai jaket, hanya menggunakan kaos ungu yang sudah kotor dan menggelap terkena cipratan darah, dari latihan sebelumnya di beberapa tempat. Tanpa berkata apapun lagi aku memasang kuda-kuda, tatapanku tertuju pada Indira, fokus padanya.

Aku teringat Harendra. Kaki seribu, tubuh bebal, dengan mulut seperti kena malware. Yang terakhir itu lagi-lagi julukan dari Korain. "Punya massa otot kaki lebih kuat serta kebal. Kaki mereka lincah. Menjadikan diri mereka pelari yang handal."

Indira mengangguk puas. "Sekarang fokus."

Alis pink lavender Indira mulai berkerut. Dia terkejut akan kewaspadaanku saat ini, biasanya aku tidak segan menyerang secara membabi buta tanpa perhitungan, tetapi kekagumannya itu hanya bertahan sesaat, sebab kemudian Indira mulai bergerak, bukan untuk menyerang tetapi bergerak seperti predator yang menanti lawannya dengan sabar.

Kali ini dia memutuskan untuk bertarung secara sungguhan denganku. Saat aku mengangkat tangan memposisikannya di depan dada, Indira juga melakukan hal yang sama. Aku mengikuti gerakan kaki Indira ke arah yang berlawanan, sehingga kami seperti Kadarius dan Xaya ketika di arena-bergerak memutar-saling mengukur-ngukur seberapa akurat tendangan atau pukulan akan mengenai titik lemah lawan. Siapa yang akan lebih dahulu menyerang ...

Aku tak bisa menunggu selamanya.

Kaki belakangku berhenti dengan tekanan, tanganku melepas sepatu yang kukenakan, melemparkannya ke wajah Indira. Tepat mengenai muka Indira dengan keras. Tubuh Indira mundur selangkah-terkejut. Aku memanfaatkan momen itu dengan melancarkan tendangan menyamping, berniat menyasar rusuk Indira. Namun rupanya Indira dengan cepat mengendalikan situasi. Gadis itu tidak berkelit tetapi menangkap kakiku, sebelum dia sempat membanting tubuhku. Aku menggunakan kaki yang satunya sebagai senjata rahasia. Kupukulkan sekeras mungkin pada rahang mengagumkan milik Indira, terdengar bunyi berderak yang sudah tak asing di telingaku.

Indira terhuyung ke arah kiri dan kakiku secara otomatis terlepas dari cengkraman tangan celaka Indira. Kalau saja aku tidak mempunyai refleks yang bagus, sudah dapat dipastikan tubuhku akan jatuh ke lantai, dengan wajah terlebih dahulu.

Terengah-engah, aku menegakkan tubuh, bersiap untuk menghadapi pembalasan. Seperti yang aku duga, Indira menyeriangi seram, meludahkan darah dan mungkin-kalau aku tidak salah lihat-bersama dengan satu gigi ke lantai yang mengejek dengan berdenyar indah terus menerus.

Walaupun aku sangat ingin melakukannya, aku tidak membuang-buang waktu untuk balas menyeriangi atau semacamnya, sudah cukup aku dikelabui karena lebih sering mengutamakan pertunjukan pamer.

Kedua tanganku mengambil SwitchBlade yang tersembunyi di sisi tubuh. Melemparkannya dengan keakuratan tingkat tinggi ke arah Indira, dimaksudkan untuk menyasar perut serta kakinya. Selagi Indira menghindari SwitchBlade-ku, aku bergerak cepat ke samping-ke arah titik buta Indira. Mengambil satu belati lagi yang tersembunyi pada sepatu botku.

SwitchBlade berdesing, membelah udara. Kurang cepat-Indira keburu berkelit-tetapi ternyata cukup ampuh membuat telinga Indira mengucurkan darah. Kali ini Indira tidak bereaksi akan seranganku, dia mengambil SwitchBlade yang tergeletak begitu saja, menggunakannya untuk balas menyakitiku.

Satu sudah dapat aku tebak, satunya hanya menyerempet kain kaos yang kukenakan.

Aku dan Indira sama-sama memperpendek jarak dengan saling jegal. Indira mengayunkan SwitchBlade yang tersisa hanya beberapa senti saja dari daguku. Aku mencengkram pergelangan tangannya yang membawa SwitchBlade dengan kuat.

Mata gelap Indira bersinar geli. Biarpun aku merasa terkena setruman listrik dari kemampuan Indira, aku mengabaikan rasa kesemutan itu sebisa mungkin, semata-mata menggertakkan gigi. Aku menyeruduk perut Indira, SwitchBlade jatuh berkelontangan ke lantai. Aku bisa merasakan udara tersembur dari paru-parunya. Aku memanfaatkan momentum itu untuk memberi Indira pukulan lain, tapi Indira kembali berkelit bahkan saat dia masih kesusahan bernafas.

"Lumayan, Ellie." geramnya lalu memberiku pukulan bermuatan listrik. Sontak membuatku terkejang-kejang. Belum cukup sampai di sana, kepalan tangannya yang bercincin menyasar pelipisku.

Brengsek!

Aku langsung tumbang, sakitnya luar biasa. Terutama karena jemari Indira dipenuhi oleh cincin logam. Aku masih sempat berkelit dari serangan terakhir Indira. Sehingga SwitchBlade yang diarahkan lurus-lurus kewajahku, berdesing dekat telingaku, pecahannya memental ke pipiku, menggoresnya. Aku sebenarnya masih mampu melawan, tapi pelipis yang kena kepalan tangan Indira berdenyut dan pengelihatanku berkunang-kunang. Aku juga masih belum pulih benar dari sengatan listrik Indira. Aku bahkan tidak sadar, jika saat ini Indira sudah menduduki perutku, menekan lenganku dengan lutut kakinya.

Indira menyeriangi, memperlihatkan mulut berdarah dan gigi ompong hasil karyaku. Telinganya juga. "Jangan hanya fokus pada satu hal, Ellie," ejeknya.

Aku menggerang, merebahkan kepalaku, pengelihatanku masih berputar dan memejamkan mata. Kalah lagi. "Akan kuingat."

Kegelian dalam suara Indira menghilang secepat datangnya. Dia kembali menjadi Indira yang serius. "Kerja bagus hari ini," katanya sembari membantuku untuk duduk. Aku duduk, masih dengan mata terpejam, tanganku meraba kening, tidak terkejut saat merasakan benjolan dan sedikit darah. Bagus sekali. Paxtof bakal senang menyembuhkanku. Indira memikirkan hal yang sama. "Akan kupanggil Paxtof."

Tanpa berpikir aku mencengkram lengan Indira. Walaupun rasa sakit pada pelipisku menjengkelkan minta ampun. Aku takkan membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. Sebab aku tahu, sekali Paxtof dipanggil ke sini, maka dia akan menempeliku sampai aku tiba di Tribku sendiri dengan selamat. "Jangan dulu. Aku mau bicara. Berdua saja."

Hening.

"Aku selalu bertanya-tanya kapan kau akan mengatakan hal tadi padaku," Indira bergumam. Dia melepas kaosnya, membentuknya menjadi gumpalan lalu menempelkannya pada telinganya yang mengucurkan darah. Untuk hari ini, aku tak perlu iri pada perut enam kotak Indira. Sebab aku menyadari bahwa yang tadi Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah dia katakan padaku. Tetapi kalimat selanjutnya merupakan sebuah kejutan sekaligus membuatku menyadari kenapa aku pada akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan yang lebih cepat. "Tentu saja, Ellie. Aku juga ingin mengakhiri semua ini secepatnya."

"Satu hal lagi," aku terbata-bata, "karena kau yang mengajariku-"

Tentu saja Indira salah satu pengajarku, dasar payah! Satu alis Indira terangkat, dia tak senang aku mengulur-ngulur waktu. Indira tidak mengerti jikalau aku masih belum terbiasa mengutarakan sesuatu yang sangat pribadi padanya.

"Aku bukan penggosip, Ellie," kata Indira tak lama kemudian. Ujung matanya mengerling pada sekeliling kami. Maksudnya jelas. Tempat disekeliling kami bebas dari mata-mata mesin. Indira bisa dipercaya.

Pernyataan dan gerak-gerik Indira membuatku bernafas lega, walaupun tidak sepenuhnya. Aku langsung saja berkata-kata, "Kadarius mengatakan padaku bahwa apa yang terjadi di Arcade Illysiumstone bukan bagian dari rencana kalian. Bukan perbuatan kalian. Dia mengira jika itu adalah ulah orang yang lain yang memanfaatkan keberadaan kalian sebagai kedok dari kejahatannya." Secara paksa kubuka mataku-walaupun hanya satu-kuberi Indira tatapan yang paling galak. Alangkah beruntungnya aku, bahwa bukan tempat di mana Gamma terpasanglah yang kena kecupan cincin besi Indira. Namun lebih daripada itu, aku harap-harap cemas Indira tak mendengar betapa kencangnya detakan jantungku sekarang. Dengungan Glass Gate ikut sumbangsih dalam mempercepat denyut sakit pada pelipisku yang bengkak. "Aku ingin mendengar yang sejujurnya darimu. Katakan padaku yang sebenarnya, Indira."

"Kenapa kau ingin tahu?"

Apapun itu, sebelum aku mendapat apa yang kuinginkan. Indira tak boleh mengetahui alasanku yang sesungguhnya. Tak lama kemudian aku mengecap rasa yang sudah tak asing di lidahku ketika menjawab. "Bukankah sudah jelas untukmu? Kita sama-sama tidak menyukai Kadarius dan segala hal ini."

Kalaupun terkejut akan jawabanku, Indira tidak memperlihatkannya. "Tentu saja," katanya suram. Setelah terdiam beberapa detik, Indira melanjutkan. "Kadarius benar tentang setengah dari apapun yang terjadi di Arcade Illysiumstone. Ledakan itu sama sekali bukan bagian dari rencana. Setengahnya lagi ..." Ujung bibir Indira berkedut. Membuatku berpikir jika dia senang dirinya tahu kejahatan Kadarius. Pasti inilah yang dia ancamkan pada Kadarius sebelumnya-pada pertemuan pertama kami di Trib pada waktu itu. Apa katanya? Aku bisa lebih berbahaya dari perkiraanmu, Kadarius. Dan Kadarius menghiraukannya.

"Pada awalnya Paxtof dan aku tidak menyetujui cara Kadarius untuk memanfaatkan Pertandingan final Radeon sebagai kedok. Terlalu klise. Terlalu mudah dibaca. Tetapi Kadarius bilang jika Pertandingan final Radeon ini adalah kesempatan kita satu-satunya. Kami semua tahu, dia tak sudi menunggu tahun selanjutnya. Terutama karena masalahnya bukan hanya keberatan-keberatan kami atau betapa terpepetnya keberadaan kami. Namun lebih karena kau bukan Lichas, kami tak bisa membawamu dengan cara yang sama seperti saat kami menjemput seorang Neopyhte. Kalaupun Glass Gate melemah dan kami berhasil sampai di rumahmu. Cincin Identitaslah yang pasti membawa masalah bagi kami."

Lagi-lagi karena aku.

Namun aku sudah bertekad untuk berhenti menyalahkan diri sendiri. Bukan salahku jika aku lain dari Ayah, dari para Lichas. Aku sejujurnya senang, bahwa aku masihlah manusia normal. Seperti yang telah aku tinggalkan di Sector Tres. Seperti Acres. Tetapi bahkan Acres pun tidak sudi menganggapku demikian.

"Kami sudah berjaga-jaga akan adanya serangan, tetapi kami sama sekali tidak menyangka kalau targetnya bukan hanya kami. Licik benar memanfaatkan keberadaan kami untuk melakukan kejahatan keji. Aku senang mereka mati di hutan Nahari kemarin." Indira meludah. Aku tersentak saat matanya menemukan mataku. "Kau pasti sudah mengetahui, jika bukan hanya kami yang tahu dan menginginkan rahasiamu, bukan?"

Aku menangguk. Kadarius juga mengatakan tentang hal itu padaku. Namun saat aku bertanya siapa gerangan orang gila itu. Kadarius sama sekali tidak mampu memberikanku jawaban yang tepat. Dia hanya bisa menduga-duga dan sampai sekarangpun aku belum mendapat sesuatu dari dugaannya. Jika dulu aku merasa ketakutan, kali ini aku sama sekali tidak merasakannya. Perasaan tidak nyaman itu telah digantikan oleh rasa penasaran yang amat besar. "Aku tahu, tapi aku tidak tahu siapa dan mengapa."

Ternyata Indira memang orang yang aku butuhkan selama ini, sebab bukannya menghindar seperti Kadarius atau Avgustin. Indira menyambut kemuakanku dengan senang hati. Dia berkata dengan blak-blakan. "Kau berbahaya bagi Chrone, lebih berbahaya daripada kami-Para Lichas. Bahkan Pheasen juga menganggapmu ancaman. Kau tahu alasannya," sebagian besar karena ayahku. Sudah pasti. "Mereka was-was kalau suatu hari nanti kau kembali untuk membalas dendam atas kematian ayahmu."

Aku terbelalak. Hal itu tak pernah kupikirkan. Aku memang sudah beriak kepermukaan, untuk menjadi perantara bagi impian Ayah dengan mimpi para Lichas. Aku tidak punya ambisi semengerikan itu. Terlalu ambisius malah. Sama sekali bukan diriku. Dengan tegas aku berkata, menyanggah apa yang baru saja kudengar. "Mereka salah."

Diluar dugaan, Indira terkekeh mencemooh. "Meragukan diri sendiri, Gadis Dangkal?" Sebelum aku membuka mulut, Indira mendahului. "Tentu saja mereka akan benar!" Bentaknya. Dia melepas kaos yang digunakannya sebagai pengganti perban pada luka di telinganya dengan kasar. Begitu dilempar. Kaos abu-abu itu mekar, terbuka di atas lantai yang beriak-berdenyar seperti air-memperlihatkan noktah besar gelap dan basah karena darah.

Saat aku merasa mual dengan banyaknya darah itu, Indira justru tidak peduli. Dia semata-mata menyambar kain malang itu dengan sulur-sulur berkekuatan puluhan ribu volt dari kemampuan Lichas yang dia miliki. Vortex. Server hidup. Kaos itu sekarang hanya tinggal onggokan kain yang berlubang-lubang, menguarkan bau gosong yang menyengat hidung. Lebih memualkan di bandingkan noda darah sebelumnya. "Tak lama lagi, mereka akan menangkapmu atau setidak-tidaknya membuatmu hancur, sampai kau merengek-rengek menyerah dengan sukarela. Menyiksamu-"

"Cukup!" Kali ini giliran aku yang membentak. Aku sudah bertekad. Aku menghembuskan nafas secara perlahan. Pengendalian diri, desis pikiranku geram. "Tadi sudah lebih dari cukup, Indira. Terima kasih." Sudah mengingatkan aku pada apa yang sesungguhnya bakal kuhadapi.

Ekspresi wajah Indira sedatar permukaan lantai yang kududuki. "Kalaupun aku membenci Kadarius. Rasa benciku tidak sebanding dengan kacung bulukan Pheasen dan Chrone. Dalang dari apa yang terjadi di Arcade Sector Wan."

Indira bangkit berdiri, tanpa ambil pusing menginjak kaosnya yang sudah hancur. Seolah-olah dengan begitu dia menginjak orang yang ada dalam pikirannya saat ini. Aku bungkam, tahu jika Indira benar. Sebab jikalau Indira mengatakan segalanya bisa-bisa aku kelewatan lagi. "Kau hanya perlu mengingat ini, Ellie. Kita berlomba dengan waktu-selalu begitu-kalau kau tidak bertindak sekarang. Kemudian pada jalan di depan sana nanti, kau mesti siap digilas oleh kepedihan."

Yang itu, aku juga mengerti. Tetapi entah kenapa aku tidak bisa berkata-kata. Seakan-akan ada seseorang yang mencengkram jantungku. Erat sekali sampai kupikir aku bakal mati kalau tidak segera menyingkirkan tangan tak kasat mata itu. Namun nyatanya aku masih menatap punggung tegap Indira yang berbercak-bercak karena cahaya matahari dari sela-sela dedaunan, pada rambutnya yang sewarna langit pantai pada senja hari, serta kekuatan yang ada dalam diri gadis ketus itu.

Dengan susah payah aku bangkit, berjalan tertatih untuk ikut berdiri bersama Indira. Telinganya kembali mengucurkan darah, tetapi Indira semata-mata tidak tahu atau tidak peduli.

Aku menengadah, dengan sebelah mata yang bengkak. Menemukan kilauan GlassGate. Dengungannya menggetarkan hati. Aku bergumam pelan saja, tapi masih bisa didengar oleh Indira. "Lebih cepat, lebih baik."[]

Total : [2145 words]

How much sorrow can i take?

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro