Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T H I R T Y - E I G H T [Repost]

     "AURELLION, apa yang terjadi—"

     Aku menepis tangan Yorick, tidak kasar tapi cukup membuat dia melangkah mundur. Abdonmenku sakit luar biasa, aku sebal, ketakutan dan murka. Kombinasi yang sama sekali tak bagus. Suara geraman yang tak seberapa keluar melalui tenggorokanku yang sakit.

     Bergegas mendahului Yorick, menyeruak di antara para Lichas. Menapaki satu persatu anak tangga, mengikuti rute maps yang ditunjukkan Gamma. Dia melepaskan aku begitu saja. Membiarkan aku memutuskan. Aku takkan lagi membuang-buang waktu. Tidak apabila yang dipertaruhkan adalah nyawa keempat Arhaki.

     Aku mencapai tempat yang kutuju setelah bersusah payah menghindari gapaian tangan Yorick, mata penasaran dari Lichas yang tersisa, serta kondisiku sendiri. Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya aku menendang antar muka HoloScan pintu. Di ikuti oleh semburan percik listrik dan warna merah membutakan mata, pintu terkutuk itu bergeser terbuka. Pintu belum terbuka dengan benar saat aku menyelinap masuk, tangan Yorick berhasil menggapai pundakku. Percuma saja, aku sudah berada di sini. Kalau memang diperlukan aku akan menghajar Kadarius habis-habisan. Namun aku tidak menyangka bahwa yang ada di hadapanku saat ini bukan hanya satu orang ada.

     Pertama-tama. aku melihat Avgustin di pojok terjauh meja, Indira ada di seberang yang lain. Paxtof bahkan sampai berdiri dari duduknya begitu melihat aku. Masih ada banyak kepala yang tak kukenal.

    Aku menghiraukan semua itu, mataku jelalatan mencari, hingga akhirnya menemukan orang yang kucari.

     Berdiri di belakang salah satu kursi, dengan tangan yang dikaitkan di punggung. Sekejap aku melihat mata birunya melebar, tapi kemudian segera digantikan oleh rautnya yang biasa. Menaikkan satu alis yang sebelumnya hangus terbakar. "Aurellion?"

     Benda dingin pada genggamanku serasa memberat. Aku maju dengan langkah mantap, membuka mata lebar-lebar. Aku takkan berbalik. Aku tahu apa yang aku lakukan. Bukan salah siapapun. Seperti yang dia inginkan. "Kebetulan sekali kalian semua ada di sini. Saya punya sesuatu yang lebih penting untuk segera dibahas."

     Kalaupun Kadarius kesal dengan wacanaku barusan, dia dengan lihai menyembunyikannya. Lakukan sesukamu, Kadarius. Aku takkan peduli. Aku mengedarkan pandang, kira-kira semua orang memamerkan raut yang sama, antara penasaran serta tertarik. Aku mengangkat tangan, membiarkan kalung embunku dilihat jelas oleh semua orang. Avgustin sontak menegang dalam duduknya. Aku ingin menyeriangi, tapi sudut mulutku mulai sakit. Sudah tentu bengkak. "Apapun yang kalian cari ada di sini."

     Salah seorang Lichas berdiri dari duduknya. Menantangku dengan tatapan menuduh. "Apa-apaan?"

     Aku menggertakkan gigi. Tidak ada yang boleh mengacaukan hari ini. Tidak boleh satupun. Aku mengeraskan suara. "Kalian mau rahasia yang disembunyikan oleh ayahku bukan? Kalian mencari-cari sesuatu dalam kepalaku tapi tak kunjung menemukannya bukan?" Berbotol-botol Dust yang kuminum tanpa akhir. Cara yang sama sekali tak membawa perubahan. Benar. Percuma. Sebab kalian bodoh. Kalian hanya ingin mengambil sesuatu secara gegabah, hanya memikirkan rencana yang selalu menyakiti orang lain. Aku menelan kata-kata itu untuk diriku sendiri. Untuk kujadikan senjata kapan-kapan.

     Aku menengok ke balik bahu, pada Yorick, yang seolah-olah terpaku di atas pijakannya. Yorick tergagap begitu aku tatap, tapi aku mengeraskan wajah. "Yorick. Aku butuh bantuanmu."

     "Untuk dipecah 'kan?" Pengelihatanku beralih ke Paxtof. Dia melangkah perlahan menuju ke arahku. Mengulurkan telapak tangannya yang besar. "Biar aku saja."

     Aku mencari-cari tanda pengkhianatan di mata cokelat Paxtof tapi ternyata tak menemukan satupun. Dengan enggan kuserahkan kalung embunku, tanpa menyentuh ataupun berniat bersentuhan dengan tangan Paxtof. Takut-takut nanti dia menyadari gemetar yang menguasai tanganku. "Lakukan."

     Paxtof menangkupkan dua tangannya pada bandul kalungku, hingga hanya rantai peraknya saja yang kelihatan. Berayun-ayun bagaikan tali gantungan yang siap menjerat leher Acres apabila aku salah langkah. Aku mengerjap, segera tersadar sebelum kelepasan. Tidak boleh begitu, Ellie. Tidak boleh sampai seperti itu. Mengamati uluran tangan Paxtof padaku. Memperhatikan bandul kalung embunku sudah terbelah dengan mulus.

     Aku meraup pecahannya, menyingkirkan yang tak berguna, menaruh benda kecil yang seukuran mikro di atas telunjuk tanganku, memperlihatkannya pada orang-orang yang sudah menunggu. Aku berkata, "Lihat. Semuanya ada disini."

    "Ellie ..."

     Aku mengibaskan tangan, mengusir permohonan Avgustin seperti mengusir bau tak enak. "Yang kalian perlu lakukan hanyalah menghubungkan benda ini dengan Gamma pada pelipisku. Cara kerjanya hampir sama dengan cara para Tech memperbaharui data pada server atau ingin mengambil data yang sudah tersimpan lama." Kuberi Kadarius pandangan paling bertekad. "Kau pasti mengerti apa yang aku maksud."

     Kadarius membiarkan satu tangan sebagai tumpuan siku, jemarinya mengetuk-ngetuk dagu. Berpikir atau lebih tepatnya pura-pura berpikir. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, dia mengangguk, berkomentar singkat. "Menjanjikan. Patut dicoba."

     Aku menunggu dengan was-was sementara Indira bertanya. "Bagaimana dengan kalian?"

     Sementara aku disembuhkan oleh Paxtof. Sebagian Lichas berlalu lalang di sekelilingku. Entah sibuk untuk persiapan atau hanya penasaran, barangkali juga sama cemasnya seperti para Void.

     Korain juga ada, dia memberiku senyum jahilnya yang biasa. Seakan-akan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya tak pernah terjadi. Aku membalas senyumnya dengan hati yang menggeletar. Tahu pasti tidak akan seorangpun yang bakal mengalami nasib serupa. Denaya mengenggam tanganku, memberiku sebentuk dukungan, sebelum dengan kaku melangkah menjauh, menerima uluran tangan Indira. Tak lama kemudian Korain juga.

     Walaupun ada segelintir yang tidak setuju dengan metode lama yang amat beresiko, tapi lebih banyak yang setuju. Setelah perdebatan yang berbelit-belit dan memusingkan. Mereka akhirnya memutuskan bahwa, ideku patut dicoba. Seperti yang dikatakan oleh Kadarius.

     Kadarius. Dia berada tepat di sebelah antar muka holo yang bakal memproyeksikan apapun dalam pikiranku. Merembugkkan entah apa dengan seorang pria paruh baya, yang bisa saja kuanggap mereka Ayah-anak saking miripnya, tapi tentu saja tidak begitu. Tonia dan Kadarius sama-sama dari Sector Wan. Tentu saja mereka punya pesona yang hampir-hampir sama. Kadarius sepertinya menyadari sedang diperhatikan karena dia berhenti berbicara, menengok aku dari balik bahunya.

     Aku mengatupkan bibir, dan memalingkan wajah.

     Berikutnya giliran Paxtof yang akan pergi. Aku menyadari hal itu sebab rasa sakit di sekujur tubuhku telah lama lenyap, hanya tersisa rasa kebas yang bukan berasa dari hajaran yang sebelumnya kuterima. "Semua akan baik-baik saja, 'kan." Paxtof bergumam di sebelahku, menaruh sebutir permen ke dalam genggaman tanganku.

     Aku ikut-ikutan bergumam. "Kita lihat saja nanti."

     Paxtof menelusupkan satu buah permen lagi ke dalam genggamanku, sembari berbisik setengah bercanda. "Kau takkan mengambil hati perkataanku yang kemarin dulu itu, 'kan?"

     Aku memutar-mutar bola mata. "Sampai jumpa, Paxtof."

     Tanpa ragu-ragu Paxtof mencondongkan tubuh, mengecup pelipisku. "Sampai jumpa, Ellie."

     Aku mengikuti kepergian Paxtof dengan hati merana. Makin gelisah begitu perhatianku teralihkan oleh keberadaan orang-orang yang berkerumun. Pakaian mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang saat ini kukenakan. Kaos yang dibalut jaket futuristik, celana dan sepatu bot mengkilap. Yang menjadi pembeda hanyalah umur, warna mata, rambut serta Gear yang melingkar pada lengan mereka. Para Lichas itu memperhatikanku dengan penuh minat. Aku seharusnya sudah terbiasa diperhatikan seperti itu, tetapi entah mengapa kali ini aku merasakan keinginan kuat untuk meremas tanganku kuat-kuat.

     Keinginan itu terhenti begitu aku menemukan wajah murung para Void. Pipiku berkedut ingin memberi mereka senyum menenangkan, tetapi perutku keburu mengejang. Seluruh permukaan wajahku seperti habis disentuh oleh kemampuan Denaya.

     Aku punya tekad yang kukira akan sangat mumpuni untuk menghadapi kebenaran yang akan datang sekejap mataku memandang. Namun lebih dari semua hal yang terjadi belakangan ini. Aku tetap saja merasa tidak siap.

    Tetapi apa bedanya, Ellie? Kata-kata itu menghantamku seketika. Mengingatkanku akan sebuah peringatan. Tak boleh lagi ada keraguan, tak boleh lagi mengulur-ngulur waktu.

     "Bernapas, Ellie," kata Kadarius saat dia menempelkan satu kabel di bawah tulang selangkaku.

     Aku mengembuskan napas patah-patah yang memalukan. Pertanyaan yang keluar dari mulutku berikutnya bahkan lebih memalukan. "Apakah sakit?"

     Gerakan tangan Kadarius berhenti sesaat, andaikata aku tidak memfokuskan konsentrasi padanya, aku pasti luput menangkap kekakuan itu. Detakan jantungku semakin menjadi-jadi sebab melihat keraguan itu. Belum lagi jenis senyuman yang dia perlihatkan. Senyum palsu yang selalu diberikan para petugas kesehatan untuk mengalihkan perhatian pasien dari keadaan yang sebenarnya mereka hadapi.

     "Tergantung," dia akhirnya berkata, selagi tangannya dengan cekatan menyambungkan kabel dari Gamma miliknya ke Gamma pada pelipisku. Aku tersentak pelan, begitu merasakan sensasi yang mirip dengan otakku disedot. Ini bukan apa-apa. Setidaknya, itulah yang aku katakan untuk menghibur hatiku yang makin gelisah. Mataku jelalatan, memperhatikan apapun supaya teralihkan. Di belakang Kadarius muncul kursi yang mewujud begitu sana, tanpa berkedip Kadarius duduk di sana, sembari mengangguk pada Tonia. Tonia menekan-nekan beberapa kombinasi angka dan nomor di hologram monitor, lalu beranjak dengan sopan. Meninggalkanku saja berdua dengan Kadarius.

     Begitu kaki Tonia menginjak undakan terakhir, muncul selubung mirip Glass Gate di sekeliling panggung tempat Ven yang kutiduri, sesaat setelah menyaksikan puluhan hologram di sekeliling ruangan menjadi buram berbintik-bintik. Ada yang bergetar dalam kepalaku, warna Gamma pada pelipis Kadarius yang semula berwarna biru, berubah menjadi hijau begitu pula dengan kabel yang menghubungkan kami. Di tengah rasa kantuk yang datang tiba-tiba, aku menggumamkan beberapa patah kata yang aku sendiri tak yakin bakal didengar oleh Kadarius, "Kubah?"

     "Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan," jawab Kadarius. Suaranya perlahan sayup-sayup, layaknya gema suara yang berasal dari jauh.

     Kukerjap-kerjapkan mata. Usaha yang sia-sia untuk melawan kantuk. Mulutku kian kaku, tapi setidaknya aku berhasil suara sebelum tenggelam ke antah berantah sepenuhnya. "Aku takut."

     Ada yang menggenggam tanganku, jemari-jemari yang asing terjalin dengan jemariku. Hangat.

     "Tak perlu takut. Hadapilah," bisik sebuah suara. Bukannya mendengar suara Kadarius, dengan terguncang aku menyadari bahwa yang kudengar, tak lain tak bukan suara dari Acres sendiri. Tetapi sudah terlambat untuk membuka mata dan mengecek kebenarannya, sebab seluruh pengelihatanku memburam dan aku menjadi buta.

     Begitu data Darf itu berpindah pada Gamma di pelipisku, aku tahu bahwa harapan untuk mendapatkan kehidupanku di Sector Tres kembali, menjadi semakin terbatas. Kenyataan itu menakutkan, sama menakutkannya ketika mataku terbutakan oleh keburaman layar, telingaku berdenging, respon biasa sebelum memperdengarkan suara-suara yang mulai bermunculan.

     Bisik-bisik yang tak lama lagi bakal kutahu nyata adanya.

     Hal pertama yang aku lihat adalah siluet seorang pria, sedang beradu argumen dengan siluet lain. Aku menggapai, bermaksud melihat lebih jelas, tetapi ketika aku melakukan hal itu. Bayangan tersebut menghilang seperti kepulan pasir yang diterbangkan angin. Berganti ke adegan lain. Kali ini gambarnya lebih jelas. Bergerak mundur secara konstan, seperti putaran film yang di ulang.

     Hadapilah.

     Di sinilah aku. Tidak melawan. Hanya memperhatikan apa yang dilakukan Kadarius dalam pikiranku, pada memori yang ditinggalkan oleh seseorang untukku.

     "Dia bersikeras," ujar wanita yang menggandeng tangan seorang anak perempuan, dengan wajah cemberut nan familier. Suara wanita itu lembut, tetapi berwibawa. Dengan langkah pelan wanita itu melangkah ke arah si pria, memasang cemberut sama pada si anak perempuan. Namun si pria tidak menolak saat dipeluk. Mata si wanita memburam menjadi suatu emosi penuh ketidakberdayaan, dia sekarang menangkup wajah pria bermata menyeramkan itu. Sekejap melupakan keberadaan anak perempuan yang cemberutnya segera saja berubah menjadi senyuman terpaksa. Memperhatikan orang dewasa yang sedang bersedih. "Apa yang harus kita lakukan, Alac?"

     "Cailynn ..." Alac menggeleng bahkan sebelum Cailynn menyelesaikan kalimatnya. Kutebak mereka pasangan suami istri dan anak itu, sudah tentu anak mereka. Aku menunggu Alac mengatakan sesuatu yang lebih mencerahkan daripada hanya sekadar teguran lembut, tetapi tidak ada satupun kalimat semacam itu yang keluar dari mulutnya selain, "Semuanya akan baik-baik saja."

     Omong kosong.

     Dan Cailynn tahu itu.

     Aku sendiri tahu, Alac lebih dari berdusta.

    Mungkinkah karena anak mereka ada di sini? Orang dewasa selalu menutupi segalanya dari anak-anak. Seperti yang sering dilakukan Avgustin. Tidak segala hal, hanya hal-hal yang buruk atau buruk sekali. Sekarang, apapun yang terjadi di sini pasti sama buruknya dengan memar keunguan di bawah kedua mata Alac. Dan kemudian aku menyadari sesuatu, Darf yang menyala di atas meja kerja di belakang keluarga malang itu. Aku sudah terlalu sering melihat antar muka holo itu di Institut, mempelajarinya sendiri sampai aku bosan. Bedanya, wilayah yang terpampang di atas sana bukan Pheasen. Sama sekali bukan. Wilayah asing, peta rumit yang takkan bisa kuemngerti andai saja aku tidak berkonsentrasi.

     Namun bahkan dengan ketidaktahuan itu, aku bisa menebak holo itu semacam laporan, atau penanda sesuatu yang telah menimpa suatu wilayah baru-baru ini.

     Titik-titik merah hampir memenuhi setiap petak, hampir mendekati gedung inti.

     Situasi yang gawat.

     Barangkali serangan, gencatan senjata atau lebih buruknya pemberontakan. Sebuah aksi yang selalu tidak akan menghasilkan apa-apa selain korban jiwa. Kemenangan atau kekalahan, kedua belah pihak pada akhirnya hanya akan sampai pada titik yang paling rendah dari sisi kemanusiaan mereka. Hal itu kupelajari secara langsung, dan bukan dengan cara yang menyenangkan.

     "Papa, apakah benar-benar berbahaya berpergian saat ini?" Pertanyaan anak perempuan itu bukan hanya mengejutkan aku, tapi juga kedua orangtuaku. Kentara sekali dari raut wajah mereka, yang kosong, bimbang dan takut. Terutama Alac. Dia mengerutkan alisnya, anaknya melanjutkan sebelum Alac bisa menuduhkan prasangka apapun padanya. Tatapan serta gestur dari pria itu mengingatkan aku pada Acres. Yang bisa merasakan kebohongan semudah dia menemukan tempat persembunyian rahasiaku yang aneh. "Semua orang bilang begitu."

     Alac mendudukkan anaknya di atas meja, tatapannya memantulkan sesuatu tetapi aku tak pernah mampu membacanya. "Memang berbahaya, Ellie," Alac berkata dengan suara lembut, tatapannya keras dan tegas. Cailynn berdiri di samping Alac, memeluk dirinya sendiri. Insting seorang Ibu pasti ingin selalu melindungi putrinya dari kemarahan orang lain bahkan jika itu suaminya sendiri. Hanya saja kali ini dia tidak akan melakukan apapun, karena aku tahu, dia takkan bersikap seperti itu andaikata si anak perempuan tidak bersikeras. Ini kemauan si anak dan karena ini kemauannya maka dia harus menyelesikan masalah ini tanpa bantuan dari Cailynn.

     "Ingat dengan peraturan yang Ayah tulis?"

     "Papa, ini sekalinya aku bertemu denganmu setelah sebulan lamanya," anak perempuan itu ngotot, upayanya untuk membela diri.

     Alac menghembuskan nafas, lalu mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin udara. Gestur yang bisa kumengerti. "Papa juga rindu padamu," jemari Alac menoel pipi anaknya, tersenyum. "Tetapi perasaan itu hanya bersifat pribadi, individual. Sementara peraturan itu dibuat dengan memikirkan keselamatan banyak orang. Termasuk dirimu. Kau mengerti bukan, orang yang mementingkan dirinya sendiri di atas kepentingan orang lain, adalah orang yang jahat." Aturan. Aku tidak pernah membenci aturan. Selama aturan itu menguntungkan aku. Aku takkan memprotes. "Kalau sudah tiba saatnya nanti, Papa pasti akan pulang. Seperti kemarin dulu lagi."

     "Oke," sanggup anak perempuan itu dengan polos. "Aku ingin Papa pulang, setidaknya satu kali dalam dua minggu. Aku bosan bermain catur dengan kakak. Dia selalu bermain curang. Papa juga harus berjanji untuk tidak membuat aku, atau Ibu atau siapapun cemas. Apa gunanya Papa punya Cincin Identitas kalau bukan untuk berkomunikasi?"

    "Oh, Aurellion." Cailynn menyapukan rambut platinum anak perempuan itu, memberinya kecupan hangat di dahi.

     Seketika hatiku bagai disengat racun. Kepalaku memberat, berdenyut-denyut selaras dengan detak jantung.

     Aku. Anak perempuan itu adalah aku. Betapa tololnya aku tidak menyadari hal itu.

     Alac atau Ayahku—Oh betapa anehnya kata-kata itu, bahkan saat aku mengucapkannya melalui mulut yang tertutup. Alac memberi aku anggukan, mata hijaunya bersinar penuh tekad. "Akhir sudah semakin dekat, Aurellion. Takkan lama lagi."

    Aku tidak memiliki kesempatan untuk berkata-kata. Kadarius yang menggerakkan aku, aku hanya penonton dari apa yang dia gali. Dari apa yang terjadi pada masa laluku.

     Gerakan yang dipercepat itu terhenti tepat di tengah-tengah kepungan kabut yang memperpendek jarak pandang. Aku memperhatikan sekeliling. Hari langit kemerahan telah pergi. Tetapi tidak ada yang peduli dengan perubahan nan janggal itu. Mereka terlalu panik untuk berhenti sebentar atau bahkan berkomentar. Aku tidak perlu lama mencari dimana Alac. Karena sesaat dia seakan-akan muncul dari dalam kabur, memeluk aku di gendongannya. Cailynn ada di belakang mereka. Aku menyadari dengan ngeri jika saat ini mereka berlari semata-mata bukan tanpa sebab.

     Aku tidak mungkin salah mengenali kilauan itu. Tidak di manapun. Walaupun armor UrsaMayor yang ini jauh berbeda dengan yang sekarang.

     Mereka banyak sekali.

     Lari. Aku menjerit dari kekosongan. Lebih cepat.

     Aku tahu apa yang kulakukan sia-sia, tetapi aku tetap saja melebarkan langkah, berlari, menggunakan diriku sendiri untuk menghalau serangan dari UrsaMayor terdekat. tapi malah membuat hati serta pikiranku berpindah perspektif. Aku terumbang-ambing di gendongan Alac. Merasakan mataku panas, bukan karena disebabkan oleh kabut. Bukan. Tentu saja tidak. Ada sesuatu yang menekan hatiku, menyesakkannya. Mataku terfokus pada Cailynn, melihat bagaimana tangannya bergerak selaras dengan pendar kehijauan di belakang kami.

     Dia seperti Avgustin. Lichas.

     Tercengang.

    Samar-samar, perlahan, aku bisa mengerti, merasakan apa yang dirasakan aku yang kecil. Aku takut, ingin menangis keras-keras tapi menahan luapan emosi itu karena tak ingin Cailynn terluka atau panik. Jadi tangan-tangan munggilku hanya mencengkram kerah jaket Alac, seolah-olah hanya itulah satu-satunya peganganku di dunia yang akan runtuh. Karena memang seperti itulah kenyataannya.

     Sekumpulan orang bergabung bersama ibuku, membanjir dari sisi kiri dan kanan. Dan begitulah, hanya sampai di sana. Hanya sampai di tempat itu aku melihat Cailynn.

     Alac sama sekali tak pernah menengok atau memang dia tak sanggup. Aku tak pernah tahu kemana tujuannya, tetapi dia terus berlari dengan kecepatan penuh di antara reruntuhan dan gelimpangan benda lainnya—aku tak mau melihat atau bahkan memastikan warna merah merona itu—yang ada dipikiranku hanya kata-kata terakhir yang diteriakkan Cailynn padaku. Kupeluk leher Alac erat-erat, dadaku terasa nyeri. Entah kenapa aku tahu bahwa Alac akan melakukan hal yang sama. Alac takkan mampu hidup tanpa belahan jiwanya. Dia tentu mencintai Cailynn. Sudah tentu, tak perlu lagi dipertanyakan.

     Tetapi bagaimana denganku?[]

Total : [2722 words]

Here we go again ...

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro