Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T H I R T H Y - T W O [Repost]

      UNTUK sesaat aku takut sekali Acres sudah berada entah di mana, kemungkinan terbesarnya di tempat pemerintah Sector Dva menyimpan Ohio. Sudah siap dengan perlengkapan canggih, sudah siap menjemput maut tanpa berpikir panjang.

     Aku menggertakkan gigi. Coba saja kalau dia bisa. Takkan kumaafkan dia selamanya, kubiarkan saja dia membusuk di Permukaan. Namun aku tahu, bukan hal itu yang aku inginkan. Dan kenyataan itu membuatku makin terombang-ambing.

     Arden mengatakan Acres melarikan diri ke taman yang biasanya sering digunakan oleh anak-anak Sector Dva untuk bermain saat waktu luang di siang hari. Sekarang malam, tentu taman itu sudah kosong melompong. Dugaanku benar, ketika aku melihat tempat yang dimaksud Arden, tempat itu memang sesepi rumah Acres yang berada tak jauh dari sini. Tetapi aku tak melihat seorangpun di sana. Sama seperti aku, Acres tentu tak suka menjadikan tempat terbuka sebagai tempat persembunyiannya. Jadi aku melompati pagar yang hanya setinggi pinggang, melihat-lihat tempat yang pasti digunakan Acres untuk bersembunyi.

     Saat aku melewati ayunan, dan beberapa jenis mainan yang tidak kukenali. Aku menangkap ujung dari sebuah sepatu, asalnya dari dalam corong berbentuk kubah yang biasanya anak-anak gunakan untuk berteduh atau bermain petak umpet.

     Aku bergegas ke sana tanpa ragu-ragu. Suara langkahku yang berisik membuat Acres menengok siapa yang datang. Dalam kegelapan, mata emasnya seperti mata robot kucing yang biasa kami berdua perbaiki ketika di Sector Tres dulu. Terkejut. Buru-buru dia keluar dari tempat persembunyiannya, berjalan terseok-seok kearahku.

     Ketika sosok itu makin kudekati, aku sudah siap lari kalau-kalau wujud Acres sama seperti apa yang kulihat di mimpiku. Namun dia tak berdarah-darah, masih tampan seperti seharusnya, masih murung, masih kurus, tetapi aku tahu—seperti aku, seperti yang lainnya—dia telah berubah.

     Dan segera saja setelah melihat sosoknya dengan teramat jelas. Aku tak sanggup berlari kearah Acres untuk menghajarnya. Sebaliknya aku berlari, lalu memeluk tubuhnya yang kurus, seerat saudara-saudaranya memelukku.

       Saat dia balas memelukku, dengan sama eratnya. Aku mengembuskan napas dengan lega. Kurengkuh Acres sebanyak yang lenganku mampu. Kubenamkan hidungku di atas kain lembut mantelnya, mencium dan menghirup segala sesuatu yang kurindukan dari Acres. Aroma tubuhnya yang seperti logam terbakar dan kopi.

     Bahunya yang lebar, lehernya, rambutnya, segalanya.

     Saat Acres melepaskanku, aku baru menyadari bahwa dia memelukku sampai kaki-kakiku tidak memijak tanah. Aku memang lebih kuat dan tinggi dari Acres, tetapi bukan berarti dia tidak bisa menggendongku atau mengangkatku dari tanah Pheasen. Dia bisa dan kalau tidak, dia pasti akan mencoba.

     "Acres ..." Aku mengeluarkan suara tercekik. Antara tangis, dan sejuta perasaan lainnya. Sama seperti aku, mata emasnya menelisik seluruh bagian wajahku dengan rakus, membuat kata-kata yang sesaat yang lalu aku tahan-tahan, jadi tumpah ruah tak mampu aku cegah, terbata-bata. "Acres, aku ... aku rindu sekali padamu. Maafkan aku. Aku tak bisa menyelamatkan Leah. Aku menghilang begitu saja setelahnya. Aku jahat, egois, tak tahu diri."

     Setelahnya aku teringat akan tujuanku yang sesungguhnya, apa yang telah diperingatkan Arden padaku. Aku mencengkram pundak Acres, kutatap dia dengan sungguh-sungguh. "Kumohon jangan menyalahkan dirimu sendiri. Jangan lagi. Kalau kau sedih, kau sekarang bisa salahkan aku, kau bisa—"

     Acres merangkum dua pipiku dengan tangan-tangannya yang sedingin salju. Kalung pemberianku yang semula tersembunyi, kini terlihat, berkilauan. Ocehanku berhenti seketika. Mata emasnya yang indah, kenapa mata itu begitu indah dan terbuka? Jantungku serta merta bertambah detaknya hingga dua kali lipat saat menyadari wajah Acres mendekat, bukan karena antusias. Tidak, perasaan ini lebih karena takut. Takut, sebab aku tahu semua gerak-gerak ini akan berakhir bagaimana. Namun aku tidak menghindar, aku balas memandangnya dengan berani. Acres jangan ... aku berteriak melalui mataku.

     Tetapi nyatanya, kali ini Acres semata-mata tak peduli.

     Dia memiringkan wajah sedikit, lalu kurasakan hidungnya menyentuh kulit pipiku, dan aku serta merta memejamkan mata—reaksi spontan—saat merasakan bibir Acres di atas bibirku. Kurasakan ibu jarinya mengelus pipiku, jemarinya yang lain dekat sekali dengan leherku. Tanganku bimbang antara ingin mendorongnya menjauh atau merangkulnya mendekat.

     Namun sebelum aku memutuskan pilihanku, Acres menjauh, menyudahi ciumannya yang bahkan tak bisa dianggap sebagai ciuman. Hanya bibir yang menempel di atas bibir.

     Dia berkata dengan bisikan, sepelan angin musim dingin yang membekukan hidungku. Pipiku menghangat karena sentuhan Acres, karena aku merona. "Ellie, aku pikir—aku mencintaimu."

     Kemudian meledaklah aku. Bukan aku, tetapi perasaanku. Bimbang, bimbang dan pada akhirnya takut, lalu kembali bimbang.

     "Aku ..." Apakah aku mencintainya? Aku dengan gamang mencari perasaan tersembunyi itu dalam kepalaku—hatiku. Memang ada kasih sayang yang aku berikan pada Acres, tetapi—seperti yang pernah aku katakan pada Indira—aku terus menerus memikirkan Acres, takut untuknya, khawatir untuknya, semata-mata karena aku menyayanginya—mencintainya seperti cinta kepada seorang sahabat, rekan, keluarga. Tak lebih daripada itu. Atau bagaimana jika bagian yang itu memang tak pernah kulihat selama ini, tak pernah aku sadari ada. Bagaimana jika aku membuka hati?

     Sudah terlambat. Acres sudah tahu jawabannya bahkan saat aku masih mencari-cari.

     Acres menggeser tatapannya dari mataku, ke dahiku. Kehangatan di pipiku menghilang, menguap bersama udara dingin. Sesuatu yang menggebu-gebu di mata Acres yang kulihat tadi kembali ke tempat persembunyiannya. Tak perlu dijawab.

     Acres berdiri tegak, tetapi tidak memperlebar jarak. "Ellie," dia memulai dengan lembut, "keputusanku sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Tentang Permukaan, tentang janjiku pada Ayah dan Ibu."

     Mereka sudah entah berada di mana, tak mungkin mereka peduli denganmu lagi! tetapi walaupun begitu, jika menyangkut tentang orangtua Acres. Aku sadar diri. Memikirkannya saja sudah cukup membuatku teringat akan nasib orangtua kandungku sendiri di Sector Zero. Entah mati karena apa. Nanti setelah aku pulang, aku akan tahu.

     Namun aku takkan pulang ke Hutan Blax.

     Aku mengenggam tangan Acres, menaruhnya kembali di pipiku. Tindakanku barusan membuat Acres terperanjat. Dulu aku tidak memikirkannya, sekarang aku mengetahui apa yang aku inginkan. Semua ini kulakukan supaya aku tidak cemas, supaya aku tidak merasa bersalah, supaya aku tak kehilangan siapapun lagi. Masa bodoh dengan Kadarius atau Lichas haus pengakuan mengerikan itu. Sekarang, aku tidak lagi ragu. "Aku pergi denganmu."

     Tak kusangka Acres menampikku begitu cepat. "Ellie, jawabanku tetap sama seperti tiga tahun yang lalu."

     Sama seperti tiga tahun yang lalu, ketika aku memohon padanya untuk membuang jauh-jauh impian terlarang itu. Saat aku gagal, aku meminta jawaban tentang apa rencana yang akan Acres lakukan untuk mewujudkan impian gilanya. Acres juga tidak memberi tahuku dengan gamblang. Dia malah menyuruhku untuk mencari caraku sendiri. Aku sudah menemukan caranya, cara ini melibatkan persetujuan dan janji menunggu dari Acres. Namun ketika Acres masih berpegang teguh pada caranya sendiri, caraku mustahil terjadi.

     "Acres, tolong jangan ... dengarkan aku, dengarkan aku dulu." Aku geragapan mencari kata-kata. Sedari dulu aku memang payah dalam usaha untuk menghibur atau bahkan membujuk seseorang. "Jangan hanya berpikir tentang jangka pendeknya, tetapi juga apa yang akan terjadi selanjutnya, selanjutnya dan selanjutnya." Aku menatapnya dengan tajam. Duniaku serasa oleng. "Saudaramu, kau berjanji padaku untuk memikirkan mereka. Kau mengaku bersalah saat itu."

     Acres mengeryit, balas menatapku sama tajamnya. "Aku tidak akan meninggalkan mereka."

     Kemudian aku melihatnya. Melihat maksud dari perkataan Acres.

     Dia bermaksud mengajak mereka ikut serta.

     Dulu aku mungkin akan menyetujuinya. Namun setelah Arden membeberkan tentang Ohio, dan rencana Acres untuk mencurinya. Rasa-rasanya aku ingin menjerit, memukul, mencakar. Apapun itu supaya Acres tahu dia sudah tak tertahankan.

     Arden benar, Acres sudah tak waras.

      "Acres, Indra masih tujuh tahun. Bagaimana kau ..." tega benar dia. Aku menampar dadanya. Dasar tolol! "Aku takkan membiarkanmu melakukannya."

     Acres menangkap tanganku, mencengkramnnya erat sekali sampai-sampai aku meringis. "Aku kakak mereka, Ellie. Bukan kau."

     Aku menggeram buas. "Kalaupun aku bukan kakak mereka, mereka tetap saja orang yang aku sayangi. Coba saja, Acres! Takkan kubiarkan. Akan kubawa mereka—"

     "Kemana?" Matanya berkilat-kilat, wajahnya merah padam. Aku tak tahu apakah Acres merona atau marah atau dia begitu karena udara dingin. Barangkali ketiganya.

     Dia menelengkan kepala, menatapiku dengan intens—mengintimidasi—tak termaafkan. Antara rasa sakit dari cengkraman tangan Acres yang hampir meremukkan tanganku sendiri atau rasa sakit dari tatapan Acres. Aku tidak bisa memutuskan mana yang lebih parah. Napasku berubah pendek-pendek.

      "Kau tahu pembunuh Leah ada di antara orang-orang itu, dan sekarang kau berniat membawa tiga saudaraku yang tersisa menyongsong kematian juga? Begitu?"

     "Acres ... apa?" Aku membelalak. Tanganku terkulai ke sisi tubuhku, begitu juga dengan tangan Acres. Lagi-lagi kehangatan direnggut dariku, tetapi saat ini dengan permanen. Aku merasa ngeri sampai-sampai tak berani untuk menyentuhkan kulitku pada kulit Acres. "Aku tidak—siapa yang kau maksud?"

     "Kau seharusnya tahu, kau payah sekali berbohong." Suaranya bagai guntur pada bulan Agustus. Menggetarkan tulang-tulangku, merontokkan pertahananku. Membuatku takut. "Kau pikir aku bakal diam begitu saja tanpa mencari tahu, tanpa membalas kematian Leah? Begitukah? Kalau begitu kau keliru! Aku tak seperti kau yang asyik—terlena—bermain opera sabun dengan orang-orang biadab itu!"

     "ACRES!"

     Ekspresi penuh kemarahan Acres hilang seketika begitu aku membentaknya. Dia menjadi muram, jengkel dan sakit hati. "Betulkan. Sekarang saja kau membela mereka."

     "Acres aku sama sekali tidak begitu, aku—" Aku apa? Kedengarannya aku memang begitu.

     "Apa? Bahwa kau juga terikat janji pada mereka? Kau terikat janji pada mereka sampai-sampai mereka mau menggiringmu kesini. Menggiringmu kesini dan hanya untuk membujukku, menjebakku lagi?"

     "Aku kesini karena kemauanku sendiri, karena aku rindu padamu, aku khawatir tentangmu!" Malangnya, seberapa keraspun aku menolak. Acres benar. Sebagian besar dia tidak salah memperhitungkan maksud dari kedatanganku ke Sector Dva. Aku tak mau lagi mengumbar-ngumbar janji. Aku hanya membantu para Lichas, bukan berada di pihak mereka. Namun sepertinya percuma saja aku menjelaskan pada Acres.

    Aku terhuyung mundur, menggelengkan kepala. Tiba-tiba aku merasa murka. Baru beberapa saat yang lalu kami berpelukan, saling melepas rindu, bahkan ciuman dan pernyataan cinta.

     Semua itu ... apakah semua itu hanya sandiwara untuk membongkar apa yang kusembunyikan dari Acres? Kalau iya darimana dia tahu? "Jangan sembarangan mempercayai orang, Acres," desisku.

     Acres mencibir. Tak pernah aku melihat wajahnya semenghina itu. Setidaknya bukan ditujukan padaku. "Jangan sembarangan mempercayai orang, Ellie," cemooh Acres mengikuti nada suaraku. "Lihat Ellie. Demi mereka, kau mengata-ngatai dirimu sendiri, menjerumuskan kita berdua. Aku berusaha memperbaiki keadaan. Dan kau malah merusaknya!"

     Memperbaiki keadaan dengan apa? Membawa saudaranya yang masih punya cukup rasa waras ikut dalam misi yang gila? Aku memang merusak segala-galanya, tapi aku menyesal, aku berniat menebus kesalahanku, dengan membantu Acres. Membawa mereka ke Hutan Blax bukan pilihan yang salah. Benarkan? Tidak. Aku sudah memikirkan semua ini secara masak-masak. Acreslah yang merusak segala sesuatunya disini. Aku coba menjelaskan, coba membantu.

     Aku ... rasanya aku ingin sekali memukul sesuatu. "Ini rumit, Acres. Mengertilah ...."

     "Oh, tentu aku akan mengerti." Acres mengeluarkan tawa yang serak dan entah kenapa gemanya menyayat hatiku. "Lalu siapa lagi yang bakal dibantai oleh mereka. Siapa selanjutnya?"

     "Tak ada yang bakal dibantai!!" Aku berteriak sekarang. Aku sudah muak. Tidak bisakah Acres mengerti?

     "Pembohong!" Acres balas menudingku.

     Katakan itu pada Kadarius, Avgustin dan para Lichas brengsek itu. Katakan saja pada mereka. Ingin sekali kusemburkan nama-nama itu didepan wajah Acres, tetapi nyatanya aku menggertakkan gigi. "Kalau begitu, kau bisa marah padaku selamanya, aku akan menerima. Tetapi tidak begini juga," kukuku yang pendek karena habis kugigiti setiap malam, membuatku makin kesal karena tak bisa kugunakan untuk melukai telapak tanganku sendiri. "Kau tidak bersungguh-sungguh bukan?"

     "Aku bukan pembohong seperti kau," dia berkata tanpa berpikir, membuat pertahanan terakhirku pecah berkeping-keping. Mata emasnya berkilat-kilat menyeramkan saat dia mengatakan kalimat selanjutnya. "Akan kubuat mereka menyesal, akan kuhancurkan mereka!"

     "Kalau begitu sekalian saja kau bunuh aku sekarang," sergahku. Biar aku tak perlu melihat mereka hancur, dan terutama supaya aku tak perlu melihat kau dan Islee, Arden, Indra tenggelam dalam kesengsaraan. Aku memang jahat, tetapi tidak sejahat Acres.

     Walaupun aku tidak menggunakan nada yang menyakitkan. Acres tetap saja berjengit, setelahnya wajahnya melembut barang sedikit. Sesuatu yang menyembul keluar dari mantelnya, tak mungkin bisa luput dari pandanganku. Bandulnya berkilat-kilat dalam pencahayaan taman. "Tidak. Kau tahu aku takkan pernah mampu, Ellie. Dan bahkan mungkin kau juga."

     Mungkin. Perutku serasa terputir, kepalaku berdentam-dentam makin hebat. Acres menyiratkan seolah-olah aku bisa saja membunuhnya tanpa berpikir panjang. Seperti bagaimana aku membunuh Leah. Aku tidak membunuh Leah, tapi karena kebodohanku jugalah yang membawa Leah pada nasib yang sama sekali tidak pantas dia terima. Mimpi-mimpi itu kembali berkelebat dalam kepalaku. Berbagai kemungkinan yang bisa aku ambil untuk menyelamatkan Leah. Dimulai dengan menyingkirkan Darf petaka dari Avgustin.

     Kalau memikirkan tentang hari itu, aku tentu pantas mendapat tuduhan dari Acres. Aku menerima dia menyalahkanku, sebab diriku juga berbuat serupa.

     Hanya, aku bukan pembunuh Leah. Sama sekali bukan aku.

     "Aku tidak bisa," bisikku mengakui. Aku menunduk malu, berpikir betapa kekanakannya aku meminta begitu pada Acres. Tanpa bisa aku cegah tudung mantel yang kukenakan tersibak, ditiup oleh angin musim dingin. Sudah terlambat untuk menutupi satu lagi yang kusembunyikan, karena Acres sudah terlanjur melihatnya. Rambutku. Sebelum Acres mengatakan sesuatu, aku mendahului. "Aku hanya tak mau kau menyesal dikemudian hari."

     Seperti aku. Seperti orangtuaku.

     Acres mengulurkan tangan, berniat membelai kepalaku. Namun aku berkelit, membuat wajahnya merah lagi. Kedua tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Luka di tangannya mengkerut sejelek raut wajahnya sekarang. "Ellie," bujuknya. Aku serta merta menggeleng, makin menjauh. Aku tak mengenal Acres yang ini. Namun walaupun begitu, Acres tidak menyerah, dia mempersempit jarak di antara kami. Untuk sesaat aku melihat wajahnya ketika di atas Tembok Perbatasan ketika menonton Parade Lampu bersama. Muram, menyesal. Acres benar-benar mencintaiku. "Kau masih punya pilihan. Pilihlah."

    Acres atau para Lichas. Aku juga memberi Kadarius pilihan yang sama. Aku atau Acres, dan Kadarius memilih tanpa ragu. Sementara aku ...

     "Acres ...," Suaraku tak lebih besar dibanding bisikan, yang makin mengecil di akhir kalimat. Kalaupun Acres mencintaiku, aku pasti akan lebih sakit lagi jika tempat yang aku gunakan akhir-akhir ini sebagai pelipur lara hancur. Tidak, tidak, tidak boleh. Di sana ada segelintir orang yang kusayangi. Korain, Yorrick, Denaya, Paxtof, Indira, beberapa anak yang tidak bersalah. Tak tahu apapun, belum membunuh siapapun. Bahkan melukai pun tidak. "Kalaupun aku pembohong, pengingkar janji. Aku bukan seseorang yang gemar lari dari masalah. Sekarang kau sudah tahu, tepati janjimu."

     Maksudku jelas. Jangan libatkan Arhaki yang lain, jangan buat dirimu menyesalinya suatu saat nanti. Jangan buat aku menangis dan mati rasa lagi. Aku sebenarnya sudah mati rasa sekarang.

     Acres mengatupkan rahangnya kuat-kuat, pelipisnya berkedut, bibirnya yang beberapa saat yang lalu memberi bibirku setitik kehangatan menekuk tegas. Nyatanya dia juga tak sudi melepas egonya. "Kau tak tahu apa saja yang sudah aku korbankan untuk semua ini Ellie. Jadi, jangan bertindak seolah-olah akulah di sini yang bersalah, sementara hanya kaulah di sini yang terpojok."

     Kau juga tak tahu apa saja yang aku korbankan untuk ini Acres. Tak tahu. Aku menggigit bibir, membalikkan badan. Sudah cukup. Aku takkan sanggup bertahan lebih lama lagi berhadapan dengan Acres. Karena bisa-bisa aku kelepasan menghajar Acres sampai babak belur, mengundang keributan, mengundang Kadarius atau Indira untuk datang membunuhnya.

      Aku mencintaimu Acres. melebihi siapapun. Aku pasti akan memilihmu juga, diatas siapapun.

      Tetapi nyatanya pernyataan itu lagi-lagi tertahan. Dipecah belah oleh lima huruf terkutuk—'janji.'

     Aku melompati pagar cebol. Saat kedua kakiku yang berbalut sepatu bot menapak di atas aspal, aku mengumandangkan kalimat yang hanya menyayat hati kami berdua. Nyatanya ini memang akan jadi kali terakhir kami bertemu. "Semoga berhasil dengan rencanamu, Acres."

     Kupikir saat aku berjalan pergi, Acres akan menggapai mantelku, memelukku, menyusulku. Namun pemuda yang dulunya selalu ada untukku, yang bahkan tidak tega melihatku menangis seorang diri, tetapi itu dulu. Benar. Dan sekarang pemuda itu membiarkan aku berjalan sendirian dengan lubang menganga di dada, darahnya mengalir tak henti-henti. Merembes ke aspal, meninggalkan jejak di belakangku. Jejak yang tak ingin kulihat.

     Aku bahkan tak sanggup mengucapkan selamat tinggal.

      Saat aku sudah berada sangat jauh. Tidak terjangkau oleh mata atau telinga siapapun—terutama Acres. Aku berjongkok, membenamkan keseluruhan wajah ke telapak tangan lalu menangis tanpa suara, sepuas-puasnya. Aku satu-satunya harapan Arden supaya Acres mau mengurungkan niatnya, tapi karena aku dan Acres sama-sama egois. Tali harapan Arden seketika terputus. Aku menggigit telapak tanganku kuat-kuat.

     Acres pikir cuman dia yang patah hati? Dia salah besar. Aku juga, ini bukan tentang pernyataan cinta tetapi sebab persahabatan kami sudah hancur. Sebab aku tahu, dari keping-keping yang telah jatuh di atas tanah beku. Tak ada yang bisa kami selamatkan, kalaupun bisa kepingannya tidak akan pernah simetris lagi.

     Ketika aku menghadap Kadarius mataku sudah kering. Indira ataupun Kadarius tidak ada yang mendesakku untuk bercerita. Aku juga tidak ingin mereka tahu aku dan Acres sudah berakhir.

     Dan semua ini gara-gara mereka. Aku benci mereka. Mereka yang kumaksud adalah Kadarius, Avgustin, Permukaan, para Lichas, pemerintah Chrone, Pheasen, semuanya. Aku menunduk, menggigiti bibir terus seperti sampai lidahku mencecap rasa logam yang memuakkan. Aku baru menghentikan kegiatan.

     Aku bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Indra, Arden dan Islee.

     Aku mempercepat laju langkahku, mendahului yang lain. Tidak ada yang menyusul, tidak ada yang mencegah. Mereka terlalu disibukkan akan kepanikan yang tiba-tiba melanda. Beberapa saat yang lalu Xaya melaporkan bahwa ada peningkatan aktivitas di atas Tembok Perbatasan. Membuat kami mesti bergegas menuju jalan pulang.

    Satu-satunya orang yang peduli akan perubahan suasana hatiku hanya si Neopyhte. Mustahil aku tidak menyadarinya. Punggung dan tengkukku serasa terbakar, seperti itulah yang biasa aku rasakan bila seseorang memperhatikanku. Aku boleh saja bersikap seolah-olah tak peduli. Alangkah hebatnya kalau aku bisa berpura-pura.

     "Patah hati memang tak enak," si anak baru bergumam di sampingku. Aku memelototinya dengan berang. Aku tidak tahu darimana dia tahu tentang kebenaran yang kusembunyikan dari yang lain. Barangkali dari wajahku yang seperti Darf tanpa kode keamanan. Mungkin yang lain tahu, mereka hanya tidak ingin aku merasa makin terpuruk. Lagi pula aku tidak sedang ingin dikuliahi. "Walaupun begitu, bukan berarti kau bisa merendahkan radar kewaspadaan barang sedikit. Lihat sekelilingmu. Terutama diatas sana."

     Aku mendongak, tubuhku mengejang kaku. Brengsek! Jika sebelumnya aku tak melihat apapun, sekarang aku melihatnya dengan amat sangat jelas. Dengan atau tanpa google. Suar-suar dinyalakan. Satu, tiga, enam UrsaMayor untuk satu pos. Aku meludah, mengumpat sebanyak yang pikiranku bisa lakukan. Aku makin marah gara-gara ini. Seharusnya aku menyadarinya—Acres tahu dari seseorang tentang kebenaran yang kusembunyikan, dan orang itu tentu saja bukan sembarang orang. Bisa jadi dia salah satu Aviator paling penting di Sector Dva. Keparat! Yang lain sepertinya sepemikiran denganku, Xaya bahkan memucat. Paxtof berkali-kali melirikku, khawatir.

     "Mau bagaimana lagi," Harendra mengendikkan bahu dengan kalem. "Aku bisa saja berlari ke atas sana secepat angin, tubuhku juga oke. Aku takkan terluka. Tapi bagaimana dengan kau?"

     Sombong benar! Aku makin geram memperhatikan yang lain, tidak ada yang peduli dengan ocehan Neopyhte terkutuk ini. Aku memang tak bisa merontokkan gigi-gigi Harendra, tapi bukan berarti aku tak punya mulut untuk menggertak. Aku menjawab dengan berapi-api. "Aku bisa memuntahkan lava, asal kau tahu!"

     "Oh ya?" Bocah sialan ini menaikkan satu alisnya, menggodaku. "Miamora, apa yang bisa dilakukan pemuntah lava? Menghujani dirinya sendiri dengan lava?" Lalu dia tertawa terbahak-bahak, menertawakan leluconnya sendiri. Gerak-geriknya banyak mengingatkan aku pada Raiden. Rasa-rasanya Raiden pun tidak semenyebalkan ini.

     Otot-otot dileherku berkedut. Jangan-jangan aku memang akan memuntahkan lava.

     "Kadarius apakah keadaan sisi Tembok Perbatasan yang lainnya seperti yang satu ini?" Paxtof bertanya pada Kadarius, tetapi matanya melotot pada Harendra. Yang dipelototi sontak mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

     "Ya." Jawab Kadarius singkat. Dia sendiri gelisah melirik waktu yang terus berubah pada bola ranting kesayangan. Aku tahu setengah pikirannya ada di tempat lain.

     "Apakah kita akan menggunakan cara lama untuk lewat?" tanya Ravi pada Kadarius, lalu dia bergumam melanjutkan, suaranya mewakili apa yang ada dipikiran kami semua. "Karena mustahil kita mampu melewati mereka dengan cara biasa tanpa perlawanan. Kita kalah jumlah."

     Aku mengalihkan pandangan pada Kadarius, mendongak untuk menunggu apa yang akan dia katakan untuk menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

     Tiba-tiba dia menunduk, mata biru dan emas saling menemukan. Dan tanpa aku duga, dia membuka mulut. Bertanya padaku. "Bagaimana menurutmu, Ellie?"[]

Total : [3143 words]

Will we stay high?
Long enough to survive these lows?

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro