
T H I R T E E N [Repost]
AKU tidak bisa memejamkan mata. Aku tak sanggup, jikalau pada akhirnya terbangun lagi untuk meratapi kenyataan.
Aku baru menyadari pagi telah tiba, saat perempuan yang kemarin terkena imbas amukanku muncul. Memegang nampan bening. Ada mug kaca yang di isi penuh dengan cairan cokelat, ditemani setumpuk roti tawar.
Setelah menaruh nampan itu di pangkuanku, Ribka duduk menyempil di sofa. Menunduk, dan terus seperti itu sampai aku mulai makan dengan perlahan, menyobek roti untuk kucelupkan dalam mug penuh cokelat panas. Rambut emasnya yang panjang kini digelung ketat. Kembali terpikir olehku untuk mengocehkan permintaan maaf. Namun, dendam kesumat dan harga diri Sector Tres ku yang terlalu tinggi tidak memperbolehkan.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak memakan cokelat.
Avgustin membenci makanan manis.
Ribka sepertinya tidak keberatan aku mengacuhkan keberadaannya. Aku tidak mungkin menyalahkan suasana canggung yang tercipta diantara kami. Di matanya, aku pasti kelihatan seperti anak perempuan bar-bar yang sama sekali tidak mirip dengan perempuan anggun Sector Tres. Tidak masalah. Mereka bisa berprasangka sesuka hati.
Saat aku menyuap potongan roti tawar yang ketiga, aku menyadari bahwa bukan hanya Ribka saja yang berada di ruangan ini. Penyusup lainnya--pria Sector Wan yang diajak Kadarius kemarin--berdiri bagai patung bernapas di dekat pintu, ekspresinya lebih buruk dari Acres tetapi dia tidak semencurigakan Kadarius.
Aku menahan tawaku. Siapa namanya? Reynald? Ryan? Ravi? Ya, itu dia. Ravi kalau tidak salah. Agak susah memang menebak umur seseorang yang memiliki darah Sector Wan dengan wajah mereka yang mendukung kesulitan itu.
Aku hanya bisa menebak jika Ravi pastilah seumuran dengan Avgustin. Mungkin. Lagipula sangat tidak mungkin menanyakan umur secara langsung kepada orangnya. Hal itu dianggap tidak sopan di Pheasen.
Tetapi kemungkinan besar, aku dan dia bisa menjadi teman yang baik. Dalam urusan saling saling menyakiti tentu saja. Coba saja lihat tatapan membunuh itu, mirip sekali dengan Islee. Kapan-kapan, mungkin aku bisa membujuk Ravi untuk melakukan kudeta pada Kadarius. Pasti menyenangkan sekali melihat kekacauan yang kutimbulkan.
Suasana hatiku menjadi lebih baik setelah memikirkan kudeta khayalan itu. Aku makan dengan cepat, mengangkat alisku ketika Ribka dengan gugup mendekatiku. Tangannya tergantung dengan kaku dikedua sisi tubuhnya. "Memeriksa ...," cicitnya.
"Oh," kataku tidak tahu harus mengatakan apa melihat kegugupannya. Aku memindahkan nampan dari pangkuan ke meja nakas, menunggu Ribka penuh tanda tanya begitu melihatnya masih berdiri. Aku benci orang kikuk, terutama perempuan.
Aku sudah terbiasa dengan Leah yang jahil dan Islee yang cerewet. Terlebih lagi aku tidak punya teman yang banyak di Institut, seingatku hanya dua orang yang bisa kusebut teman, satu aku sudah tak tahu dimana dia saat ini, yang kedua bahkan kemudian menjadi sahabat dan keluargaku. Kebanyakan orang Sector Tres jarang bersosialisasi, bahkan jika itu dengan sesama Sector Tres. Mereka hanya bicara serius ketika wawancara atau bertransaksi.
Saat ini, melihat Ribka yang bergerak tidak yakin seperti itu membuatku--secara tidak menyenangkan--ikut-ikutan merasa kaku. "Jadi--aku harus bagaimana? Berbaring? Terlentang? Membuka pakaian jelek ini?"
Ribka menggeleng cepat-cepat, aku sampai takut kepalanya akan putus.
Aku mendesah. "Terserah."
Ketika tangan sejuk Ribka menyentuh tempat dimana luka dibahuku dulunya ada. Aku teringat dengan kepalaku yang kukira geger otak. Jadi kukatakan padanya tentang hal itu juga. Tidak ada balasan apapun dari Ribka tetapi kurasa ia tersenyum. Aku harus minta maaf pada Ribka. Hanya itu satu-satunya hal yang saat ini terpatri kuat di dalam kepalaku namun hanya ada satu hal lainnya membuatku enggan melakukannya saat ini--di tempat ini--keberadaan si manusia Tangan Hipnotis. Ravi yang itu.
Ravi masih bergeming dari tempatnya berdiri-'teritorialnya kurasa--depan pintu sana mengawasiku. Otot-otot di balik kemeja birunya siap siaga. Aku menyeriangi, sepertinya dia juga tidak akan pernah melupakan apa yang kulakukan dengan tangan kosong pada Avgustin.
Aku sejujurnya benci jika diingat dengan cara yang buruk, tetapi untuk saat ini. Aku bisa menerimanya. Malah bagus.
Rasa sejuk familier yang kurasakan pada tengkuk leherku, perlahan menjalar ke dalam kepalaku, menghentikan usaha sia-siaku untuk mengganggu Ravi. Aku memejamkan mata, kilasan-kilasan menyenangkan berseliweran di mataku. Tidak terlalu kompleks, tetapi cukup membuatku merasa nyaman.
Cincin Identitas pertama dari Avgustin, tawa Acres, pelukan Leah, ocehan Islee, Arden dan Indra yang terkekeh-kekeh melihat Islee marah-marah karena semua bukunya menempel di langit-langit. Semua hal menyenangkan itu sebagian menghilangkan bayangan mimpi buruk semalam. Sebagian.
"Terima kasih," bisikku tulus pada Ribka.
Di saat-saat seperti itu aku tidak menyalahkan lidahku yang selalu bergerak mendahului kepala. "Kalian punya sebutan?" Maksudku mana mungkin aku menyebut mereka dengan keparat ini, keparat itu. Biarpun aku jengkel setengah mati, setidaknya aku masih punya sopan santun. "Jangan-jangan sihir kalian juga punya nama."
Ribka berkedut.
"Kenapa?" cibir Ravi.
Dasar kurang ajar. "Hanya penasaran."
"Tak usah repot-repot kalau begitu," ketusnya. "Pasang padanya."
Aku melotot, secara refleks bersikap detensif, dengan mendorong Ribka menjauh. "Pasang apanya?!"
Ravi balas melotot, sementara di antara kami, Ribka duduk di udara dengan posisi canggung. Semata-mata tidak terjungkal karena Tangan Hipnotis Ravi. "Jangan paksa aku, Ellie." Ravi memberenggut sekarang.
Aku ikut-ikutan memberenggut. "Coba saja, Vlakas!"
Kami sama-sama tersulut. Ravi memposisikan satu tangan ke depan tubuh. Aku memutar Jadrové.
"Baiklah! Cukup kalian berdua!" Ribka berdiri menjulang di antara kami. Dia mengulurkan tangan padaku, pada telapak tangannya aku melihat Darf yang berbentuk seukuran koin, tidak, lebih kecil daripada itu malah, seperti bandul anting. Warnanya mengingatkan aku pada warna lampu di dalam Tabung Kelam.
"Apa itu?" tanyaku penuh kecurigaan.
"Semacam Cincin Identitas. Tidak. Lebih canggih dari Cincin Identitas. Kami menamainya Gamma." Lalu diikuti oleh gumaman. "Nama yang menggelikan."
Bukan Ribka yang menjawab tetapi Ravi. Mendengar Cincin Identitas disebut-sebut, membuatku tanpa sadar memperhatikan jari telunjukku dan tersentak tatkala tak menemukan cincin emas itu disana. Omong kosong macam apa lagi ini? Kugenggam jari telunjukku erat-erat--yang membuatku semakin kecewa--karena hanya merasakan betapa kosongnya kulit jari telunjukku. Ribka menyadari kemarahanku yang mulai lagi kambuh, kali ini bukan hanya tangannya yang gemetaran tetapi seluruh tubuhnya.
Aku mengembuskan napasku perlahan ketika melihat gelagat itu. Tidak ada gunanya marah-marah sekarang. Satu-satunya orang yang mampu menjawab pertanyaanku saat ini hanyalah orang yang ada di depan pintu sana. Ravi tolol itu.
"Kukira kau sudah tahu bahwa setiap Cincin Identitas berisi alat pelacak. Jadi sebagai tindakan pencegahan dari kehancuran yang terjadi, kami menghancurkannya terlebih dahulu. Kuharap kau tidak keberatan," jelas Ravi menjawab kemarahanku.
Tentu saja aku keberatan. "Bagaimana dengan data-dataku?! Aku punya banyak hal penting disana," gerutuku tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Sebenarnya bukan karena hal itu aku merasa kesal. Lebih seperti...
Jika Cincin Identitasku sudah hancur maka akupun dianggap sudah mati oleh pemerintah Sector Tres. Tapi ketakutanku yang susungguhnya adalah bagaimana jika mereka tak menemukan mayatku di antara puing-puing Arcade Sector Wan? Kesalahan itu pasti akan menjadi bumerang lainnya untukku. Bisa-bisa aku menjadi buronan. Tidak, tunggu. Aku sudah menjadi buronan dengan mereka semua di sekelilingku.
Oh bastardo! Mereka semua ini--sejak kemarin--bahkan mungkin sejak lama sudah merencanakan segala hal tentangku tanpa pernah sekalipun meminta persetujuanku terlebih dahulu. Aku benci menjadi orang yang tak tahu apapun, membuatku terlihat seperti vlakas kelas berat.
Ravi menghela napasnya. Helaan napasnya membuatku semakin kesal. Ribka duduk makin kaku. "Tidak ada data yang penting. Kami sudah melihatnya. Jika yang kau maksud penting seperti--lagu-lagu kuno, buku-buku tentang cara merakit mesin-mesin aneh nan menyeramkan--yang kutahu bukan jenis pelajaran yang kau dapatkan di Institut. Semua hal itu sudah diamankan oleh Dewan atas izin Kadarius," lagi-lagi Kadarius. Ravi menggendikkan bahu seakan-akan bisa membaca pikiranku, dia menambahkan, "kau bisa marah-marah padanya nanti."
Aku tak bisa marah pada Kadarius. Tidak, setelah kejadian kemarin. Aku bisa saja marah pada Ravi sekarang karena dia dengan lancang melihat simpanan pribadiku tetapi harus kuingat lagi bahwa Ravi dengan Tangan Hipnotisnya bukanlah tandinganku. Dia jenis orang aneh yang jelas adalah tipe petarung jarak jauh dan hal itu hanya menguntungkannya. Aku mungkin bisa meleparkan pisau beracun, bentukan dari Jadrové pemberian Acres. Namun aku sendiri tak yakin pisauku akan berhasil menancap dijantungnya seperti khayalanku.
Baiklah. Aku harus berhenti memikirkankan berbagai cara-cara mengerikan untuk melumpuhkan Ravi. Hal itu sama sekali bukanlah diriku lagipula ada orang yang saat ini amat ketakutan melihat tatapan membunuhku.
Kualihkan pandanganku dari Ravi pada Ribka. Berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum dan berharap bahwa aku tidak tersenyum seperti seorang psikopat. Setelah menyadari Ribka sama sekali tidak mau melihat wajahku, kurasa aku memang tersenyum seperti seorang psikopat. Kuhentikan usahaku yang tidak berguna dan memilih menggantinya dengan kata-kata. "Jadi aku harus memakai--Gamma ini di mana?"
Verdammt! Benar-benar nama yang menggelikan.
Ribka menyentuh pelipisku. Sentuhan kecil itu mengejutkanku setengah mati, rasanya seperti diberi injeksi. Benda itu menusuk, mencengkram, menembus kulit, memasang kabel-kabel tipis ke jejaring kepalaku, mengirim sinyal pada otakku.
Setelah Gamma itu terpasang di pelipisku, ada lebih banyak kilasan yang terlihat. Di antara banyaknya kilasan. Aku hanya melihat beberapa dengan jelas. Robohnya gedung-gedung tinggi, kekacauan di mana-dimana, aku ada di atas tanah--kurasa seseorang menggendongku. Aku ingin melihat siapa sosok yang menggendongku tetapi yang ada hanya mata emas Ribka, menatapku dengan bingung dan ngeri.
Kemudian seperti tersengat arus listrik, aku teringat dengan alasanku untuk bangun tanpa menjerit-jerit pagi ini. "Aku ingin bertemu dengan Avgustin."
Ada perseteruan yang membosankan antara Ravi dan Ribka setelah aku menyatakan permintaanku. Ravi tidak mengizinkanku sementara Ribka bilang--dengan suara pelan--bahwa tidak ada salahnya mencoba. Aku setuju dengan Ribka, tetapi aku tidak ingin menyela sebab dengan adanya pertengkaran kecil itu setidaknya membuat waktuku untuk berpikir menjadi bertambah lebih banyak lagi.
Aku menunggu dengan sabar sembari sesekali mengelus permukaan Gamma pada pelipisku. Rasanya seperti tidak ada apapun di sana. Aku hanya merasakan kulit wajahku yang sedikit kasar. Membuatku bertanya-tanya, berapa hari aku tidak mandi? Ravi menunjukku dan mengatakan sesuatu yang kedengaran seperti, 'dia berbahaya', ketika aku mengelus permukaan Jadrové pada pergelangan tangan.
Kuubah jam itu menjadi jepit, lalu menjepitkan benda cantik itu pada rambutku yang dengan terpana kusadari keliau keemasannya meredup sedikit. Tepat ketika Ribka menghampiriku dengan wajah lega. Aku rasa aku tahu siapa pemenangnya. Aku melihat Ravi, mendapati dia menggelengkan kepala, lalu mata birunya menyorot tajam. Jelas-jelas memberiku ancaman.
Tapi apa yang bisa kulakukan memangnya? Aku sudah memikirkan segalanya dengan baik-baik. Diluar penjaraku tentu saja lebih berbahaya. Ada banyak orang-orang aneh diluar sana dan tak ada yang mampu kulakukan selain membiarkan Ribka mengapit lenganku, menuntunku keluar dari penjaraku. Pintu berdesis terbuka, udara pagi yang basah memasuki indera penciumanku.
Aku tidak bisa untuk tidak terpana, menyaksikan puluhan atau bahkan ribuan pohon-pohon raksasa menjulang tinggi di sekelilingku. Trib yang aku tempati ternyata dibangun di antara pohon-pohon.
Dulunya orang-orang menyebutnya dengan rumah pohon, sementara saat ini kami menyebutnya dengan Trib. Di Pheasen satu-satunya tempat yang memiliki begitu banyak Trib, hanyalah Sector Wan. Beberapa orang mengatakan bahwa Chrone juga mempunyainya.
Trib tidak terlalu digemari--mungkin hanya digunakan sebagai tempat wisata--sebab ketika hujan disertai badai tiba, Trib adalah tempat pertama yang paling rentan terkena hempasan badai.
Jika di Sector Wan, Trib mirip seperti rumah-rumah pada umumnya. Trib di sini memiliki bentuk kubus sempurna, dinding luarnya meniru dahan, ranting, daun-daun di sekelilingnya. Sehingga tak akan ada orang yang melintas di atas maupun bawah pohon-pohon tempat Trib berada, menyadari keberadaan kubus-kubus ini.
Cerdik. Pantas saja musuh-musuh perkumpulan Kadarius tidak pernah berhasil menangkap atau memusnahkan mereka.
Kami melayang melewati beberapa Trib yang masih mampu kulihat dengan mata telanjang. Aku yakin pasti ada lebih banyak Trib daripada yang mampu kulihat. Aku melirik ke belakang punggung. Ravi masih ada di Trib tempatku, berdiri dengan tangan terulur, matanya menatap ke arah kami dengan penuh konsentrasi.
Aku baru menyadari bahwa aku dan Ribka sama sekali tidak berjalan di atas jembatan kaca atau menggunakan lift tidak terlihat. Namun lebih tepatnya, Ravi menerbangkan kami dengan Tangan Hipnotisnya.
Ketika jarak kami dan Ravi sudah terlalu jauh dan pandanganku mulai terhalangi oleh pepohonan. Kami terhenti di Trib selanjutnya dengan seorang pria iris mata merah yang duduk santai di depan teras Tribnya.
Dia segera berdiri setelah melihat kami, begitu dia mengangkat tangan, aku dan Ribka kembali melaju ke depan sesekali berkelok untuk menghindari batang atau dahan pohon yang menghalangi. Kami melewati satu orang dengan mata merah lagi seperti pria sebelumnya sampai akhirnya berada di Trib yang kuduga ditempati oleh Avgustin.
Bagian luar Trib Avgustin tidak ada bedanya dengan Trib penjaraku. akan tetapi disini tidak ada ranjang susun. Kecuali pintunya yang membutuhkan kode. Interior Trib Avustin hampir serupa dengan kamarnya di Sector Tres. Semuanya tertata begitu rapi dan apik.
Tempat tidur standar di pojokan, lemari penuh buku-buku yang sudah langka keberadaannya, aku melihat beberapa gelas cantik di sana. Di samping lemari ada meja dan kursi belajar, Tabung Kelam--yang kelihatannya rusak, bahkan warna pintu kamar mandinya hampir sama seperti miliknya di Sector Tres.
Aku masih sibuk membenahi perasaanku ketika tanpa sengaja mataku melihat fotogram diriku dan Avgustin dengan latar jembatan kaca berdenyar diatas meja belajarnya.
Fotogram itu menarik perhatianku. Kutinggalkan Ribka yang sedang sibuk berbicara melalui Gamma-nya.
Aku tidak ingin mempercayai pengelihatanku tetapi gadis yang memberikan senyum paling cerah di seantero Pheasen itu memanglah aku.
Bohlam-bohlam emas bercahaya di belakang kami menjadi latar fotogram selain puncak Onwellstone. Avgustin memaksaku untuk berfoto, awalnya aku tak mau dengan alasan yang konyol terakhir, mengatakan bahwa aku akan mati seperti ayah dan ibu jika berfoto, tapi Avgustin hanya tertawa, sama sekali tak menggubris kekhawatiranku. Itu adalah lelucon yang sering Avgustin lontarkan padaku, jika aku bertanya tentang fotogram--keberadaan--Ayah dan Ibu.
Sekarang, aku memang tidak mati tetapi orang-orang terdekatkulah yang menderita bahkan aku sendiri ragu dengan hidupku saat ini. Kutaruh lagi fotogram itu di tempatnya dengan hati-hati.
Masa lalu tidak patut dikenang.
Avgustin selalu mengatakannya seperti itu tetapi Acres menggunakan masa lalu sebagai kekuatan, sementara aku mengubah masa laluku menjadi mimpi buruk.[]
Total : [2160 words]
U used to feeling nothing, then i fell so hard.
-Your Fav Author, Prasanti.
Call me Pras or Kahnivore.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro