Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

T E N [Repost]

      Aku terjatuh dari Tembok Perbatasan yang licin oleh darah. Bumi di bawah terbelah. Menganga seperti jeritan kosong. Membawa serta tubuhku ke tempat mengerikan lainnya.

     Aku melihat pangkuan Arden yang dibanjiri darah dari luka di ulu hati Leah. Samar di kejauhan aku mendengar Acres berteriak memperingatiku tentang orang yang menyabetkan pedang dari Jadrové hadiahnya ke bahuku.

     Aku menyemburkan napas seperti orang yang tersadar sehabis tenggelam. Terbangun, dan, terjatuh lagi ke tempat tidur dengan bahu yang berdenyut nyeri.

      Selama beberapa saat aku hanya diam terpaku memelototi langit-langit buatan. Ingatanku mengumpulkan semua hal buruk yang terjadi. Aku ingin mengenyahkan mimpi barusan tetapi tak akan pernah bisa jika semua mimpi itu nyata adanya.

     Seharusnya inilah saat yang tepat untuk mulai menangis, akan tetapi tidak satupun dari kedua mataku yang mengeluarkan air mata. Nyatanya aku berakhir dengan meringkuk, menenggelamkan seluruh kepalaku ke dalam selimut.

     Berharap aku bisa mati kehabisan nafas, berharap ketika nanti aku membuka kembali mataku, aku akan berada di Arcade atau mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di sana seperti seharusnya.

     Sementara tanpa diriku sendiri sadari, aku terus menggumamkan banyak nama; Acres, Leah, Arcade, banyak darah, besi dan orang aneh yang mampu menggerakkan benda-benda, berpindah tempat, dan sulur-sulur yang mengikatku.

     Udara makin menipis.

     Saat ini aku ingin melemparkan tubuhku sendiri ke lantai, merangkak mencari penculikku dan membunuh mereka sendiri dengan Jadrové.

     Jadrové!

     Tanganku yang tidak sakit bergerak meraba pergelangan tanganku dan tidak menemukan apapun di sana selain kulit kasar polos.

     Aku menyentak selimut, benar-benar hendak merangkak keluar dari ruangan ini untuk mencari hadiah terakhir Acres, tetapi rasa nyeri pada bahu dan kenyataan bahwa saat ini aku hanya menggenakan gaun putih tipis membuatku harus puas hanya menjerit di tempat tidur, menggerang-gerang seperti binatang terluka.

     Lebih baik daripada tidak menangis atau apapunlah itu.

     Pintu mendesis membuka bahkan sebelum aku berhenti dan puas akan jeritanku sendiri.

     Avgustin baru, Avgustin yang semula tak kukenali, ada di ambang pintu, berdiri berdampingan dengan seorang perempuan bermata sayu dengan rambut emas lurus yang cantik.

      Penampilan baru Avgustin serta mata perempuan itu membuat aku muak.

     Avgustin terlambat berkelit karena aku sudah melempar jambangan jelek di atas nakas di samping tempatku tidur ke arahnya.

      Aku tidak menyesal pernah mengikuti olahraga melempar piringan-piringan logam tipis untuk mengenai sasaran yang jauhnya dua meter di depanku, karena hasil dari latihan olahraga itu ternyata cukup memuaskan.

     Jambangan buruk rupa itu mengenai tangan Avgustin yang digunakannya sebagai pelindung wajah. Beberapa pecahan langsung menancap. Beberapa lagi berhasil menggores kulitnya. Darah langsung keluar dari kulit yang terluka.

     Aku tidak peduli dia saudaraku atau tidak. Karena sekarang jelas dia bukan saudaraku.

     Namun aku justru semakin geram ketika Avgustin kembali melanjutkan langkah tanpa peduli dengan luka sayatan pada tangannya. Seakan-akan semua itu bukan apa-apa.

     "Galak seperti biasa ya, Ellie," sapanya tanpa nada sembari membuang pecahan yang tersisa dari kulit lengannya ke lantai begitu saja, seolah-olah pecahan itu hanya berupa confetti Perayaan Perdamaian.

     Perempuan bermata sayu di belakang Avgustin segera mengambil tangan abang palsuku ketika dia duduk di ujung tempat tidur. Avgustin bersandar dengan santai di tiang susun. Sama sekali tak mempedulikan betapa marahnya aku saat ini.

     "Pembohong! Brengsek!" Desisku dari sela-sela gemelutuk gigi. Bukan hanya berbohong tentang identitas diri yang sebenarnya. Yang makin membuatku terluka adalah kenyataan bahwa Avgustin juga membuat aku membawa Acres dan keempat saudaranya dalam bahaya.

    Aku benci mengakui hal itu, tetapi Darf  VIP keparat itu sudah membawa kami semua pada bencana yang tak ada bandingan bahkan Halder sekalipun. Avgustin jelas sudah merencanakan semua ini. Aku berpikir bahkan rasa benci pun tidak akan pernah cukup untuk membuat hatiku puas.

     Aku ingin lebih.

     Aku ingin membunuhnya.

     Dia mengulurkan tangan hendak menggapaiku, tapi aku bergerak mundur. Tidak tahan membayangkan disentuh oleh tangan kotor pembunuh sepertinya.

     "Kau tak sepenuhnya benar, Ellie." Dia memberiku tatapan itu lagi--tatapan mata yang senantiasa bisa meluluhkan hatiku. Sayang sekali bahwa sekarang hal itu sama sekali tak lagi berguna. Aku makin menjaga jarak, memeluk diriku sendiri.

     "Tak sepenuhnya benar," geramku. Itu berarti sangat besar kemungkinan bahwa Avgustin memang berencana membunuh kelima Arhaki dengan menggunakan Darf tiket VIP itu, memanfaatkan kebodohanku. Aku mengatupkan bibir rapat-rapat ketika keinginan untuk menggigit pergelangan tanganku sendiri muncul tiba-tiba. "Kau keterlaluan." Bahkan menyebut namanya saja membuatku jijik. "Pendusta brengsek!"

     "Benar." Sahut Avgustin akhirnya menyerah untuk bersikap lemah lembut. Dia sengaja mengangkat lengannya yang berdarah-darah, yang dipegang oleh perempuan aneh itu. "Demi kebaikanmu."

     Kedua tanganku berkedut-kedut ingin segera melepaskan bayangan yang ada dalam pikiranku. Namun perhatianku teralihkan, aku tertegun melihat apa yang dilakukan perempuan bermata sayu itu pada lengan Avgustin.

      Percaya atau tidak perempuan itu telah menyembuhkan luka-luka yang disebabkan dariku--dari melempar jambangan buruk rupa tadi. Ibaratnya apa yang dilakukan oleh tangan perempuan itu sama seperti mesin-mesin operasi di rumah sakit.

     Bedanya perempuan ini tidak menggunakan mesin. Dia hanya mengandalkan tangan kosong.

     Sebuah keajaiban, suatu kemustahilan.

     Pantas saja lemparan jambangan itu seperti tidak ada artinya bagi Avgustin.

     Sepertinya Avgustin menyadari arah pandangku karena senyuman bodoh muncul di sudut bibirnya. "Bukankah Ribka hebat?" tanyanya.

      Aku cepat-cepat memalingkan wajah dari tangan Avgustin yang saat ini hanya menyisakan darah saja. Walaupun begitu, seperti biasa Avgustin tidak peduli. Dia justru menunjuk tempat di mana rasa nyeri yang menggigit dari tubuhku berasal. "Ribka yang menyembuhkanmu, tetapi kukatakan padanya jangan sampai sembuh total. Kadarius menyetujuinya. Untuk berjaga-jaga."

     Seharusnya Avgustin tahu kalau saat ini, dia telah memilih kata-kata yang salah. Setelah apa yang terjadi di Arcade Sector Wan, seorang pendusta ulung seperti dirinya masih punya rasa percaya diri yang tinggi untuk mengontrolku? Tapi, oh! Baguslah kalau ada perempuan dengan tangan mesin rumah sakit di sini, sebab aku tidak akan peduli dengan apa yang terjadi pada bahuku yang nyeri nantinya.

      Aku tak takut lagi mati kehabisan darah. Si Ribka itu pasti akan menyembuhkan aku.

     Ribka menjerit saat aku menerjang Avgustin. Momentum tubrukan dari dua tubuh, membuat kami berdua terjatuh berguling-guling di lantai yang berdenyar seperti air. Lampu kamar seketika berubah menjadi merah, melacak adanya suara-suara perkelahian.

      Peduli amat!

     Aku mencakar wajah abang palsuku, menjambak rambutnya, memukul dan menggigit. Menggapai apapun yang bisa tangan dan gigiku raih.

      Aku tak tahu kenapa tapi sepertinya Avgustin enggan untuk balas menyakitiku, karena dia hanya berusaha menjauhkan aku dengan tangannya. Apa yang dia lakukan--tidak berusaha melawanku--malah membuatku semakin bernafsu ingin membunuh bangsat ini.

     Seseorang memegang bahuku, secara refleks aku menampik. Terdengar bunyi gedebuk keras, aku tersadar sudah menyikut Ribka hingga menabrak meja nakas dengan keras. Suara serta semburan napas Ribka mengalihkan perhatian Avgustin. Dan aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kedua tanganku langsung bergerak untuk mencekik leher Avgustin.

     "Akan kupatahkan lehernya!" Pikiranku bernyanyi dengan penuh sukacita.

     Cekikanku ternyata cukup kuat sehingga tangan Avgustin yang semula mencoba melepaskan kedua tanganku dari lehernya sedikit melemah. Tak lama kemudian hanya bisa mengais-ngais tanganku tanpa tenaga.

     Aku menyeriangi penuh kemenangan, sementara mata kelabunya membeliak hingga yang kulihat hanya bagian putihnya. Ketika kemenangan sudah berasa dekat sekali denganku, tiba-tiba tubuhku yang berada di atas Avgustin disentak kebelakang oleh dua pasang tangan dari dua sosok Avgustin lainnya. Mereka mengunci kedua tanganku dipunggung.

     Saat itulah aku menyadari bahwa gaun terusan tipis pada bagian bahuku sudah berubah warna menjadi merah. Membuat kain gaun di sana melekat pada kulit bahuku. Rasanya menjijikkan, membuatku mual. Namun bukannya menyerah, aku justru makin menggila. Meronta-ronta seperti orang gila.

     Aku memang akan gila. Sebentar lagi kalau aku tidak bisa membunuh Avgustin.

     Avgustin yang asli berdiri dengan kaki goyah, mendekatiku. Terbatuk-batuk. Menderita luka cakaran di wajah, lehernya lebam dan bagian depan kaos yang dia kenakan robek. Mata yang bengkak sebelah. Hidungnya mengeluarkan darah. Rambutnya acak-acakan. Dia mengelus leher yang memiliki bekas tanganku, lalu berkata dengan suara parau. "Aku ingin bicara baik-baik, Ellie, tapi sepertinya kau memang tak mau diajak bicara baik-baik."

     Dia ingin aku menjadi gadis patuh seperti yang selama ini aku tunjukkan padanya? Aku tertawa histeris. Setelah semua yang terjadi pada Leah? Terkutuklah luka-lukaku, seumur hidup aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu.

      Gambaran mengerikan itu akan berubah menjadi mimpi buruk. Mereka akan terus-menerus mengunjungiku tiap malam dan bicara baik-baik tidak akan cukup untuk mengembalikan Leah. Tidak ada yang cukup.

     "Akan kubunuh kau!" Geramku seperti binatang buas. "Pengecut! Vlakas!!"

     Salah satu clone Avgustin membekap mulutku. Aku membuka mulut, menggigit daging yang terbuka. Darah merah serasa meracuni mulutku, mengayunkan kakiku ke belakang hingga mengenai alat vital clone malang itu. Satu tanganku terbebas, dan aku menggunakannya sebagai senjata. Kupukul dada clone yang satunya lagi hingga dia terjengkang di atas kasur, tak lagi bergerak. Bernasib sama dengan clone pertama.

     Bahuku berdenyut gila-gilaan. Namun tak ada waktu untuk merengek. Aku mengalihkan pandang pada Avgustin yang asli, menghindar dari tebasan kakinya yang berbahaya. Sebelum Avgustin bisa melakukan sesuatu yang lebih tidak menyenangkan padaku atau berbicara omong kosong lainnya. Aku menangkap tinjunya. Kuayunkan kepalaku kebelakang dan kemudian tanpa ragu mengadunya dengan kepala Avgustin.

     Terdengar bunyi berderak, untuk sesaat kepalaku berputar, aku kehilangan fokus tapi aku puas begitu melihat Avgustin mengusap darah yang membanjiri dahinya, untuk sesaat mata itu melebar penuh kejut, sebelum kemudian jatuh berdebum ke lantai.

     "Darah dan luka itu pantas untukmu, bangsat kotor!" Sengalku, meludahkan darah ke lantai. Lukaku sudah pasti terbuka lebih lebar, darahnya mengalir deras dari bahu, ke lengan terus turun sampai menetes-netes di atas lantai.

     Darah dari dahi membutakan sebelah mataku tapi rasa nyeri di bahuku membuatku tetap tersadar dengan cara yang mengerikan. Aku mengambil nampan kaca di atas nakas, memecahkannya di meja, mengabaikan Ribka yang mengkeret sembari memegangi pipinya yang memiliki luka memanjang hingga tulangnya kelihatan.

     Aku menghampiri tubuh Avgustin yang terlentang bersimbah darah, menduduki perut Avgustin, mengunci kedua tangannya dengan lututku, takut-takut nanti dia kembali menipuku.

      Aku mengangkat tanganku yang memegang pecahan nampan kaca tinggi-tinggi di udara. Bersiap menebas leher keparat-biadab ini.

     "Sampai jumpa di neraka," bisikku.

     Hanya saja tiba-tiba tubuhku terasa ringan dan berat disaat yang bersamaan, aku tak bisa melakukan gerakan pamungkas. Pecahan kaca di tanganku jatuh berkelontangan.

     Aku mengangkat kepala yang kaku dengan paksa, mencari penyebab tubuhku tak mau berkompromi dengan keinginan kepalaku.

     Di depan sana seorang pemuda bermata biru cerah, berambut hitam dengan ikal sempurna mengulurkan tangannya di udara kosong, dengan hati-hati menggarahkannya ke tempat tidur. Aku tak tahu apa maksud dari gerakan itu tapi tubuhku tahu--seolah--terhipnotis oleh gerakan tangan itu, tubuhku melayang, lalu terjatuh di atas tempat tidur. Clone Avgustin yang semula ada di sana, sudah hilang.

     Pemuda bermata biru lainnya ada di belakang pemuda pertama. Menyuruh--dengan kendikan bahu--seorang lagi membawa tubuh Avgustin keluar.

     Persetan manusia-manusia aneh ini!

     Persetan!

     Akan kucekik mereka kalau ada kesempatan. Merekalah yang menyebabkan pertandingan Radeon tak pernah terjadi tapi dengan luar biasa digantikan oleh pertunjukan penuh darah yang membawa serta Leah terhanyut bersama darah itu.

      Aku meludah--satu-satunya hal yang bisa kulakukan--dan mendelikkan mata pada dua orang yang mendekatiku. Berharap dari kedua mataku muncul cahaya mematikan yang sama yang dikeluarkan UrsaMayor Chrone di Arcade Illysiumstone. Tapi kemudian aku menyesalinya, memikirkan Arcade Sector Wan membuat pening pada kepalaku semakin menjadi-jadi.

     Ujung mataku menangkap Ribka yang duduk dengan lengan gemetar di sofa jauh di seberangku. Tangannya berputar di seputar bahu dan pinggul. Menyembuhkan dirinya sendiri kurasa. Aku sejujurnya tidak bermaksud melukai dia. Namun jauh dalam lubuk hatiku aku sama sekali tidak menyesal. Salahnya sendiri coba-coba ikut campur urusanku.

     Pemuda bermata biru yang tidak mengendalikan aku mulai mendekat, mengambil tindakan cerdas dengan duduk di kursi yang muncul dari lantai. Aku tidak mau melihatnya. Sejujurnya aku tidak ingin melihat mereka semua.

     Namun sudah terlambat bagiku untuk mengalihkan pandangan, sebab entah apapun itu yang dilakukan oleh matanya hingga kedua mataku terbuka lebar bahkan mungkin tidak mengedip.

      Pikiranku segera berkomentar sinis, mata itu bagian dari sihir pembawa sial mereka aku rasa. Dengan begitu aku terpaksa memperhatikan penampilan pemuda di hadapanku, mau tak mau. Pakaian yang dia kenakan hanya kaos biru biasa tapi aku yakin kaos itu lebih mahal bahannya dari dua lusin jas termahal Acres. Rambutnya disisir ke belakang, menampakkan dahi mulus tanpa pori. Ketampannya menyilaukan.

      Tapi masa-masa memujaku sudah berakhir. Rasa kagumku akan Sector Wan terhenti sampai disini dan aku merasa jijik setiap kali mengingat pemikiranku tentang Sector Wan di masa lalu.

     Satu-satunya hal yang membuatku mengutuk pemuda yang mengendalikan tubuhku adalah apa yang ada ditangannya.

     Hadiah perpisahan dari Acres! Jadrové!

     Perutku mengejang. Berani-beraninya dia menyentuh benda berhargaku. Dia sama sekali tidak pantas menyentuhnya apalagi mengenggamnya seperti itu. Pemuda Sector Wan ini sepertinya menyadari tatapan membunuh yang kuberikan padanya karena dia dengan tak terduga menaruh Jadrové di atas nakas samping tempat tidur dengan hati-hati.

    Lalu dia berkata dengan suara lembut nan membujuk. Matanya menatap langsung pada kedua mataku. Begitu melihat jenis tatapan dan bentuk bibirnya. Aku segera tahu, dia bukan orang yang suka basa-basi. "Ravi akan melepaskan belitannya, kau akan mendapatkan kembali benda milikmu, Ribka akan menyembuhkan luka-lukamu," dia sengaja memberikan jeda pada kalimatnya untuk melihat reaksiku tapi aku tidak melakukan apapun selain memelototinya. Tidak sabar ingin mendengar kalimat selanjutnya. "Tapi kau harus berjanji beberapa hal padaku. Tidak ada lagi kekerasan, atau darah atau apapun. Kau mengerti?"

     Mungkin karena aku sudah terlalu banyak mengeluarkan darah atau rasa pusing yang hebat pada kepalaku atau mungkin karena sihir mata birunya. Aku berkata dengan suara bergetar. Bukan karena takut atau marah tetapi karena sesuatu yang lain. Disebabkan oleh sensasi sialan yang menggelitik perutku. "Kau harus memegang kata-katamu."

     "Oke," janjinya enteng.

     Dia mengangkat tangan, Ravi--pemuda depan pintu yang sekarang punya nama--melemaskan bahu. Seketika tubuhku kembali bisa kugerakkan. Saat aku mengusap sebelah mataku yang dibanjiri darah dari dahi dengan lengan gaun tipis yang kukenakan, Ribka bergerak mendekatiku, dengan cekatan menaruh kedua tangannya di dahiku tanpa benar-benar menyentuh kulit.

     Aku bergidik nikmat. Rasanya seperti terkena pancuran air dingin dengan salep penyembuh. Sejuk dan menghilangkan rasa sakit. Ribka melakukan hal yang sama pada bahuku.

     Sementara itu, Ravi dan pemuda yang satunya lagi, mengamatiku dengan tatapan yang berbeda. Satu biasa saja, satunya lagi memelototiku terang-terangan dengan sikap bermusuhan.

     Aku pura-pura tidak menyadari dan lebih memilih mengambil Jadrové di nakas, mengelus permukaannya yang kasar. Pemuda di depan pintu langsung bersikap waspada tapi aku hanya mencibir. Meloloskan Jadrové pada pergelangan tangan dengan gerakan sesantai mungkin, lalu tak melakukan apapun selain memejamkan mata. Membiarkan rasa sejuk menyenangkan menguasai pikiranku.

     Ternyata Ribka tidak hanya menyembuhkan luka-luka pada dahi dan bahuku tetapi juga menyembuhkan rasa nyeri yang aku rasakan di seluruh tubuhku.

     Aku harus minta maaf padanya. Tapi nanti. Setelah aku selesai dengan pemuda yang memang sudah seharusnya aku benci. Kemarahanku belum sepenuhnya reda. Namun tidak ada salahnya mendengarkan opini darinya.

      Siapa tahu dia memberiku jawaban yang memuaskan untuk semua hal yang telah terjadi. Atau lebih baiknya lagi di antara manusia-manusia aneh ini, ada yang mempunyai kemampuan untuk membawaku kembali mundur ke masa lalu. Maka sudah kupastikan Leah akan hidup bahagia selamanya di Sector Dva, akan kupastikan aku menolak Darf pemberian Avgustin. Akan kupastikan bahwa semua hal ini hanyalah bagian dari mimpi burukku.

    Suara gemerisik kain bantal dan pintu yang berdesis terbuka memberitahuku bahwa Ribka sudah pergi dari ruangan ini.

     Jadi hanya tinggal dua pemuda Sector Wan untuk kuhadapi. Aku menghela nafas lelah dalam hati. Karena tidak ingin disihir oleh mata tampan itu, jadi kupaksa kedua mataku untuk tetap tertutup. Namun aku dengan cepat menyadari bahwa menutup kedua mataku rapat-rapat berarti membiarkan kilasan demi kilasan mimpi buruk nyata berkeliaran di dalam kegelapan mataku, mendesak dan menertawakanku.

     Pada akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain menghadapi pemuda Sector Wan di sampingku.[]



Total : [2485 words]

Yeah, I'm smiling but inside i'm dying.

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro