
S I X [Repost]
DULU jika aku mulai cerewet akan keberadaan orangtua kami, mulanya Avgustin mengatakan bahwa mereka sedang pergi jauh dan tidak akan kembali dalam kurun waktu yang lama atau terkadang, saat dia sudah kehabisan ide, dia akan berkata jika mereka tak akan kembali sampai aku berhenti merengek.
Setelah usiaku cukup untuk mulai menerima kenyataan yang sesungguhnya, Avgustin pada akhirnya menyerah juga. Darinya aku tahu Ibu meninggal setelah melahirkan aku dan Ayah tewas dalam kecelakaan FlyMobs yang malfungsi. Aku tak pernah mampu mengingat dengan jelas wajah Ibu, atau, bahkan Ayah. Mereka pergi saat aku masih terlalu kecil untuk mengerti.
Avgustin tak pernah menyimpan foto dari kedua orangtua kami. Katanya, "Tidak ada gunanya menggenang masa lalu yang hanya akan membuatmu sedih."
Terdengar kejam memang tetapi perlahan, seiring berjalannya waktu. Aku mulai mengerti. Aku masih mempunyai Avgustin.
Walaupun dia jarang sekali ada di rumah, tetapi aku tidak masalah karena yakin dia berkutat dengan segala kesibukan itu demi kami berdua, sebab itulah aku tahu Avgustin menyayangiku. Terkadang saat dia pergi jauh dalam kurun waktu yang lama, Avgustin akan menyempatkan dari sedikit waktunya untuk ngobrol denganku melalui Cincin Identitas kami.
Selama Avgustin masih ada, aku tak akan pernah kehilangan siapapun.
Saat ini aku seharusnya mengatakan pada Acres bahwa dia tidaklah semengerikan itu atau sesuatu seperti penghiburan yang menenangkan hati. Tetapi aku bukanlah seseorang yang berpikir kalau berbohong akan membuat masalah selesai.
"Tidak," hanya itu satu-satunya kata yang kupikirkan dan mampu kukatakan.
Acres tertawa. Bukan jenis tawa yang menyenangkan tapi tawa sumbang tak enak untuk didengar. Pelukan tangannya mengendur. "Kau benar-benar payah, Ellie."
"Kau benar, jadi lupakan saja apa yang tadi kukatakan," kataku dengan rendah hati. Aku menepuk-nepuk punggung Acres sebelum melepaskan pelukan kami. Kuberanikan diri menatap jauh ke dalam matanya yang indah. Seharusnya aku berhenti berbicara tetapi aku tak mampu lagi menyimpannya untuk diriku sendiri. Ini adalah kali terakhir aku bisa mengeluarkan semuanya. Aku takkan menyia-nyiakan kesempatan.
"Tapi mereka amat menyayangimu, Acres. Kau memang egois dan jahat. Namun kau masih di sini, tak meninggalkan mereka. Itu lebih dari cukup untuk mereka--untukku--" Mata Acres sedikit melebar tetapi aku tak peduli dengan apa yang dipikirkannya saat ini atau nanti. Aku akan mengatakan apa yang selama ini sudah membebani pikiranku. "Aku senang mengenalmu. Walau Avgustin membenci pertemanan kita, tetapi aku tidak peduli. Aku tak akan membiarkan kau meninggalkan keempat adikmu--terutama Indra. Sejujurnya ketika di Tembok Perbatasan aku ingin sekali menamparmu. Sayangnya, Sector Dva tak akan senang melihat salah satu dari aset berharga mereka terluka."
Acres otomatis memutar bola mata saat mendengar kalimat terakhirku. "Kalau begitu tampar saja sekarang."
Aku menggelengkan kepala dengan kesal. Dasar tidak peka. Sebagai ganti, kucubit daging pada pinggangnya dengan sekuat tenaga. Acres mengaduh, memegangi tempat di mana jemariku memilin kulitnya. Aku tersenyum geli sekaligus meremehkan. Acres memang selemah itu untuk urusan fisik, kebanyakan begadang dan jarang berolahraga membuatnya lemah untuk urusan fisik. Ketika Arden bahkan sudah lebih tinggi dari kami berdua, Acres justru sebaliknya. Dia lebih pendek satu senti dariku.
"Itu," kataku penuh penekanan, "sudah lebih dari cukup sebagai ganti tamparan."
"Sial!" umpatnya, sembari meringis-ringis berlebihan. Tangannya mengusap-ngusap pinggang yang menjadi korban keganasan jemari tanganku.
Aku mengabaikan umpatan Acres dan berkata, "Aku senang kau memikirkan apa yang kukatakan saat di Tembok Perbatasan."
Acres segera berhenti pura-pura meringis. "Butuh berhari-hari untuk menyadarinya," katanya mengakui. "Aku lega kau mengingatkan aku. Terima kasih," sesaat dia terlihat ragu untuk mengatakannya tetapi aku tahu Acres akan seperti apa, "dan maaf." Lanjutnya hampir menyerupai bisikan.
"Oke," sahutku enteng, berusaha sekuat tenaga untuk menahan seringaian yang berlomba ingin segera kutunjukkan di depan Acres. Sebagai ganti aku mengulurkan tangan, dengan telapak tangan mengepal.
Acres menatap uluran tanganku, mau tak mau membuat kacamatanya kembali merosot. Aku nyengir dibuatnya, lalu berkata dengan percaya diri. "Satu tiket undangan untuk satu permintaan maaf."
Acres menutup mulut dengan kedua tangan, matanya membelalak. Dasar sok dramatis. Namun aku senang, itu artinya Acres sudah kembali menjadi Acres yang kukenal. "Astaga! Penjualan tiket belum dimulai tapi kau sudah mendapatkan Darf tiket untuk pertandingan final Radeon nanti? Jangan bilang kau berhasil meretas server Sector Wan. Astaga, kenapa kau tidak mengatakan kesuksesan itu?" desahnya secara berlebihan.
Aku menggerang, kutarik tangan Acres dengan tak sabaran dan mengguncangnya kencang. Percuma saja aku berbohong padanya tentang bagaimana cara aku mendapatkan tiket ini. Aku menekan Cincin Identitas Acres dan memindahkan lima slot tiket dari Darf di tanganku ke Cincin Identitasnya. "Avgustin memberikan ini padaku, Vlakas!" bentakku setengah hati. "Dan aku belum berhasil meretas server Sector Wan oke? Aku masih mencoba ...," aku bergumam, lalu melotot begitu melihat seringaian mengejek Acres. "Aku hanya tidak tahu apa yang merasuki pikiran Avgustin saat ini karena dia mengizinkan aku untuk mengajakmu ikut. Aku rasa dia mulai berubah pikiran tentangmu. Puas?"
"Kedengarannya adil untuk sebuah tiket VIP gratis," dia merangkulku singkat. "Grazie, Miamora." Bisiknya diiringi senyuman. Benar-benar tersenyum. Bukan senyuman samar yang hanya datang sekejap tapi sebuah senyuman tulus yang membuat tenggorokanku tercekik oleh tangan tak kasat mata.
Pada saat itu aku semakin menyadari bahwa waktuku dengan Acres semakin menyempit. Walau sudah tidak sesesak tadi tapi aku masih saja tetap merasa tidak berguna untuk Acres.
Aku membalas senyuman itu. "De rien." Sama-sama.
Dalam hati, diam-diam aku bertekad untuk menjaga senyuman langka Acres untuk terus muncul setiap harinya. Acres bukan hanya seorang sahabat tapi keluarga yang tidak pernah mampu kumiliki. Acres membantuku melengkapi rasa sepi yang tak pernah aku tahu ada di dalam diriku. Dia membantuku menjaga impianku untuk tidak pecah dan jatuh--terbuang sia-sia--karena kecerobohanku sendiri. Acres membantuku dalam banyak hal dan tak pernah sekalipun meminta balasan.
Jadi, bagaimana mungkin aku meninggalkan Acres meringkuk dalam kegelapannya yang tiada akhir? Jelas. Aku tak mungkin melakukannya.
"Terima kasih," kataku setelah kami duduk di ruang tamu. Memperhatikan Indra yang berlarian dengan pesawat hologram lungsuran dari abang-abangnya. Membuatku teringat dengan tumpukan GravObuv kekecilan di rumah. Setelah umurku tujuh belas tahun, aku tidak lagi membutuhkan GravObuv apalagi yang sudah tak muat di kakiku. Kebanyakan GravObuv masa kecilku adalah milik Avgustin yang dilungsurkan padaku. Daripada dibuang lebih bagus aku memberikannya pada adik-adik Acres.
Avgustin tidak akan keberatan dengan persoalan berbagi barang sepele seperti itu, begitu juga pemerintahan Chrone.
"Untuk apa?" Penampilan Acres sudah lebih baik setelah makan dan tidur sebentar itupun dengan paksaan. Sensor keamanan yang dibuatnya dari beberapa minggu yang lalu di kubus transparan sudah hampir selesai dan mungkin besok dia akan meminta bantuan Arden untuk memasangnya.
Aku menggendikkan bahuku. "Segalanya. Walaupun kau sekaku papan logam setidaknya aku senang memiliki seseorang yang mengerti aku melebihi diriku sendiri." Kedengarannya tidak manis tapi lebih baik daripada aku tidak mengatakan apapun. Aku cukup lega bahwa di sini tidak ada Islee ataupun Leah yang akan menguping pembicaraan kami dan meringis mendengar betapa memalukannya kata-kata itu.
"Kita sama-sama beruntung. Kau harus tahu itu," ucap Acres dengan tegas. Dia menutup layar hologram dari Cincin Identitasnya. Benar-benar tidak keberatan dengan julukan papan kayu itu. Acres menguap lebar, merosot dari sofa lalu tanpa merasa malu meringkuk dengan kaki menghadap ke arahku. "Membicarakan tentang perasaan membuatku kembali ingin tidur. Bangunkan aku jika Arden sudah selesai berkemas."
Dan itu adalah akhir dari percakapan kami hari ini. Aku berpura-pura tak menyadari bahwa Acres menghindari berbagai macam percakapan yang akan berakhir dengan ingatan tentang masa lalu kami atau tentang ingatan-ingatan buruk lainnya terutama ketika kami berada di rumah Acres.
Aku curiga bahwa Acres tak ingin aku mengungkit-ngungkit tentang janjiku padanya. Jadi seharian itu aku mengawasi Indra yang terkadang berlarian tanpa melihat benda-benda disekitar dia.
Islee turun setelah hari hampir malam lalu mengucapkan terima kasih padaku. Dia mengatakan bahwa tidak pernah dirinya bisa tidur senyenyak sekarang ini.
Leah dan Arden pulang dari Arcade tak lama setelahnya. Leah dan Indra terlihat bahagia sekali ketika Acres mengatakan bahwa mereka akan menonton pertandingan final Radeon dua hari lagi.
Entah kenapa melihat mereka bahagia membuatku merasakan kebahagiaan juga. Rasa menyenangkan itu membuncah tatkala Indra memeluk Acres dan mengatakan bahwa dia memaafkan teriakan Acres padanya tadi pagi dan berjanji bahwa dia tidak akan menyusahkan siapapun nanti di Sector Dva.
Sementara Leah kembali menggoda Indra tentang orang-orang dengan mata merah--sama sekali tak tahu bahwa dibelakang gadis itu, Islee melotot lebih seram dari deskripsinya tentang penduduk Sector Dva.
Aku duduk di pojokan. Sudah cukup puas sebagai penonton, dan membiarkan kelima saudara itu mengobrol tanpa adanya gangguan. Mereka saling menyayangi dan melengkapi. Itu saja sudah lebih dari cukup untukku.
Tiba-tiba aku teringat Avgustin, rindu padanya. Selama bertahun-tahun Avgustin mengajariku banyak hal, memberikanku banyak Darf bacaan yang harus kuselesaikan sebelum malam menjemput. Tangisan tidak akan membuat Avgustin mengasihaniku tapi mimisan dan demam cukup membuatnya kalang kabut.
Aku keras kepala tetapi tidak selalu berpura-pura tuli. Walaupun aku sebengis yang diharapkan calon Aviator Elite. Jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, aku masih punya rasa kasihan yang selalu menjadi momok bagi kehidupan sempurna yang diimpikan Avgustin untukku.
Andai saja waktu itu, aku tidak memberanikan diri menyapa anak dengan mantel lusuh yang duduk sembari memeluk lututnya. Terlihat telah kehilangan seluruh cahaya dimatanya. Saat ini, aku pasti akan berakhir dengan Holo Darf memusingkan di rumah. Kesepian dan putus asa menunggu Avgustin pulang dari Halder.
Aku tidak menyesali keputusanku memberikan sarung tangan kesayanganku untuk anak kecil itu. Aku bahkan tak menyesal ketika Avgustin memarahiku habis-habisan karena khawatir setengah mati--mengira aku diculik. Sebab hari-hari setelah aku mengenal Acres rasanya benar-benar membuatku menginginkan hidup yang lebih.
Terkadang, aku bersikeras untuk bermain seharian dengan Acres. Berniat mengabaikan tugas sekolah yang menumpuk, tetapi Avgustin akan sangat marah padaku. Sebagai ganti dari waktu bermain yang sia-sia, aku kemudian bermimpi untuk hidup abadi dan bahagia bersama Acres. Itu adalah pemikiran seorang bocah sepuluh tahun yang tak tahu masa depan apa yang telah menantinya ketika dirinya beranjak remaja nanti.
Aku pulang setelah malam makin larut. Acres memaksa untuk mengantarku. Aku senang bahwa aku bisa melihat ekspresi bahagia itu lagi pada wajahnya.
Kami menghabiskan beberapa jam lagi di tepi Danau Allur. Tertawa, berbisik-bisik mengomentari langit kemerahan di luar Glass Gate. Tak lupa kutitipkan GravObuv lamaku untuk keempat adiknya. Acres berusaha menolak tetapi aku bersikeras dengan mengatakan bahwa itu adalah hadiah perpisahan yang tak seberapa, dan Acres tak bisa lagi mengatakan berbagai alasan tak masuk akal untuk menolaknya.
Tetapi setelah mengingat Acres akan pergi. Aku kembali merasa tidak berguna luar dalam.
Sejujurnya aku ingin menahan Acres lebih lama di Danau Allur. Ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan pada Acres. Aku ingin bertanya lebih banyak. Namun kemudian aku berhenti memikirkan segala sesuatu itu, sebab tahu bahwa aku sama sekali tidak mempunyai hak untuk itu. Jadi, kusimpan dalam-dalam berbagai pertanyaan mematikan di dalam kepalaku. Untuk kebaikanku dan untuk Acres juga.
Saat ini melihat senyuman dan kebahagiaan Acres cukup untukku. Sekiranya sudah lebih dari cukup untuk menjawab rasa penasaranku akan hal-hal yang masih dia rahasiakan dariku.
Tapi kemudian aku kembali tak mampu berkata-kata ketika Acres menyelipkan sebuah jam tangan dengan warna emas dan desain yang kuno tapi artistik pada pergelangan tanganku, sembari memelukku dengan erat, dia berbisik dengan cepat ditelingaku. "Gunakan sebaik-baiknya, Lynx lincahku."
Aku belum sempat mengatakan apa-apa tapi Acres sudah melesat terbang ke langit yang merah gemerlapan. Meninggalkan jejak cahaya keemasan dari GravObuv tuanya.[]
Total : [1803 words]
I want to see my happy end, can you save me from my own dread?
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro