Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

S E V E N T E E N [Repost]

       SEHARUSNYA aku sudah bisa menebak skenario ini. Seharusnya. Dengan senyum cemerlang, Kadarius keluar dari sebuah pintu yang tak kutahu ada di sana. Hilang sudah cengiran di bibirnya. Dia maju tanpa senyum.

     Dia kini memakai pakaian serba hitam, yang justru merupakan pilihan bagus. Sebab matanya jadi semakin menonjol, berkilat was-was. Namanya di elu-elukan sedemikian rupa. Beberapa bahkan sampai menghentak-hentakkan kaki. Avgustin hanya mengangguk-angguk, sembari dengan masam bertepuk tangan setengah hati. Aku merasa tak sendirian karena bukan hanya aku seorang yang bergeming di tempat duduk.

     Pemuda pembawa acara mengangkat tangan, meminta perhatian. "Tahan, tahan dulu. Seperti biasa, sepatah dua patah kata AstroFight?"

     Xaya berbicara terlebih dahulu, tak ada lagi kesan takut di matanya. Tinjunya dia kepalkan di udara. "Lakukan sekarang atau tidak sama sekali!"

    Pemuda itu mengikuti teladan Xaya, bergumam dengan suara khidmat. "Lakukan sekarang atau tidak sama sekali." Pemuda itu membiarkan sorakan untuk Xaya terus bergema hingga reda dengan sendirinya. Selama itu aku terus memakukan pandang pada Kadarius, aku mau saja mengalihkan pandang dan pura-pura tak melihatnya. Akan tetapi ada sesuatu dari caranya matanya mengedip, ada sesuatu dari gerak tubuhnya yang tak mungkin bisa luput dari pengamatanku. "Nah, AstroFight sejati, sepatah dua patah kata? Oh, dan kuharap apa yang kau katakan kali ini berbeda dengan minggu lalu."

     Penonton bersorak menyetujui, Kadarius tersenyum sedikit. "Aku janji kali ini takkan mengecewakan."

     Kali ini dia disambut gelak tawa.

     Si pemuda mengangguk-angguk, sembari memajukan bibir. Mengaku kalah. "Nah, jadi?"

     Holo di atas arena sepenuhnya bisa menyorot wajah Kadarius lebih dekat. Mata itu seakan-akan menembus jauh ke dalam diriku. "Kau ingin mengenal kami?" matanya berkilat-kilat, melebarkan tangan. "Inilah kami."

     Aku tak tahu manakah yang paling dulu kusadari. Dentuman sorakan penonton atau dentuman pada ulu hatiku. Akan tetapi kedua-duanya sama. Sama-sama menggoyahkan aku. Mataku berkunang-kunang, untuk sesaat kukira duniaku saat ini runtuh dan aku sendiri hanya duduk di atas kaca nan rapuh.

     "Selalu mengesankan seperti biasa," puji si pembawa acara. Kemudian dia berdehem-dehem, menjentikkan jari selagi piringan hitamnya terbang keluar dari arena.

      Perlahan sesuatu muncul, menjadi pemisah antara tribun penonton dan area pertarungan. Suara itu menimbulkan sensasi ngilu tak tertahankan pada gigi-gigiku, romanku meremang, menyadari apa yang kusaksikan saat ini akan sangat mirip dengan apa yang semula kukira akan aku saksikan di Sector Wan.

     Aku mengerjapkan mata, menolak untuk berpaling. Pelindung itu berdenyar, sedikit menditrosikan bayangan di tengah arena. Akan tetapi tak sulit menyaksikan, pasalnya semua sudah direkam, dipertontonkan sedemikian rupa pada Holo raksasa sana.

     Aku melihat Kadarius, berdiri berhadap-hadapan dengan Xaya, hanya berpisah oleh jarak yang kemungkinan sudah ditentukan.

     Suara merdu si pembaca acara bergema entah darimana. "Kawanku sekalian, tanpa membuang waktu—Saksikanlah AstroFight yang ke sembilan puluh delapan tahun ini! Pada hitungan ketiga ..."

     Satu

     Aku merasa aneh dan terasing ketika menyadari jika Avgustin, serta puluhan orang lainnya menghitung dengan suara keras-keras. Gadis berkulit cantik di sampingku memandangiku dengan tatapan mencela. Kukatupkan bibirku rapat-rapat.

     Aku tidak menyetujui semua ini tetapi melihat bagaimana Kadarius bertarung sangat menggodaku—membujukku—untuk tetap duduk dengan manis. Membisikkan berbagai keuntungan yang bisa aku dapatkan. Aku harus tahu kelemahannya. Kalau dia pikir aku akan selamanya menjadi gadis penurut yang menyedihkan, aku tidak akan sudi. Aku hanya membantu. Aku harus tahu bagaimana cara mengalahkannya walau mustahil sekali tetapi tekadku bergaung lebih keras dari segalanya. Aku telah setuju dengan perjanjiannya. Aku juga sudah memikirkan masa depanku setelah semuanya selesai. Aku akan bebas. Aku akan segera pergi—dengan Acres—kemanapun asal jauh dari mereka dan semua hal sinting ini.

     Dua

     Xaya menyugar rambutnya dengan gaya main-main. Tetapi Kadarius diam bagai patung hidup di tempatnya. Waspada. Memperhatikan setiap celah, setiap kemungkinan. Aku sendiri bahkan hampir mampu membayangkan bagaimana roda-roda didalam otaknya mulai bekerja dengan cepat. Kilatan jahil dimata Xaya yang kulihat tadi sudah tidak ada. Ia memasang kacamata balapnya. Matanya menyipit tajam, dia mengepalkan tangannya erat-erat di kedua sisi tubuhnya. Sadar diri akan sikap lawannya yang tak ramah.

     Tiga.

     Gemuruh sorakan. Dadaku seolah-olah meledak bersama dengan sorakan di sekelilingku.

     Namun lebih dari itu, aku merasa sangat bangga karena berhasil untuk tidak melompat dan menerjang keluar untuk melarikan diri, ketika Xaya dan Kadarius sama-sama bergerak.

     Tinju Xaya menyasar wajah Kadarius, mengibarkan beberapa helai rambut hitamnya saat Kadarius menggelak dengan santai. Membalas dengan menyapukan kanannya ke arah betis Xaya yang sepertinya tidak terlalu menyakitkan untuk gadis itu. 

     Dia bahkan masih bisa membalas sapuan Kadarius dengan sabetan tangan berbahaya menuju leher pemuda yang bergerak secepat kilat untuk menunduk, mengulurkan tangan untuk memegangi pinggang Xaya, hanya untuk membanting si gadis di atas tanah dengan keras. Meremukkan satu tangan Xaya dengan kakinya, suara jeritan kesakitan yang bergema dari layar Holo membuatku merinding.

     Saat Kadarius berniat untuk melakukan hal serupa pada satu tangan Xaya. Secepat kilat di tengah derai air mata kesakitan, gadis Sector Dva itu meraup pasir, tanpa ampun melemparnya ke muka Kadarius.

     Kadarius sontak mundur beberapa langkah, mengerjap-ngerjap cepat. Xaya bangkit dengan satu tangan terkulai, menghampiri Kadarius, memukul rahangnya. Membuat darah serta dua giginya rontok.

     "Oh cara baru," gumam Avgustin, menumpukan satu tangan untuk menopang dagu. "Bagaimana menurutmu, Ellie?"

     "Kau pasti bercanda," desahku, sama sekali tak mengira jika suaraku bergetar seperti itu. Dan kenapa pula si pembawa acara biadab itu tak mengatakan sepatah katapun. Membuat suasana makin tak mengenakkan. Setidaknya untukku.

     Tak disangka-sangka Indira berkomentar, "Ini mengasyikkan."

     Aku cepat-cepat berpaling, menelan ludah dengan susah payah.

     Sepertinya dua orang itu benar-benar tidak mau kalah. Mereka mengeluarkan seluruh kemampuan serta tenaga mereka untuk saling memukul dan menahan serangan. Kemampuan beladiri keduanya juga tidak bisa dianggap angin lalu. Mereka berdua saat ini menggunakan senjata semacam tombak. Namun terbuat dari kayu untuk saling menyerang—tombak-tombak itu muncul dari langit-langit pada menit ke dua puluh—segera saja setelah itu pertarungan jadi makin seru atau lebih tepatnya berbahaya.

     Dengan arena yang hanya tinggal abu dan pasir, pertarungan terlihat semakin dramatis dengan efek-efek debu yang berterbangan setiap kali sapuan kaki, kibasan tombak dan gerakan luwes lainnya menimbulkan desingan angin untuk menerbangkan debu-debu di sekeliling mereka.

     Wajah kedua sudah babak belur, saat lampu di atas layar Holo berubah menjadi warna merah darah.

     "Ini akan jadi makin seru," kata Avgustin.

     Kadarius dan Xaya secara bersamaan menghentikan gerak pertarungan, melempar tombak-tombak bengkok mereka jauh-jauh dari jangkau. Kemudian mengambil langkah mundur masing-masing lima langkah. Berdiri saling menatap dengan tajam, saling menilai, bertanya-tanya dalam hati siapakah yang akan menyerang terlebih dahulu, seberapa tepat serangan itu berdampak pada lawan. Waktu semakin menyempit, aku bisa merasakan aura ketegangan menguar di antara penonton membuatku merasakan rasa sesak dengan tidak wajar.

     Namun kami semua tahu, mereka takkan selamanya berdiam diri seperti itu.

     Aku tak terkejut saat Kadariuslah yang memulai duluan. Dia mengangkat tangan di udara, bersamaan dengan munculnya duri-duri logam raksasa dari bawah tanah yang berpasir. Mengejutkan penonton, mengejutkan Xaya, dan terutama mengejutkan aku.

     Kadarius menggubah arena menjadi tak tersentuh oleh Xaya. Akan tetapi sesaat kemudian Xaya muncul di sisi kiri Kadarius, dengan kaki yang siap. Kadarius hanya perlu melirik untuk mengibaskan tangan, mengubah duri di sekeliling menjadi perisai besi, alhasil kaki Xaya hanya mengenai permukaan logam nan keras. Perisai besi Kadarius langsung terjatuh begitu saja dengan permukaan yang penyok.

     Xaya punya massa otot yang kuat.

     Penonton terkesiap. Bersorak lagi untuk pertunjukan kecil-kecilan dari Xaya.

     Kecepatan teleportasi Xaya juga tak bisa dianggap remeh. Tapi kemampuan Kadarius lebih tidak manusiawi, dia punya refleks dan indera yang luar biasa untuk membaca dengan tepat di mana teleportasi Xaya akan berakhir. Xaya terus menghilang, muncul sesaat lalu menghilang lagi. Terkadang aku melihatnya berdiri di samping arena lalu sesaat setelahnya sudah ada di depan Kadarius, mengayunkan kepalan tangan nan mematikan kepada Kadarius. Aku menyipitkan mata, untuk lebih berkonsentrasi, untuk bisa melihat penampilan Xaya yang hanya sesaat.

     Begitu sulur Kadarius berhasil menyabet tubuh Xaya, aku segera tahu bahwa apa yang kulihat bukanlah tipuan cahaya. Tangan sehat Xaya memang membesar. Mungkin itulah yang dimaksud Avgustin dengan Tangan Besi.

     Xaya terantuk batang duri logam dengan keras, Kadarius cepat-cepat mengepalkan tangan. Menghilangkan duri-duri logam di jalur yang akan dilalui tubuh Xaya yang hilang timbul, hanya menyisakan jejak goresan berdarah sejauh beberapa kaki dari tempat Kadarius berdiri. Akan tetapi sebelum sulur lainnya datang menyerbu untuk membelitnya, Xaya sudah menghilang lagi. Meninggalkan kepulan debu tebal di sepanjang tempatnya jatuh, kemudian sekelebat—seperti hologram yang berdenyar—dia muncul diatas Kadarius. Berteriak nyaring, Tangan Besi-nya membesar, seratus kali lebih berbahaya daripada sebelumnya.

     Suara benturan Tangan Besi Xaya dengan tanah berdebu di arena menggetarkan seluruh area di sekelilingnya—aku sampai memaku tanganku kuat-kuat dipegangan kursi—selama beberapa saat hanya debu-debu yang memenuhi arena. Menghalau pandangan penonton dari apa yang terjadi. Jantungku bertalu-talu seiring menipisnya kepulan debu. Walaupun aku benci pada Kadarius, aku takkan pernah mau menyaksikan isi tubuhnya berhamburan.

     Kemudian, disambut pekikan penonton, Xaya keluar dari kepulan debu dengan wajah memerah, jaketnya berkibar-kibar. Robek pada bagian dada sampai ke perut. Memperlihatkan luka torehan yang panjang di kulit seputih pualamnya. Walaupun aku hanya melihat luka itu sekilas. Bulu kudukku tetap saja berdiri dengan sendirinya. Sulur Kadarius jelas bukan hanya digunakan untuk membelit, tetapi juga untuk melukai dan tentu saja—membunuh.

     Hebatnya, Xaya terlihat tidak peduli dengan luka yang dia dapatkan, malah saat ini mata merahnya jelalatan. Memindai seluruh area di sekelilingnya. Mencari-cari keberadaan Kadarius di antara kepulan debu.

     Untuk sepersekian detik saat Xaya menghadap ke arahku—sangat terlambat untuk berteleportasi—yang mengerikan. Tubuh Xaya terangkat dari atas tanah. Perlahan tapi pasti hingga dirinya berada satu meter jauhnya dari tempat dia semua berpijak. Mata merah Xaya membeliak.

     Gadis di sampingku bahkan menutup mulut untuk membungkam jerit ngeri. Aku terpaku, mengeras seperti batu, karena tahu apa yang dialami oleh gadis tampan itu. Kelebat jaket hitam itu semakin jelas terlihat. Penampilannya kurang lebih sama berantakannya seperti Xaya. Akan tetapi, mata Kadarius. Yang biru gelap bagai warna lautan terdalam anehnya membara.

     "Kejutan," kata Indira dengan nada datar.

     Satu tangan Kadarius diarahkan lurus pada Xaya, selagi dia dengan terpincang-pincang mendekati lawannya yang sudah tak ada harapan untuk menang. Dua jemari pada tangan yang satunya, bergerak maju mundur, satu persatu, dari seluruh arena. Benda apapun itu berterbangan dan menempel pada tubuh Xaya. Gadis itu ibaratnya seperti sebuah magnet yang menarik besi-besi ke arahnya. Semakin seluruh tubuhnya dipenuhi besi, semakin pucat aku melihat wajahnya. Seolah besi-besi itu telah menguras habis darah dalam tubuhnya.

     "Kejam." Gadis di sampingku berkomentar. Dia menggertakkan gigi menonton adegan yang sedang terjadi.

     "Ap—"

     "Besi dengan intensitas ion tinggi, satu-satunya hal yang mampu memenjarakan kekuatan Lichas," ujar Avgustin. "Cerdas seperti biasa."

     "Tapi bagaimana?"

     "Maksudmu karena Kadarius Lichas juga?" Avgustin mendengus, dia sekarang menyatukan kedua tangannya dipangkuan. Mengeryit. "Dia beruntung karena merupakan salah satu jenis Lichas yang kebal akan hal itu."

     Aku mengeraskan rahang. Xaya sudah kalah. "Kalau begitu kelemahan Kadarius apa?"

     Potongan-potongan besi sudah berhenti melayang, dengan gerakan ringan jari tangannya. Kadarius membuat tombak-tombak kayu yang tadinya tergeletak begitu saja—sama sekali tidak dipedulikan—bergerak, menancap di tanah yang telah hancur.

     "Alangkah beruntung kalau aku bisa mengetahuinya, Ellie."

     Kemudian hal yang paling indah yang pernah kulihat disepanjang hidupku terjadi. Dua tombak kayu itu perlahan berkeriut lalu berubah dengan bunyi gemeretak keras menjadi dua pohon besar. Terus tumbuh ke atas. Bukan jenis pohon seperti dihutan karena daun-daunnya lebih kecil tapi rimbun.

     Penonton ber-oh dan ber-ah.

     Dahan-dahannya—bergerak seluwes gerakan jemari tangan Kadarius—menahan tubuh Xaya tetap berada di udara. Memasungnya.

     Sementara aku terlalu terpana untuk mencerna segalanya, seluruh penonton bergemuruh. Suara sorakan kemenangan ini lebih keras dibandingkan apapun, lebih keras dari ketika pertama kali Kadarius dan Xaya memasuki arena karena saat ini dibalik sorak-sorai itu beberapa pemuda menepuk-nepuk kursi tempat duduk mereka dengan wajah memerah, mata menyala-nyala kegirangan. Puas akan hasil akhir pertarungan.

     Mereka pasti bertaruh untuk Kadarius.

     "Tak terkalahkan!" Seru pemuda si pembawa acara, kembali muncul setelah kubah perisai menghilang. "Inilah dia, AstroFight ke sembilan puluh delapan kita!!"

     Kadarius tersenyum—setengah meringis—menanggapi sorakan itu. Xaya sudah diturunkan tetapi pohon-pohon itu masih tetap berdiri kokoh di sana. Sebuah piringan jet muncul. Kadarius membantu Xaya menaiki piringan jet. Piringan jet itu melesat diudara. Membawa Xaya dan Kadarius berkeliling arena. Xaya terlihat benar-benar lemah karena efek besi peredam tetapi matanya kembali berkilat-kilat jahil. Senyum miring itu kembali muncul, dia bahkan melambai lebih semangat dari Kadarius. Ikut menyanyikan yel yang tak pernah kudengar dimanapun.

     Aku tetap saja bergeming, memelotot, tak mau berpaling.

     Mata biru Kadarius menangkapku lagi dan saat ini aku sendiri—untuk alasan yang konyol—tidak mampu memalingkan wajahku dari pohon buatannya atau wajahnya atau senyumnya atau bagaimana mata biru kelam itu seperti menyampaikan pesan-pesan rahasia yang tidak akan mampu kupecahkan sendirian.

     Karena dia musuhmu, Ellie. Dia berbahaya. Waspada selalu.

     Aku tersentak pelan. Musuh. Tanpa menunggu, aku melompat dari kursi. Berjalan tergesa-gesa melewati deretan bangku untuk kemudian melangkah di atas anak tangga. Aku tahu pasti bahwa langkah-langkah yang membuntutiku saat ini adalah milik Avgustin, tapi aku tak peduli, malah makin mempercepat langkah.

     Aku ingin pergi, kemana saja asal jauh dari sini, jauh dari suara gemuruh penonton, jauh dari bau keringat, jauh dari apapun. Walaupun begitu jauh di dalam pikiranku, tiga bayangan muncul saling tumpang tindih, berlomba-lomba untuk menarik simpatiku.

     Permukaan, Acres. Pohon-pohon.

     Permukaan,tanah mati, dan Acres.[]

Total : [2103 words]

That's just what you are.
Didedikasikan untuk panutan saya. Kak Han.

-Your Fav Author, Prasanti.
Call me, Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro