Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

N I N E T E E N [Repost]

     NAMUN aku tak sempat menyelesaikan pengamatan sebab Ravi mencengkram rahangku, memaksaku untuk menatap ke arahnya. Jemari Ravi gemetar hebat saat dia mengangkat tangan, memperlihatkan jari-jarinya padaku. "Ellie, ini berapa?"

     Bukannya merasa habis jatuh dari tempat tinggi, tubuhku nyaris terasa seperti baru saja bangun tidur. Tak ada yang sakit. Hanya pegal di beberapa bagian. Masih tercengang oleh rasa itu, aku menjawab. "Tiga. Ravi mereka—"

     Dengan sekali ayunan keras Ravi menampar pipiku, satu gigiku rontok selagi Ravi memakiku. "Dasar gadis bodoh! Tulang retak, kepala terbentur keras, darah, ada banyak darah. Aku sendiri hampir mati karena menyelamatkanmu dari tukang jagal itu!" Tamparan untuk pipi yang satunya lagi. "Kau tadi sekarat! Sekarat Vlakas! Jangan! Jangan berani-berani membuka mulut! Kau ini ... kau ... benar-benar gila!" Ravi menggigit bibir, gemetar dari ujung kepala sampai ujung kaki.

     Suara dentuman yang menggetarkan tanah berikut suara rentetan peluru Sequoia mengalihkan perhatian Ravi seketika.

     Dengan wajah memerah, Ravi bergegas berdiri, mengangkat sepasang SwitchBlade ke udara. Aku berjengit saat dia berteriak lebih keras, melesat di antara pepohonan. "Jangan berani menyentuh teman-temanku, keparat-keparat bangsat kotor!"

     Aku menumpukan tangan ke tanah, berdiri sempoyongan begitu dentuman terdengar lagi, kali ini lebih dekat daripada sebelumnya. Aku harus pergi. Ini kesempatanku. "Kau mau kemana?" Aku menoleh, mundur selangkah saking terkejutnya baru menyadari jika aku tak benar-benar sendirian.

     Ras asia, Sector Wan, kalau dilihat dari warna rambutnya. Akan tetapi matanya ... matanya sama sekali tidak seperti Kadarius. Sekelabu arang, seperti badai topan. Dia beringsut makin dekat, tatapannya kian tajam. "Mau kemana?"

     Kembali ke Acres. 

     Namun suara tak kunjung keluar dari tenggorokanku. Dalam satu kali tarikan napas, bau kayu terbakar serta sesuatu seperti logam karatan membakar hidungku, otomatis membuatku terbatuk-batuk dengan mata berair. "Sudahlah Korain, berhenti menggodanya. Sebaiknya kau susul Ravi, dia takkan selamat kalau dibiarkan sendirian lebih dari sepuluh menit saja."

     Seorang lagi berjalan tanpa suara dari balik punggungku, meludahkan darah dengan jijik ke bawah. Walaupun begitu aneh bahwa dia sama sekali tak memiliki memar setitikpun di wajahnya. Jadi darah itu bisa saja berasal dari hal lain. Aku tak mau memikirkan kemungkinan lain itu.

     Kali ini aku mundur ke arah sebaliknya, mataku terbuka lebar-lebar. Pria ini—yang baru saja keluar dari kegelapan—hanya tiga kata yang mmapu mendeskripsikan penampilannya. Tinggi, besar, berotot. Akan tetapi yang paling membuatku tercengang adalah warna rambutnya, putih berkilauan. Seperti sesuatu yang murni, yang tak boleh kusentuh. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa dengan tubuh sebesar itu dia bisa bergerak dengan keluwesan nan mengagumkan. Aneh rasanya di situasi seperti ini aku justru memperhatikan hal remeh temeh seperti itu, bahkan mengomentarinya.

     Dia mengembuskan napas keras-keras saat Korain tak kunjung bergerak. "Korain ..."

     Korain memutar-mutar bola mata, tapi dia menuruti pria berperawakan besar itu tanpa protes. Pergi menyusul Ravi.

     "Aku Paxtof," kata si pria raksasa sesudah jaket Korain tak lagi terlihat. Dia menelengkan kepala sedikit, menafsirkan arti dari tatapanku padanya. "Ya 'kan, aku anak campuran yang itu. Kalian menyebut kami apa? Void 'kan? Anak laki-laki tadi—Korain sama seperti aku. Aku yang menyembuhkanmu tadi, bagaimana rasanya?"

     Rahangku seakan lengket satu sama lain.

     "Ya, aku tahu 'kan. Tak usah terkejut begitu. Kutebak kau baru pertama kali melihat manusia sepertiku 'kan? Mataku, rambutku, tubuhku." Dia meludah lagi, menghela napas lagi. Entah disengaja atau tidak Paxtof menyugar rambutnya yang sewarna dengan kertas kebelakang, mengotori warna itu dengan darah. Kemudian dengan acuh tak acuh, menjulurkan tangannya yang bersih ke wajahku. "Biar kusembuhkan bengkak di pipimu."

     Begitu Paxtof mengomentari keadaan pipiku, rasa sakit yang menyengat menyerang bagian itu, tapi secepat rasa sakit itu kurasakan secepat itu pula menghilang. Sensasi sejuk yang sama seperti yang kurasakan saat Ribka menyembuhkan luka di bahuku membanjiri pipiku, menggantikan nyeri yang berdenyut. Aku tak bisa untuk tidak membelalakkan mata, merasakan gigiku yang tadi copot tubuh kembali secara perlahan.

     Paxtof bersikap lebih sopan dengan tetap fokus pada pekerjaannya. Aku seketika menunduk sedikit, merasa malu. Tak pantas menatap seorang Void sedemikian rupa. Mereka terlarang, sudah semestinya tak ada, tapi seperti seharusnya segala hal disini berkebalikan dengan hukum Pheasen. Takkan jadi soal kalau disini ada orang yang senang menciptakan barang-barang yang heboh.

     Seakan-akan mereka sengaja membeda-bedakan diri dengan Pheasen. Sengaja melakukan segala hal yang dianggap tabu oleh Chrone.

     Lalu bedanya aku dengan Lichas ini apa?

     Pertanyaan itu menyentakku.

     Tidak. Tidak boleh. Jangan sampai.

     Lukaku termasuk kecil. Takkan membutuhkan waktu yang lama untuk menyembuhkannya. Akan tetapi aku mengira Paxtof sengaja berlama-lama, berpura-pura masih mengerjai lukaku, padahal—entah benar atau tidak—menurut tebakanku, dia hanya mengulur-ulur waktu untukku, supaya aku bisa memulihkan diri dari rasa syok.

     Aku mengerutkan alis, menggertakkan rahang. Apa aku kelihatan selemah itu?

     "Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyaku pada akhirnya, beringsut agak menjauh dari Paxtof untuk menegaskan bahwa aku baik-baik saja.

     Paxtof mengerutkan alis, menurunkan tangannya untuk lagi-lagi mengusap noda darah pada hidungnya. "Bisa dibilang kami di sini karenamu," dia menerawang jauh ke balik bahuku. Di mana suara-suara pertarungan bergema. "Yah, mau tak mau."

     Walaupun tak ingin, aku merasa terbakar oleh api tak kasat mata dari dalam. "Aku tak meminta untuk disusul."

     "Memang tidak," katanya cepat. Paxtof tak mengalihkan sedetikpun pandangannya dari balik bahuku. Tangannya mengepal makin erat. "Tapi Dewan takkan senang. Tidak, ralat. Dewan sudah tentu akan menghukummu setelah ini selesai."

     "Aku takkan kembali ke tempat kalian!" Bentakku hilang kesabaran. Aku tak bisa mengangkat tangan untuk memijit kening, akan tetapi tatapan saja sudah cukup. Aku memandangi Paxtof dan Ravi bergantian. Kalau saja egoku tak setinggi Paxtof, sudah dapat dipastikan aku akan jatuh berlutut. Jarang-jarang aku bisa semurah hati ini hanya demi kebebasan untuk berlari. "Biarkan aku pergi."

     "Ellie ..." desah Paxtof hampir sama memelasnya seperti aku.

     "Tidakkah kau mengerti!?" geramku disela-sela gertakkan gigi. Kalian membawaku kemari, memisahkanku dari Acres, membuat Acres terluka. Aku tak ingin hidup selamanya di bawah kungkungan rasa bersalah. Biarkan aku bersama Acres. "Tidak adakah salah satu dari kalian yang mengerti aku?"

     "Jangan pernah bicara soal perasaan kepada kami, Ellie." Paxtof maju selangkah. Kuperhatikan dia berjengit sedikit saat suara teriakan kesakitan yang membuat bulu kuduk merinding terdengar. "Sia-sia saja. Takkan ada yang peduli, memang siapa yang akan peduli kalau kau sendiri tak pernah mendapat tempat untuk dipedulikan? Ya 'kan? Tak ada. Sekarang, kalau kau mau keluar hidup-hidup dari tempat ini berhentilah merengek. UrsaMayor itu bukan parade penjemputan istimewa yang diperuntukkan padamu. Mereka kemari untuk membunuh—"

     "Tapi aku bukan bagian dari kalian!" sergahku berang.

     "Memang awalnya tidak 'kan, tapi entah kau suka atau tidak, kau terikat dengan kami—para Lichas."

     "Omong kosong." Geramku. Tidak akan. Jangan sampai.

     "Hiraukan saja sesukamu. Silahkan lari ke UrsaMayor sana. Lihat apakah mereka membelaimu seperti anak emas, atau mencincang tubuhmu seperti yang kami lakukan pada mereka." Paxtof mengendikkan dagunya pada tubuh yang sebelumnya kulihat.

     Seketika aku tahu darimana sumber bau besi karatan itu berasal. Cairan empedu bergejolak dari dalam lambung, seketika memaksa untuk keluar. Siapapun pasti akan bersikap sama andaikata melihat, apa yang kulihat saat ini.

     Aku cepat-cepat memalingkan wajah, kearah manapun selain pada tumpukan anggota tubuh itu, biarpun bau darah masih membuat mataku berair. Aku baru menyadari jika Paxtof sedang menatapiku lekat-lekat. "Kurasa tempat tidur lebih cocok untukmu."

     Tidak ada kesan menyindir dalam suaranya, tapi aku sudah terlanjur mengambil hati. Sudah terlanjur tak mau dianggap remeh lagi. Mungkin tidak hari ini, mungkin aku bisa melakukannya di lain hari. Tentu saja dengan langkah cermat dan ekstra hati-hati. Jangan sampai aku gegabah. "Lalu kau mau aku melakukan apa lebih tepatnya?"

     Aku nyaris tersedak ludahku sendiri saat sudut-sudut bibir Paxtof tertarik, memperlihatkan sebentuk senyum dingin nan keji. "Kau tahu apa yang sudah semestinya kau lakukan sedari awal."

     Sebagai calon Aviator yang handal di Sector Tres aku sudah digambleng supaya siap untuk menghadapi pertarungan yang tak terduga. Kalau bukan belajar tentang ilmu perpolitikan, latihan fisiklah yang akan kudapatkan. Latih tanding satu lawan satu, berkelompok atau mempelajari cara yang licik untuk menusuk musuh dari belakang. Jika kau mau menjadi Aviator yang disegani, kau harus memikirkan segala kemungkinan yang ada. Entah itu baik atau buruk.

     Akan tetapi saat ini keadaan yang terpampang jelas di depan mataku bukan jenis yang baik atau buruk. Kacau. Aku melihat kekacauan. Api, peluru, teriakan, hutan yang terbakar, keping-keping FlyMobs berjatuhan dari langit. Semuanya di luar kendaliku.

     Aku tercekat, perlahan merasakan kepercayaan diri yang sudah kubangun runtuh seketika. "Paxtof—"

     "Awas!" Seorang gadis tiba-tiba menempatkan dirinya di depanku, menghalangi sudut pandangku. Dia mengangkat tangan, tameng berpendar, melindungi kami berdua dari serangan peluru UrsaMayor. Aku terlalu terpana menyaksikan tameng menggeletar seiring tubrukan dengan peluru, saat dia menoleh padaku, melotot garang. "Ayo bangun! Bangun!"

     Paxtof membantuku berdiri, melempar hampir sebagian dari isi sabuknya padaku. Aku menangkapnya karena refleks, tanpa kata dia membalikkan badan, mengayunkan tinjunya pada UrsaMayor yang coba-coba mendekat. Gadis itu juga sama, bergantian menggunakan tamengnya sebagai alat pertahan dan senjata.

     Di atas sana aku melihat kelebatan tubuh saling gemur, bergerak cepat sehingga yang mampu kulihat hanya kilatan cahaya dari dua energi yang bertubrukan. Tanah di sekelilingku gemetar, aku mendengar tangis, teriakan, mencium bau darah yang seakan-akan membanjir dari sela-sela tanah. Aku melihat semuanya, menyadari bahwa apa yang dikatakan Paxtof benar adanya.

     Pasukan UrsaMayor ini bukan ditujukan untukku.

     Aku menegakkan punggung, tanganku geragapan menggapai Jadrové. Mengenggamnya erat-erat, seakan-akan benda itu adalah hidupku sendiri, atau memang seperti itulah adanya. Perubahan Sequoia baru setengah saat seorang UrsaMayor berlari ke arahku, menyadari kesempatan yang ada. Paxtof dan si gadis sama-sama disibukkan oleh hal yang sama, Tak ada yang menyadari aku sedang dalam bahaya. Takkan ada yang menolongku. Tak ada selain diriku sendiri.

     Sekarang atau tidak sama sekali.

     Aku mengayunkan kepingan Jadrové, berharap benda pemberian Acres hanya menghasilkan lecutan saja, tapi Jadrové sudah selesai bertransformasi. Bilah Jadrové dengan telak menyabet kepala si UrsaMayor. Darah seketika menyembur dari leher yang putus seperti sari anggur. Muncrat ke wajahku. Kepala itu menggelinding dekat kakiku.

     Mata emas mengintip dari retakan armor. Jeritanku tertahan di tenggorokan.

     "Kita mesti bergerak!" Paxtof berseru. Menggeram selagi mengangkat dua UrsaMayor sekaligus sebelum membenturkan mereka satu sama lain berkali-kali. "Yozita bergerak!"

     Aku berbalik, merapatkan punggungku sendiri pada punggung gadis bertameng. Tak ada waktu untuk menangisi mayat. Mengokang Jadrové. Tanpa ampun membidik UrsaMayor manapun yang berniat atau berada dalam jarak dekat denganku. Seorang UrsaMayor bahkan dengan nekat membenturkan dirinya sendiri pada tameng biru, alhasil membuat dirinya sendiri terpental cukup jauh, dan tak lagi bergerak. Akan tetapi karena benturan kejutan itu, kemampuan Yozita untuk sesaat hilang. Otomatis membuat sisi depan tak lagi terlindungi.

     Aku membeliak. Kalau Yozita mati, maka aku hanya tinggal menunggu nasib untuk menjadi yang selanjutnya. Tanpa berpikir aku mendorong Yozita bersama denganku untuk tiarap.

     Sialnya aku tak mengira bakal diserang dari atas juga.

     Tentu saja, Vlakas!

     Aku segera menumpukan lutut, memicingkan mata untuk membidik siapapun yang berusaha menargetkan aku. Namun saat yang satu jatuh, yang lainnya muncul lagi. Sementara di belakangku Yozita masih berjuang keras dengan tamengnya, yang hanya berkeredep hidup mati seperti lampu setengah lilin. Pemandangan itu membuat jantung mencelus. Di tengah-tengah kekacauan seperti ini. Aku hanya ingat satu orang yang bisa membantu.

     "Paxtof!!" Aku menjeritkan nama itu sembari terus menembak membabi buta. "Paxtof!!"

     "Terus coba!" geramku pada Yozita, berusaha menyemangatinya. Padahal rasa takutku sendiri kian lama kian mendesak. "Jangan ber—" Satu peluru UrsaMayor mengenai lengan kiriku. Panasnya peluru membakar sampai ke tulang, belum lagi rasa sakitnya minta ampun. Namun aku pantang melepas Jadrové. Kalau pun mati, setidaknya aku harus mati dengan terhormat. Aku berteriak untuk kali terakhir. "PAXTOF!!"

     Tak ada yang datang. Bahkan aku tak berkesempatan untuk memperhatikan area sekitar dengan lebih seksama, demi mencari keberadaan sosok berperawakan besar mirip Paxtof. Aku terlalu disibukkan oleh UrsaMayor yang makin lama terasa makin membanjir saja. Aku menyadari, kalaupun Paxtof melihatku mustahil dia mendengar teriakanku. Peluruku masih banyak, hanya saja yang benar-benar kubutuhkan saat ini hanyalah selusin tangan untuk menggunakan peluru sial ini.

     Keseimbangan tangan kiriku sudah mulai goyah, dan Yozita ... dia masih berkutat dengan dirinya sendiri. Aku sendirian. Benar-benar sendirian.

     Warna langit yang pas untuk mati. Merah gelap seperti hatiku, merah seperti bekas luka Acres, merah seperti darah yang muncrat dari dada UrsaMayor. Aku terkesiap, menyaksikan sendiri bagaimana sebagian UrsaMayor berjatuhan dengan dada yang tertombak. Pemandangan yang familier, tapi sebelum aku bisa menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Seorang melompat dari belakangku, memukulkan kepalan tangannya ke atas tanah.

     Semua benda entah itu hidup dan mati yang sekiranya satu meter jauhnya dari tempatku berdiri tersapu bersih. Hingga hanya menyisakan debu yang berterbangan, mengharuskan aku untuk mengangkat lengan demi melindungi mata dari serpihan yang membahayakan.

     Armor tempur kuno, rambut emas ikal, andaikata aku sedang tidak berada di tengah situasi kacau seperti ini. Aku bisa saja lupa diri, mengira pemuda yang kulihat saat ini adalah Acres. Siluet mereka mirip, sampai sakit rasanya begitu menyadari mustahil Acres ada di sini, berdiri di hadapanku dengan gagah. Gear biru gelap pada lengan si pemuda berdenyar seiring gerak tubuhnya. Warna yang sama dengan Gear pada lengan Yozita.

     Pemuda itu berbalik, mengulurkan tangan. "Bangun Neopyhte! Bangun!" Anak bawang.

     Aku menggapai uluran tangannya dengan tanganku yang masih sehat. Berdiri dengan lutut goyah.

     Si pemuda mengalihkan pandangannya pada Yozita, berkata tanpa tedeng aling. "Kita mundur."

     Yozita sudah berdiri juga, meski harus dipapah oleh Xaya. "Kenapa?"

     "Kadarius punya rencana lain." Ulang si pemuda, enggan mengatakan lebih banyak. "Xaya susul aku nanti."

     Xaya mengangguk, dia menggapai lenganku. Rasanya hampir sama seperti ketika aku diculik dari tengah kekacauan Arcade Illysiumstone. Dunia seakan-akan menciut, hal yang terakhir kulihat adalah punggung tegap pemuda Sector Tres, bagian tengkuk armornya berkilauan diterpa berondongan peluru dari berbagai arah. Kemudian dalam sekali kerjap, pemandangan mengerikan itu menghilang, digantikan oleh pemandangan yang jauh lebih buruk.

     Ada banyak Lichas di sini, kesemuanya muncul dalam keadaan payah atau bahkan sudah tak sadarkan diri. Sihan ada di tengah-tengah semua itu, aku tak mungkin salah mengenali perawakannya yang kecil ramping. Berulang kali hilang timbul dalam kegelapan malam. Satu kali dia kembali bersama dengan lima orang sekaligus.

     Xaya juga sudah tak kelihatan lagi. Kali ini Yozitalah yang memegang tanganku, sesekali meremasnya supaya perhatianku dari hal lain teralihkan. Aku mengerti, apa yang dilakukan oleh Yozita mungkin untuk mengurangi rasa bersalahnya sendiri. Dia tadi tidak berhasil melindungi kami berdua, terlebih lagi—aku bisa mengerti—hal itu juga mempermalukan dirinya sendiri. Dia melepaskan pegangan tangannya begitu aku sudah duduk. Masih menolak untuk menatap mataku, Yozita berkata, "Akan kupanggilkan seorang Oasis kesini."

     Saking kalutnya aku, sampai lupa menyadari bahwa luka tembak pada tanganku sudah dalam kondisi buruk sekali. Darah terus mengucur dari sana, tak bisa kugerakkan karena bengkak. Peluru itu masih ada di tempatnya, berdenyut-denyut lebih agresif dibanding detak jantung. Peluru aktif, yang akan menguras habis darahmu setelah sejam lamanya. Seperti lintah.

     Aku menunduk karena tiba-tiba merasa pusing, tapi kemudian menyesalinya sebab darah juga keluar dari hidungku. Kain celana pada bagian paha yang kugunakan sebagai tumpuan tanganku yang terluka benyek oleh darah.

     "Ellie ...,"

     Aku menjawab tanpa minat untuk melihat siapa yang sekiranya saat ini berada di depanku. "Aku terluka." Luka hati, luka batin, luka fisik. Menghela napas itu menyakitkan, bergerak itu menyakitkan, berpikir itu menyakitkan. Semuanya terasa menyakitkan. Aku ingin semua ini cepat berakhir, aku ingin mati saja.

     "Kau tak boleh begitu, Ellie. Angkat dagumu."

     Aku mendongak, saking cepatnya sampai-sampai leherku berderak. Bukan karena keinginanku sendiri, tapi karena dipaksa untuk bergerak demikian. Aku tahu siapa yang melakukannya. Aku tahu pasti apa yang ingin kulakukan padanya saat ini.

     Kadarius.[]


Total : [2469 words]

Will they hate us now?

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro