
F O U R T E E N [Repost]
"APA kau baik-baik saja?"
Aku tersentak pelan, menoleh, menyadari Ribka sedang memberiku pandangan takut-takut, tetapi khawatir. Mata emasnya melirik ke arah tanganku yang ternyata memegang pinggiran meja terlalu kuat. Begitu menyadari ke mana dia memandang, aku segera melepaskan pegangan, menautkan tangan di depan tubuh lalu mengangguk. Walaupun anggukanku terasa tak meyakinkan.
"Di mana Avgustin?" tanyaku. Menyadari bahwa tidak ada siapapun di Trib ini selain aku dan Ribka.
"Avgustin akan datang beberapa menit lagi," jawab Ribka tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Aku ber-oh pelan, berbalik untuk melanjutkan pengamatan. Malas bertanya macam-macam. Bukan urusanku Avgustin ke mana.
Mataku tanpa sengaja menangkap pintu bercorak seperti warna awan-awan diluar Glass Gate. Kurasakan badanku gatal-gatal, lengket akibat darah dari luka kemarin, yang masih meninggalkan bekas berupa bau amis menyengat. Seluruh inci dari tubuhku meneriakkan kata pembersihan total.
"Aku mau mandi." Pernyataanku pasti mengejutkan Ribka karena dia terdiam, tapi aku lega sebab sesaat setelahnya dia mengangguk menyetujui.
Aku mandi dengan cepat seperti biasanya. Aku tidak tahu kenapa tetapi aku selalu benci dengan kamar mandi, dinding dan semua perabotannya yang putih bersih. Semua hal itu membuatku sesak dan berkunang-kunang.
Aku tidak pernah mengatakan tentang kebencianku akan kamar mandi pada siapapun bahkan kepada Acres sekalipun. Karena kupikir itu adalah masalah pribadiku, sekaligus hal terkonyol yang patut ditakuti. Aku tak mau Acres menertawakannya.
Ketika sekat kaca di sekeliling shower terbuka. Aku melihat tumpukan pakaian yang tidak ada sebelumnya, bertengger di pinggir bak mandi. Pasti Ribka yang menaruh pakaian itu di sana.
Aku bersyukur Ribka membawakanku pakaian ganti karena gaun tipis yang kemarin kupakai sudah teronggok basah di lantai bersama dengan perban-perban penuh noda darah. Setelah tubuhku mengering aku memakai pakaian yang dibawakan Ribka.
Ada satu set pakaian dalam, kaos putih polos, celana hitam berbahan kasar yang mencengkram betisku dengan pas, sepatu bot sepanjang lutut yang memiliki aksen hijau di bagian belakang. Terakhir, aku memakai jaket jeans sepinggul yang kupikir memiliki fungsi yang sama dengan mantelku di Sector Tres.
Bahkan ada tudungnya. Aku memejamkan mata. Jangan pikirkan. Tidak sekarang.
Sebelum keluar dari pintu aku sempat melirik penampilanku pada cermin wastafel. Dahi yang mengerut, wajah tegang dan senyum masam. Sama sekali cocok dengan kondisiku saat ini.
Aku menggelengkan kepala, masih sempat mendengus setelahnya. Takkan ada seorangpun yang peduli dengan penampilanku.
Begitu pintu terbuka dengan sempurna, aku melihat sosok yang kutunggu-tunggu. Avgustin kembali pada penampilannya yang lama. Rambut pirang keemasan, mata emas dan tentu saja agar terlihat lebih meyakinkan-kacamata terakhir yang kulihat dia gunakan sewaktu di Sector Tres. Ribka sudah tidak berada di ruangan ini, kedengarannya lebih baik daripada harus menjaga semua emosiku hanya untuk membuat perempuan kikuk sepertinya tidak lari ketakutan.
Avgustin menepuk bagian kosong sofa di sebelahnya. Aku tidak melihat keberadaan sofa itu sebelumnya tetapi ketika mendekat aku tahu bahwa sofa itu tadinya tersembunyi pada dinding.
Aku duduk, dengan enggan menatap Avgustin. Tak bisa tak memperhatikan wajah yang mulus tanpa adanya luka bekas keganasanku kemarin. Untuk hal ini aku tidak menyukai keberadaan Ribka. Kedengarannya tidak adil tetapi aku tidak menginginkan cap kemarahanku dihilangkan begitu saja. Mungkin dibiarkan sedikit lebih lama untuk disembuhkan dengan cara alami, lengkap dengan perban dan beberapa bekas jahitan akan memuaskanku.
"Kau terlihat lebih baik," kataku setengah hati.
Avgustin mengelus dahinya, tempat di mana aku mengadu dahiku sendiri. Diluar dugaan Avgustin sudut-sudut mulutnya tertarik, tidak terlihat tersinggung ataupun marah.
"Kepalamu lumayan tajam," komentarnya diikuti kekehan ringan. "Dan kemampuanmu membela diri juga lumayan." Di balik kacamatanya, aku melihat dia memperhatikan bahuku, membuatku tanpa sadar menempatkan tanganku di mana luka sayatan itu pernah ada. Saat ini aku tidak merasakan apapun selain kulit dan tulang yang menonjol.
"Bagaimana dengan bahumu?" berbeda denganku, sepertinya Avgustin sungguh-sungguh menanyakan tentang keadaan bahuku.
"Sembuh seperti sediakala," jawabku singkat.
"Kedengarannya bagus. Kau harus berterima kasih pada Ribka."
Aku menggendikkan bahu. Sarannya justru mengingatkan aku akan kejadian kemarin, tetapi aku cukup pandai berpura-pura, jikalau hal itu tak mempengaruhiku. "Akan kulakukan."
Kemudian kami sama-sama terdiam. Aku dan Avgustin bukan jenis orang yang suka basa-basi, selalu kikuk sehabis bertengkar. Apapun yang kami katakan tadi membuat suasana menjadi makin ganjil.
Sementara mata kami saling menatap. Emas dengan emas. Aku kembali mengingat pada hari-hari dimana hanya ada aku dan Avgustin. Hari di mana tidak ada tugas pemerintahan yang menyeretnya menjauh dariku, hari di mana aku belum mengenal Acres. Hari di mana Avgustin terlambat log in ke Institut, gara-gara masih harus mengurusiku yang tidak bisa diam.
Tidak akan berhenti menangis sampai Avgustin menjanjikan sesuatu sebagai imbalan. Hari di mana ketika dia harus begadang semalaman karena aku demam tinggi atau hari dimana dia menggendongku karena aku merengek tentang betapa lelahnya berjalan. Avgustin tak pernah mengeluh, bahkan berakting sempurna seperti dia sungguh-sungguh kakak laki-lakiku.
Sangat sempurna sampai sakit rasanya jika memikirkan bahwa semua hal itu tidaklah nyata.
Setelah aku mengenal Acres, dan Avgustin sibuk dengan posisi Aviatornya di Sector Tres, aku bisa merasakan bahwa ada jarak tak terlihat yang memisahkan kami. Beberapa kali aku bahkan sampai mendiamkan dirinya, marah pada kesibukan Avgustin.
Saat Avgustin tidak datang di acara kelulusanku atau ketika dia membuatku khawatir setengah mati dengan tidak berkabar selama berhari-hari disebabkan oleh perjalanan antar Sector, tetapi setelah kupikir-pikir tak pernah sekalipun Avgustin melarangku untuk berteman dengan Acres--mungkin beberapa kali memarahiku sebab melalaikan tugas sekolah karena terlalu sibuk bermain dengan Acres--hanya itu. Selain itu tidak ada larangan atau apapun.
Ketika kutahu bahwa dia menggunakan Acres sebagai tempat berlindung untukku, disaat mata dan telinganya tidak ada untuk menjagaku, aku memaafkannya. Aku berkali-kali memaafkan Avgustin, karena dia adalah abangku satu-satunya.
Sekarang, setelah aku tahu bahwa dia bukanlah kakak kandungku, aku tidak tahu apakah saat ini aku bisa memaafkannya dengan semua kebohongan yang dia timpakan padaku.
Pendusta. Brengsek. Begitulah aku menyebutnya kemarin, dan aku tidak akan pernah menarik kata-kata itu kembali.
"Aku minta maaf." Semua kenangan itu terbakar seketika. Aku mengerutkan dahi. Kalu dia coba-coba menggunakan tipu muslihatnya lagi. Aku akan angkat kaki. Akan tetapi, apa yang dia lakukan selanjutnya membuatku tercegang.
Avgustin mencampakkan kacamatanya. Seperti permukaan Holo yang terdistrosi, perlahan rambut emasnya berubah warna menjadi merah. Bermula dari akar, sampai hanya menyisakan riak emas tak kentara pada ujungnya.
Matanya yang emas perlahan-lahan kehilangan warna sampai yang tersisa hanya warna kelabu muram. Kukira akan aneh melihat seseorang dengan alis merah tetapi Avgustin terlihat baik-baik saja dengan alis itu. Aku kehilangan fokus, tak mampu berkata-kata. Namun Avgustin mampu.
"Tapi kurasa permintaan maaf itu sudah tak ada artinya lagi bagimu. Seharusnya aku mengatakannya lebih cepat." Akunya dengan suara setara bisikan.
Avgustin benar. Di saat sudah terlambat seperti ini, permintaan maafpun tidak akan cukup untukku.
Sayangnya, kata-kata Kadarius yang menusuk tajam hatiku kembali terngiang. Pernahkah kau melihat dari sudut pandang orang lain? Kata-kata itulah yang tetap menahanku untuk diam dan tidak melakukan apapun yang merugikanku atau Avgustin. Seolah-olah sulur-sulur Kadariuslah yang menahanku saat ini dan bukan perkataannya.
Avgustin mengusap wajah. Aku tercengang, baru kali ini aku melihat raut wajahnya semenyesal itu. Ada kesakitan yang sama setiap kali Acres menatap para orangtua siswa di Institut pada mata Avgustin saat ini. Dan aku tidak bisa terus berpura-pura tidak menyadarinya. Tidak peduli ini merupakan salah satu strateginya atau tidak. Tatapan itu tetap saja melemahkanku.
"Siapa yang tidak pernah kehilangan, Ellie?"
Suara Kadarius kembali berhembus di telingaku. Merongrong dalam sampai ke tengkorakku. Alih-alih menutup rapat-rapat kedua indera pendengaranku, kutahan kedua tanganku untuk tetap diam di tempatnya.
Aku menguatkan diriku sendiri untuk berbicara, itupun setelah aku menelan ludah dengan susah payah. Berharap onggokan batu tak kasat mata yang tersangkut ditenggorokanku segera menghilang.
Akan tetapi sebelum itu, pertama-tama aku harus menyingkirkan keinginanku untuk mencekik Avgustin. Aku bisa mencekiknya lagi kapan-kapan.
"Kenapa aku, Avgustin?" tanyaku pelan. Aku sudah menanyakan hal ini pada Kadarius. Jawabannya tidak terlalu memuaskan. Namun aku masih saja tak percaya padanya. Aku tak ingin.
"Karena Ayah kita," jawab Avgustin tanpa ragu.
"Ayah kita?" tanyaku sembari menghela napas patah-patah, sembari mengepalkan tangan erat. "Kau bukan saudaraku." Aku tidak ingin mendengar omong kosong lainnya lagi.
Avgustin menggertakkan rahang, terlihat sekali apa yang kukatakan telah melukai hatinya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?"
"Kau dengan penampilan Sector Quattro itu." Rambut merah, mata kelabu. Sudah pasti Sector Quattro. Kalau kulihat lebih seksama, baru kali ini aku menyadari jika aku dan Avgustin sama sekali tak ada mirip-miripnya. Mulai dari bentuk wajah, bibir, mata. Bahkan cara kami tersenyum juga berbeda. Akan tetapi kemampuan Avgustin pasti membantu dia dalam hal itu. Sudah pasti. "Benarkah Ibu meninggal setelah melahirkan aku?"
Hening sesaat. Aku seketika tahu jika Avgustin bimbang dengan jawabannya sendiri. Gelagatnya itu justru membuatku makin resah. Aku menggigit bibir, meremas-remas tempurung lututku. Ayolah, Avgustin, katakan yang sesungguhnya. Tak ada lagi kebohongan. Jangan lagi. Aku tak tahu sejauh mana mampu bertahan.
Dengan satu tarikan napas nan memilukan, Avgustin menjawab. "Ibuku ya, tapi ibumu tidak, tapi sekarang hanya tinggal kita berdua." Setelah mengatakan hal itu Avgustin menunduk, tak mampu memandang wajahku, walaupun aku sendiri--untuk sesaat, lupa caranya menarik udara melalui hidung.
Mau tak mau kemalangan ini membuatku memikirkan Acres, betapa banyaknya persamaan antara aku dan pemuda pemurung itu. Tidak ada apapun di dunia ini selain saudara yang banyak untuk Acres. Sementara untukku, aku hanya punya seorang saudara-satu-satunya saudara yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah denganku. Pembohong ulung yang menghancurkanku dan Acres.
Jika dipikirkan lebih lama lagi, ternyata aku lebih malang dibandingkan Acres.
Aku membayangkan bagaimana reaksinya ketika mendengar cerita ini. Mungkin, semua kepalsuan ini hanya akan menjadi bahan lelucon kami yang tidak akan menghasilkan tawa atau senyuman melainkan air mata dan hati yang remuk redam.
Di saat-saat seperti ini, aku berharap kembali pada waktu tengah malam, di atas Tembok Perbatasan ketika Acres menanyaiku tentang keinginannya yang mustahil tetapi tidak kusangka sangat kuinginkan saat ini.
Keinginannya untuk pergi bersama-sama ke Sector Dva. Andai saat itu, aku tidak memikirkan Avgustin. Andai saat itu aku punya tekad yang kuat seperti Acres. Mungkin saat ini kami berenam sudah berjalan tertatih di atas Permukaan.
Kami akan baik-baik saja selama ada Acres dengan baju canggihnya. Kami tidak akan khawatir kekurangan apapun karena Islee akan punya banyak cara cerdas untuk mendapatkan makanan. Bahaya tidak akan pernah menghampiri kami semasih ada aku dan Arden, kami tidak akan bersedih karena Leah dan Indra akan membuat hari-hari yang suram terasa menyenangkan.
Betapa mudahnya berandai-andai.
"Tapi kau dan aku memiliki Ayah yang sama." Jawaban Avgustin segera memusnahkan segala harapanku yang tak kutahu muncul dari rasa putus asa yang kurasakan saat ini.
Dalam beberapa hal Avgustn terlihat mirip dengan Acres, bukan wajahnya tetapi bagaimana cara mereka memperlakukan aku. Setiap kali Acres berbicara denganku, dia akan selalu menunggu, menganalisa tiap kerutan pada wajahku sebelum kembali--dengan hati-hati--melanjutkan perkataannya.
Acres selalu mengalah untukku dan Avgustin pun melakukan hal yang sama. Seperti saat ini, Avgustin menungguku, melihat datangnya badai tetapi aku tidak ingin mengamuk atau semacamnya. Aku sudah lelah dan ingin semua ini berakhir secepatnya. Aku ingin meringkuk dalam selimut yang hangat dan tidak ingin seorangpun mengangguku.
Tapi di saat-saat seperti ini, berpikir apalagi mendambakan akan datangnya kedamaian merupakan hal yang mustahil terjadi.
"Jadi aku ... kau dan aku--" aku tak bisa meneruskan kata-kata.
Avgustin mengangguk, membenarkan kata yang tak sanggup terucap. "Kalau kau tak percaya, aku akan menunjukkan bahwa ada bagian dari sel darah kita yang sama. Kalau kau mau aku bisa menunjukkan rupa Ayah kita."
Aku tersentak. Merasakan seluruh dunia di sekelilingku berputar-putar. "Tidak!" sengalku. Ngeri membayangkan apa yang akan kulihat. "Tidak, tidak." Aku tak mau. Tujuanku kemari bukan untuk itu, seketika ruangan ini terasa lebih sempit daripada kelihatannya. "Aku ingin tahu tentang kalian. Siapa kalian. Kenapa kalian bisa berada disini. Dan--" aku meneguk ludah yang terasa asam. "tidakkah kau seorang saja cukup? Maksudku, kau juga anak dia."
Avgustin tersenyum kecil. Jenis senyum yang dia perlihatkan saat menahan rasa sedih. "Dia ingin aku menjagamu. Itulah tugasku satu-satunya."
Kemudian dia menghela napas, dengan cepat merubah topik pembicaraan.
"Kau penasaran kami disebut apa? Lichas. Julukan yang pas untuk orang yang dibuang karena kesalahpahaman," Avgustin merenggut, cibiran itu sesaat kemudian berubah menjadi getar lemah berupa kekalahan. "Dan Ayah sama seperti aku-seperti kami yang berada disini. Dia punya banyak hal yang diinginkan kami untuk bisa bebas dari keterpurukan ini."
Aku tersentak dan menggigil melihat betapa jujurnya mata kelabu Avgustin. Aku bukannya membenci mata itu, tetapi aku hanya membenci kemampuan dari mata kelabu itu. Sector Quattro tidak akan pernah kalah dalam memberikan rasa putus asa hanya dengan sederet kalimat. Dan saat ini Avgustin melakukan kengerian itu padaku, menambah fatamoraganaku tentang kehidupan yang bahagia di Permukaan bersama kelima Arhaki.
"Lalu kenapa kalian berakhir di sini? Kemana dia?"
"Ada beberapa hal yang tak sepatutnya ada, sesuatu yang bisa dibilang sama berbahaya dengan manusia buatan. Setidaknya begitulah anggapan Chrone tentang kami."
Aku merasakan dahiku berkerut. "Aku tak mengerti."
Avgustin membuat gerakan menepuk-nepuk pahanya dengan tangannya beberapa kali, seolah-olah sedang menyemangati diri sendiri atau memang seperti itulah adanya. "Kau mau melihat sesuatu yang luar biasa?"
"Apa?"
"Mau atau tidak?"[]
Total : [2072 words]
I have to write the meaning of my life or else everything's in vains.
-Your Fav Author, Prasanti.
Call me, Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro