
F O R T Y - T H R E E [Repost]
"TIDAK AKAN ada gunanya." Avgustin sendirilah yang menjawab. Tatapannya bertambah tajam seiring kata-kata yang dia keluarkan. "Memang benar saya berasal dari Sector Zero. Sayang sekali—menurut ayah saya—saya tidak masuk kualifikasi untuk menjaga rahasia ini, dan apakah saya tahu kode itu?" Avgustin menuding antar muka hologram. "Tidak. Sejujurnya jika saya tahu, sudah dari kemarin dulu masalah ini selesai."
Ada keheningan panjang setelah Avgustin menyemburkan kalimat itu.
"Dan Aurelion masih belum mengingat," gumam seorang pemuda Sector Quattro. Dia mengetuk-ngetuk dagu, menatapku dengan lapar. "Selain hal yang dimaksudkan tadi, apakah kita di sini untuk merembugkan solusi dari hambatan kerja otak ini, Kadarius?"
Hambatan. Ketidakmampuanku mereka sebut dengan hambatan. Denaya yang duduk beberapa kursi dari Ravindra yang sedari tadi diam membisu, mencuri-curi pandang ke arahku. Bibirnya mengerucut sedemikian rupa. Gadis itu barangkali sedang membayangkan dirinya sendiri merontokkan beberapa pasang gigi pemuda Sector Quattro. Aku sendiri takkan mencegah bila Denaya melakukannya. Bahkan kukira aku bakal duduk menonton dengan acuh tak acuh.
"Betul," Kadarius tidak menyangkal. Malah dia kelihatan senang ada yang mengungkit hal itu ke permukaan.
"Apakah penting? Apakah penting membawa hal itu sekarang?" Indira angkat bicara. Suaranya tidak hanya mengejutkanku, tetapi juga semua orang. "Sekarang saja kita kehabisan waktu. Tak perlu lagi mengorek lebih dalam. Saya pribadi meyakini bila Aurellion segera dikirim ke Sector Zero, ingatannya akan menyesuaikan sendiri. Visual nyata selalu membantu."
Walaupun pernyataan Indira niscaya mempercepat bencana apapun yang akan kulewati di Sector Wan. Aku tetap saja ingin memeluk dan mengucapkan terima kasih dengan lantang padanya. Sebab dengan begitu Indira sudah membungkam solusi mengerikan apapun itu yang akan diajukan oleh masing-masing mulut di ruangan ini. Aku tidak perlu mendengar omong kosong lagi.
Aku meneguk ludah, sembari menunggu dan melihat reaksi dari manusia-manusia aneh di sekelilingku. Beberapa orang bergumam pada satu sama lain. Sebagian lagi tidak perlu kasak-kusuk, mereka sudah seiya sekata dengan Indira, tidak terkecuali wanita itu.
"Saya setuju dengan Indira, bahkan saya kira hampir semua yang ada disini juga," wanita itu—Albercio Sector Dva berkata. Dia mengedarkan pandang, tetapi tidak ada yang menyangkal suaranya. Dan saat itulah dia menemukan aku, mengunciku dengan mata merahnya yang seram. "Namun bagaimana dengan Aurellion sendiri? Apakah Anda setuju, Ellie?"
Walaupun aku agak terguncang, karena dia menyebut nama yang sudah menempel padaku selama bertahun-tahun bahkan sampai sekarang dengan enteng, aku tetap saja terperanjat, tapi aku sendiri merasa lebih terkejut lagi saat mendengar suaraku yang sama sekali tidak gemetar seperti yang bayangku takutkan. Malah kupikir, suaraku setegar Tembok Perbatasan. "Saya tidak akan meragukan pemikiran Indira, Albercio Yelena. Lebih cepat lebih baik."
Seperti sudah diberi aba-aba Avgustin menundukkan kepala bersamaan dengan Mr. Crowe. Lain halnya dengan Yelena Armentrout, wanita itu tersenyum, gembira dengan jawabanku, atau, sesungguhnya dia gembira bahwa aku tidak menghiraukan keberadaan serta suaranya begitu saja. Dan sekedar untuk memastikan bahwa aku tidak berniat setengah-setengah. Dia bertanya sekali lagi. "Anda setuju?"
Tentu saja aku sudah bertekad, aku tak lagi membuat keputusan setengah-setengah. "Ya."
Di balik cahaya hologram dan sekian banyak mata yang memperhatikan. Mata biru hampa itu menusuk jauh ke dalam benakku melebihi yang lain. Menggerogoti tepian kesabaranku. Jangan tatap aku seperti itu, kalau ujung-ujungnya kita semua bakal saling menghancurkan. Namun aku menahan kalimat itu di tenggorokan, menelannya untuk kusimpan sendiri. Untuk adu mulut yang takkan membawa apapun untukku, aku jelas-jelas tak mau mengambil resiko.
Namun untuk hal lain, aku tentu tak merasa keberatan.
"Saya punya rencana yang lain." Kadarius berkata. Segera memudarkan senyum pada wajah Yelena Armentrout, mengejutkan hampir sebagian besar Dewan. Hanya aku dan para Void yang tetap bergeming, sudah menebak skenario yang ini. Akan tetapi walaupun demikian, jantung tetap saja bertalu-talu seperti tabuh genderang perang. Sementara mendengarkan lanjutan dari kata-kata kadarius. "Saya pikir bukan hal yang bijaksana membawa Ellie ke Sector Zero. Saya sudah mempertimbangkan ini baik-baik. Jangan lupakan bahwa saat ini kita tidak hanya menghadapi satu musuh."
Kulepaskan belitan tangan Korain, memelotot. "Lalu siapa?" Siapa yang akan kau korbankan kali ini?
Tanpa mengalihkan perhatiannya dariku, Kadarius mengetukkan jarinya lagi. Bergumam. "Bukan atas keputusanku sendiri." Antar muka hologram penampil berubah, memunculkan profil Lichas. Kadarius menekan-nekan sembari menjelaskan sedikit tentang mereka—para calon mayat itu. Yang pertama diperlihatkan adalah Harendra. Seorang Avian. Pelari. Pemuda yang beberapa hari yang lalu membuat aku jengkel. Peduli amat dengan keikutsertaannya atau tidak. Aku baru bisa bernapas lega apabila pertemuan ini selesai. Lichas berikutnya—Yozita. Ravindra bergeming dalam duduknya, menatap kosong pada wajah si adik perempuan di layar.
Aku mendengus dalam hati. Kurasa hal itu juga dibuat atas keputusan bersama.
Berikutnya seorang anak perempuan yang tak kukenal, belum pernah kulihat dimanapun. Tapi dari informasi yang tertera di sana dia memiliki kemampuan sama seperti Xaya. Sosok pria yang seumuran Avgustin dengan kemampuan Lichas Grieve. Suara adalah senjata mereka yang paling berbahaya. Lebih daripada itu, aku terkejut saat melihat siapa anggota terakhir. Orang yang tidak aku sangka-angka akan diikutkan. Ribka.
Tulang punggungku mendingin, memeras keringat dingin. Aku mesti menahan rasa mual yang terancam hendak menyerang begitu mengingat bagaimana aku dengan mudah bisa mengalahkan Ribka hanya dengan sekali kibasan. Oasis—mereka bukanlah tipe petarung, hanya segelintir yang memiliki tenaga lebih untuk melakukan hal itu. Salah satunya adalah Paxtof. Dan Ribka sama sekali tidak memasuki kriteria. Jika dia dimasukkan ke dalam situasi gawat, Lichas sepertinya hanya akan menyusahkan misi.
Kulirik Paxtof melalui ujung mataku. Dia ternyata sama terguncangnya seperti aku.
Satu Oasis takkan cukup untuk misi penting nan berbahaya. Sekurang-kurangnya Kadarius harus menyertakan dua atau tiga Oasis dalam tim. Alasannya sudah jelas, jika satu mati, masih ada yang lain untuk menggantikan. Namun sepertinya Kadarius tak berpikiran begitu, atau bisa jadi dia memang tidak memiliki niatan untuk melakukannya. Melihat dari betapa matangnya rencana yang dirancang oleh seorang manusia Sector Wan, aku yakin sekali bahwa Kadarius melakukan hal yang pertama.
Keparat sinting!
"Operasi oleh tim ini sudah diberangkatkan beberapa jam lalu. Saya berencana membuat garis depan sangat sibuk sehingga bagian belakang otomatis terlupakan ..."
Sayup-sayup di tengah ocehan Kadarius yan menggemuruhkan darah di telingaku, aku betanya-tanya. Apakah Ravindra mengetahui fakta ini? Korain pernah membeberkan padaku, jika Ravindra dan Yozita merupakan dua orang terdekat Kadarius. Aku yakin Ravindra tahu. Lalu ... kenapa dia hanya bisa diam jika tahu saudaranya akan di korbankan? Atau barangkali dia tak punya pilihan.
Pilihan ...
Kadarius bilang aku masih punya begitu banyak pilihan. Begitu banyak jalan yang bisa aku tempuh—
Kalau begitu aku takkan menyia-nyiakannya. Xaya dan Ravindra sudah banyak membantuku di Sector Dva kemarin, aku takkan membiarkan kesedihan yang sama menggerogoti mereka berdua. Aku takkan membiarkan rencanaku pecah belah seperti halnya hatiku.
"Dan apa?" aku memotong ungkapan rencana Kadarius yang seakan tak ada habisnya. Aku sudah berdiri, saking cepatnya sampai menjungkalkan kursi yang kududuki. Suara yang dihasilkan kursi yang mengenai lantai, segera saja menghentikan kasak-kusuk di sekeliling.
Dengan marah aku menampik tangan Korain. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dariku. Aku ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sulur-sulur Kadarius atau bergema-mega volt kemampuan Indira. Kekuatanku bahkan tidak akan mencapai setengah dari orang yang ada disini. Aku ini lemah, berguna hanya karena aku anak ayahku, karena aku adalah awal dari perubahan yang selama ini ditunggu-tunggu para Lichas. Namun tidak lama lagi, peranku akan habis, takkan lagi berguna begitu capaian manusia-manusia aneh ini digenggam oleh mereka.
Aku seharusnya senang dia membantu aku mengakhiri tugasku dengan lebih mudah, tetapi nyatanya ini tidak mudah untukku.
Aku tidak menginginkan hal ini.
"Aurelion—" Kali ini Avgustin yang angkat bicara, tapi aku sudah menggebrak meja. Menutup omong kosong apapun yang ingin diludahkan abang tiriku. Aku sudah mengorbankan banyak hal. Acres, waktuku, kesempatanku. Aku tidak mau semua jenis pengorbananku menguap dengan sia-sia. Aku tidak ingin lagi-lagi mesti terpuruk, menyesal untuk selamanya.
"Dan apa Kadarius? Apa yang bisa dicapai dari mengiring lebih banyak alasan bagi Pheasen untuk memojokkan kalian?" Kadarius tak tahu apa yang bisa dan sudah pasti akan dilakukan Pheasen, jikalau dia beserta para Lichas terus bersikeras untuk mencari serta mengorbankan beberapa nyawa demi hal yang sia-sia. Dia tahu tapi dengan sengaja membiarkan hal itu terjadi.
Sama seperti yang terjadi di Arcade, sama seperti saat kejadian berdarah di Perbatasan hutan Nahari. Bukan hanya dia seorang yang boleh mengorbankan seseorang demi kepentingan sendiri. Bukan hanya dia saja yang bisa mengelabui orang lain.
"Kau pikir hanya kita seorang saja yang sedang merencanakan sesuatu?" Peduli amat dengan sopan santun. Aku bukan gadis Sector Tres. Rambutku sudah kehilangan kemilaunya, menyusut menjadi sewarna rambut Paxtof. Bayanganku yang marah memelotot di refleksikan meja kaca, melirik sedikit saja, aku akan melihat warna hijau yang sama seperti mata Ayah. "Tidak benar demikian, Kadarius. Bukan hanya kau seorang yang berencana. Kita tidak bisa mengirim orang yang bahkan tak tahu seluk beluk Sector Zero. Semua itu sama saja dengan bunuh diri. Aku bukannya meremehkan kemampuan mereka, tapi aku tidak bisa berdiam diri di sini sementara teman-temanku pergi menyongsong maut. Biarkan aku pergi Kadarius."
"Ditolak." Tepis Kadarius dengan enteng.
Aku menelan kata-kata yang terdahulu dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih berbahaya dan tentu saja kemungkinan untuk disetujui sangat kecil, tetapi kalau aku tidak mencoba, aku takkan pernah tahu. "Hentikan timmu, suruh mereka kembali. Sebagai gantinya biarkan aku pergi ke Sector Zero."
"Aurellion keputusan yang diambil sudah disetujui—"
"Begitukah?" Aku merasakan kuku jemari yang puntung menggores permukaan meja sebelum melukai telapak tangan sendiri. Aku mengedarkan pandang, mendelik pada siapa saja yang berani memelototiku. "Begitukah yang kalian inginkan? Kehabisan waktu, kalah dari dua sisi, dan tidak mendapat apapun selain tumpukan mayat! Kalian pikir diri kalian cukup kuat untuk menahan UrsaMayor serta Albercio di Pheasen sana?" Dalam sudut pandangku Yelena Armentrout menyeriangi. "Oh, atau mungkin kalian menunggu sampai Chrone ikut camur juga? Wah ... aku sendiri tak yakin aku bakal hidup lama."
Selama beberapa saat seluruh dunia seakan-akan menciut, hanya ada aku dan Kadarius seorang. Saling tatap, mengobarkan perlawanan melalui mata. Aku sendiri tak yakin sampai kapan aku akan bertahan untuk tidak melompat ke atas meja, menerjang Kadarius, mencekik lehernya sampai patah.
"Dia benar." Aku menoleh, duniaku seketika kembali penuh oleh para Lichas. Menemukan Ravindra mengangkat kepalanya pelan-pelan. Gear berdenyar pada lengannya. Aku dengan tenggorokan tercekat menyadari, bahwa warna Gearnya bukan hanya satu. Melainkan perpaduan dari dua warna. Setengah warna Lichas Ravindra sendiri, setengahnya lagi merupakan warna dari Gear Yozita. "Kita akan menyia-nyiakan waktu dengan melakukan hal seperti itu, Kadarius."
"Kadarius, nak, walaupun beresiko tapi setidaknya kita takkan kehilangan dua sisi sekaligus." Michael Crowe berkata. Dia memberi aku senyum tipis tapi tulus. Dia masih mengenaliku sebagai gadis kecil yang ditemuinya di atas jembatan kaca di Sector Tres. Hanya ditemani seorang abang yang pekerja keras.
Di samping Crowe, Avgustin menggeleng. Gerakan itu kecil, hampir tak terlihat. Kukunya yang dicat merah mengetuk-ngetuk permukaan meja. Orang lain mungkin melihat gerakan itu sebagai gerakan yang biasa, tetapi aku tahu maksudnya. Kalau aku nekat, maka Avgustin juga akan melakukan hal yang sama. Bila aku menyerangnya, Avgustin takkan ragu lagi untuk membalas. Dia mau aku mengikuti Kadarius.
Aku membalas dengan dengusan. Merasa frsutasi sebab Avgustin masih saja mengekangku. Tidak mempercayai keputusan yang kubuat.
Lebih daripada itu kepalaku serasa diuleni oleh satu pengaduk raksasa.
Kadarius tidak berkedip saat dia berkata, "Ellie masih belum memiliki kualifikasi untuk berpergian ke Sector Zero. Ditolak."
Suara kursi yang menabrak dinding kaca, debam pintu raksasa, langkah kaki yang bergegas dan suara pukulan dari dua kubu yang bertentangan. Semudah itu. Lebih mudah lagi apabila tidak ada seorang pun yang peduli kemana aku pergi.
Aku tersengal-sengal berlari menjauh dari orang-orang yang berniat menyeret aku supaya kembali ke Ruang Pertemuan. Namun selagi aku tak berhenti, tak menengok ke balik bahu. Aku akan lolos dengan mudah—walaupun takkan lama tapi bisa membuat aku berpikir jernih, mungkin sekadar menggerigiti kuku-kukuku yang malang atau menggaruk kulit kepala sampai terasa perih.
Aku bisa melakukan banyak hal. Banyak hal. Pengecualian bila rasa lelah dan ketidaktahuan menyergapku dari berbagai arah. Dua hal yang baru kusadari itu, membuat aku memerosot pada dinding di ujung lorong, pada akhirnya tersesat juga. Dibingungkan oleh beban dan setiap belokan serta tikungan yang mengepungku dari segala arah. Aku tidak mengenal tempat ini, apalagi tanpa keberadaan satupun alat yang berguna menempel pada tubuhku.
Aku dulu punya Cincin Identitas, beberapa hari yang lalu aku masih menggunakan Gamma. Sekarang yang tersisa dari dua benda itu hanya bekas kemerahan yang takkan hilang dengan mudah. Saat ini aku merunuti bekas itu, apa yang tertinggal padaku saat ini belum seberapa dibandingkan dengan luka sayat pada tangan Acres. Luka itu seperti kelabang raksasa. Kaki seribu orang dulu menjulukinya.
Jenis binatang menjijikkan.
Tetapi apa peduliku? Aku sudah selesai urusan dengan Acres. Kami sendiri yang menyatakannya. Tanpa paksaan. Semata-mata terkekang akan janji yang sudah dibuat oleh masih-masing individu. Tak ada yang mau mengalah sebab aku keras kepala, begitu pula—sama halnya dengan Acres.
Dan sekarang lihat bagaimana semua ini berakhir.
Acres tolol! Aku idiot!
Acres tidak menyukai Pheasen. Tidak akan pernah.
Kubilang pada Avgustin bahwa aku tidak akan pernah lari lagi. Tidak sekarang, tidak pula pada hari-hari mendatang. Aku tidak lari, aku hanya tidak bisa menerima kemalangan yang semakin aku coba hiraukan, semakin keras pula nasib itu menderaku. Mengurungku dalam keterkungkungan.
"Hei ..."
Aku mengangkat kepala, tahu wajahku saat ini pasti berantakan. Jadi wajar saja Korain memberiku tatapan prihatin, dia berdiri dengan canggung. Begitu pula dengan Denaya. Saat aku tak kunjung menjawab, Denaya bergerak, memutuskan untuk keluar dari balik bahu Korain. Dia ikut memerosot di sampingku, tanpa berkata-kata langsung melingkarkan lengannya pada sekeliling tubuhku. Aku tak tahu mana yang benar, tubuhku yang terlalu dingin atau karena kemampuan Denaya yang bisa memanipulasi suhu rendah.
"Kami sudah dengar," gumam Yorick. Tidak perlu menebak apa yang dimaksud olehnya. Sebenarnya aku tidak kuat untuk membuka mata, melihat wajah yang sama menderitanya sepertiku, tetapi aku mengencangkan rahang. Begitu melihat Korain untuk kali kedua, aku menyadari jika mata kelabu itu memerah. Aku jadi sakit hanya dengan memikirkan betapa bukan hanya aku seorang yang telah kehilangan begitu banyak. "Apa yang akan kita lakukan, Ellie?"
Apa? Alih-alih menggeleng, aku mengendurkan segala emosi yang mengungkungku lalu menjawab. "Apa kalian percaya padaku?"
Berbeda dengan beberap jam lalu saat aku pertama kali mempertanyakan hal ini. Mereka bertiga serempak menjawab. "Tentu saja."
Denaya mengeratkan pelukannya.
"Bujuk Indira dan Paxtof, ajak mereka ke Ruang Persiapan, tunggu aku di sana."
Tanpa berkata-kata mereka bergegas pergi. Setelah punggung Yorick menghilang di belokan, aku berdiri, dengan keras mengusap mataku, menghapus jejak air mata yang tersisa. Menangis takkan menyelesaikan masalah, menangis takkan membuat Yozita dan para Arhaki selamat.
Aku berjalan ke arah yang berlawanan dengan para Void. Kali ini dengan pikiran yang lebih jernih, aku mampu melihat semuanya dengan jelas. Tak lagi tersesat. Tak lama aku sudah sampai ke Ruang Pertemuan, yang ternyata hanya menyisakan satu orang setelah kekacauan yang kusebabkan beberapa menit yang lalu. Masih ada jejak dari kejadian itu. Kursi-kursi yang tak pada tempatnya, meja retak dan aku bahkan melihat lantai dan dinding juga mengalami nasib serupa.
Begitu aku masuk, Kadarius menggerakkan pintu raksasa hingga berdebum menutup. Aku tak peduli akan tertutupnya jalan keluarku. Itu bagus malah.
Kadarius memelotot padaku, wajahnya bengkak sebelah—disikut oleh Indira saat aku pergi tadi. "Kau seharusnya mendengarkan terlebih dahulu, Aurelion." Tukasnya bahkan sebelum aku membuka mulut, tetapi aku senang dia sudah membuka jalan terlebih dahulu, sehingga aku tak perlu ambil pusing memikirkan kalimat apa yang mesti kukatakan.
"Kurasa tidak." Aku melangkah makin dekat ke arah Kadarius. Sarung tangan yang kukenakan mendengung.
Kadarius terlambat menyadari saat aku memukulkan tanganku yang bersarung tangan pada wajahnya yang bengkak. Darah merah muncrat, aku bahkan tak memiliki waktu untuk sekadar berjengit saat melancarkan pukulan yang berikutnya di ulu hati Kadarius. Dia tersentak, jatuh terjengkang dengan kursi yang penyok. Kakiku mengayun, memberi tendangan telak pada rahang sempurna itu. Mau tak mau merasa puas karena salah satu dari sekian anganku selama ini akhirnya terwujud.
Mataku menemukan benda yang menggelantung pada ikat pinggang Kadarius. Berkilauan, menarik perhatianku. Aku mencerabut benda itu lalu memasangnya kembali pada pergelangan tanganku.
Kadarius tidak pingsan, masih belum. Aku menginjak kedua tangan Kadarius yang hendak bergerak memanggil kemampuannya untuk memerangkapku lagi. Bunyi tulang berderak memekakkan telinga, Kadarius merespon kehancurna tulang jemarinya dengan berteriak sembari mengumpat-ngumpat. Dari sarung tanganku keluar jaring yang menahan kaki Kadarius yang tak kalah berbahaya dengan tangannya. Aku sengaja menjaga jarak barang beberapa senti dari wajah Kadarius, berjaga-jaga dari terkena sndulan dari kepalanya.
Aku tak mau, tak sudi lagi berada di bawah bayang-bayang mata hampa itu.
Selagi menambah tekanan pada kedua tangan, aku mencondongkan tubuh, mendesis tepat di depan wajah pemimpin para Lichas. "Semua orang pernah tersakiti, Kadarius. Sama halnya denganku. Namun aku tidak seperti dirimu. Aku takkan menunggu sampai kehilangan lebih banyak."
"Hati-hati, Aurellion," sengal Kadarius. Masih keras kepala sampai akhir rupanya.
Aku mencibir, menambah tekanan pada tulang yang sudah hancur. "Kuharap kita tak pernah berurusan lagi."
Kali berikutnya Kadarius tak lagi menggeram, dia berteriak. Lalu ketika teriakannya mulai mendirikan bulu kuduk di sepanjang lengan, aku memberi Kadarius tendangan pamungkas yang segera membuatnya berhenti bergerak, berhenti pada waktu yang tepat sebelum aku kehlangan kewarasan. Bersamaan dengan pintu raksasa di belakangku menjeblak terbuka, kukira aku akan dihadapkan dengan para Lichas pendukung Kadarius, mereka menyerbu dengan wajah garang, memerangkapku sekali lagi. Namun aku segera menghembuskan nafas dengan lega begitu melihat Indira, Yorick, Denaya beserta Paxtof dan Korain.
Yorick dan Denaya terperangah melihat sosok Kadarius yang tergeletak berdarah-darah di bawahku. Aku segera tersadar akan posisiku saat ini, dengan cepat beringsut jauh-jauh dari Kadarius. menyadari apa yang baru saja kulakukan pasti dilihat sebagai kejahatan tak termaafkan oleh Yorick maupun Denaya.
"Ayo,"ajak Korain, dia bahkan tak repot-repot melirik Kadarius. "Kita tak punya banyak waktu." []
Total : [2838 words]
GRAVEYARD
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro