
F O R T Y [Repost]
SUATU ketika aku dan Acres punya waktu luang yang lebih banyak daripada hari Perayaan Perdamaian atau hari biasa lainnya. Kami berdua memanjat Tembok Perbatasan tanpa rasa takut pada sore hari, berniat melihat pergantian hari. Itu ide Acres. Aku bilang itu adalah gagasan yang konyol karena menurutku pemandangan langit di pagi hari hampir sama jeleknya dengan pemandangan langit di hari-hari yang selalu kami jalani. Namun Acres bersikeras, seperti biasanya tak mau mendengar pendapat menjatuhkanku.
"Kalau kau benci langitnya, tatap saja aku. Bukankah kau suka melakukannya?" desah Acres kesal.
Aku meninju lengan kurusnya dengan setengah hati, berusaha keras mengabaikan rasa pipiku yang membara. Bulan ini sudah memasuki minggu ketiga musim semi, sudah dua bulan lamanya semenjak Acres lulus dari Institut. Tetapi bukannya menerima undangan terhormat pemerintah Sector Tres untuk mengikuti ujian masuk Aviator bersama murid pilihan lainnya. Acres mengabaikan kesempatan emas itu, dan justru lebih memilih-tanpa ragu-ragu-mengambil alih pekerjaan yang biasa ayah dan ibunya dulu lakukan.
Selama itu juga Islee atau terkadang Arden mengeluh padaku, mereka telah berupaya untuk merubah keinginan Acres untuk melanjutkan pekerjaan sia-sia orangtua mereka. Namun upaya Arden ataupun Islee tak pernah mendapatkan hasil yang bagus. Selama itu pula, setiap malamnya aku selalu memikirkan kalimat apa yang bisa kukatakan untuk membujuk Acres, sebab sebagai sahabat dekatnya, aku merasa memiliki kewajiban untuk melakukannya. Biasanya pemikiran itu diikuti oleh pertanyaan lanjutan lainnya; Kapan waktu yang tepat untuk mengatakannya? Aku tak pernah punya cukup keberanian. Tetapi hari ini, harus ada perubahan atau tidak sama sekali.
"Aku cemas, Acres," kataku dengan suara terpelan yang pernah kukeluarkan selama berbulan-bulan sejak Avgustin murka padaku karena lagi-lagi melalaikan tugas.
"Aku berharap kecemasanmu ini tidak ada kaitannya denganku," Acres bergumam dengan suara pelan, menundukkan wajah, berharap tebakannya salah. Aku tidak segera memberi Acres apa yang dia mau, yang berarti bahwa memang apa yang dikatakan Acres benar adanya. Aku mencemaskan dirinya. Malah kupikir aku bukan lagi cemas, tapi khawatir. Acres tak pernah meminta bantuan secara finansial dariku, bukan hanya karena Pheasen tidak mengizinkan, tapi karena atas kemauan keras dari Acres juga. Semuanya jadi sulit gara-gara itu. Sekarangpun demikian.
Di bawah cahaya matahari sore hari, Rambut Acres yang sewarna emas namun dengan gradasi lebih kusam daripada rambutku-sedikit berkilauan. Rambutnya sudah memanjang padahal seingatku baru dua bulan yang lalu Islee memangkasnya. Terkadang saat aku memandangnya. Aku selalu iri dengan kecepatan pertumbuhan rambut Acres sebab rambutku sendiri membutuhkan waktu berbulan-bulan lebih untuk bisa mencapai panjang rambut para gadis yang ideal di Sector Tres. Sampai sebatas pinggul. Sejujurnya aku lebih dari iri dengan segala hal yang dimiliki oleh Acres. Hal-hal yang tak pernah bisa aku miliki. Daftarnya selalu ada tiga, yaitu saudara yang selalu ada untukmu; kepala dingin, dan orangtua yang keren.
"Kenapa Ellie?" tanyanya dengan sabar. Menanti jawabanku.
Aku ingin bersandar di bahu Acres, ingin memeluknya erat-serat. Semenjak dia mendapatkan bekas luka mengerikan di tangannya, aku selalu mempunyai keinginan tak tertahankan untuk memeluk pemuda malang ini, tetapi seperti halnya keinginan yang tak pantas, aku juga punya beribu cara untuk menepis keinginan menyedihkan itu jauh-jauh dari kepalaku. "Kau sudah lulus dengan nilai di atas rata-rata, Acres. Aku dengar dari Avgustin bahwa beberapa kursi Aviator sedang kosong. Kau tahu-ini kesempatan yang bagus. Kudengar juga, kau mendapat undangan ujian Aviator Elite. Kenapa kau tidak mengambilnya?"
"Dan kau tahu jawabanku masih sama, Ellie," pungkasnya. Mengabaikan hatiku yang mulai tersayat-sayat oleh tanggapannya, tetapi walaupun begitu Acres tidak bergerak menjauh, dia mengambil tanganku. Menggenggamnya dengan lembut. Jempolnya mengelus tempat di antara ibu jari dan telunjukku. Begitulah Acres. Mengesampingkanku sekaligus menarikku mendekat. "Aku tak tertarik dengan kursi-kursi hampa itu."
"Berikan aku alasan yang masuk akal, Acres," mohonku setengah putus asa.
"Bukankah sudah jelas? Di sana, di kursi-kursi hampa itu aku akan selamanya terkekang, terbelenggu. Aku tak suka begitu. Aku tak mau kebebasanku dibatasi," katanya dengan lugas. Aku lupa bagaimana Acres selalu menjadi pribadi yang menjunjung tinggi kebebasan dan kedamaian, dua hal yang sedari dulu selalu diimpi-impikannya. Sejenak aku meragukan jawabannya, jauh di dalam mata emas sendu Acres, aku melihat alasan lain. Alasan itu lebih kuat dan lebih menyedihkan daripada alasan yang baru saja dia katakan. Tapi Acres tahu, aku tahu, alasan itu lebih baik tetap disimpan saja.
"Bagaimana dengan tujuanmu untuk pergi ke Permukaan? Impianmu. Bagaimana caramu mewujudkannya jika kau tidak ada di atas kursi-kursi itu?"
Acres memandangku dengan raut wajah yang aneh. Dia menggeleng, tangannya dengan lembut merapikan anak-anak rambutku yang berantakan diganggu oleh angin di ketinggian Tembok Perbatasan. Telunjuknya berlama-lama di pelipisku.
Seingatku Acres lebih suka merasakan denyut syaraf dibandingkan debaran jantung. Dia bilang, denyut syaraf itu terasa lebih hidup dan realistis untuknya, sama seperti pipa-pipa atau kabel yag memenuhi bagian dalam robot. Tetapi Acres bohong, dia bukan tidak menyukai debaran jantung seseorang, dia hanya takut untuk mendengar sesuatu yang suatu hari nanti direnggut darinya.
"Bukan seperti itu caraku. Bukan hanya kursi itu caranya. Ada banyak, Ellie."
Aku menangkup tangan Acres, mengenggamnya erat dengan kedua tanganku. Kutatap matanya lekat-lekat selagi bertanya. "Kau mau memberiku petunjuk?"
"Tentang apa?" dia bertanya dengan lembut. Meminta penegasan. Atau seperti itulah yang Acres ingin aku pikirkan. Dia seharusnya tahu aku tidak semudah itu bisa dialihkan. Acres hanya mencoba mengulur-ngulur waktu untuk merangkai kalimat yang tepat, supaya aku berhenti bertanya-tanya. Supaya dia tidak ambil pusing dengan cermah-ceramahku.
Permukaan dan cara lainnmu kesana. Jeritku dalam hati. Merasa jengkel karena dikesampingkan."Tentang-seperti apa caramu yang lain itu. Maukah kau memberitahuku?"
Acres tak langsung memberi aku jawaban. Dia juga menggeser arah tatapannya sedikit saja dari mataku. Aku jadi makin yakin setelah ini dia pasti akan menyesali apa yang dia lakukan. Setelah jeda yang terasa seperti selamanya, Acres berkata dengan tenang. Terlalu tenang malah. Pada akhirnya memutuskan untuk membuka kalimat penutup untukku. Kalimat yang mengumumkan kekalahanku.
"Suatu hari nanti, bila kau mau bersabar, Ellie. Kau akan menemukannya," gerakannya sangat halus ketika Acres melepaskan genggaman tanganku, menjauhkan tangannya dari pelipisku. Acres tidak tersenyum, meskipun begitu, jejak jemari tangannya di pipiku terasa lebih dari hangat. Dia menghembuskan nafas, tertawa terpaksa. "Astaga, Ellie! Kau seharusnya tidak mengambil hati apa yang dikatakan oleh saudaraku, mereka akan melupakannya beberapa bulan lagi. Tentu saja selalu seperti itu. Jikalau mereka menanyakan jawabanku lagi, katakan pada mereka kalau abangnya yang jenius dan keras kepala ini sedang melakukan proyek yang besar. Tunggu saja ..."
Aku tahu bahwa seperti itulah akhir dari penderitaan Acres dan juga awal dari penyesalanku, namun yang aku tidak tahu, adalah bahwa di masa depan nanti aku akan merindukan kehangatan dari jemari tangan pemuda bermata lembut yang akan terus mengoceh tanpa menampilkan ekspresi apapun di wajahnya. Amat sangat merindukannya, sampai rasanya aku ingin merobek-robek ingatan tentang hari musim semi dari dalam kepalaku selamanya.
Setidaknya, aku mencoba.
Hari ini aku menyadari walaupun semuanya tidak berakhir dengan baik, dan Acres terlepas dari genggamanku, pertanyaan yang lalu itu terjawab sudah. Acres akan menggunakan caranya sendiri. Cara gilanya sendiri. Dia tak mau mendengarkan aku, aku juga tidak sudi mengikuti caranya. Sekarang bahaya sedang mengintainya. Prilaku Acres dan keputusan yang diambilnya mengingatkan aku pada seseorang. Orang yang membuatku seperti sekarang ini.
Ayah.
Setelah semua yang kuketahui, aku tidak pernah menganggap laki-laki itu sebagai seorang pahlawan. Aku hanya menganggapnya sebagai orangtua yang putus asa dan ceroboh. Ada lebih dari seribu kemungkinan ayahku akan memilih pilihan yang lebih baik ketimbang kematian, hanya saja mana mungkin ayah memilih cahaya kehidupan jika ibu dengan gagah berani menerjang kegelapan? Ayah hanyalah seorang pria yang amat sangat mencintai istrinya-ibuku-sementara aku hanyalah pion. Bidak yang digerakkan oleh orang-orang yang membutuhkan sebentuk pengorbanan dari cinta dan pembalasan akan kehancuran kaumnya. Betapa malangnya diriku.
Tetapi aku tidak akan pernah tenggelam dalam kemalangan itu, semuanya bisa jadi lebih buruk lagi. Jika aku terus bermuram durja, bisa jadi aku hanya akan terus mengambang dan menyesali semua yang telah terjadi.
Tapi hari ini, adalah hari terakhirku berada di sini. Mungkin jadi hari terakhir pula aku melihat para Void. Itu bagus malah. Biarpun demikian aku tahu, hal yang kubayangkan saat ini takkan semudah kelihatannya. Tetapi, aku tentu boleh berharap sebaliknya. Ibuku bilang, jangan kalah. Maka itulah yang aku lakukan saat ini. Ada beberapa hal yang aku mengerti setelah proses yang menyakitkan itu. Salah satunya, aku pada akhirnya mengerti kenapa aku ditempatkan serta dilatih oleh para Void. Bukan tanpa alasan tentu saja.
Aku salah satu dari mereka.
Mereka tidak terkejut ketika aku sadar jika aku hasil dari dua gen yang bersilang-sama seperti para Void. Mereka tahu. Barangkali malah sudah tahu sedari awal. Aku menebak-nebak, apa yang sekiranya menahan mereka untuk tutup mulut akan hal itu. Entah mereka sudah diperingatkan sedari awal atau enggan mengatakan kebenarannya padaku. Aku tebak yang pertama. Namun bukan masalah untukku. Semua sudah berlalu.
Aku bangun pagi-pagi sebelum yang lainnya berkesempatan untuk mengunjungiku. Mengganggu serta merusak suasana hatiku. Aku tak bisa mengatakan hubunganku dengan Avgustin membaik setelah kejadian kemarin, setelah aku memintanya untuk menceritakan apa saja yang tidak aku ketahui, tetapi aku tak perlu lagi merasa membuang muka setiap kali diharuskan untuk bertemu dengannya. Dua kali sudah aku menghela napas, dan ini akan jadi ketiga kalinya.
Apa yang terjadi di perbatasan tak kunjung membaik, semakin parah. UrsaMayor makin gencar melakukan berbagai upaya untuk masuk ke wilayah para Lichas, dan berkali-kali pula dihentikan oleh para Lichas atau ranjau rancangan Kadarius. Setiap malam aku selalu tak bisa tidur dengan nyenyak, selalu was-was setiap kali mendengar ledakan atau jeritan. Seluruh tubuhku gatal ingin mengakhiri semua itu, tetapi di saat-saat terakhir aku teringat akan janji yang telah kutukar demi pertemuan singkat bersama Acres. Itulah satu-satunya hal yang menahanku supaya diam di tempat. Menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Kalaupun sebelumnya aku merasa marah, bersemangat ingin segera menyelesaikan pelatihanku. Pada akhirnya di tengah jalan, aku hanya berjalan perlahan, lesu dan tidak bertenaga. Aku telah sampai di pintu besar tempat para Void, masuk tanpa insiden. Selama itu aku terus menunduk, tidak tahan membayangkan Paxtof atau lebih parah lagi Indira melihat aku dalam kondisi payah seperti ini. Paxtof ingin aku terus memacu diri, menyibukkan diri sehingga aku bisa melupakan apa saja yang mengganggu pikiranku. Aku memang mengiyakan, tapi apakah aku sudah dengan benar melakukannya? Aku sendiri tak tahu. Banyak hal yang terjadi, sampai-sampai aku sendiri gamang.
Pikiranku terus berkecamuk sampai aku lupa telah berada cukup dekat dengan jalan masuk ke kubah tempat peristirahatan para Void. Tidak ada yang menyadari kedatanganku. Memang tidak, sebab mereka sedang sibuk beradu argumen. Kata-kata pertama yang kucerna berasal dari Korain.
"Bukan hanya kau seorang yang tak setuju, Dena. Aku juga tidak." Dia menuding muka Denaya, jemarinya gemetar. Kupingnya merah padam seperti warna jaket yang dia pakai.
Denaya menepis tudingan tangan Korain. Balas memelotot sama garangnya. "Aku tidak bertanya soal kau setuju atau tidak. Aku bertanya apa yang sekiranya bisa kita lakukan untuk mencegah rencana gila itu."
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang tahu jawabannya. Bahkan Indira yang kutahu sebagai perencana paling ulung di antara para Void juga tak kunjung membuka suara. Kukira bahkan mendengarkan pun dia tidak, mata kelamnya hanya menatap kosong. Yorick lain lagi, dia bergerak-gerak gelisah dalam duduknya, mungkin berharap pembicaraan ini berakhir dengan penyelesaian masalah yang lebih jelas dari hanya sekedar beradu argumen.
"Ellie bagaimana?" Suara Paxtof yang menggelegar memecah keheingan dengan seketika. Jantungku serasa memerosot ke perut begitu namaku disebut-sebut. Aku tak bisa melihat raut wajah yang dia gunakan sekarang, tapi dari bahunya yang menegang serta warna merah pada tengkuknya sudah lebih dari cukup untuk memberitahuku. Paxtof tak senang dengan tiadanya jalan keluar, dan dia merasa malu karenanya. "Dia sendiri yang harus memecahkannya, tapi Kadarius-" Paxtof sendiri bahkan tak bisa menyelesaikan kalimat apa yang sedang berkelidan dalam kepalanya.
Korain lebih blak-blakkan. Dia dengan segera menangkap kalimat yang tak sanggup diselesaikan oleh Paxtof. "Tapi Kadarius takkan membiarkan. Dia bukan hanya mencegah Ellie, tapi juga berniat untuk terus memerangkap kita di sini. Hingga yang tersisa di luar sana hanyalah mimpi buruk belaka."
Sekonyong-konyong aku teringat akan senyum keji itu. Mulutnya yang berbisa, matanya yang sewarna dengan Acres. Tidak ada yang lebih buruk daripada dia. Aku maju selangkah, memunculkan diri. "Kurasa tidak." Semua mata menatap ke arahku. Terkaget-kaget melihat kemunculanku yang tiba-tiba. Aku sudah sering ditatap sedemikian rupa hingga tak gentar saat melangkah makin dekat, memposisikan diri di antara Paxtof dan Indira. Kesempatan yang bagus tidak akan datang dua kali. Jadi sebaiknya kugunakan waktu ini sebaik-baiknya. "Apa kalian mempercayaiku?"
Aku mengedarkan pandang, ingin tahu reaksi macam apa yang diperlihatkan oleh mereka semua. Awalnya aku bisa melihat mereka bingung dengan pertanyaanku, tapi kebingungan itu segera berubah menjadi penasaran. Paxtof menggapai tanganku, memegangnya dengan lembut. "Kami percaya padamu." Dia berkata, mewakili Void yang lain.
Korain mengangguk membenarkan. Indira mengerjap seakan-akan baru terbangun dari mimpi panjang. Yorick dan Denaya secara bersamaan beringsut mendekat, siap mendengarkan. Begitu saja sudah cukup bagiku. Aku membuka mulut, memuntahkan segala hal yang sedari kemarin kutahan-tahan seorang diri. Aku menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi padaku kemarin bukan karena disebabkan oleh jatuh dari ketinggian.
Aku terus berkata, membeberkan apa saja yang dia ancamkan padaku, apa yang mesti kulakukan jikalau para Lichas ingin selamat. Hampir. Aku tidak satu kalipun mengungkit soal Acres. Kuharap tak ada yang menyadari kebohonganku. Kuharap rasa panik mereka sudah cukup menutupi apa yang kusembunyikan.
"Sinting." Korain akhirnya bergumam. Tangannya geragapan, mengacak-ngacak rambut gelapnya tanpa ampun. "Kurasa tidak ada pilihan lain. Indira?"
Indira mengamatiku, kerutan kecil di antara alisnya muncul seiring detik berlalu. Aku tak luput memperhatikan hidungnya berkedut-kedut seolah-olah dia membaui apa yang tertinggal. Aku menegakkan punggung, menolak untuk mengalihkan pandangan. Tidak ada yang boleh menghancurkan tujuanku. Tidak boleh. Aku menunggu dengan jantung bertalu-talu, saat Indira membuka mulut, berkata acuh tak acuh. "Rapat dewan akan diadakan beberapa jam dari sekarang. Sebaiknya kita bersiap-siap sebelum terlambat."
Denaya menggerang. "Tapi nanti bagaimana?"
Kukepalkan tangan erat-erat. "Biar aku sendiri yang membujuk Kadarius. Dan jika tidak berhasil-"
"Jika tidak?" Tanya Yorick, meringis.
Aku menunduk, membiarkan pertanyaan mengambang begitu saja di udara mencekam. Dijawab atau tidak, kupikir hasilnya akan sama saja. []
Total : [2259 words]
The way we felt was brutal.
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro