
F O R T Y - O N E [Repost]
"ELLIE! AURELION!"
Itu suara Paxtof.
Aku mengerjap, sepersekian detik tersadar sedang dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk melamun, beruntung kemampuan refleks dalam diriku meningkat belakangan ini. Jadi ketika bandul raksasa berdesing, melintas hanya beberapa inci dari anak-anak rambutku yang mencuat ke segala arah, aku masih mempunyai cukup banyak waktu untuk menghindari maut untuk melengkungkan tubuhku kebelakang dengan posisi setengah kayang.
Pemuda Lethal yang mengendalikan jebakan bandul tersebut cengar-cengir mendapat pelototan dariku. Yorick mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke udara, bukan bermaksud untuk menggerakkan jebakan lainnya tetapi tanda bahwa dia sudah selesai denganku. Setelah aku makin ahli, Yorick tidak lagi segan untuk melukaiku. Aku juga tak lagi segan untuk menghajarnya.
Tapi aku belum sepenuhnya dapat bernafas dengan lega atau kembali melarikan pikiranku ke hal-hal lainnya, karena begitu aku memasuki wilayah selanjutnya, Indira sudah meneriakkan instruksi lain pada Denaya yang langsung menyerang tanpa ragu-ragu. Aku hampir lupa betapa berbeda Denaya yang ini, yang memilih mengingat dan menjalin tinggi-tinggi rambutnya, serta pakaiannya yang sama sekali tidak cantik. Tidak cantik tetapi mematikan.
Ribuan jarum es meluncur kearahku selagi aku berlari dibagian wilayah Denaya.
Curang! Engahku tak berdaya tetapi aku tak bisa meneriakkan protes itu keras-keras karena aku harus konsentrasi. Segera aku mengangkat tangan, mengaktifkan pelindung buatan Tonia yang canggih, pelindungnya berbentuk seperti jangkar transparan. Warnanya memang transparan. Namun menurutku tetap saja menyilaukan mata. Dan walaupun berhasil melindungiku dari jarum es, bukan berarti aku terbebas dari bencana basah kuyup, sebab jarum es Denaya mencair terkena pengaruh bagian luar pelindung.
Aku mengibaskan rambut, seperti anak anjing. Dengan berang berpikir, Acres pasti lebih dari mampu memperbaiki benda sampah ini. Akan tetapi aku merasa tertampar begitu mengingat bahwa aku takkan pernah bisa berkeluh kesah lagi pada Acres. Namun aku tahu—kami tahu, semua hal itu kulakukan supaya aku bisa melupakan Acres dengan mudah, dan lagipula, sudah cukup beruntung Tonia mengizinkan aku memakai salah satu hasil penemuan, yang dia selalu sebut sebagai armor kesayangannya—penemuan akbar lainnya—untuk latihan hari ini.
Semua benda tak berguna ini—kecuali Seqouia—tetek-bengek semacam ini. Aku menggunakannya karena entah kenapa kemampuan yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang belum juga menampakkan diri. Aku sejujurnya senang bahwa aku normal, tetapi tidak dengan Avgustin atau Kadarius atau Tonia beserta rekan kerjanya. Mereka terus menerus mengharuskan aku berbaring di atas Ven terkutuk setidaknya sekali dalam seminggu, rasa sakit sekarang sudah seperti teman bagiku.
Ketika kuceritakan kesulitan yang kualami pada teman-temanku, Korain dengan percaya diri berpendapat bahwa mungkin kemampuanku akan muncul jika aku sedang dalam bahaya atau marah, tetapi Yorick menyangkal pendapat Korain secara terang-terangan, dan bukan tidak mungkin jika aku juga satu kubu dengan anak laki-laki pesolek itu. Sebab, ketika latihan pada hari kelima—saking putus asa dan lelahnya aku—seperti orang idiot aku mencoba membayangkan kalau diriku sedang dalam bahaya besar, dikelilingi oleh amarah yang dahsyat. Setelah itu, tak terjadi apapun. Aku tak mendapatkan apapun selain dari lebih banyak luka serta bentakan karena aku ceroboh dan tidak mengikuti instruksi yang diberikan—diteriakkan—oleh Indira.
Kuputuskan bahwa kemampuan tidak bergunaku itu adalah tipe pemalu. Kalau dipikir-pikir lagi, aku bahkan belum tahu apa saja kemampuanku dan termasuk dikategorikan ke dalam apa. Sejauh ini aku hanya tahu bahwa ayahku punya jenis kemampuan langka mengerikan—yang sialnya—aku punya salah satu dari ciri utama kemampuan yang dimiliki oleh ayah. Aku punya kepekaan pikiran. Yang mana informasi itu membuatku serta merta berhenti membaca atau memerhatikan tingkah laku orang lain, karena satu-satunya hal yang mampu kuterima dari kemampuan Lichas dalam tubuhku—kalau dia muncul—adalah bahwa aku tak mau mewarisi kemampuan ayah. Sama sekali. Sudah cukup aku meniru perwujudan fisiknya, yang suram, gelap dan, terlebih lagi, seperti hantu.
Oleh karena itu, harapan terakhir sia-sia yang kumiliki hanyalah ini; aku akan seperti ibuku. Seorang Lichas tipe Lethal. Kemampuannya tidak buruk juga, Yorick pasti akan senang sekali jika aku memiliki kemampuan yang sama dengannya. Bukan masalah besar. Aku tak peduli.
Bunyi gemeretak diikuti oleh sesuatu yang dingin menjalari kakiku. Sensasinya membuatku mengumpat, ini yang kedua kalinya aku lengah. Kuhancurkan kekang es tersebut dengan gagang senjata laser. Lalu meluncur dengan belokan tajam ke arah kiri ketika serpihan es lainnya menyembul dari tanah.
Aku berlari cepat, dekat dengan tembok, kemudian melompat memanfaatkan berlarian di permukaan tembok seolah kakiku mempunyai perekat. Setelah berkali-kali kalah dan mengamati Denaya, aku tahu saat inilah dia lengah. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk membungkam Denaya dengan Vipe, lemparanku tepat sasaran sebab setelahnya kudengar jeritan melengking, aku mengabaikan teriakan itu dan segera berlari kencang ke wilayah berikutnya.
Bagian terakhir inilah yang paling berat, sekaligus paling kubenci. Korain, dengan kemampuannya yang sama seperti Kadarius. Apex. Droid Merah. Aku berusaha keras melawan desakan instingku untuk berbalik dan melarikan diri. Sebesar apapun kebencianku pada sulur-sulur atau sesuatu yang mencipta dan berdengung keras ditelingaku, Indira tetap takkan suka dengan seorang pengecut.
Masalah sebenarnya bukan hanya tentang nyaliku yang tiba-tiba menciut tetapi lebih karena kengerian yang diciptakan ketika Korain mengubah setiap benda jebakan disekelilingku menjadi kesunyian—kesunyian untuk memenjarakan setiap panca inderaku.
Kali pertama aku menghadapi wilayah Korain, aku tak berhasil sampai setengahnya, bahkan mungkin setengahnya pun tidak. Rasanya seperti mimpi buruk yang sama seperti yang kuhadapi di Ruang Simulasi. Teror itu masih saja sama, menancap segar diingatanku. Bahkan sampai saat ini, ketika Korain menyeriangi dari tempatnya berdiri, dengan sulur-sulur yang menggeliat seperti ular disekelilingnya.
Aku segera tahu bahwa dia, saat ini sedang menggodaku untuk menyerangnya dan—disaat yang bersamaan—mengejek betapa malangnya kerapuhanku saat ini. Sebagai balasannya aku menggeram buas, dan mulai menyiapkan tanganku untuk mengambil senjata yang berderet di pinggang.
Saat ini nafasku perlahan-lahan sudah berubah menjadi pendek-pendek, kecepatan lariku berkurang drastis. Aku segera menebak dengan benar apa yang akan tubuhku rasakan setelahnya; kaki-kaki memberat, telinga berdengung dan kepala berpusing. Ini dia—kesunyian itu.
"Coba tebak mana yang lebih lambat? Siput, kura-kura atau kau?"
Aku memberi Korain gestur kasar, yang dibalas olehnya dengan senyuman geli. Dia selalu melakukannya. Memancing-mancing batas kesabaranku, tetapi aku takkan terpancing semudah itu. Tidak untuk yang ke lima belas kalinya.
"Memangnya kau pernah melihat siput atau kura-kura?!" kataku setengah berteriak, menghindari gilasan besi bergerigi dan anak-anak panah logam. Dia tak tahu saja seberapa mengerikannya dampak kemampuannya itu padaku. Ketidaksabaran akan pembalasan membuatku tanpa sadar mengajukan pertanyaan yang salah, sebab Korain dengan mulut selicin kepalanya sudah menyiapkan jawaban yang tepat.
"Aku tak perlu mencarinya." Dia terkekeh ringan. Sementara tangannya sibuk mengendalikan perangkap-perangkap yang telah siap sedia untukku. Aku benci itu juga. "Aku sudah menemukan satu disini. Dihadapanku."
"Keparat kau!" Umpatku. Satu minggu disini—dikelilingi oleh orang-orang paling ajaib—ternyata telah membawa perubahan besar bagiku. Misalnya saja aku bisa mengumpat lebih leluasa. Bisa dibilang sifat gadis Sector Tres yang pendiam dan polos menguap seiring berjalannya waktu.
"Kembali ..." Suaranya seakan-akan mendengkur di telingaku.
Aku meludah selagi pikiranku merapal setiap gerakan yang diajarkan oleh Indira. Pijakan. Lompat. Meluncur. Berputar diudara. Arah jam dua. Tangkis. Ingat menghindar dan berlari, berlari. Jangan lengah, tak perlu mengandalkan kemampuan, singkirkan saja rasa sunyi itu.
Aku hampir-hampir terjatuh ketika salah satu sulur berduri melecut dari seberang. Marah, aku mencincang setiap sulur yang berani menghalangi. Ujung mataku melirik bar pada sarung tangan pelindung Tonia. Tiga. Angka itu lebih dari cukup untuk melindungiku hingga mencapai tempat Korain lalu mendengungkan senjata pamungkasku.
Balasan pamungkas lebih tepatnya.
Hanya tinggal menghadapi perisai besi kesunyian itu.
Hanya itu.
Lariku makin kencang, atau setidaknya aku berusaha untuk itu. Suara-suara Indira terngiang-ngiang, menggeram seperti hewan buas. Jangan berhenti. Jangan ragu. Gunakan benda sialan itu untuk mengakhirinya. Maka aku pun tidak ragu, aku menggunakan pelindung Tonia, mengganti pistol laser di tanganku menjadi Seqouia.
Sekilas aku dapat melihat keterkejutan di mata kelabu Korain, aku tak pernah melihat mata segaris itu membelalak begitu lebar. Membuatku tak bisa menahan seringaian yang merekah di ujung bibir. Teror itu memang masih ada, akan tetapi untuk saat ini, setelah berkali-kali jatuh. Aku paham walau berat dan tak berani mengakuinya langsung kepada Korain. Aku tahu, Korain tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Kadarius serta kengerian yang mampu dihasilkan oleh pemuda dengan ketampanan memuakkan itu.
Berat Seqouia pada dadaku, sama sekali tidak memperlambat langkah kakiku. Aku berlatih, aku menyesuaikan diri. Selalu. Bahkan jika itu tanpa Indira.
Aku mengokang, memasukkan kode pilihan pada layar hologram kecil diatas Seqouia. Patut dicoba, layak dicoba, bisik hatiku menyemangati. Lalu aku pun membidik. Satu. Dua. Tiga. Empat. Empat perisai jatuh karena berat cairan hitam lengket yang mengenainya, bukan hanya mengenainya tetapi juga memadamkan kesunyian itu. Berhasil!
Korain, tentu saja tidak tinggal diam. Wajahnya berkerut menjadi wajah serius, aku dapat membaca pikirannya dengan jelas, aku serius kali ini, dan berbahaya. Tangan Korain terentang, sulur-sulur bergerak, melata, mengepungku dari berbagai penjuru. Aku menghentakkan kaki, daya jet tersembur dari sepatuku. Aku melayang, sulur-sulur itu masih mengepung tetapi aku tak membuang-buang waktu dengan rasa panik dan takut. Lagipula aku sudah melihat celahnya dan aku harus membidik dua kali dengan cepat. Bidikan ganda cepat dan akurat.
Satu untuk pembalasan, satu untuk kesenangan.
Cairan hitam lengket terlontar, dimuntahkan oleh Seqouia tersayangku, langsung mengenai wajah Korain yang tanpa perlindungan. Sesaat Korain kehilangan keseimbangan, secara refleks mengumpat, kedua tangannya bergerak, berusaha menyingkirkan cairan lengket itu dari wajahnya. Aku hampir berteriak kegirangan, ini kesempatanku. Selagi sulur-sulur mengamuk tak tentu arah tanpa ada yang mengendalikan. Aku melesat ke arah Korain, menerkamnya.
Benturan tubuh kami berdua memang menyakitkan tetapi aku tidak mempedulikan rasa menyengat pada beberapa bagian tubuh. Aku dan Korain berguling-guling, hingga mencapai sensor yang mengatakan aku sudah mencapai akhir, diikuti oleh berhentinya bunyi bising jebakan-jebakan.
Latihanku selesai. Aku berhasil, dan, terutama menang. Aku terkekeh-kekeh, memikirkan kata-kata itu akhirnya bisa kugenggam. Aku lelah tetapi senang.
Setidaknya untuk sementara.
Masih terengah oleh sisa adrenalin, aku berbaring penuh kemenangan di samping Korain, yang juga berhenti berusaha menyingkirkan cairan hitam pada wajahnya. Aku menatap langit-langit buatan yang bersih. Tanpa awan, tidak menyilaukan, dan biru—biru lembut—bukan gelap seperti mata pemuda yang beberapa hari yang lalu kubuat berdarah-darah. Telinga, hidung, mata, mulut. Baru sekali itu aku melihat wajah Kadarius sepucat itu.
Dengan satu siku menyentuh lantai beton, menggunakannya sebagai tumpuan, aku berkata pada Korain. "Aku memang lambat seperti siput, tetapi lendir siputku terbukti berbahaya."
Korain mendengus, tangannya melempar gumpalan gel hitam dari wajahnya jauh-jauh dan lalu kemudian bergidik, begitu melihat gel itu memantul-mantul sebelum merekat di dinding arena. "Menjijikkan!" umpatnya dengan lemah.
Aku menyeriangi. "Maksudmu mengerikan?"
"Oh, tutup mulut," ketusnya, tapi sesaat kemudian ujung bibirnya tertarik, melengkung membentuk senyuman. Ketika tatapan kami bertemu, Korain kelihatan bangga dengan apa yang baru saja kulakukan. "Tetapi gel nano? hmmm, ya, itu ide yang hebat!" Pujinya mengakui.
Dia berdiri, mengulurkan tanganpadaku. Aku menyambut uluran tangan Korain tanpa berpikir panjang, bersyukurkarena ternyata aku mampu berdiri dengan sisa-sisa adrenalin yang masihtertinggal.
"Sekarang. Ayo kita hadapi perang yang sebenarnya." Korain berkata sembari merangkulkan tangannya di sekeliling pinggangku, sementara tangan yang satunya lagi memegang pergelangan tanganku yang melingkar pada lehernya.
Dari jarak sedekat ini aku baru menyadari bahwa kepala dan leher Korain juga berkeringat dan bau sepertiku, tetapi hanya sampai disitu saja persamaan kami, sebab aku mendapat lebih banyak luka, dan kenapa tidak sekalian saja mengakui bahwa aku lelah setengah mati, juga gugup. Beradu mulut bukanlah keahlianku, tapi demi Acres aku akan melakukannya. Biarpun Kadarius sendiri menolakku mentah-mentah.[]
Total : [1799 words]
1.11EX
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro