Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

F O R T Y - F O U R [Repost]

SELAMA kami berlarian di lorong, tidak ada yang menyadari pada kejahatan yang telah kuperbuat. Bahkan kami tidak menemukan satupun dari para Dewan di lorong. Aku yakin bahwa Indira atau siapapun di antara kami bertujuh pasti sudah melakukan sesuatu tentang hal itu. Xaya bergabung bersama kami di tengah-tengah lorong.

Yorick benar. Korain tahu banyak tentang jalan-jalan rahasia yang sebelumnya diungkit oleh Yorick. Sebab saat ini kami bertujuh sedang berhimpit-himpitan di terowongan yang kata Korain membawa kami semua ke perbatasan hutan Blax dengan Sector Zero.

Denaya membantu supaya suhu tidak terlalu panas sementara kami berjalan membungkuk dengan bantuan penerangan dari jaket masing-masing. Entah bagaimana Yorick berhasil menonaktifkan Gamma. Membuang Gear yang sebelumnya menjadikan identitas mereka jelas, menjadi pebeda yang amat mencolok denganku. Sekarang, kami semua melebur jadi satu. Setidak-tidaknya kalau dilihat dari luar.

Selama perjalanan yang mencekam itu, tidak ada yang mengeluarkan suara. Semua sibuk oleh pikiran masing-masing.

Suara gemericik air buatan memasuki indera pendengaranku. Tak membutuhkan waktu yang lama sampai kami berdiri di atas Tembok Perbatasan Sector Zero. Tanpa basa-basi terus bergerak mendekat ke Glass Gate yang berdengung. Bekerja dengan cekatan, tak ada lagi yang mempertanyakan siapa yang melakukan ini, dan siapa yang melakukan tugas selanjutnya. Setelah Indira mengacaukan jaringan Glass Gate sehingga penghalang itu tak berarti apa-apa lagi bagi kami, Xaya yang roman wajah yang lebih pucat daripada Korain bergerak dengan cepat memindahkan aku dan yang lainnya.

Xaya menggapai pundakku. Sesaat dunia yang kulihat berputar, menciut saat kupikir aku akan mati kehabisan nafas, dunia baru terbentang di hadapanku. Pemandangan yang sudah tak asing lagi. Beruntung bahwa Korain memegangi lenganku kuat-kuat, membantuku menjaga harga diri. Sebab kalau tidak aku pasti sudah kehilangan keseimbangan, belum lagi samar aku merasakan cairan empedu di lambungku naik ketenggorokan, siap dikeluarkan. Aku mesti meneguk ludah, dan mengerjap beberapa kali untuk mengusir sensasi tidak mengenakkan itu. Tetapi aku tidak mau bergatung lama-lama pada lengan Korain.

Aku mencubit daging pahaku kuat-kuat, membiarkan rasa sakit membuatku tetap sadar dan kuat.

"Jalan pelan-pelan saja," Paxtof berkata. Dia menengadah sebentar untuk menunjuk kelebatan sayap yang melintas. Kahnivore.

Kukerjapkan mata beberapa kali untuk memfokuskan pandangan. Dengan jelalatan mencermati memandangan paling keji. Dari dekat seperti ini aku seakan-akan bisa membaui bau mayat yang bergelimpangan, debu-debu yang bercampur dengan asap beracun. Tangisan, jeritan dan perlawanan gagah berani dari para Atter. Barangkali yang tadi itu bukan cuman kubayangkan, tapi memang benar-benar terjadi lalu melintas di dalam kepalaku begitu saja.

Kulirik Indira, yang kemudian balas melirikku, aku tahu Indira tak banyak bicara apalagi memperlihatkan emosinya dengan mudah seperti para Void yang lain. Namun aku tentu tak salah melihat bahwa dia memberiku anggukan.

Aku mempercayaimu.

Anggukan dan kepercayaan Indira padaku sudah lebih dari cukup untuk membuatku makin membulatkan tekad. Aku segera maju tanpa menoleh lagi, takut nanti saat aku menoleh, aku bakalan hilang keseimbangan, jatuh dan tak bisa meneruskan perjalanan. Aku menatap lurus-lurus pada reruntuhan terdekat, pada besi-besi yang mencuat dari tiang penyangga kerangka bangunan. Namun ada beberapa bagian-walau tidak utuh sepenuhnya-tetap saja berdiri kokoh, menyokong sisa-sisa kengerian yang sebelumnya terjadi. Memuakkan.

Entah mengapa aku tiba-tiba teringat pada Avgustin. Aku tidak tahu reaksi apa yang akan diberikan Avgustin saat mengetahui bahwa saat ini aku sedang menyongsong maut. Sekali lagi mencoba peruntunganku. Sekali lagi sebagai umpan.

Satu-satunya yang aku yakini saat ini, hanyalah Avgustin pasti akan murka. Sudah tentu begitu. Aku jadi sedikit terhibur ketika membayangkan reaksinya. Walaupun aku membenci campur tangan dirinya dalam memporak-porandakan hubunganku dengan Acres. Kepedulian dan rasa sayang Avgustin takkan pernah hilang, aneh bahwa baru disaat-saat seperti ini aku menyadari rasa sayang Avgustin tidaklah sepalsu status ikatan darah kami.

Terkadang aku memang setolol itu. Pantas saja semua hal yang kupunya, direnggut satu persatu dariku.

Tetapi sekarang, tidak lagi.

Aku tak sudi.

"Jadi kemana langkah kita selanjutnya?" gumam Xaya. Saat ini kami sedang berteduh dari terik matahari, menyembunyikan diri baik-baik di tempat gelap pada reruntuhan yang tersisa. Sesekali aku mendengar geraman Kahnivore di atas sana.

"Korain," panggil Yorick. Korain merengsek maju, langsung menyerahkan antar muka Darf kepada Yorick, yang kemudian dia serahkan padaku. Kami segera berdiri melingkar untuk memeriksa Darf yang kupegang.

Satu, dua hal yang aku ketahui tentang Korain adalah dia itu memiliki daya ingat serta kecerdasan yang mumpuni, penampilannya memang tidak kelihatan seperti itu, tapi mengingat bahwa dia hapal dan tahu pemograman server tingkat tiga, menguatkan keyakinanku pada kecemerlangan otaknya.

Mungkin jika dia bukan seorang Lichas-hanya seorang remaja laki-laki biasa, barangkali Korain akan menjadi lawan yang setara dengan Acres. Bahkan menurutku Korain jauh lebih unggul dalam beberapa hal. Seperti sikap dan mimik wajah misalnya. Korain punya kepribadian yang sama seperti Yorick, cerah ceria, serta merta dapat memasuki percakapan semulus kulit wajahnya. Tidak mengherankan jika Void paling jahil itu dengan mudah mendapatkan teman.

Sementara Acres, dia bisa dibilang sekaku papan kayu, dijauhi oleh hampir sebagian anak-anak paling kaya di Sector Tres. Belum lagi Korain terlihat seperti buku yang terbuka, dia menyatakan apa saja yang ada di dalam kepalanya tanpa ragu, sangat jauh berbeda dengan Acres yang selalu berhati-hati, yang selalu menunggu reaksi orang lain untuk mencari celah.

Intinya, Aku tak seharusnya berandai-andai apalagi membandingkan Acres dengan seorang Lichas.

Dasar tak bermoral.

"Kalian lihat ini," kata Korain sembari menunjuk. Aku membuka mulut, tercengang. Sama sekali tak mempercayai pengelihatanku.Itu sama seperti yang kulakukan saat membuka akses pintu ruangan para Void. "Kau hanya tinggal menemukan kode-kode yang lemah, dan tunggu saja sampai kau melihat sedikit retakan itu merekah. Muncul ke permukaan."

Kesepuluh jemari tangan yang ramping bergerak dengan lincah pada layar Darf hologram yang sudah pudar cahayanya. Bisa kutebak seberapa tua umur Darf itu. Darf yang pada awalnya berniat kucuri bersama dengan Yorick. Bagi Korain tak peduli seberapa tuanya Darf di tangannya, hal itu sama sekali tak penting. Yang penting adalah kegunaannya. Sama seperti aku yang tidak mempertanyakan dimana dia mendapat Darf canggih dari Sector Wan itu. Tidak penting, yang penting aku mendapatkan apa yang kuinginkan.

Aku bergumam takjub, deretan angka dan huruf menari-nari dimataku seperti ular. Namun kemudian saat aku akan memutuskan, aku menangkap bahwa ada dua tempat yang berkedip-kedip. Pertama, hanya beberapa blok saja dari sini, yang terakhir lebih jauh ke utara. Aku terpaku pada angka dan huruf itu, manakah yang lebih dahulu akan kudatangi? Ke tempat dia atau mencari arti dari kode yang ditinggalkan ayahku?

Pikiranku terus berkecamuk, sampai aku mengangkat kepala, menemukan rambut cokelat yang dipangkas pendek. "Xaya!"

Xaya mengerjap sekali dan mata merahnya kembali fokus. "Ya?"

"Apa kau bisa melompat membawa kami ke tempat ini," aku menunjuk titik yang sudah ditandai pada peta hologram.

Xaya menggeleng, segera setelah aku menyelesaikan kata. "Kemampuanku memiliki keterbatasan. Aku tidak mengenal tempat ini, kalaupun aku mencoba yang kutakutkan adalah kita malah bisa saja melompat ke Sector Wan atau Dva." Xaya menunduk, merasa malu akan ketidakmampuannya. "Maafkan aku."

Sesungguhnya, ketidakmampuan Xaya bukan hanya disebabkan oleh jarak yang jauh atau tempat yang tidak dia kenali. Masalahnya lebih parah daripada itu. Namun aku merasa tidak berhak untuk mengungkit-ngungkit yang bukan masalahku. Memang tidak boleh.

"Tidak ada cara selain membagi tim menjadi dua," Yorick berujar, memecahkan keheningan

"Tidak!" Paxtof menukas, suaranya yang dalam menggelegar di Sector Zero yang mati. Dia meludah, mengerutkan alis. "Aku tidak mengizinkan. Kita harus tetap bersama-sama. Lagipula masih ada cara lain." Mengabaikan raut wajahku, Paxtof mengulurkan tangan, memperbesar titik pertama-yang paling dekat-dari lokasi kami, dengan sedikit tekanan dia melanjutkan. "Selain itu kita mesti sampai di tempat terjauh sebelum malam tiba."

Sebelum kami kehabisan waktu.

Tidak ada yang protes, kami bergerak di antara reruntuhan dan puing-puing bangunan, harus menyembunyikan diri setiap kali melihat Kahnivore yang melintas. Atas paksaan dariku, kami berjaga-jaga dengan mengaktifkan jaring pelindung di sekujur tubuh, bahkan kepala dan ujung kaki tidak terlewatkan. Tidak ada salahnya untuk tetap waspada.

Akan tetapi walaupun begitu aku sendiri melangkah mendahului yang lain. Seperti orang kesetanan. Satu kali bahkan hampir menabrak jejaring besi yang entah bagaimana ada di sana, menghalangi jalan, hampir merajang tubuhku. Beruntung Korain cepat tanggap, dia menggunakan kemampuannya untuk menyelamatkan aku. Bukan salah siapapun apabila nanti aku tersandung gara-gara tersangkut kawat yang mencuat dari permukaan tanah, sebab saat ini pikiranku dipenuhi oleh kode yang ditinggalkan oleh ayahku.

1.11EX

Kode itu terus mengedip-ngedip dalam ujung pengelihatanku. Memburamkan segalanya. Aku tak lagi mempunyai waktu untuk mengecek setiap file sejarah dalam Darf atau mengorek-ngorek lebih dalam ke kegelapan ingatanku. Tak perlu. Yang perlu kulakukan hanya sampai di tempat dimana Darf yang ditemukan oleh Tim Kadarius.

"Di antara reruntuhan," kata Kadarius. "Barangkali sebuah rumah." Lanjutnya.

Tentu saja.

Rumahku sendiri.

Aku tidak dapat menemukan apapun, tak satupun petunjuk. Padahal Paxtof, Korain dan Xaya sudah bekerja keras menyingkirkan setiap bilah puing yang menghalangi. Tidak ada pintu ruang bawah tanah rahasia, tidak ada yang tersisa. Udara Sector Zero terasa semakin pengap seiring waktu berjalan. Menyesakkan dadaku, memperlambat langkah kami. Belum apa-apa aku sudah kepayahan. Keadaan itu, mempengaruhi pikiranku juga. Memerasnya sedemikian rupa sehingga yang keluar adalah pikiran-pikiran buruk nan meresahkan.

Bagaimana jika dia sudah menemukan apa yang kami cari. Bagaimana kalau perjuanganku sia-sia? Bagaimana kalau pada akhirnya aku ternyata gagal? Kegagalan. Aku bakal punya bayangan yang hanya bisa dikenang belaka.

Aku menggigit bibir. Resah sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu.

Aku takkan gagal. Geramku dalam hati. Setidaknya jangan sekarang.

"Ellie, kita harus bergerak," seseorang bersuara, membuyarkan pemikiranku seketika itu juga. Indira memegang bahuku, meremasnya sedikit sebelum berjalan mendahului aku. Ujung bibir Korain berkedut. Bahkan kami tak bisa saling memberi senyum menenangkan kepada satu sama lain. Situasi telah mengubah segalanya. "Ellie," Indira berujar sekali lagi.

Namun aku masih berdiri di tempat sama, menunduk, membuka mata lebar-lebar. Pantang beranjak sebelum ada sesuatu melintas dalam kepalaku. Kalau aku tak ingin gagal, jangan menyerah. Aku menengadah, menatap langit yang masih sama jeleknya seperti kemarin dulu bahkan mungkin selamanya pun akan tetap berwarna demikian. Merah seperti darah atau terkadang oranye menyakitkan mata. Sekarang langit berwarna campuran dari keduanya. Makin senja makin banyak saja makhluk berbahaya itu berkeliaran.

"Ellie?"

Ada begitu banyak hal yang tersembunyi di luar sana. Sesuatu yang menakutkan, sesuatu yang gila, sesuatu yang takkan pernah kami bayangkan. Acres meyakini bahwa di Permukaan sana ada hal-hal yang istimewa dan luar biasa. Sesuatu yang akan membawa perubahan pada peradaban manusia di antara awan-awan-kami.

Dengan kata lain Acres ingin memperbaiki neraka itu, padahal semua orang tahu bahwa neraka takkan bisa diubah menjadi surga, tak peduli sekeras apapun kita mengusahakan. Neraka selamanya akan tetap menjadi neraka. Kecuali mungkin apabila kita menginginkan, amat sangat menginginkannya sampai rasanya menjadi tak tertahankan.

Tiba-tiba aku teringat akan percakapanku dengan Islee yang suka menelaah sesuatu sampai ke akar-akarnya. Islee memang tidak menyukai logam dan pekerjaan keras yang membutuhkan banyak berpikir seperti Acres. Namun Islee punya bakat dalam seni lainnya. Sastra. Kalau soal itu kepala Islee akan berjalan dengan lancar, dia bahkan mampu menyelesaikan membaca tiga Darf dalam sehari. Yang kesemuanya berisi tentang berbagai cerita dan bahasa dari dunia yang dulu-dokumentasi yang masih bisa diselamatkan dari kiamat.

Aku bukan orang yang akan menolak jika diberikan bacaan yang bermanfaat. Oleh karena itu Islee sering memberiku hadiah Darf yang dia anggap menarik, dan aku terkadang menjadi teman diskusinya. Rela mendengarnya mengoceh tentang betapa indahnya kata-kata itu. Terutama dalam berbagai arti dan bahasa.

Suatu waktu dia membuat ulasan, satu halaman Darf itu penuh dengan berbagai coretan dari pemikiran Islee, dan dia mencomot segalanya dari berbagai sumber.

Aku memang bukan jenis manusia yang memiliki memori jangka panjang, tapi aku ini jenis orang yang akan ingat dengan segera apabila keadaan sedang mendesak-seperti sekarang ini.

Aku mengetuk-ngetukkan ujung sepatu ke beton, selagi pikiranku berkeliaran mengingat setiap halaman dari Darf pemberian Islee. Aku mencari yang sekiranya cocok dengan kode yang dibuat oleh ayah. Aku tahu ayahku penggila satra, sebab itulah aku jadi makin merasa yakin dengan metode ini.

1.11EX

Satu.

Perlahan-lahan aku menguraikannya dalam kepalaku.

1 dalam bahasa inggris ditulis 'one' akan tetapi dibaca 'wan' dengan arti lain apabila kita mengaitkannya dengan dengan kata-kata maka satu ini berarti 'want' yang artinya menginginkan. Sementara 11 dalam bahasa yang saat ini amat digandrungi oleh Sector Quattro-mereka menyebut angka sebelas dengan odinnadstat, yang kalau diartikan menjadi satu di atas sepuluh.

Aku memelesakkan bibir, mengulumnya serta menggigitnya dengan gigiku. Apa? Menginginkan satu di atas sepuluh?

Tidak. Tidak.

Masih ada EX yang tertinggal.

EX. Ada begitu banyak kosa kata yang di awali dengan Ex. Aku menekan-nekan Darf dengan panik, mencari kata-kata yang sekiranya tepat untuk menyambung kalimat yang pertama kutemukan. Sesaat aku sudah hampir menangis karena tak kunjung memikirkan satupun kata-kata yang cocok.

Jemari tangan munggil terjulur melewati arah pandangku, menyentuh satu dari sekian banyak kata. Ketika aku mengalihkan fokus, aku menemukan rambut sewarna kertas dan senyum miring yang khas. Mata kelabu Paxtof menatapku lekat-lekat. "Dalam kode rahasia yang kupelajari di Sector Quattro. EX selalu dikaitkan dengan pengecualian. Mungkin kata-kata inilah yang kau cari."

Untuk pertama kalinya setelah berjam-jam didera rasa lelah yang seakan tak berkesudahan. Aku merasakan bebanku terangkat sedikit, Aku menangguk, tak bisa untuk tidak lebih bersemangat lagi. "Ayah menyiratkan bahwa apapun yang kita cari merupakan pengecualian dari satu di atas sepuluh."

"Dengan kata lain?" tanya Korain.

Aku bergegas menunjuk slide gambar di Darf. "Odinnadstat! Itu nama Pusat Server Sector Zero benar bukan?"

Denaya dan Xaya secara bersamaan mengangguk untukku. Jantungku berdetak lebih kencang karena persetujuan mereka, embuatku tidak ragu saat menyatakan apa yang sedari tadi menari-nari dalam benakku."Pengecualian... Ayah ingin kita pergi ke tempat yang berlawanan. Ada bangunan yang lebih penting daripada Odinnadstat."

Kali ini Xaya dengan mata membelalak berkata, terperangah oleh sesuatu yang dia temukan. "Ciung Wanara!"

Setelah terjadi perdebatan panjang antara Indira, Xaya dan Korain. Sudah disepakati bersama bahwa Korain, Xaya dan Denaya akan bergerak dengan jalan memutar di sepanjang Ciung Wanara. Mencari petunjuk dari keberadaan peninggalan ayahku serta para tawanan. Sementara aku, Indira, Yorick dan Paxtof akan menjadi pengalih perhatian di luar. Aku menolak itu, dan dengan atau tanpa persetujuan Indira aku bersikeras bekerja sendirian. Aku tak perlu memohon sebab Indira mengiyakan. Seakan-akan dia tahu apa yang kulakukan. Seolah-olah aku bisa mengatasi situasi dengan mulus. Namun nyatanya tidak demikian. Aku cemas.

Jangan pikirkan.

Aku mendekatkan senjata multi fungsi yang disamarkan dalam bentuk jam digital-pemberian Acres ke mulut. Permukaannya yang panas membara sebab terpampang sinar matahari menguasai bibirku. Rasanya hampir-hampir sama seperti kecupan sang pemberi hadiah. Kupejamkan mataku, kembali terlena akan kenangan yang kupikir takkan pernah lagi kujamah. Tidak apa-apa, mungkin hidupku takkan lagi. Bukan masalah apabila kita mengingat-ngingat sesuatu yang baik, tetapi semakin aku memikirkan hal baik, semakin mencekik pula kenangan buruk yang menghantui.

Jadi aku segera berhenti. Mengosongkan pikiran. Atau setidaknya aku berusaha untuk itu.

Aku melirik Indira melalui ujung mataku, dia berjalan dengan raut kecut di sampingku. Melompat-lompati bagian-bagian bangunan yang berserakan di sepanjang jalan yang kami tempuh dengan enteng. Tindik pada telinganya berkilat-kilat terkena cahaya mentari. Benda segitiga munggil itu mengingatkan aku pada pin rambut yang biasa Leah gunakan.

Di antara Arhaki bersaudara, hanya Leah seorang yang suka dan pandai bersolek. Dia menyukai sesuatu yang cantik, terobsesi pada segala hal yang kelihatan unik. Leah gemar menjahitkan aku baju-baju, yang tak pernah pas di badanku. Dia berkata, saat besar nanti dia ingin menjadi seorang Perancang. Demi bisa menjual karyanya dengan harga murah. Ingin siappaun yang memiliki perekenomoian sempit, mampu memakai pakaian yang setara dengan orang-orang dengan keadaan yang mumpuni.

Leah tahu kesulitan yang dihadapi keluarganya, tapi Leah mengambil sikap yang jauh lebih dewasa dibandingkan Acres, yang notabene adalah yang tertua. Dia tidak bersungut-sungut akan ketidakadilan seperti yang dilakukan Islee, atau bermuram durja dan menjauh dari dunia seperti Acres, atau lebih buruknya menjadi orang yang berbeda seperti Arden. Leah memaafkan, dia tidak ambil pusing dengan semua hal itu. Dia mirip denganku, merasa sudah cukup hidup dengan di kelilingi orang terkasih. Bedanya, dia selalu memberi cahaya kepada orang-orang di sekitarnya.

Leah dengan pemikirannya yang teramat polos pada dunia.

Aku masih tidak tahu apa yang sekiranya dia lihat sesaat sebelum dirinya kehilangan nyawa. Aku takkan pernah tahu. Dukaku telah menguasaiku terlebih dahulu, membutakan segala-galanya.

Kurasa pesan-pesan yang pernah kubaca dari Darf yang lampau benar adanya.

Bahwa orang yang pertama pergi, adalah orang yang memiliki hati setulus Leah.[]

Total : [2612 words]

DON'T STOP!!!

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro