Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

F O R T Y - F I V E [Repost]

    AKU menggapai tangan Paxtof yang terulur, merasakan tubuhku ditarik ke atas dengan mudah. Kakiku menjejak beton bopeng, was-was membayangkan retakan di bawah kakiku melebar, sehingga ambruklah kami semua terkubur dalam tanah. Namun sepertinya, tempat pijakanku lebih kuat daripada yang aku kira. Aku berdiri dengan benar, menyipitkan mata.

    Angin bertiup makin kencang, mendesirkan segala macam perasaan ke dalam kepalaku. Di depan sana adalah pusat kota. Keadannya malah lebih parah daripada Solo di belakangku. Barangkali karena bom yang meledak berpusat di sini. Bahkan kota ini hampir seperti amblas jauh ke pondasi benda yang berfungsi melayangkan Pheasen jauh dari Permukaan. Sampai-sampai aku bisa melihat dinding tanah dari kawah yang terbentuk, memagari kota yang rusak.

     Tak ada tanda-tanda Kahnivore. Mungkin saja, mereka menjauh dari kota mati yang rusak, yang tidak menyisakan apa-apa selain bangunan roboh dan bau sangit yang menusuk hidung. Namun Paxtof tentu memiliki permikiran lain. Perlahan, hampir seperti gerakan samar dia berjongkok, menumpukan satu lututnya. Sebelum meraup kerikil, memperhatikan benda kecil di tangannya itu selama kurang lebih dua menit lamanya. Sebelum akhirnya berdiri, memasukkan kerikil itu ke dalam saku celana yang dia kenakan.

     Selama itu kami semua hanya diam membisu, termasuk aku. Kami pura-pura tak melihat air mata yang segera diusap dengan kasar oleh Paxtof.

     "Ayo biar aku turunkan kalian," kata Korain pelan. Rautnya sama mendung seperti semua orang. "Xaya bantu aku."

     Kami berhasil sampai di tempat yang selanjutnya tanpa insiden yang berarti, kecuali suasana yang lebih redup daripada sebelumnya. Aku takkan menyalahkan siapapun untuk hal itu. Bukan salah mereka. Bukan juga salahku.

     Gedung yang kami tuju hanya tinggal beberapa blok lagi.

     "Hampir sampai." Sengal Xaya, menyuarakan apa yang baru saja aku pikirkan. Peluh yang merembes di leher serta wajahnya bukanlah peluh yang muncul karena lelah. Tapi keringat dingin. Dia tak bisa menggunakan kemampuannya sering-sering. Demi menghemat tenaga, untuk digunakan pada saat genting saja. Aku juga tidak memaksa, sebab buat apa latihan kerasku bersama para Void, kalau pada akhirnya hanya dibuang dengan percuma.

     Jadi kami berjalan terseok-seok, seperti semut tersesat. Andai saja aku bisa melihat semut secara nyata. Mungkin saja saat ini hewan kecil itu akan berkeliaran di sekeliling kaki kami, entah terinjak atau sekadar lewat. Kutebak takkan ada yang selamat dari pijakan kaki Paxtof.

     Aku memperhatikan langkah-langkah panjang berbobot dari Paxtof, kerikil-kerikil yang ukurannya lebih kecil daripada yang lain, hancur begitu Paxtof mengangkat kaki untuk menapak jalan selanjutnya. Dalam hati aku menghitung langkah-langkahnya, berusaha mensejajarkan langkahku dengannya. Apa saja demi mengurangi rasa gundah dalam hatiku.

     Mulanya kukira kerikil-kerikil itu melompat-lompat gara-gara debum langkah kaki Paxtof, tapi perlahan, aku tahu bahwa bukan seperti itulah adanya. Bukan hanya aku seorang yang menyadari hal itu. Semuanya seketika terpaku di tempat. Berdiri tegak waspada, selama kami memperhatikan sekeliling.

     Jantungku bertalu-talu, teramat keras sampai-sampai terasa bagaikan menggedor-gedor tulang rusukku. Serangan pertama menumbangkan Yorick, sementara aku masih terpaku di tempat, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Paxtof menyambar Yorick yang pingsan dnegan satu tangannya untuk dia gendong di pundak.

     Xaya menggapai aku dan Paxtof. Sekejap kami sudah berada tepat di depan Odinnadsta Sector Zero. Aku belum sempat mencegah kepergian Xaya, saat Paxtof menyambar tanganku, menyeretku masuk ke dalam Odinnadsta. Paxtof berhenti kira-kira beberapa meter dari pintu masuk, menghalangiku dari melihat apapun yang sedang terjadi di belakang punggungnya. Indira, Korain, Xaya ...

     Paxtof membaringkan Yorick di atas lantai yang berdebu, mulai menyembuhkan luka pemuda itu selagi berkata padaku. "Cari apa yang mesti kau cari. Ciung Wanara ada tepat di sebelah sini. Korain akan menyusulmu segera. Pergi."

    Aku seketika tergagap. "Tidak—Paxtof, aku—"

     "Pergi kataku!!" Aku terlompat, tak menyangka bakal dibentak. Tapi Paxtof bahkan tak repot-repot mengangkat kepala untuk melihat reaksiku. Dia masih berkutat dengan Yorick dan kepalanya yang berdarah. Aku menghembuskan napas patah-patah dari dalam mulut. Benar. Aku takkan berguna jika terus diam seperti ini. Aku memutar tubuh, berlari sekencang-kencangnya, melalui tembok yang berlubang di sebelah kiriku. Melompat keluar dari sana. Tujuanku ada tepat di depan mata.

     Jangan menengok. Jangan goyah. Jangan berhenti. Lari.

     Sementara suara raungan, tembakan dan jeritan yang membahana mengiringi lariku.

     Aku tak ingin melihat, akan tetapi siapa yang bisa menolak keinginan hati. Terlanjur sudah. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan kelebatan tubuh Xaya, amukan dari Kahnivore yang membabi buta, rentetan senjata bercahaya dari armor yang melayang di udara. Salah seorang UrsaMayor malang ditampar oleh kibasan ekor Kahnivore, sebagian malah hanya menjadi mainan bagi Lichas sebelum dikoyak-koyak oleh rahang Kahnivore. Hanya sekilas tapi sudah lebih cukup untuk memunculkan mulas pada perutku.

     Pasti akan begini. Selalu begini.

     Aku memejamkan mata, membalikkan badan dari adegan penuh kengerian itu. Hanya kemudian untuk menemukan yang lebih parah lagi. Senyum irit yang menjurus ke arah sombong, serta bagaimana lesung pipi membuat dirinya jadi lebih palsu. Aneh bahwa senyuman itu masih terlihat begitu ramah di mataku. Bahkan suaranya tidak berubah sama sekali, semanis madu, seberbahaya udara beracun di luar Glass Gate. "Kau berhasil?"

     Aku semata-mata mengertakkan gigi, mengambil benda yang kuambil dari Kadarius sesudah aku menghajarnya sampai tak sadarkan diri. Meniru siasat keparat di hadapanku saat dia memojokkanku di hutan Nahari. "Kau dapat ini, aku mendapatkan punyaku."

     Sudut alisnya melengkung naik, dia menyeriangi dengan enteng. "Bagaimana dengan Lick-Ass itu?" Penjilat pantat. Dalam hal ini sepertinya dia tak berubah. Satu-satunya hal yang bahkan masih membekas di ingatanku. Andai saja aku tidak sedang dalam situasi yang buruk, atau melupakan kenyataan bahwa ayahku bukan salah satu dari Lichas, aku sudah pasti tertawa terpingkal-pingkal.

     Aku hampir-hampir berteriak saat berkata. Setengah menggeram. "Aku tak peduli."

     Dia memunculkan cemberut setengah hati yang sengaja dibuat-buat untuk mendramatisi keadaan. "Tak berperasaan seperti biasa."

    Aku tak bisa menahan mulutku untuk tidak balas menerkam. "Memangnya kau tidak?"

     "Sedikit-sedikit," akunya sembari mengendikkan bahu. Entah kenapa pengakuan kecil-kecilan itu justru membuat aku merasa tak berhak untuk berdiri di sini, sementara yang lainnya di belakangku sedang mengorbankan nyawa mereka demi diriku. Akan tetapi, tidak penting mereka melakukannya demi aku atau tidak. Sebab yang jelas-jelas aku tahu adalah, mereka melakukannya demi masa depan Lichas, entah mereka mengakuinya atau tidak. Kedua, Acres. Acres tidak dalam keadaan yang baik. Biarpun aku dan Acres sama-sama sudah memutus tali yang selama ini mengaitkan kami satu sama lain, akan tetapi jauh di dalam lubuk hatiku, aku lebih dari tahu bahwa keputusan yang aku dan dia buat sama-sama dilandaskan pada posisi yang menjebak kami saat itu.

      Tidak ada pilihan lain.

     Tapi saat ini ada. Dan aku bersumpah takkan mengulangi kesalahan yang sama.

     Namun satu masalah selesai, masalah lainnya datang.

     Tapi aku bersyukur, karena orang di hadapanku, aku akhirnya menyadari apa yang selama ini kuinginkan. Apa yang selama ini kusia-siakan.

     Dia maju satu langkah, aku melakukan langkah sebaliknya. Mata emasnya menusuk-nusuk tajam, menusuk-nusuk bagian terkecil dari syaraf mata serta kepalaku, dan tempat dimana anak panah yang keparat itu tembakkan bersarang. "Kita akan lebih cepat selesai apabila kau menyerahkan Darf itu. Segera."

     Aku mendengus, hampir-hampir tertawa. Menirukan nada suaranya selagi memasukkan Darf yang diinginkan keparat bangsat itu ke dalam saku jaket, memeganinya erat-erat. Kupegang sampai mati. "Lebih cepat selesai apabila kau buka mulut untuk membawa Acres ke sini."

     Senyuman itu menghilang secepat datangnya. Bahunya menegang. "Kau selalu membuat keputusan yang menyenangkan aku, Lionne," katanya dengan suara rendah mengancam.

     "Kita tahu tentang itu bukan, Exe?" Aku dan dia sama-sama tahu bagaimana cara membuat satu sama lain jengkel. Satu atau dua kali tidak akan pernah cukup.

     Dia semata-mata berkedut. "Ya sudah," ketusnya. Dia membalikkan badan, isyarat supaya aku mengikutinya.

     Exen Kondryuk bukan orang yang baik, sedari dulu dia sudah dikenal sebagai pribadi yang terlalu ambisius untuk ukuran Sector Tres. Dia juga takkan segan memburu siapapun dari orang-orang yang dulu pernah dengan sengaja atau tidak membuat dirinya kesal, atau malu. Terutama dipermalukan.

     Aku pernah menjadi teman untuk Exen. Jalinan itu hanya bertahan sebentar sampai Acres datang di antara kami, sampai aku dan Acres mempermalukan dirinya. Kejadian waktu itu tidak direncanakan, hanya terjadi begitu saja, tetapi Exen terlanjur dendam, sementara aku terlanjur naik pitam. Aku bermaksud membela Acres, tapi bahkan pada akhirnya Acres sekalipun—setelah tahu apa yang kuperbuat untuk menghentikan Exen—mencela perbuatanku, walaupun setelahnya kita sama-sama tak pernah membicarakan tentang kejadian itu lagi. Aku lebih dari tahu bahwa Acres kecewa padaku—pada perbuatanku.

     Padahal aku berbuat begitu semata-mata untuk melindungi dirinya.

     Segala tindak tanduk Exen memang tidak bisa dimaafkan olehku. Orang lain di Sector Tres niscaya membalas dengan lebih halus, tetapi aku tidak terbiasa dengan kata halus. Halus membuat kita terlihat lemah, halus membuat kita dijadikan target kejahatan.

     Walaupun kebaikan dan kesetaraan derajat selalu digembar-gemborkan oleh pemerintah Pheasen maupun Chrone, apalagi hukuman sosial diberlakukan bagi orang yang melanggar, tetap saja sebagian dari kami masih memiliki sifat bawaan, kekurangan yang tak dapat dielakkan bahkan oleh peraturan dan peradaban yang lebih baik dari masa lampau.

     Aku tahu—semua orang pun tahu—bahwa makin hari pemerintah makin tidak peduli akan begitu banyaknya pelanggaran. Mereka menutup mata dan telinga, atau lebih tepatnya menutup mulut orang-orang yang berpotensi melakukan pengkhianatan.

     Apa yang bisa didapatkan dari menjadi baik? Pikiranku bertanya mencemooh selagi kakiku satu persatu menapaki tangga rawan ambruk di belakang Exen. Aku bisa saja mengambil kesempatan sekarang. Mengokang Jadrové menghancurkan kepala emas itu dalam sekali tembak. Mudah saja. Namun selagi Acres ada di genggamannya, aku takkan coba-coba.

     Siapa yang peduli sekarang?

     Tak ada.

     Tidak ada selain diriku sendiri.[] 

Total : [1501 words]

See u again...

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro