
F I V E [Repost]
JUJUR saja aku tidak terlalu tahan berlama-lama marah pada Acres tapi terkadang, aku sendiri mengakui bahwa aku bisa sangat marah pada pemuda berhati beku, yang tak tahu cara mengekspresikan isi pikiran.
Pernah suatu waktu ketika aku tak mampu lagi menahan diri, Acres berakhir dengan wajah bengkak parah karena aku memberinya tamparan yang lumayan menyakitkan, tapi kemudian, aku justru memutuskan sendiri untuk datang ke rumah Acres, memaksanya pergi denganku ke Danau Allur. Kubawakan dia salep paling manjur untuk bengkak milik Avgustin.
Setelahnya, kami kembali seperti semula, dan tak pernah sekalipun membahas tentang hal yang sama. Seperti saat ini.
Momen ketika kami berada di Tembok Perbatasan sebelum badai datang kembali bergulung dalam ingatanku. Berlomba untuk mengacaukan segalanya. Sementara aku mencoba memilah kembali keadaan hatiku. Pikiranku puas akan keraguan yang perlahan-lahan memperlihatkan keinginan terbesarnya untuk menguasai kepalaku.
Betapa beruntung bahwa kedua kakiku masih melekat dengan kuat di atas lantai, rupanya masih memiliki cukup banyak kesadaran untuk tidak segera berlari ke arah anak tangga di belakangku, kemudian kembali ke rumah dengan pikiran yang hampa. Kukira menyusul Avgustin ke Halder tidak akan jadi masalah.
Sayangnya, aku masih terlalu marah pada Acres untuk memilih pilihan yang lain, atau setidaknya aku harus seperti itu sampai hari ini berakhir, lalu aku akan membiarkan kenangan kemarin terkubur selamanya.
Tepukan tangan Islee pada punggungku membuat aku goyah sebentar. Islee menatapku sembari menyunggingkan senyum prihatin. Aku pura-pura tidak melihat senyuman itu. "Yah. Sepertinya aku sudah tidak dibutuhkan lagi. Indra?"
Indra menggeliat sebentar. Membisikkan kata 'turun' pelan di telingaku. Aku menuruti permintaannya, lagi pula aku tak mau jika keberadaan Indra membuat Acres makin tak terjamah. Tanpa melihat Acres, Indra langsung melesat keluar menaiki anak tangga, lari terbirit-birit, meninggalkan Islee yang tak lama kemudian mengikuti jejak kaki munggil Indra tanpa suara.
Aku berhenti menggigit daging pipi. Komat-kamit dalam pikiranku. Baik. Inilah waktunya.
Aku menatap mata emas Acres. Melihat apakah dia mempunyai ide untuk memecah kekakuan di antara kami tapi mata itu hanya memberikanku sensasi kebas dan putus asa. Jadi aku mencoba mengalihkan perhatianku dari matanya.
Aku merasa sedikit terkejut dengan sosok di hadapanku saat ini. Acres sepertinya telah kehilangan lebih pucat dan kuyu sejak terakhir kali aku melihat dirinya di atas Tembok Perbatasan. Pengasingan diri sepertinya membuat keadaan Acres lebih menyedihkan daripada yang kukira.
Jas putih yang saat ini dia pakai--yang seingatku--milik sang mendiang ayah terlihat sungguh besar pada tubuh kurusnya. Acres selalu mempunyai masalah dengan jasnya sendiri. Acres membenci jas keren resmi yang dia dapatkan sehabis menyelesaikan pendidikan Technya di Institut dan lebih memilih jas kuno milik sosok yang--dia sadari atau tidak--telah memberikan penderitaan pada kehidupannya.
Penampilan Acres yang kusut membuat hatiku terenyuh. Samar, aku melihat bagian bawah matanya memar kehijauan, kacamata kerjanya merosot oleh keringat pada tulang hidung. Satu-satunya hal yang rapi pada penampilan Acres hanyalah rambut ikal emas kusam yang sudah dia pangkas rapi. Tentu saja perubahan kecil itu membuatku tak bisa menahan diri sendiri untuk tidak mengomentarinya.
"Rambut baru ya?"
Dengan kikuk jemari tangannya yang pucat dan kurus bergerak mengelus kepalanya sendiri, lalu menggendikkan bahu. "Lebih nyaman seperti ini."
Aku tersenyum. Kali ini lebih berani dengan mengambil dua langkah untuk memperpendek jarak. "Siapa yang melakukannya?" tanyaku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat dengan jelas bibirnya yang pecah-pecah dan mata emasnya yang lelah. Diam-diam aku kembali bersyukur bahwa Acres tidak mengambil langkah mundur.
Dia mengerjap. "Apa?"
"Rambutmu," kataku menjelaskan, "siapa yang memotong rambutmu?"
"Oh, itu--aku, aku sendiri yang memotongnya," dan sepertinya dia tidak senang dengan apa yang dikatakan oleh mulutnya sendiri setelahnya. "Tidak terlalu rapi."
"Bagus untukmu," kataku cepat-cepat. Acres memang terlihat lebih hidup dengan potongan rambut seperti itu kecuali tubuhnya yang kurus dan kantung matanya yang mengerikan.
"Benarkah? Leah menertawakannya," katanya sembari membenarkan letak kacamata.
Aku menggeplak bahu Acres. Cukup keras sampai membuat dia terhuyung beberapa langkah kebelakang. "Sudahlah! Sejak kapan kau mendengarkan apa yang dikatakan orang lain tentang dirimu?"
Aku terlambat menyadari apa yang mulutku katakan sesudahnya. Tentu saja aku menyadari ada hal yang tidak bisa aku tarik lagi. Walaupun semua hal sudah sangat canggih tetapi membuat masa depan kacau balau. Seperti membalikkan waktu atau semacamnya adalah perbuatan illegal. Benda-benda dan teori tentang hal itu dilarang untuk diciptakan atau bahkan diperbincangkan karena takut disalahgunakan untuk kepentingan yang jahat.
Suara-suara mesin di belakang punggung Acreslah yang membantu kami lolos dari keheningan nan canggung yang telah kubuat.
Seolah apa yang aku katakan tadi tidak pernah terucapkan olehku, Acres menarik tanganku untuk mendekat kearah Square Zone. Di dalam Square Zone itulah tempat di mana sumber suara mesin-mesin yang menyelamatkanku tadi terdengar.
Semakin aku mendekat, semakin jelas sumber dari suara itu terdengar. Di sana. Di atas meja putih transparan terdapat kerangka dari logam-logam yang belum dibentuk dengan sempurna. Tangan-tangan mesin bergerak mengerjakan pekerjaan mereka dengan cekatan. Ssetiap gesekan membentuk percikan-percikan api emas.
Indah. Aku memandang semua itu dengan terpana.
Tapi kemudian aku mengeryit, teringat akan sesuatu. Acres mendapatkan Darf merah itu pada musim panas, sementara saat ini sudah memasuki musim dingin. Seharusnya dengan waktu sebanyak itu, dia sudah menyelesaikan penemuan rahasia apapun itu untuk nanti dipamerkan di Sector Dva sebagai salah satu syarat yang diajukan Sector Dva untuk membalas kemurahan hati mereka.
Acres tahu apa yang aku pikirkan karena dia memberiku jawaban yang kuinginkan. "Kupikir tidak ada salahnya untuk membuat sesuatu sebagai kenangan perpisahanku untuk Sector Tres."
Aku terhenyak, mendengar minimnya nada kebencian dalam suara Acres. Perutku menggepal erat. Setelah semua perlakuan tidak adil Sector Tres padanya? Seharusnya dia melupakan saja semua hal menyedihkan dan menyakitkan yang Sector Tres berikan padanya.
Andai saja aku jadi Acres. Aku menghela napas dalam hati. Tentu saja, aku bukanlah Acres. Mau bagaimanapun, Acres terlalu lembut untuk urusan masa lalu tapi tidak dengan perasaan. Berbanding terbalik denganku yang selalu mendahulukan perasaan dan membuang jauh-jauh masa lalu yang memang tak pantas untuk dikenang apalagi diberi semacam tempat untuk menampung kenangan itu.
Aku berdehem, meneguk ludahku lalu menanyakan satu-satunya hal baik yang ada di kepalaku saat ini. "Kau akan meninggalkannya di sini?"
"Oh, yeah!" Sahut Acres tanpa ragu-ragu. Binar menyakitkan itu menyerang ulu hatiku. Sangat dalam untuk mampu dicabut kembali. Aku buru-buru menunduk, menghalangi kilau harapan yang sama pada masa dimana aku mengatakan omong kosong tentang impianku dan kebahagiaannya.
Aku tak pernah mengira bahwa apa yang kukatakan di masa itu, amat sangat menyakitkan untuk dikenang pada masa mendatang apalagi sekarang ditambah dengan kepergian Acres. Aku merasa tidak berguna luar dalam.
Di tengah-tengah rasa mulas yang menggerogoti perut. Aku memutuskan hal yang sekiranya benar untuk kulakukan saat ini. Aku mengangkat kepala dengan bimbang dan terkejut bahwa Acres memperhatikanku.
Aku merasa malaikat kematian siap mencabut nyawaku kapan saja aku menginginkannya. Kapan saja aku lengah.
"Acres--"
Mata emas itu membuat semua kata yang kususun dengan amat baik kini berhamburan. Tak ada waktu untuk mencari dan menyusunnya kembali.
Acres menggelengkan kepala pelan. Seakan-akan dia tahu. Dia memang tahu. Selalu begitu. "Tidak apa-apa, Ellie. Aku--kau tahu--kupikir kau ada benarnya juga. Selama ini aku tak benar-benar memikirkan tentang keempat saudaraku. Aku pikir dengan menemukan dan membawa pulang kembali Ayah dan Ibu akan membuat semua baik-baik saja tapi nyatanya semua hal tentang kedua orangtuaku hanya membuat waktuku untuk keempat saudaraku terbuang dengan sia-sia."
Acres tersenyum pedih, menunduk dan menatap tangannya yang membekaskan warna berbeda nan menjijikkan.
Selama beberapa saat aku seperti kembali melihat remaja empat belas tahun yang duduk di lantai ruang tamu rumahnya dengan empat orang bocah yang menangis kencang di sisinya. Aku tak tahu apa yang mereka tangisi; tangan Acres yang mengeluarkan banyak darah atau tatapan kosong Acres. Aku tidak sempat memikirkan alasannya, karena luka dan tatapan kosong itu telah membuatku menggigil tanpa adanya udara dingin yang menggigit.
Aku tidak mampu menahan perasaan ini lebih lama lagi. Rasa putus asa yang kutahan-tahan selama ini mengambil alih tubuhku. Aku bergerak, kedua tanganku menyelinap pada pinggang Acres dan berakhir di punggungnya. Kuistirahatkan daguku di pundak Acres, kupejamkan mata dan kubiarkan aroma kopi menyelinap di hidung--memenuhi paru-paru-'membuat aku sesak oleh rasa sedih yang menyakitkan.
Acres terus menyeroscos. "Selama ini aku tak pernah merasa seorangpun senang akan keberadaanku. Ayah dan Ibu pergi, nenek membenciku. Bahkan aku tidak bisa terus berpura-pura tidak peduli dengan tatapan yang orang lain berikan padaku. Aku juga tidak yakin Islee, Arden, Leah dan Indra akan mengerti. Kupikir ... selama ini aku hanya sibuk dengan uang, penyesalan dan Permukaan. Aku tidak pernah bertanya bagaimana keadaan mereka, aku tidak pernah bertanya apa mereka baik-baik saja dengan kesibukanku."
Aku merasakan dahi Acres menyentuh bahuku, setelah menghela napas dengan berat Acres bertanya, "Bukankah aku saudara yang mengerikan?"[]
Total : [1380 words]
Hey, how are you today?
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro