Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

F I F T E E N [Repost]

     MENCENGANGKAN rasanya bisa menghirup udara segar, merasakan desir angin, detak jantung dan darah yang menderu bersama dengan keringat, lebih mencengangkan lagi bahwa saat ini aku melompat dari satu dahan, ke dahan yang lain mengikuti Avgustin.

     Aku mereguk setiap menit kebebasan ini dengan sukacita. Merasakan dengan sepenuh hati bagian alas dari sepatuku yang berkerut--mencengkram, serta meregang untuk melepas sesuai dengan gerakan melompat dan mendarat.

     Aku pernah mengikuti pelatihan yang menggunakan teknik mirip seperti ini di Institut. Salah satu dari mata pelajaran wajib calon Elite Aviator. Namun rintangan yang digunakan saat itu bukanlah pohon-pohon sewarna merah delima raksasa yang menjulang tinggi. Akan tetapi gedung-gedung pencakar langit, menara pengawas, atau kalau sedang beruntung kami akan berkompetinsi untuk bisa mencapai puncak bianglala di kawasan hiburan Solo II, ditonton sekian banyak orang--terutama anak-anak yang dengan polosnya bersorak dan menjerit apabila ada salah satu dari kami hampir terjatuh karena saling singgung.

     Di sini tidak ada tepuk tangan dan audiens yang menganggu konsentrasi. Hanya ada angin serta bunyi tubrukan sepatu dengan dahan kayu keras. Aku takkan pernah menyangka bisa merindukan momen yang dulunya kukira menyebalkan. Mau tak mau mendadak resah oleh kekosongan itu.

     Di depan sana, rambut merah panjang Avgustin yang dikepang berayun-ayun mengikuti momentum gerak tubuhnya. Aku bisa saja menyusul dia dengan mudah. Di Institut aku merupakan siswa tercepat ketiga dalam urusan mengejar musuh, tapi kali ini bukan saatnya untuk berkompetinsi. Lagi pula aku tak tahu arah tujuan yang mesti kami tempuh.

     Namun karena sudah tak tahan, aku memperlebar jarak lompatan untuk bisa berada di sebelah Avgustin. Berteriak padanya. "Kau berencana membunuhku, bukan?"

     Satu ranting luput dari perhatian Avgustin, ranting itu menampar wajah Avgustin dengan keras, dia hampir-hampir terjengkang karenanya. Namun dia dengan cepat menguasai diri, terjaga keseimbangan karena bantuan dari sepatu yang dia pakai. "Aurelion Dearth!" tegurnya, kali ini matanya dia fokuskan ke depan.

     Tak ingin bernasib serupa, aku segera mengikuti teladan Avgustin. "Dearth?"

     Jawabannya datang secepat aku bertanya. "Itu nama belakang kita yang sesungguhnya."

     Aku menggapai dahan yang melintang seukuran paha di hadapanku, mencengkram lalu melompat di atasnya secepat mungkin. "Bagaimana dengan Withttaker?"

     "Nama karangan," dengus Avgustin.

     Oh. Aku mau tak mau meringis. Bodoh benar aku tak menebaknya sedari awal. Untuk meredakan rasa panas yang membakar, aku cepat-cepat bertanya, "Jadi apakah masih lama?"

     Kali ini Avgustin tak segera menjawab, dia mengambil jeda sebentar. "Sekarang kita mesti turun, dan jangan bertanya kenapa."

     Avgustin hampir terkekeh.

     Aku hampir menyeriangi.

     Namun kami berdua segera berhenti tepat pada waktunya, kembali menyadari bahwa ada celah tak kasat mata di antara kami. Celah yang takkan bisa diperbaiki dalam sehari.

     Avgustinlah yang memijak tanah lebih dahulu, mendarat dengan sempurna. Baru kemudian aku menyusul beberapa langkah di belakangnya--sengaja menjaga jarak. Saat aku menengadah, semua terlihat besar dan asing. Aku merasa seperti bakteri dalam sel dengan pohon-pohon raksasa, semak belukar setinggi pinggang, berikut udara yang asing.

     Di saat aku kesusahan menyingkirkan semak belukar yang menghalangi, Avgustin justru melenggang dengan santai, bahkan terkesan tak terganggu sama sekali.

     Tentu saja. Dia sudah terbiasa.

     Mulanya aku merasakan tanah yang kupijaki sedikit bergambut, lalu kemudian agak lembab hingga bagian bawah sepatuku menjadi kotor terkena lumpur. Bahkan tanpa Gamma di pelipisku yang mendeteksi dengan tepat. Aku pun sudah tahu apa yang menunggu kami.

     Tebakanku benar, sebab kemudian aku mendengar suara air yang mengalir. Aku baru menggerakkan mengangkat tangan untuk menyibakkan semak terakhir ketika Avgustin mencengkram tanganku, mengangkat satu jari dari tangannya yang bebas, lalu menggeleng. "Tahan," katanya.

     Terlambat.

     Angin sudah melakukan tugas yang sekiranya tak bisa tanganku lakukan.

     Aku terperangah akan apa yang aku lihat. Apapun itu yang ada di balik semak belukar di depanku merupakan salah satu pemandangan paling menakjubkan yang pernah kulihat.

     Ada air, dan, terutama yang paling membuatku tak bisa berkata-kata—Tembok Perbatasan yang menjulang tinggi. Aku menyentak cengkraman Avgustin, berlari kencang di atas tanah berbatu dengan jantung berdegup liar. Yang ada di pikiranku hanya satu, aku akan pulang. Aku akan melihat kampung halamanku. Aku akan melihat UrsaMayor yang akan menolongku. Pasti!

     Avgustin berhasil menggapai ujung jaketku, tapi bahkan hal itu tak menghentikan aku. "Ellie tunggu--"

     Aku mengabaikan teriakan Avgustin, tanpa ragu-ragu berlari melintasi pinggiran sungai, tak keberatan saat setengah bagian bawah tubuhku berada dalam air, sedari dulu aku perenang yang lebih baik dari Avgustin.

     Jadi saat dia masih berkecipak di belakangku, aku sudah memanjat Tembok Perbatasan, menggunakan sepatu serba gunaku untuk berlarian secara vertikal di permukaan dinding.

     "Ellie kita bukan--" Avgustin dengan tergesa-gesa mengikutiku. Aku berlari makin kencang sementara Avgustin mengumpat-ngumpat, hal itu malah memperlambat gerakannya. Aku tidak mendengar apapun lagi, Glass Gate berdengung amat keras, seakan-akan memanggilku, seakan-akan mereka sudah menantiku. Rindu kepadaku. Samar aku mendengar peringatan Avgustin. "Ellie berbahaya!"

     Bahaya ... Oh aku rindu padamu juga.

     Aku memijak permukaan atas Tembok Perbatasan dengan rasa sukacita. Memejamkan mata, merentangkan tangan lebar-lebar saat angin sejuk nan familier membelai pipiku, mengacak-acak rambutku. Inilah momen terakhir sebelum kebebasanku. Kemudian perlahan aku membuka mata, serta merta teriakan meminta tolong itu tersendat dalam kerongkonganku.

     Bukan Sector Wan. Bukan Sector biru cemerlang nan megah yang kulihat. Namun tempat asing yang tak kukenal, tak lagi dapat dikenali.

     Hanya tersisa reruntuhan belaka.

     Porak poranda.

     Hancur tak tersisa.

     "Merunduk!" seseorang berteriak, menubruk tubuhku teramat kencang. Aku atau, lebih tepatnya--kami berdua jatuh berguling-guling, kemudian terhenti beberapa senti saja dari pinggiran Tembok Perbatasan. Sikuku mati rasa, kukira pinggulku juga terbentur. Aku menyadari bahwa dia melindungi setengah tubuhku dengan tubuhnya. Aku menyikutnya hendak melarikan diri, akan tetapi pegangannya kuat, dan saat aku mendongak. Mengertilah aku alasannya.

     Suara itu mirip StreamLiner yang melintas, tapi ini lebih kencang dan disertai suara geraman seram, yang membuat bulu kuduk di sekujur tubuhku meremang. Glass Gate berdenyar disertai bunyi percikan api saat binatang atau entah makhluk apa itu melintas sangat dekat, membuka lebar cakar besar yang memiliki kuku tajam--mengira tak ada Glass Gate. Makhluk itu pergi diiringi geraman dan jari yang puntung berasap.

     Aku membelalak begitu lebar sampai-sampai kupikir bisa saja bola mataku lepas dari rongganya, begitu menyadari bukan hanya satu. Di bawah langit merah nan seram, aku melihat sekiranya lima makhluk sejenis dalam jarak pandang yang memungkinkan bagi mata manusia. Kesemuanya terbang dengan kepakan sayap bersisik, sesekali diiringi raungan atau geraman bernada pendek.

    Mereka semua menyeriangi, memamerkan gigi-gigi mereka, kalaupun mereka tak sengaja, mereka sudah berhasil membuat gemetar hanya dengan membayangkan kepalaku di mulut mereka.

     Aku merinding, tak pernah aku merasakan rasa takut sehebat ini. "Ap--apa?"

     "Kahnivore." Desis suara di sampingku. Kadarius dengan mata birunya yang hampa memelototi sekumpulan makhluk aneh itu tanpa kedip. Dia sudah berdiri, mengulurkan tangan padaku. Aku terlalu syok, bahkan tak bisa menggerakkan tubuh seincipun, sehingga kemudian aku merasakan Kadarius membantuku untuk duduk dengan benar. Merasakan telapak tangannya mengusap-usap punggungku.

     "Ellie!" Avgustin berdiri dengan wajah memerah, beberapa meter dari tempatku duduk. Aku baru sadar telah meninggalkannya tadi. Dia sekarang bergegas ke arahku, keringat membanjiri pelipisnya. Melepekkan rambutnya yang sekarang bewarna hitam pekat seperti Kadarius. Matanya juga berbeda. Hijau cemerlang.

     "Aku sudah mengatakan tentang hal ini, Av. Kau melanggar--"

     "Aku tahu, aku tahu." Tukas Avgustin kelihatan jengkel, dia sekarang berjongkok di depanku, memeriksa wajahku dengan seksama. Aku terlalu terpana hingga tak punya tenaga untuk menepis tangan berkuku tajam itu dari wajahku.

     "Kalau begitu hukumannya--"

     "Dengar!" Avgustin mendadak berdiri, menguarkan gelagat ingin menonjok wajah Kadarius. "Dia adikku, dan aku hanya ingin menunjukkan kota tempat kami dulu tinggal padanya. Kau tahu itu bukan jenis pelanggaran, apalagi Ellie bersamaku saat ini!"

     Sudut bibir Kadarius berkedut, "Tapi beberapa menit yang lalu tidak."

     Avgustin gemetar dari ujung kepala sampai ujung kaki, kulit wajahnya jadi menggelap. Entah dia marah atau malu atau mungkin malah syok sama seperti aku. Aku tidak tahu. Pikiranku sendiri sedang berbenah, ketika tanpa diduga muncul clone Avgustin di belakang Kadarius, sedetik kemudian, clone itu menyepak Kadarius hingga terlontar jatuh dari atas ketinggian Tembok Perbatasan.

     Selama sepersekian detik aku hanya bisa terbengong, melihat ekspresi Kadarius yang sama tak percayanya seperti aku. Kemudian Kadarius lenyap, aku merangkak cepat hingga ujung tanganku hampir tergelincir di batas Tembok Perbatasan. Tubuh Kadarius menghilang.

     Aku menjerit, tersadar seketika. "Kadarius!"

     Avgustin menahan bahuku, berkata dengan enteng. "Dia akan baik-baik saja."

     Aku menyentak tangan Avgustin, mendelik padanya dengan mata berair. Membentak dengan suara gemetar. "Kau baru saja menjatuhkan manusia dari ketinggian tiga ratus meter! Dia akan mati, Avgustin! Dia akan--"

     "Oh sudahlah,"sergah Avgustin. Menyeretku paksa supaya beranjak dari pinggiran Tembok Perbatasan. "Paling-paling hanya lecet sedikit."

     Aku mengangkat tangan, bersiap untuk menampar pipi Avgustin, saat suara kekehan lembut itu bergema. "Sayang sekali, aku bahkan tak lecet sedikitpun."

     Dua tungkaiku langsung lemas begitu melihat Kadarius berdiri di udara, ditopang oleh sulur-sulur. Kekehan Kadarius, dan geraman Avgustin terhenti. Mereka secara bersamaan menghampiriku, tapi hanya Avgustin yang mengeluarkan suara.

     "Ellie?"

     Aku menutup wajahku dengan telapak tangan, menekuk lutut. Terkekeh-kekeh seperti orang sinting. Aku takkan terkejut kalau besoknya aku gila. Semua hal ini membuatku nyaris gila. Makhluk aneh. Tentu saja Kadarius takkan lecet, dia bukan manusia normal seperti aku. Dia sama seperti Avgustin. Sama seperti semua manusia yang ada disini. Betapa mudahnya aku melupakan hal itu.

     Aku mengangkat wajah. Sudah cukup. Aku tak mau kelihatan seperti itu. "Makhluk apa tadi?"

     Avgustin membuka mulut tapi urung mengatakan sesuatu. Mimiknya berubah dari marah jadi khawatir.

     "Kahnivore." Kadarius yang menjawab. Dia lalu memutari tubuhku untuk duduk di sebelah kiriku. Menjelaskan lebih lanjut tanpa kuminta. "Itulah alasan kenapa tak ada hewan asli di Pheasen maupun Chrone. Apa yang terjadi di Permukaan bertahun-tahun yang lalu telah merubah banyak hal, termasuk mereka."

     Aku menarik napas patah-patah. Kenapa aku tidak mengingat hal itu? "Sungguh?"

     Kadarius menyeriangi, menyenggol bahuku dengan bahunya. "Buktinya ada tadi, dan dia hampir manjadikanmu sarapan yang rendah lemak."

     Avgustin berdehem-dehem keras. "Aku masih di sini, anak muda."

     Aku berhenti memeluk lutut, dan duduk bersila, menatap reruntuhan serta makhluk bernama Kahnivore itu di kejauhan. Candaan Kadarius memang tak lucu. "Dan reruntuhan itu bekas apa?"

     Hening.

     Kadarius mengamatiku dengan bibir terkatup rapat, alisnya berkerut prihatin. Sementara Avgustin bahkan tak sudi memberiku perhatian. Dia gelisah, penyebabnya sudah pasti karena pertanyaanku tadi. Aku tak senang dengan gelagat mereka berdua. Seakan-akan aku ini masih di bawah umur untuk memegang rahasia besar. "Tak adakah yang mau memberitahuku?"

     Kadarius melempar batu kerikil ke arah Glass Gate. Menyebabkan bunyi desisan. Batu padat seketika berubah menjadi pasir dalam sekejap. "Abangmu belum memberitahumu ya?"

     "Aku akan memberitahunya sekarang," desis Avgustin.

     "Apa?" tanyaku. Suaraku naik beberapa oktaf.

     "Ellie ingat pertanyaan terakhir yang kau ajukan padaku?"

     "Tentu saja." Kenapa kalian berakhir di sini? Ke mana Ayah?

     "Sebagian besar dari kami berakhir disini karena apa yang tersisa dari tempat kami adalah itu," Avgustin menunjuk reruntuhan dengan kendikan dagunya, matanya menyala-nyala oleh sesuatu. Tak perlu kata-kata untuk mengungkapkan apa yang terjadi selanjutnya. Apa yang sekiranya menimpa keluarga kami. Tak ada yang tersisa selain kita berdua.

     "Oh hebat," desahku lirih. Lengkap sudah kemalanganku. Aku menggigit bibir, tak tahu mesti berkomentar apa, tapi kalau ingin tahu, aku setidaknya mesti bertanya. Aku tak pernah mengira bahwa di luar dari hutan Sector Wan, samudra Sector Dva, gurun Sector Tres serta jajaran pegunungan nan panjang di luar Tembok Perbatasan Sector Quattro masih ada tempat di baliknya. Tidak, mungkin hanya aku seorang yang tak tahu menahu akan hal ini. Maksudku, mustahil tahu, bahkan peduli pun tidak.

      Logikanya, kami sudah punya segalanya di Pheasen, untuk apa kami repot-repot menengok keluar dari Tembok Perbatasan. Kalaupun ingin, teramat mustahil untuk mewujudkannya--seperti mimpi Acres akan Permukaan. "Apa ini salah satu tipu muslihat Chrone?"

     "Sebenarnya ini ide Pheasen." Celutuk Kadarius.

     Aku nyaris tersedak ludahku sendiri.

     "Pheasen tak ada bedanya dengan Chrone," Itu kalimat yang sama, yang keluar dari mulut Acres. Namun saat mengatakan hal itu, ekspresi Kadarius sama sekali tak memperlihatkan perubahan yang berarti, akan tetapi aku tentu tak salah mendengar nada kecewa dari suaranya. "Perbedaan antara ingin menegakkan hukum dan kejahatan terselubung itu tipis sekali."

      Aku hanya bisa menatapnya tanpa mampu berkata-kata, aku tak yakin kata-kata itu ditujukan untukku, pun bukan untuk dirinya. Kurasa Kadarius hanya menggumamkan apa yang ada dalam pikirannya. Tiba-tiba Kadarius nyengir. "Oh maaf, seharusnya aku tutup mulut. Inikan urusan keluarga."

     "Ya!" Ketus Avgustin. "Kalau kau ingin bokongmu tak timpang, pergi sana!"

     Cengiran Kadarius menghilang. "Kenapa pula aku mesti mendengarmu?"

     "Kenapa pula aku mesti menjawab pertanyaanmu?!" Aku sudah pernah menghadapi berbagai jenis kemarahan versi Avgustin, kemarahannya kali ini lebih kurang sama persis seperti yang dia tunjukkan pada Acres.

     "Semua orang pun tahu, ini wilayah pribadiku," ujar Kadarius, masih teguh pada pendirian.

     Avgustin semata-mata mendengus sebal.

     "Aku akan menutup telinga dan mulut rapat-rapat." Kadarius mengedip padaku. "Benar bukan, Ellie?"

     Sejak kapan orang Sector Wan mau repot-repot beramah-tamah dengan Sector Tres? Mustahil, tentu saja. Kecuali--kecuali kalau mereka menginginkan sesuatu. Kalau aku tak hati-hati, aku bisa saja jatuh ke dalam perangkap yang sama untuk kesekian kalinya. Sector Wan berbahaya, licik... Kupikir, sekarang aku mengerti apa yang ada di pikiran penduduk Sector Tres soal Sector Wan.

     Lebih sedikit kau berurusan dengan Sector Wan, lebih enteng hidupmu. Aku menggeser dudukku sedikit menjauh dari Kadarius, berpaling darinya cepat-cepat.

     Avgustin memperlihatkan wajah pongah begitu menyadari tindakanku. Ekspresi yang takkan pernah dia perlihatkan andaikata sosok di sampingku saat ini adalah Acres. Avgustin tahu pasti, aku sudah tentu memilih Acres dibandingkan dirinya. Kubiarkan dia menikmati kemenangan yang jarang-jarang bisa dia banggakan. "Jadi wilayah ini--" aku memandang jauh ke depan, pada pemandangan yang tidak enak untuk diperhatikan lama-lama, tapi aku memaksa untuk tetap teguh, kalau ingin terlepas dari semua kegilaan ini, aku mesti menahan diri. "punya nama?"

     "Knight. Namun sebagian orang menyebut wilayah ini sebagai anjing penjaga. Pembagian wilayahnya hampir sama seperti empat Sector di Pheasen. Zero, Lima, Exi, Six. Saat ini yang ada di depan kita kebetulan adalah kota tempat kau dan aku di lahirkan. Sector Zero." Avgustin mengendikkan bahu ke belakang. "Berhadap-hadapan dengan Sector Wan, hanya terpisah oleh Glass Gate dan hutan Nahari. Kau tentu bisa menebak Sector mana yang berhadapan dengan Sector mana saat ini. Jadi aku takkan menjelaskan lebih lanjut."

     Itu perkara mudah, Avgustin sudah mengatakan posisi kami dan Sector apa yang ada di hadapan kami. Aku bisa membayangkannya sejelas peta wilayah Pheasen--yang sudah menjadi makanan keseharianku di Institut. Penempatannya searah dengan jarum jam. Wan-Zero, Dva-Lima, Tres-Exi, dan yang terakhir--Quattro-Six. Tapi lalu kenapa setengah Sector berakhir dengan keadaan yang menggenaskan seperti ini? Aku tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui jawabannya.

     "Semuanya di mulai dari permasalahan Glass Gate sialan ini." Avgustin ikut-ikutan melempar kelikir ke permukaan Glass Gate. Seakan-akan hal itu bisa melukai Glass Gate saja. "Kau tahu, dulunya Chrone menjanjikan pembagian peningkatan keamaan untuk Glass Gate teranyar secara menyeluruh. Dengan syarat--selagi menunggu para Tech dungu itu menyelesaikan pekerjaan mereka--kami, terutama penduduk Knight mesti bekerja habis-habisan untuk menghalau Kahnivore supaya tidak melintas ke Pheasen.

     Pekerjaan yang bukan hanya menguras habis tenaga, tapi terkadang nyawa juga. Namun janji adalah janji. Kami sudah mengerjakan apa yang diinginkan Chrone, maka Chrone mesti memenuhi imbalan yang pantas untuk itu.

     Akan tetapi kami segera saja mengetahui jika Chrone itu penipu ulung, Glass Gate sudah lama selesai, tapi cakupan wilayah yang bisa kubah pelindung itu capai hanya bisa melingkupi Pheasen."

      Avgustin menggertakkan rahang, mengambil waktu sejenak untuk melempar kerikil lagi. Kali ini lebih keras. "Immanissimum ac foedissimum monstrum! Kalaupun mereka bisa, mereka takkan mau. Hal itu sudah mereka rencanakan sedari awal. Apa sulitnya mengurangi populasi untuk masa depan yang lebih baik? Takkan susah apabila kau punya kuasa. Namun kesalahan sudah terlanjur dibuat, takkan ada lagi rahasia yang bisa selamanya ditutup-tutupi. Begitu juga akan rahasia penduduk Knight."

     Aku mencari-cari sendiri apa yang sekiranya saat ini kurasakan. Setelah lama menelaah, yang bisa kurasakan dengan jelas hanya rasa nyeri yang aneh pada jantungku, kukira aku pasti murung karena aku merasakan Kadarius menyenggol sikuku. Sedikit saja sehingga Avgustin takkan menyadari. Aku terkejut tentu saja, tapi tidak bereaksi atas tindakan penghiburan kecil-kecilan itu. Tindakan itu malah mengompori reaksi pedasku.

     "Bagaimana dengan Pheasen?"

     Avgustin mencibir. Avgustin. Seseorang yang kukira akan rela melakukan apapun demi Sector Tres, demi Pheasen bahkan demi Chrone, ternyata juga menyimpan dendam tersendiri. Betapa anehnya aku, betapa tercelanya aku, karena akulah satu-satunya orang yang tak pernah memiliki pemikiran semacam ini. "Oh, mereka pada awalnya membantu. Betul mereka melakukan hal itu, tapi dasar tolol--mereka sudah terlanjur termakan omong kosong Chrone."

     Kukira, kejadiannya pasti tak seperti itu. "Kalian tak diterima ya? Aku sependapat dengan Chrone, cepat atau lambat keberadaan kalian bisa saja membahayakan mereka." Aku mengerutkan dahi, rasa belas kasihan itu menghilang secepat datangnya. "Atau kalian sudah mencoba untuk melakukan hal itu?"

     "Tidak." Aku bisa membaui kebohongan semudah menghela napas. Jadi aku tahu apa yang tepatnya dilakukan oleh Avgustin.

     "Sayang sekali kalau begitu," ujarku acuh tak acuh. "Lalu sekarang apa tepatnya yang ingin kalian lakukan? Setelah ada aku di sini."

     Avgustin tak menjawab, tapi malah memelototi Kadarius. Seberapa bencipun Avgustin akan seseorang, dia akan selalu menghormati kedudukan mereka. Sudah pasti di sini yang berwenang untuk mengatur apa tugasku selanjutnya, pastilah seseorang yang kedudukannya jauh lebih tinggi dibanding Avgustin--setidaknya di tempat ini dengan perkumpulan orang penuh dendam kesumat ini.

     "Oh," Kadarius tersenyum. Kenapa dia harus selalu tersenyum sih? "Keputusan belum dibuat dengan benar. Maksudku, kau tahu aku takkan menyangka kau memutuskan secepat ini."

     Bohong lagi.

     Selain pendendam mereka ternyata suka mengulur-ngulur waktu. Kalau aku tak terjebak di sini, aku takkan sudi melakukan apapun untuk mereka. Lebih baik mati saja.

     "Akan tetapi sebelum itu, ada baiknya kau mengenal daerah ini, serta Lichas yang lain dan--tentu saja," mata Kadarius bergerak naik turun secara perlahan, menganalisis tubuhku. Kutahan keinginan untuk mencolok mata indahnya, "kau mesti latihan fisik lebih lama lagi." Kadarius mengangkat tangan bahkan sebelum aku menyanggah. "Orang-orang yang kau hadapai bukan seorang Aviator korup atau Tech dungu yang bodoh. Ingat kata-kataku, Ellie? Cobalah sesekali untuk melihat dari sudut pandang orang lain."

     Berani-beraninya dia menguliahiku soal itu lagi, tapi aku pandai menahan diri.

     Aku bisa.

     Hanya saja, aku tak tahu akan bertahan sampai kapan.[]



Total : [2886 words]

I hide away from the things that hurt. Now, i'm miles away from all the things that i love.

-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro