
BONUS CH FOR FUN!!
{Slow down, Darling. ;)}
AKU TAK TAHU SAMPAI KAPAN aku akan tahan berjongkok, dengan jantung yang berdegup kencang. Sampai-sampai aku takut sendiri, jantungku bakal meledak apabila bunyi mencurigakan sekecil apapun tertangkap oleh telingaku.
Tetapi mau bagaimana lagi, memang inilah pekerjaanku. Inilah jalan yang aku pilih dengan sukarela. Kalau saja bukan karena kemunculan makhluk abnormal yang orang-orang tak waras itu beri nama Lichas, aku sudah pasti, saat ini sedang berada di atas Tembok Perbatasan Sector Wan, berjaga dengan aman dan damai tanpa perlu merasa was-was setiap menit memikirkan bagaimana nasib kami pada jam-jam ke depan.
Aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri betapa mengerikannya mereka—para Lichas sialan ini. Melihat apa yang bisa mereka lakukan hanya dengan bermodalkan tangan kosong.
Membunuh, meremukkan kawanku yang sesama UrsaMayor hanya dengan sekali kibas. Dideskripsikan demikian sederhana saja belum cukup bagiku. Masih ada pertunjukan sialan berupa semburan api, tanah bergejolak hanya dengan sentuhan, percik listrik yang menghanguskan. Mereka secara mengerikan seolah-olah menguasai segala hal, sebab memang seperti itulah kenyataannya.
Mereka membabat habis kami, menjebak kami. Kami bahkan kehilangan hampir sebagian Aviator berbakat. Walaupun tak mau mengakuinya secara terang-terangan—para petinggi di Pheasen—mulai dari jejeran para Aviator dan keempat Albercio, semuanya menolak untuk menerima kekalahan telak itu.
Dan karena itulah, aku di sini.
Aku tidak tahu wujud neraka seperti apa, tapi menurutku wujud neraka tersebut sudah ada di sekelilingku saat ini. Berwujud rupa Lichas, pertempuran yang seakan-akan tiada akhir, jangan lupakan akan kenyataan bahwa kami-para UrsaMayor Sector Wan diharuskan bekerja sama dengan UrsaMayor Sector Tres yang sombongnya minta ampun. Kalau dua neraka lainnya masih bisa ditahan setidak-tidaknya sampai pertempuran bergejolak lagi, kerjasama dengan Sector Tres sungguh membuat urat-urat nadi di pelipisku berdenyut parah.
Segala hal tentang mereka benar-benar menyilaukan. Mata mereka menyilaukan, rambut mereka menyilaukan, armor mereka menyilaukan, perilaku mereka menyilaukan-saking gigihnya mereka dalam menjaga sikap di depan semua orang. Membuat mata serta kepala sakit saja.
Aku seharusnya berhenti bersungut-sungut mengingat situasi yang saat ini kami hadapi. Tetapi aku tak bisa menahan diri. Aku perempuan, wajar saja aku senang ngedumel dalam hati. Lebih baik seperti itu daripada bertukar gosip murahan seperti yang dilakukan gadis-gadis Sector Tres. Hal itu juga tak bisa kami lakukan, terlebih lagi kami ini UrsaMayor, tidak wajar kami bersikap seperti itu. Sebenarnya ada alasan lain, yang paling ampuh dalam menahan kami supaya tidak bersikap sembarangan. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah kesadaran bahwa kami tidak sendirian. Bahwa ada banyak mata yang melihat, telinga yang mendengar. Tidak ada kata aman sesudah kau menjadi UrsaMayor.
Biar kuceritakan sedikit kenapa aku bisa menjadi bagian dari UrsaMayor yang malang.
Aku berakhir jadi UrsaMayor bukan karena tuntutan keluarga. Bukan. Malahan kedua orangtuaku sama sekali tak peduli anak mereka menjadi apa kelak, tak pernah khawatir soal itu. Sebab pekerjaan di Pheasen mudah didapat. Kalau kau tak mendapatkan pekerjaan yang satu, kau akan dialihkan ke pekerjaan lain. Itulah yang terjadi padaku—pengalihan pekerjaan.
Jumlah Pins untuk ilmu perpolitikanku kurang mumpuni jadi aku tak bisa menjadi Aviator. Namun aku ternyata lolos dalam hal menyusun strategi ditambah aku punya ketahanan fisik yang masuk kriteria untuk menjadi UrsaMayor. Jadi kemudian Darf merah itu datang, mengatakan aku mesti ikut pelatihan di Sector Dva selama lima tahun. Entah aku menyukainya atau tidak, semua hal itu bisa diurus belakangan.
Yang terpenting aku bisa bekerja, dibayar, tidur nyenyak dan bangun pagi dengan wajah segar. Sungguh aku merindukan hari-hari nyaman nan damai itu.
Nyatanya memang bukan aku seorang yang memikirkan hal serupa. Karena untuk kesekian kalinya aku mendengar pemuda di samping kiriku menghela nafas. Bukan helaan nafas pelan, tapi yang keras dan membuat siapapun yang mendengarnya merasa terganggu. Sontak saja mengundang pelototan dariku dan dua pasang mata lainnya.
"Apa?" Aku yakin seratus persen dia sedang nyengir di balik topeng armor yang menutupi wajahnya. Dasar kebiasan. Sector Tres badut bodoh.
"Kau butuh paru-paru baru, T-rex?" tanya perempuan di samping badut Sector Tres. Armor gradiasi merah gelapnya menyala redup. Suaranya lebih berat daripada perempuan pada umumnya, Sector Dva tak punya kebencian tertentu pada Sector Tres, tetapi aku mengenal baik nada sinis dalam suaranya. Jenis yang akan muncul apabila konsentrasinya terganggu. Aku tidak menyalahkannya karena itu.
T-rex terdiam selama sedetik sebelum akhirnya buka suara. "Tidak, tapi kau mungkin mau mencarikannya untukku, D-rona?"
Ih. Jawaban yang tidak cerdas. Aku menoleh untuk memandang D-rona, tapi dia hanya bergeming, barangkali masih memikirkan jawaban yang menohok untuk menutup mulut T-rex.
"Mungkin bisa." Celutuk pemuda di sebelahku, berarmor gelap abu. Sector Quattro.
Diam Q-emo! Aku mendelik, walaupun sia-sia saja memperingati pemuda itu untuk tutup mulut, karena dia tak bisa melihat ekspresiku. Namun aku tetap saja begitu-memelototi Q-emo tanpa hasil.
"Oh kau mau, Q-emo?" T-rex tampak sama terkejutnya seperti aku mendengar suara dari Q-emo. Aku bisa mengerti perasaan itu sebab Q-emo merupakan orang paling pendiam nomor dua setelah aku di antara kami. Terlebih lagi dia ditempatkan sebagai pengganti rekannya yang telah lama kehilangan nyawa pada pertempuran pertama dengan para Lichas. Aku hanya bisa menebak-nebak alasan di balik sikapnya itu. Entah dia memilih terus membisu karena berduka, atau enggan untuk ditanya-tanya. Diihat dari gerak-geriknya, aku pikir bisa saja kedua tebakanku benar. Dia berduka dan secara bersamaan tak mau hal itu-kematian temannya-diungkit-ungkit.
Q-emo mengokang Sequoia, mengelus-ngelus permukaannya dengan sayang. Pandangannya tak pernah berpindah, selalu menghadap ke depan. Waspada. "Aku tidak bilang aku mau," Q-emo dengan enteng mengendikkan moncong Sequoia pada ladang ranjau yang berada sekitar tiga meter di hadapan kami. Aku mau tak mau menyeriangi. Tentu saja-Sector Quattro dengan pikiran licinnya. "Mudah saja. Tinggal ganti paru-parumu dengan salah satu dari tumpukan mayat di sana. Tapi aku tak yakin kau bakal keluar dari sana hidup-hidup untuk memasang paru-paru mati."
"Itu namanya cari mati!" ketus T-rex, tak repot-repot menyembunyikan cibiran. Dia meregangkan kesepuluh jari-jarinya, ikut-ikutan menelusuri moncong Sequoia. Gelagat ancaman yang sudah biasa kukenali, tetapi masih kurang mempan untuk memunculkan keringat dingin.
"Salah siapa memangnya?" sergah D-rona.
"Bukan salahku tentu saja," T-rex menggelak diikuti kekehan rendah meremehkan. "Aku hanya menghela nafas dan kalian mempermasalahkan hal sepele seperti itu. Ada-ada saja."
Kaulah yang mengada-ngada, dasar badut! Tapi bukannya menggeramkan kata-kata itu pada T-rex, aku justru bungkam, lebih memilih untuk memelototi asap yang masih ada dari bekas pertempuran lama di kejauhan. Tidak ada gunanya meladeni orang besar mulut. Sekali lagi, aku membiarkan orang lain berperang sementara diriku sendiri lebih memilih untuk menyimpan segalanya seorang diri. Kalau seperti ini terus menerus, bisa jadi aku akan kehilangan kemampuan untuk bicara, saking jarangnya digunakan.
Aku terus berkutat pada pikiranku sendiri, membiarkan suara perdebatan T-rex dan D-rona sebagai latar belakang, ketika suara gemerisik terdengar melalui telingaku. Menghentikan cemoohan silih berganti dari dua Sector.
"Masuk. UrsaMayor N22, menara pengawas melihat ada pergerakan mencurigakan dari arah jam dua. Terus bergerak ke arah kalian dengan kecepatan konstan. Bersiaga."
"Roger that." D-rona mengangguk, memberi izin kepada kami supaya bergerak untuk memeriksa. Tanpa banyak kata Q-emo melompat dan mendarat dengan mulus tanpa suara di atas tanah. Selang beberapa menit menunggu dengan jantung yang bertalu-talu selagi kepala Q-emo menoleh ke segala arah. Q-emo akhirnya melepas ketegangan yang kurasakan dengan mengangkat tangan, satu jari teracung di udara, bergerak maju mundur dua kali. Isyarat aman. T-rex bergegas menyusul Q-emo, berikutnya aku, diikuti oleh D-rona.
Kami melangkah dengan pelan tapi pasti, mengendap-ngendap memanfaatkan batang-batang pohon raksasa yang menjulang. Aku baru menegakkan tubuh sehabis menunduk demi melewati pohon tumbang yang melintang menghalangi jalan saat derik statis terdengar di telingaku.
Bedanya kali ini bukan dari menara pengawas di atas Tembok Perbatasan. Kali ini suaranya dari D-rona sendiri. Padahal kami hanya terpisah beberapa kaki, tapi bukan masalah. Bagus malah. Menggunakan Echo untuk mengantisipasi bahaya yang tak terduga. "Kau tahu apa yang mesti kita lakukan, W-en?"
Aku menepis lumut yang mengotori armorku yang sudah tergores-gores parah. Mempererat pegangan pada Sequoia. "Selagi target belum dipastikan dengan benar apakah mereka lawan atau kawan. Kita tak bisa main serang."
D-rona menggerang dari dalam tenggorokan tetapi tidak mengatakan apapun padaku selain. "Masuk. UrsaMayor D-rona di sini, kepada menara pengawas. Bisakah kalian memberikan kami detail dari pergerakan yang kalian tangkap dari atas sana? Ganti."
"Masuk. Ya. Masih dalam proses. Ganti."
Masih dalam proses mereka bilang. Dasar lamban. Bisa-bisanya mereka mengatakan itu dengan tenang sementara kami di sini ibaratnya seperti robot anjing tanpa pengelihatan super yang mumpuni. Memang bisa membaui tetapi tak bisa memastikan. Sama saja dengan buta. Aku terlalu sibuk berkonsentrasi kepada jawaban dari UrsaMayor menara pengawas, sampai tidak menyadari bahwa T-rex sudah berhenti berjalan. Beruntung bahwa D-rona dengan sigap menahan bahuku, menghindarkan aku dari bertubrukan dengan punggung tegap T-rex. Ternyata jalan kami tersendat, karena pelacak kami sendiri menghentikan langkahnya.
Aku tidak menunggu lama sampai mendapat jawaban kenapa Q-emo tak kunjung beranjak dari posisinya.
"Perasaanku tidak enak." Q-emo bergumam, nada suaranya yang ragu dan takut berhasil memacu laju jantung yang tadi sudah sempat tenang, perutku serasa terputir, berikut dengan keringat dingin yang kurasakan mengalir pada tulang punggungku. Mau tak mau aku bergidik. Aku selalu mempercayai intuisi dari orang-orang Sector Quattro. Dan kali ini tentu saja dia tak salah.
Bangsat sialan.
"Naik!" T-rex menggeram, menyuarakan apa yang ada dalam kepalaku. "Tak aman berada di sini."
Aku belum sempat mengatakan apapun ketika T-rex berbalik, menubruk tubuhku hingga kami sama-sama jatuh tengkurap dengan dia di atasku. "Ap-"
Desisan senjata, suara benturan yang berjarak hanya beberapa meter saja di sebelah kiriku. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, tubuh D-rona terkoyak menjadi dua bagian, memuncratkan daging dan isi perut ke segala arah. Seorang pria yang seakan-akan habis mandi darah berdiri tepat di depan tubuh D-rona yang sudah teriris sempurna. Berdiri sedemikian rupa seolah-olah pemandangan yang telah dia ciptakan bukan apa-apa.
Lichas. Seorang Lichas.
Aku membuka mulut bermaksud untuk menjerit tapi yang keluar dari dalam tenggorokanku hanya berupa dengih napas tak beraturan.
Tidak, tidak, tidak. Tidak boleh begini.
Aku memang membenci T-rex sebab dia berasal dari Sector Tres. Namun bila dibandingkan T-rex aku lebih membenci Lichas. Sebab merekalah semua hal ini terjadi, sebab merekalah D-rona kehilangan nyawa. Barangkali karena itulah aku tak memikirkan apa-apa saat menyingkirkan tubuh T-rex yang menghalangiku, berlutut dengan satu kaki dan tanpa basa-basi menembak. Bahkan saat gemetar oleh amarah tembakanku tak pernah meleset. Tepat mengenai kepala pria Lichas itu, peluru dari Sequoia menghancurkan batok kepala si Lichas sedemikian rupa. Tanpa kepala, tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang sebelum pada akhirnya ambruk tak bergerak.
Aku menurunkan senjata begitu yakin Lichas itu sudah mati. Baru menyadari bahwa aku bernapas terlalu cepat. Telingaku berdenging, menengok dan tak bisa menahan kesiap ketika menemukan Q-emo mengalami nasib serupa dengan D-rona. Seharusnya aku tidak terkejut. Dialah yang menjadi korban pertama. Karena dialah T-rex mempunyai beberapa menit yang tersisa untuk menyelamatkan dirinya dan aku.
Aku memalingkan wajah, membalikkan badan, memperhatikan T-rex bangkit perlahan-lahan. Setumpu demi setumpu. Jantungku seakan-akan jatuh ke dasar perut begitu melihat armor UrsaMayor pada bagian lengannya bolong. Hangus terbakar. Otomatis memperlihatkan daging menghitam yang terbuka. Kalau dibiarkan lebih lama, dia akan mati kehabisan darah. Kalau dia mati, otomatis hanya tinggal aku seorang diri. Mati seorang diri. Tidak. Aku takkan membiarkan dia mati mendahului aku.
Aku menggigit bibir keras-keras sampai mulutku mengecap rasa logam, selagi menghampiri T-rex, memegangi badannya yang goyah. Dia sudah lama membiarkan tpeng armornya terbuka. Hingga saat ini aku mampu melihat keringat dingin mulai bermunculan pada wajahnya. Rambut emasnya menggelap oleh darah. Ternyata kepalanya juga terluka. Aku menggeram. "Masuk. W-en kepada menara pengawas. Ganti."
Hening.
Bahkan gemerisik statis pun tak terdengar sama sekali. Aku tidak boleh panik. Aku tak seharusnya panik.
Tanganku gatal ingin menggaruk wajah, tapi keberadaan T-rex dengan raut kesakitan secara ampuh mampu menahan kebiasaan jelek itu untuk mengambil alih kesadaranku. Namun sebagai gantinya karena tak ada pelampiasan, amarahku yang bercampur dengan rasa panik makin berkobar. "Masuk. W-en kepada menara pengawas! Ganti!"
Masih sama. Sia-sia saja.
Tiada apapun selain suara embusan angin yang kian kencang seiring helaan nafasku, yang menjatuhkan daun-daun merah merona ke atas tanah. Aku membuka mulut siap untuk membentak, saat telingaku berdenging hebat, sumber denging asalnya dari Echos. Sontak tanganku geragapan, menekan tools untuk meriakkan topeng armor UrsaMayor yang kukenakan, hingga aku bisa mencegah benda laknat itu dari merusak gendang telingaku lebih jauh lagi.
Aku melemparkan alat itu ke atas tanah, menembaknya dengan kemarahan penuh. Tak bisa untuk tidak menahan mulut dari mengutuk keras-keras. Ternyata sumbu kesabaranku berakhir sampai di sini. "Bangsat sialan! Menara pengawas sialan! Lichas sialan! Kalian semua bangsat kotor remah-remah Permukaan! Keluar kalian! Hadapi aku!! Dasar jalang pengecut!!"
Untuk sesaat T-rex seperti melupakan rasa sakit yang melandanya. Dia sekarang memandangi aku, mulutnya terbuka beberapa senti, mata emasnya melebar bukan karena kesakitan.
"Apa?!" Ketusku. Mendelik. "Belum pernah melihat Sector Wan mengumpat ya!?"
Namun aku sendiri tercengang saat T-rex terkekeh, lalu mengangguk samar. "Ya. Kau lumayan berbakat dalam hal itu."
Berbakat katanya. Tentu saja aku begitu. Kalau tak begitu mana mungkin aku bisa bertahan sampai sejauh ini. Aku benci terus-terusan berada di tempat ini. Tak ada kepastian selain menunggu kematian. Aku membenci semua hal yang terjadi di hidupku saat ini.
"Ayo gerak. Kau bisa 'kan?"
T-rex mengulurkan tangan, dan aku tanpa ragu-ragu menggapainya. Membiarkan dia merangkulkan lengannya di seputar pundak serta leherku. Sekali ini saja, batinku ngedumel. Sekali ini saja aku berbaik hati. T-rex menatapku was-was, barangkali dia juga berpikiran sama. "Sekarang apa?" tanyanya. Mmebuyarkan prasangka dalam kepalaku.
"Sekarang, kita cari bangsat pengecut yang telah membunuh D-rona dan Q-emo." Kataku.
T-rex menengok ke belakang untuk melihat mayat tanpa kepala hasil perbuatanku. "Tapi kau sudah membunuhnya?"
"Oh itu," aku mencibir, "itu bukan Lichas asli. Hanya ilusi. Pemilik aslinya entah berada di mana saat ini. Mungkin saja dia sedang memperhatikan kita, bermain batu gunting kertas bersama rekannya dalam rangka memilih siapa yang akan jadi korban selanjutnya?"
"Bagaimana kau-"
Pipiku berkedut. Aku benci pertanyaan itu, lebih benci lagi saat aku berkewajiban untuk menjawabnya. "Aku tahu karena aku sudah pernah melihatnya."
T-rex tak langsung menjawab, sama sekali tak terlihat seperti dirinya yang biasa. Mau tak mau membuatku bersyukur setidaknya dia memikirkan kata-katanya sebelum berucap. "Mengerikan," dia akhirnya bergumam, tapi karena jarak kami dekat, aku tentu bisa mendengarnya.
Memang mengerikan, akan tetapi di atas semua itu, aku tak mau T-rex jadi yang pertama mati. Aku tak mau tersiksa seorang diri. "Kita langsung saja pergi ke Tembok Perbatasan. Lukamu mesti disembuhkan secepatnya."
Sekali ini T-rex tak membantah.
Kami berjalan tanpa kata, sebab memang tak ada yang perlu dibahas. Tiada waktu untuk berduka cita, tiada waktu untuk menangisi yang sudah hilang. Bagaimana bisa aku menangisi mereka kalau nyawaku sendiri sedang terancam. Seperti yang T-rex bilang sebelumnya. Mengada-ngada. Kata-kata dari si badut yang ternyata ada benarnya juga. Kemudian, sekonyong-konyong aku tersentak, merasa terkejut sendiri begitu menyadari bahwa diriku ternyata hampir melupakan panggilanku yang biasa untuk T-rex setelah apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Bukan masalah. Aku bisa berbaik hati untuk hari ini.
Aku menundukkan kepala untuk melewati batang pohon yang melintang, dengan hati-hati supaya T-rex bisa mengikuti tanpa terantuk...
Pohon tumbang...
Berapa lama aku sudah berjalan kaki, menunduk, hanya kemudian untuk melewati pohon yang sama?
Ibaratnya seperti diguyur air es, aku merasa dingin dari atas kepala sampai ke telapak kaki. Dengan kengerian yang memuncak aku memperhatikan dua mayat yang sama, tubuh yang sama, bercak darah yang sama. Bangsat-bangsat itu telah mempermainkan aku. Kakiku melemas, rasa kesemutan menjalari tanganku, terus naik ke lengan, sampai kepada bahuku yang memberat oleh beban lengan T-rex yang sudah melemas. Darah tercecer di belakang kami. yang berasal dari luka pada lengan T-rex. Dia takkan bertahan lama. Tidak kalau aku terus kembali ke tempat yang sama berulang kali.
"W-en..."
"Diam!" Aku mendesis. Menyadari bahwa mayat Lichas yang sebelumnya kutembak sudah tak ada. Hanya menyisakan kubangan darah dan serpihan batok kepala serta otak di atas rumput hijau. Benar-benar keparat bangsat. "T-rex, kau masih bisa menggunakan tanganmu yang satu bukan?"
"Ya." Jawab T-rex, bibirnya sudah mulai memucat, bulu matanya yang pirang keemasan bergetar, tetapi dia tak mengatakan apapun lagi selain segera merubah Sequoianya menjadi Raz. Lebih enak digenggam, dan pas dengan satu tangan.
"Bagus." Mataku jelalatan memperhatikan sekeliling sementara aku dan T-rex berdiri berpunggungan. Segala hal di sekelilingku serasa menciut dan menjauh di saat yang bersamaan. Pohon-pohon menjadi menjulang tinggi dan tak terraih, mayat dan bau darah dari dua rekan satu timku seakan-akan berada tepat di depan hidungku. Menempeli hidungku dengan selembar kulit mereka. Aku mengeratkan pegangan pada Sequoia, tepi pengelihatanku berdenyut seirama detak jantung. Aku segera saja menyadari satu hal. Satu hal yang seharusnya aku sadari sedari awal.
Semua ini takkan berakhir kalau aku tak segera menemukan biang keroknya. Masalah yang sesungguhnya datang setelah pengertian itu. Bagaimana caraku supaya di biang kerok-Lichas bangsat itu-keluar dari tempat persembunyiannya. Cara mengumpat dan menantang sudah aku coba sebelumnya. Hasilnya malah semakin buruk. Mencai juga tak ada gunanya. Aku keburu kehabisan waktu, T-rex keburu mati kehabisan darah. Jumlah peluru di Sequoiaku masih banyak, jadi aku tak perlu khawatir soal itu. Akan tetapi aku tak punya pelindung yang mumpuni selain hanya mengandalkan armor UrsaMayor yang jelas takkan mempan dari menghalau serangan Lichas dengan kekuatan super.
Sial. Andai saja aku kepikiran mencuri salah satu karya Ibu yang ada di rumah. Sesuatu yang mirip dengan Glass Gate. Pelindung tubuh. Aku tentu takkan takut lagi.
Glass Gate ...
Aku sontak menengadah, memperhatikan kubah pelindung Pheasen dari udara dunia luar yang penuh racun. Indah dan tak terjamah seperti biasa. Aku mengerutkan alis, menyadari bahwa Glass Gate terlihat begitu dekat sekarang. Lebih dekat dari yang seharusnya. Untuk memperjelas kecurigaanku aku memuntahkan peluru ke atas. Sesaat setelah peuru bercahaya mengenai Glass Gate palsu itu, percik listrik menyembur, mau tak mau membuatku dan T-rex harus menutupi mata untuk melindungi kepala dari titik-titik bunga api yang berjatuhan.
"Caput stercoris!" Umpat T-rex. Shithead. "Kita terjebak."
"Tentu saja tidak." Aku menggapai menekan sebentuk armor di bagian tangan. Mengeluarkan I-ring dari sana. Menyeriangi. Lichas memang punya kekuatan di luar nalar, tapi tak semua orang punya otak secemerlang Sector Wan. Dengan kekuatan penuh aku melempar I-ring ke Glass Gate buatan si Lichas. Menggapai T-rex untuk tiarap bersamaku, sementara ledakan dari tumbukan dua energi membahana di sekeliling kami. Aku menggenakan kembali topeng armor, berdiri dan melihat dengan mata kepala sendiri, pemadangan di sekelilingku meriak wajar, di antara kepungan asap, aku melihat sebentuk sosok keluar dari sana. Dia memegang sesuatu di tangan kanannya, masih menetes-neteskan darah.
Itu pria yang sama, yang aku tembak sebelumnya. Pria sama yang selalu menghantui mimpi burukku. Pria itu sendiri memang mewujud dari sebentuk kenangan buruk. Entah Lichas jenis apa yang saat ini sedang mempermainkan kami, aku mau tak mau memujinya. Dia bisa mengetahui ketakutan terbesar dalam benak orang lain. Mengoreknya sedemikian rupa dan menjadikannya nyata.
"Tidak ..." Sengal T-rex di sampingku. Entah apa yang dia lihat aku tak tahu, tapi tentu saja sama mengerikannya dengan apa yang mataku lihat saat ini.
"Halo anak-anak," geram si pria tukang jagal. Walaupun hanya berupa ilusi dari kekuatan perkasa Lichas, sosok pria tukang jagal itu terlihat nyata di hadapanku. Tiada denyar geripis yang menandakan sosok di hadapanku hanya berupa hologram. Dia nyata, dan sama menakutkannya seperti pada cerita yang pernah aku baca. Yang menjadi ketakutan terdalamku selama ini.
"Aku telah membunuh seseorang yang kusebut istri, melihatnya berteriak memohon ampun kepadaku seakan-akan aku ini sosok pengampun. Beberapa kali tebas, dan dia sudah tak bisa lagi membuka mulut untuk mengeluarkan suara menjijikkan itu." Dia kemudian mendesah, sengaja mengusap cairan gelap berbau anyir pada senjata melengkung aneh yang dia bawa. Kukira dia setengah menyesali perbuatannya. Namun saat mengangkat wajah, mata kami bertemu, aku tahu pasti dia tak menyesal. Sama sekali tak ada rasa itu pada dirinya.
Senyumnya tersungging. Senyum seram dan sinting yang mendirikan bulu kuduk. "Rasanya menyenangkan sekali setiap kali aku mesti menceritakan kisahku kepada orang lain. Setidaknya begitu sampai aku kembali ke duniaku."
Buku-buku jariku memutih, saking eratnya peganganku pada Seqouia. "Coba saja kalau kau bisa."
Dia terkekeh pelan. Kekeh dalam tak wajar. "Oh, W-en yang manis. Kau mengingatkan aku pada seseorang. Tentu saja aku takkan coba-coba mempermainkanmu dengan cepat. Ayo kita nikmati permainan ini."
Sequoiaku berdengung, haus akan sesuatu. Aku memasang kuda-kuda, walaupaun gentar T-rex juga melakukan hal serupa. "Ayo kita selesaikan ini keparat sinting!!"
Kami bertiga bergerak secara bersamaan. Aku dengan Sequoiaku, T-rex dengan Raz kepunyaan serta sisa keberaniannya, dan si pria tukang jagal dengan seringaian sintingnya.
Selama sepersekian detik waktu seakan-akan melambat. Aku bertanya-tanya akanakah aku bisa keluar dari neraka ini?
Akankah aku? []
Total : 3317 Words!!
NOTE :
Saya membuat chapter ini demi memenuhi misi Project 11 yang diadakan Blackpandora_Club. Saya diinginkan supaya mengambil satu karakter dari cerita MuhammadAbdulFatah3 untuk dimasukkan ke sini (sebagai cameo atau apalah)
Hayooo tebak mana karakter Fatah di sini? Bisa nemuin??
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro