*4*
Seperti malam biasanya, malam ini terasa sepi bagi Letha. Baru 1 bulan pindah dari Singapura, belum banyak kegiatan yang ia lakukan selama di Jakarta. Kalau tidak kuliah, ia hanya berdiam diri di rumah. Mamanya sibuk dengan bisnisnya. Jika saja papanya masih hidup, mungkin mamanya tidak harus banting tulang menjadi wanita karir demi menghidupinya. Tapi, Letha selalu bersyukur dengan semua yang sudah ia dapatkan selama ini.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Letha. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu. Matanya berbinar ketika melihat sosok yang selama ini ia nantikan.
Frisca, mamanya yang selama ini membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Sudah seminggu wanita paru baya itu melakukan bisnis ke luar negeri. Wajar saja jika Letha sangat senang melihat kedatangan mamanya.
"Mamaaa," teriak Letha sambil berhambur ke pelukan mamanya.
Frisca pun ikut tersenyum seraya membalas pelukan anak semata wayangnya itu.
"Aduh anak mama. Udah besar masih aja seperti anak kecil."
"Mama, aku kangen banget sama mama. Gimana bisnisnya? Lancar? Ayo duduk dulu, mama pasti cape kan? Mau aku buatin teh? Atau kopi atau susu hangat atau wedang jahe?" tanya Letha antusias.
Frisca terkekeh, "kamu itu nggak berubah ya Tha. Tiap mama pulang dari bisnis pasti aja banyak banget pertanyaan kamu.
"Nggak apa-apa dong. Aku kan sayang sama mama. Gimana, ma bisnisnya? Lancar?"
"Alhamdulillah lancar sayang. Kamu kok belum tidur? Ini sudah larut malam loh. Emangnya besok nggak kuliah?" Tanya Frisca.
Letha tersenyum, "aku sengaja nungguin mama. Besok aku kuliah jam 1 siang mah."
"Gak baik loh begadang. Kamu udah makan?"
"Iya mama. Udah kok, mama udah makan? Kalau belum aku buatin makan malam buat mama ya," tawar Letha antusias.
"Nggak usah. Mama udah makan tadi sebelum pulang ke rumah."
"Oke. Ya udah mama mending istirahat."
"Tha..." panggil Frisca.
Letha menoleh dan menatap mamanya, "iya ma."
"Soal perjodohan kamu sama anak temen mama---"
"Maaa ayolah, aku kan udah bilang berkali-kali sama mama. Aku nggak mau dijodohin, apalagi sama cowok yang sifatnya kayak gitu. Aku nggak mau ma," potong Letha.
Frisca menarik nafas dan membuangnya pelan, "kamu kan belum ketemu sama dia. Coba aja dulu buat ketemu. Siapa tau kalian bisa cocok."
"Gimana bisa cocok ma? Mama sendiri yang bilang dia sifatnya dingin, cuek, mungkin sombong juga. Iya kan?"
Frisca mengelus rambut panjang putrinya dengan lembut. Ia tahu betul sifat putrinya itu. Keras kepala seperti mendiang suaminya. Jika sudah menolak, akan susah untuk membujuknya.
"Itu kan hanya sebatas penilaian dari orang lain. Belum tentu loh sifatnya bener seperti itu."
"Tapi itukan yang bilang mama dia sendiri, bukan orang lain."
"Tha, mama sudah janji sama temen mama buat jodohin kamu sama anaknya. Selama ini mama nggak pernah minta apa-apa sama kamu loh. Jadi mama minta, kamu ketemu aja dulu sama anak temen mama," pinta Frisca.
Letha mendengus, harus dengan cara apalagi ia menggagalkan perjodohan ini. Kuliah saja belum lulus, kerja belum terfikirkan, masa harus memikirkan perjodohan yang menurutnya rumit.
Ide muncul tiba-tiba di dalam kepalanya. Sudah tidak ada cara lain, mungkin ini bisa jadi satu-satunya cara untuk menggagalkan perjodohannya. Letha tersenyum puas.
"Tapi ma, aku udah punya pacar di kampus," pungkas Letha membuat Frisca kaget.
"Apa? Kamu udah punya pacar?" Letha mengangguk yakin.
"Iya ma, aku udah punya pacar."
"Jangan bohong sama mama ya Tha, kamu baru aja satu bulan pindah ke Jakarta loh. Masa secepat itu udah punya pacar. Kenapa juga kamu nggak bilang sama mami?"
"Siapa yang bohong sih ma? Aku serius. Mungkin emang udah takdirnya harus punya pacar. Anak mama ini kan cantik, jadi wajar aja banyak yang naksir."
Frisca menatap Letha dengan curiga. Apa benar putrinya sudah mempunyai pacar? Setau Frisca, putrinya itu jarang sekali mau didekati cowok. Mencoba percaya, akhirnya Frisca hanya menghela nafasnya tenang.
"Oke, kalo kamu beneran udah punya pacar, kamu kenalin pacar kamu ke mama. Kalau kamu bohong, mau nggak mau kamu harus terima perjodohan ini."
Letha hanya tersenyum cemas. Mati sudah, ia tak tau jika akhirnya akan seperti ini.
"Ya sudah, sekarang kamu tidur. Biar kamu nggak kesiangan sholat subuh. Selamat malam sayang." Frisca mengecup kening Letha hangat kemudian beranjak dari kamarnya.
"Mati gue," ucap Letha sambil menepuk keningnya.
"Bego banget sih lo Tha, kenapa juga harus ngomong gitu sama mama? Terus gue harus gimana sekarang? Boro-boro pacar, cowok yang deket sama gue aja nggak ada." Letha menangkupkan kepalanya di bawah bantal.
"Cowok yang lumayan deket sama gue kan cuma si Faza doang, gak ada yang lain. Masa gue harus minta tolong sama dia sih?" Letha memandang langit-langit kamarnya sambil berfikir.
"Enggak-engak...Ogah banget, nanti tambah kepedean kan dia. Bodo ah, mending gue tidur aja dulu."
Letha memejamkan matanya. Mencoba menghalau perasaan khawatirnya. Untuk urusan perjodohan, ia bisa pikirkan lain kali.
🍀🍀🍀
"Ra..." panggil seseorang, ketika Letha sedang berjalan menuju kelasnya. Letha menoleh ke belakang dan mendapati Raffa yang sedang berlari menghampirinya.
Letha terdiam dan seketika memikirkan perkataan ia kepada maminya semalam.
'Apa gue minta tolong sama Faza aja ya?'
"Ra..." panggil Raffa.
Letha masih terdiam dan menatap Raffa tanpa berkedip.
"Ra... hello! Lo nggak kesambet setan kampus, kan?" Raffa mengibas-ngibaskan tangannya di depan Letha hingga dia tersadar.
"Aah iya. Gimana?"
"Lo kenapa sih? Gue panggil-panggil malah bengong. Terpesona sama ketampanan gue ya?" Raffa mencolek dagu Letha gemas.
"Ih apaan sih, nggak usah kepedean ya lo. Ngapain juga gue terpesona sama muka lo yang mirip alas kaki," oceh Letha.
"Nggak baik ngatain suami sendiri. Nambahin dosa aja lo."
"Punya suami kayak lo emang nambahin dosa mulu tiap hari. Bawaannya emosi terus," tutur Letha.
"Akhirnya gue diakuin juga sebagai suami."
"Kutil kuda kalo ngomong suka kemana-mana. Hujatable banget sih."
"Mulut lo kayak cabe Ra, pedes."
"Lo nya sendiri yang minta dihujat." Tak mau kalah Letha mencibir ke arah Raffa.
"Harusnya lo tau, gue itu cowok sholeh alhamdulillah masyaalloh. Mana ada nambahin dosa, yang ada nambahin pahala," pujinya pada diri sendiri.
"Kebanyakan makan micin lo Za. Pedenya udah akut."
"Ya bagus dong gue pede. Daripada minder."
"Terserah lo deh. Cape gue ngomong sama lo."
Raffa tertawa renyah. Inilah hal yang disukai Raffa, melihat Letha kesal karena ocehan dirinya. Entahlah, rasanya kalau tidak mendengar ocehan Letha sehari, ia merasa ada yang kurang.
"Jangan cape dong Ra, kalo lo cape ngomong ntar orang-orang ngiranya lo bisu. Padahal lo kan punya mulut, sayang loh kalo nggak dipake," celoteh Raffa.
"Mulut gue biasa dipake buat hal-hal yang berguna," balas Letha.
"Contohnya apa?"
"Contohnya berdo'a."
"Berdo'a biar keluarga kita sakinah mawadah warohmah ya Ra. Uh punya bini sholehah banget sih, jadi tambah sayang."
Letha menaikan satu alisnya. Sudah tak heran jika Raffa selalu menggodanya dengan ocehan-ocehan tak bermutu, menurutnya.
"Mendingan lo kerja jadi sales deh. Cocok banget sama skill lo, ngomong mulu nggak bisa berhenti."
"Ngapain gue kerja jadi sales? Gue itu udah jadi CEO di caffe gue sendiri. Sia-sia dong gue punya usaha," ucapnya bangga.
"Sombong amat," decih Letha.
"Harusnya lo bangga punya suami sultan kaya gue, di kampus gue terkenal, punya usaha pula. Kurang apalagi gue?"
"Kurang waras!" Tukas Letha sambil meninggalkan Raffa yang melongo mendengar penuturan Letha.
"Ra... ko lo malah ninggalin gue sih?" Teriak Raffa.
"Emang gue kurang waras apanya? Mana ada cowok ganteng kayak gue otaknya nggak waras?" Raffa menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Akhirnya Raffa menyusul Letha menuju kelasnya. Rasa nyaman saat berada di dekat Letha seakan membuat Raffa melupakan perjodohan yang dilakukan mamanya. Begitu juga dengan Letha.
Memasuki kelasnya, Raffa melihat Letha duduk di tempatnya. Namun terlihat pula, Falisha yang berdiri di hadapan Letha sambil berkata-kata. Entah apa yang diucapkannya.
"Sha, lo ngapain berdiri disini? Kenapa lo nggak duduk?" Tanya Raffa saat menghampiri Falisha hingga membuat cewek itu terjengkat kaget.
"Faza..."
Letha tersenyum smirk saat mimik wajah Falisha berubah ketika tahu siapa yang datang.
"Ngapain lo berdiri disini? Kenapa lo nggak duduk?" Tanya Raffa sekali lagi.
Falisha tersenyum kikuk, "enggak kok. Tadi gue cuma nanya sama Naura, dia punya salinan mata kuliah statistika atau nggak."
"Oh."
Raffa hanya ber'oh' ria dan meninggalkan Falisha kemudian duduk di samping Letha. Melihat itu, Falisha menatap tak suka ke arah Raffa dan duduk di belakang Raffa.
"Ra, muka lo kok kaya duit seribuan? Lecek banget," tanya Raffa sedikit berbisik.
"Mending lo diem deh Faza."
"Lo butuh penyemangat ya? Mau gue semangatin gak?" Raffa terkekeh.
"Toa masjid bisa diem nggak? Gue sumpel juga tuh mulut." Letha berdecak sebal. Mood nya sudah hancur, kini harus mendengar lagi ocehan tal bermutu dari Raffa.
"Gimana gue bisa diem kalo istri sholehah gue mukanya berubah jadi kisut kayak duit seribuan lecek. Gue sebagai suami, harus siaga jadi penyemangat dong."
"Za, gue sumpel juga mulut lo."
"Sumpel pake mulut lo ya? Mau dong."
Letha menghembuskan nafasnya kasar, "ngidam apaan sih nyokap lo, sampe bisa punya anak kayak lo? Otak lo Zaaa, butuh gue servis."
"Mau dong di servis. Istri gue pengertian banget sih, nggak nyesel gue selipin nama lo di sepertiga malam gue," seloroh Raffa.
"Lebay lo."
Keduanya asyik bercengkarama tanpa tahu sepasang mata menatapnya penuh dengan kebencian. Rasa tak suka muncul di dalam hatinya, melihat Raffa, sahabatnya kini mulai menjauh darinya. Dan, ia merasa semua itu karena gadis yang berada di sampingnya, Naura.
☘️☘️☘️
Imut-imut banget ya mereka 😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro