Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

*1*

"Bang, kamu denger nggak sih mama ngomong apa dari tadi?" Mama Reka greget sendiri sama anak perjakanya ini.

"Denger mama sayaaaang," jawab Raffa santai.

"Coba, ulangi apa yang tadi mama bilang."

Raffa menghela napas, "Ma, kenapa sih ngotot banget jodohin aku sama anak temen mama itu?"

"Bang, kenapa sih ngotot banget nolak buat mama jodohin?" Mama Reka membalik pertanyaan protes yang Raffa layangkan.

Raffa mencebikkan bibirnya. Mama nya ini paling bisa bikin mulutnya tertutup karena memutar balikan pertanyaan.

"Tapi abang nggak bisa ma. Abang udah punya pacar."

Mama Reka menaikkan sebelah alisnya. Seakan meragukan jawaban Raffa. Mama nya meneliti wajah anaknya tanpa berkedip membuat Raffa sedikit kesal.

"Yakin?" Raffa hanya mengangguk membalas pertanyaan mamanya.

"Kalau gitu bawa kesini, kenalin sama mama. Biar mama tau dia cocok atau nggak sama kamu. Kalau cocok, nanti mama akan coba ngomong sama tante Frisca dan bilang kalau kamu udah punya pilihan sendiri." Raffa tersenyum puas, sepertinya dia punya rencana agar perjodohan ini batal.

"Tapi... awas aja kalau kamu bohongin mama! Mama nikahin hari itu juga!" kata-kata mama Reka membuat Raffa kembali mendengus kesal.

"Iya iya mamaaa," Raffa berdiri dan mencium tangan mama Reka. "Yaudah abang berangkat dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Jangan ngebut," pesan mama Reka setelah mencium kening Raffa.

Raffa mengendarai motor sport merahnya membelah jalanan Jakarta menuju kampus. Sebenarnya ia mulai kepikiran dengan perjodohan itu. Di satu sisi ia berpikir mama nya pasti akan memilihkan jodoh yang terbaik untuk dirinya, tapi di sisi lain hatinya menolak. Tidak, ini bukan keinginanya.

Raffa masih bisa cari jodohnya sendiri. Lagipula umurnya masih 22 tahun, masih banyak waktu dan masih banyak pencapaian yang ingin ia raih. Tapi dipikir-pikir, mungkin bisa saja ia menikah sekarang, karena memang Raffa sendiri sudah mempunyai modal.

Sejak SMA, papa nya sudah memberinya modal untuk membuka usaha. Dan kini sebuah Caffe menjadi bukti usahanya berhasil. Walaupun baru dua cabang, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan satu caffe miliknya ada di kampus dimana ia kuliah. Semua keinginan Raffa akhirnya bisa diraih dengan hasil kerja kerasnya. Dan semua itu murni dari penghasilannya. Hingga ia pun berhasil membiayai kuliahnya sendiri dan membeli motor impiannya. Bukan hanya itu, modal yang sebelumnya diberikan oleh papanya, sudah Raffa kembalikan.

Motornya ia parkiran di sebuah caffe yang tak lain adalah caffe miliknya sendiri. Ia berjalan dan langsung menjatuhkan bokongnya sambil mengetuk-ngetuk meja di depannya.

Tak lama, seorang cewek menghampirinya. Raffa menatapnya sambil tersenyum kecil.

"Kenapa lo? Butek amat tuh muka," ejek cewek itu.

"Nggak usah cari gara-gara sama gue Ra. Gue lagi bad mood," jawab Raffa.

"Pasti lo mikirin soal perjodohan itu lagi," tebaknya.

"Gue bingung Ra. Sebenernya gue yakin mama nggak mungkin kasih yang nggak baik buat gue. Tapi gue juga belum yakin sama semua ini." Raffa menceritakan masalahnya pada Aira, temannya sedari kecil walaupun usianya terpaut 5 tahun dengannya.

"Fa, gue yakin sih nyokap lo nggak mungkin mau jerumusin lo ke hal yang nggak baik. Kalau nyokap lo udah memilih, berarti cewek itu emang yang terbaik. Kenapa nggak coba ketemu dulu sih?"

"Nggak ada waktu lah."

"Nggak ada waktu apa males?"

"Dua-duanya. Caffe lagi rame, nggak bisa gue tinggal."

"Ya udah terserah lo dah bos."

Raffa bangkit dari duduk dan mulai pergi dari taman.

"Kemana lo?" tanya Aira berteriak saat Raffa sudah berjalan agak jauh.

"Cari angin," balas Raffa juga berteriak tanpa menghetikan langkahnya.

Aira hanya mengedikkan bahu. Lalu melanjutkan aktivitasnya.

Sementara Raffa berjalan ke arah kantin dengan santainya. Mungkin kopi bisa sedikit membuatnya tenang. Berjalan sambil berpikir membuat Raffa tak fokus, bahkan ia tak sadar kalau ada seorang cewek yang sedang kebingungan di depannya.

Duug...

Cewek itu tertabrak. Dengan tubuh lebih kecil dari Raffa, membuatnya tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Hampir saja cewek itu terjatuh, jika Raffa tak cepat menangkapnya.

Adegan seorang cowok menangkap tubuh cewek yang sering terjadi di adegan film pun terjadi. Mereka berdua saling menatap satu sama lain. Namun hal yang tak terduga terjadi. Raffa melepas dekapannya begitu saja pada tubuh cewek itu hingga jatuh. Hal itu sukses membuat si cewek bertubuh mungil mengaduh kesakitan saat bokongnya berhasil mencium lantai.

"Jahat banget sih. Sakit tau!" Cewek itu menggerutu sambil mencoba bangun ketika merasa cowok yang tadi menabraknya tak ada tanda-tanda untuk membantunya berdiri.

"Lagian jalan nggak lihat-lihat," balas Raffa jutek.

Cewek dengan mata bulat itu membelalakkan matanya, tak terima saat ia yang disalahkan.

"Heh! Gue lagi nyari ruang dosen. Ya jelaslah gue sambil tengok sana sini. Lo nya aja yang salah, masa orang segede gini nggak keliatan sama mata lo!" Balasnya kesal.

"Segedeeee gini?" tanya Raffa sambil meneliti tubuh cewek di depannya dari atas ke bawah.

Raffa meneliti cewek itu yang memakai dress simple di bawah lutut dengan warna peach setengah lengan, ditambah sepatu putih pelengkap penampilannya. Tingginya sebahu Raffa, dan jika dilihat posturnya, bisa dibilang mungil untuk ukurannya.

"Segede gimana maksud lo? Badan kecil gini nggak keliatan, sorry ya."

Cewek itu kembali membelalakkan matanya, tersinggung dikatakan kecil dan tak terlihat. Ia akui memang tubuhnya kecil dan kurus jika harus dibandingkan dengan cowok di depannya ini. Bahkan ia harus mendongak untuk dapat melihat jelas wajahnya.

"Jangan main fisik dong, walaupun gue kecil, mungil gini, yang penting otak gue jalan. Masih bisa dipake buat mikir. Nggak kayak lo yang ngomong seenaknya tanpa mikir perasaan orang. Gue tersinggung tau!" Cewek itu mengeluarkan apa yang ia rasakan, ia memang seperti itu. Ia hanya berusaha jujur dengan apa yang dirasakannya.

Raffa terdiam saat melihat raut wajah sendu pada cewek di depannya ini. Sebenarnya ia juga sadar ia salah, hanya saja kondisi hati yang tak enak membuatnya tersulut emosi.

"Sorry. Gue nggak maksud hina fisik."

Wajah cantiknya langsung berubah dari sendu menjadi ceria dalam beberapa detik. Ia mengulurkan tangannya pada Raffa. Meski sempat bingung, Raffa menyambut uluran tangan itu. Raffa memandang cewek itu dengan tatapan aneh. Cepat sekali raut wajah dan mood cewek ini berubah, pikirnya.

"Sekarang kita temen. Gue Naura. Gue anak baru pindahan dari Singapura," gadis bernama Letha itu memperkenalkan diri sebagai Naura dengan ceria.

"Cantik!" gumam Raffa dalam hati.

Namun setelahnya Raffa menggelengkan kepala mengusir pikiran ngaconya.

"Gue Faza, anak lama," balas Raffa sambil membalas tangan Letha.

Mereka mengenalkan namanya masing-masing. Sengaja mereka mengenalkan namanya tanpa memberi tahukan nama panjangnya. Karena bagi Raffa, panggilan Raffa hanya digunakan ketika ia berada di rumah atau sedang bersama dengan teman terdekatnya. Pun, begitu dengan cewek itu. Sebenarnya namanya adalah Arletha, namun ia lebih senang dikenal dengan nama Naura. Karena panggilan Letha hanya untuk orang-orang terdekatnya.

"Oke! Jadi sekarang kita temen ya. Oh iya mau nggak lo temenin gue cari ruang dosen? Dari tadi gue cariin nggak ketemu," pinta Letha tanpa menunggu jawaban dari Raffa.

Setelah itu Letha langsung melenggang pergi meninggalkan Raffa yang masih terdiam menatap punggung Letha yang berjalan.

"Aneh." Raffa menggeleng melihat Letha.

"Ruang dosen belok kanan!" Raffa agak berteriak saat Letha salah berbelok.

Letha langsung berbalik ke arah yang ditunjukkan. Raffa terkekeh melihat tingkah Letha. Cewek yang baru ia lihat dan mengenalkan namanya itu membuat ia kesal namun lucu dalam waktu bersamaan. Disusulnya Letha yang sudah pergi terlebih dahulu.

"Nih ruang dosen," tunjuk Raffa saat mereka sudah sampai di depan ruang dosen.

Letha berbalik ke arah Raffa, ia tersenyum manis pada teman pertamanya itu.

"Thanks ya Za, udah nganterin gue. Semoga kita ketemu lagi. Kalaupun nggak, gue pasti cari lo ya." Letha terkekeh di akhir kalimatnya.

Entah kenapa walaupun sedikit menyebalkan dan terkesan dingin dan cuek, baginya Raffa terlihat baik.

"Lo ambil jurusan apa?" tanya Raffa.

"Bisnis Management," jawab Letha.

"Pasti ketemu."

Setelah mengatakan itu, Raffa melangkah menuju tempat yang akan ia tuju tadi, kantin.

Sementara Letha memandang bingung kepergian Raffa, terlebih kata-katanya. Tapi setelahnya ia mengedikkan bahu dan masuk ke ruang dosen.

Setelah selesai dengan urusan kepindahannya ke kampus ini, Letha keluar dari ruang dosen. Melirik jam di tangannya, Letha menarik nafas pelan.

"Masih ada waktu 30 menit sebelum kuliah pertama dimulai."

Bingung harus melakukan apa, Letha memilih berkeliling melihat suasana kampus sambil mencari kelasnya nanti.

Langkah kakinya menuntun ia ke arah tempat yang ramai, kantin. Kebetulan haus juga akhirnya Letha memilih duduk di salah satu kursi setelah memesan minuman.

Tak lama pesanannya datang. Saat sedang menikmati jus strawberry kesukaannya, seseorang tiba-tiba menarik kursi dan duduk di hadapannya. Di lihatnya Raffa dengan segelas kopi hangat di tangannya.

"Ngapain?" tanya Raffa.

"Nyuci," jawab Letha asal.

Raffa memutar bola mata malas.

"Lo sendiri ngapain?" tanya balik Letha.

"Ngejemur," balas Raffa.

"Idiiiihhh."

Setelahnya hanya hening, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing meski duduk berhadapan. Sampai tiba-tiba seorang cewek datang dan langsung mengambil duduk di sebelah Raffa.

"Aku cariin kamu daritadi, taunya disini."

"Iya. Ngantuk, makanya cari kopi," Raffa menjawab sembari mengangkat gelas kopi miliknya.

"Baru dateng?" tanya Raffa sembari merapikan rambut cewek di sebelahnya yang sedikit berantakan.

Kedua orang itu asik sendiri dengan dunianya dan melupakan kalau di depannya masih ada orang lain. Raffa tak ingat dengan cewek yang berada di depannya. Dan cewek itu pun hanya diam bergeming tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Iya. Aku naik ojol gara-gara kesiangan, jadi ditinggal papa." Cewek itu menjawab dengan nada manja.

"Kasian. Kenapa nggak telepon gue aja? Kan bisa gue jemput."

"Aku ngga kepikiran."

Letha hanya memperhatikan obrolan diantara dua orang di depannya. Raffa terlihat mudah memberi senyuman dan perhatian pada cewek itu, jauh dari kesan cuek yang pertama kali Letha rasakan. Ada rasa nyeri di sudut hati Letha saat melihat itu. Entah kenapa dan datang darimana perasaan itu Letha pun tak tau. Ia hanya mengalihkan tatapan dan menyibukkan diri dengan minumannya meski telinganya panas mendengar nada manja yang cewek itu ucapkan pada Raffa.

Tak lama, Letha memilih pergi tanpa sepatah katapun bahkan melirik pada dua orang di depannya pun, tidak. Raffa hanya menatap bingung kepergian Letha dengan hati yang sedikit merasa..

Kehilangan?

🍀🍀🍀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro